Anda di halaman 1dari 16

PERILAKU KONSUMSI MASYARAKAT TERHADAP SUMBERDAYA MANGROVE SEBAGAI INDIKATOR KEBERLANJUTAN KONSERVASI MANGROVE DI

KOTA SEMARANG 1)

Oleh: Trisnanti Widi Rineksi dan Artiningsih

Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota

ABSTRACT Semarang is one of the big cities in the northern coast of Central Java which has mangrove ecosystem. Based on economical and ecological advantages for coastal communities, its important to strive for the optimal use of the mangrove ecosystem for long-term benefits. Sustainable mangrove conservation becomes imperative. Sustainability of conservation can be indicated by indicators. In this study, indicators are composed by analyzing characteristics of local communities in Semarang coastal area. The reason is local communities are the subject and also the object that have close relation with conservation. The limitation for consuming, and how they treat mangrove resources, show how much they care about their environment. Those can also show the efforts of communities that determine sustainable mangrove conservation. This study uses phenomenology approach and qualitative method, with descriptive and comparative analysis. Preliminary survey is needed for getting basic information about sampling area, so that indicators can representative and applicative to use in Semarang, specifically for community surround mangrove area. Key words: indicators, sustainable, mangrove conservation PENDAHULUAN Kawasan mangrove di sepanjang pantai utara Pulau Jawa yang tumbuh secara alami dengan baik hampir sudah tidak dapat ditemui lagi. Dalam skala kecil, mangrove hanya dapat ditemui di kawasan konservasi, seperti halnya yang terjadi di wilayah pesisir Kota Semarang. Di sepanjang pesisir Kota Semarang, kawasan mangrove hanya dapat ditemui di Kecamatan Tugu. Untuk Kecamatan Semarang Utara, Semarang Barat dan Genuk, yakni wilayah kecamatan yang berbatasan dengan pantai, mangrove hanya berupa kumpulan kecil vegetasi yang tersebar tidak merata, sehingga tidak dapat disebut sebagai kawasan. Luasan mangrove yang semakin menurun ini antara lain disebabkan oleh: Konversi kawasan mangrove menjadi berbagai peruntukan lain. Pencemaran oleh limbah industri dan rumah tangga di sekitar kawasan mangrove. Pembelokan arus tidak alami, mengakibatkan abrasi yang mematikan mangrove muda. Penebangan mangrove tanpa penanaman kembali. Peran penting yang dimiliki oleh ekosistem mangrove bagi keberlanjutan kehidupan di wilayah pesisir harus dijaga agar tidak terjadi kerusakan maupun hal-hal yang tidak dinginkan lainnya seperti turunnya produktivitas perikanan, bencana alam ataupun abrasi yang menimbulkan kerugian ekonomis. Oleh karena hal itu, maka perlu dilakukan suatu upaya konservasi yang berkelanjutan untuk mencapai keberlanjutan kehidupan dan pembangunan di wilayah pesisir Kota Semarang. Konservasi yang berkelanjutan merupakan upaya yang berkesinambungan untuk mengelola biosfer dan sumberdaya yang ada di dalamnya sehingga dapat menghasilkan manfaat terbesar kepada generasi kini tanpa kehilangan potensialnya untuk memenuhi kebutuhan dan ambisi generasi mendatang. Konservasi yang berkelanjutan mensyaratkan bahwa aktivitas ekonomi tidak selalu bertentangan dengan konservasi, sehingga aktivitas produksi dan konsumsi secara maksimal, dapat saja dilakukan oleh masyarakat asalkan tetap memperhatikan unsur kelestarian sumberdaya dan lingkungan. Berbagai upaya konservasi yang dilakukan masyarakat dan pemerintah Kota Semarang mengalami kendala yang menghambat keberlanjutannya. Pemanfaatan melebihi kemampuan mangrove untuk dapat pulih kembali, pencemaran oleh aktivitas industri dan rumah tangga, tingkat pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap upaya konservasi yang masih rendah, serta konversi lahan kawasan mangrove yang masih dilakukan, merupakan ancaman dalam upaya mencapai konservasi yang berkelanjutan. Agar konservasi mangrove mencapai keberlanjutan, maka harus ada tolok ukurnya yang berupa indikator. Dengan indikator itu, perkembangan konservasi mangrove yang berkelanjutan dapat dipantau dan dievaluasi secara periodik. Indikator yang akan dibentuk untuk mengukur keberlanjutan upaya konservasi

1) Artikel ini disarikan dari Laporan Tugas Akhir oleh Trisnanti Widi R. yang berjudul Penyusunan Indikator Keberlanjutan Konservasi Mangrove Kota Semarang.

mangrove di Kota Semarang, merupakan indikator yang bersifat spesifik pada wilayah tersebut saja. Hal ini disebabkan oleh karena perilaku, motivasi, adat budaya, karakteristik dan upaya konservasi yang membentuk fenomena keberlanjutan konservasi, yang dilakukan oleh masyarakat pada satu wilayah berbeda dengan wilayah lainnya. Research question dari studi ini diawali dari pertanyaan mengenai indikator keberlanjutan konservasi seperti apakah yang sesuai dengan konteks masyarakat lokal dan lingkungan kawasan mangrove Kota Semarang?

Lingkup materi

1. Karakteristik masyarakat yang dapat menggambarkan keunikan upaya konservasi. 2. Partisipasi dan kepedulian masyarakat dalam keberlanjutan konservasi. Tujuannya adalah untuk melihat sikap masyarakat terhadap konservasi.

kondisi kritis dan hanya 26,67% yang masuk dalam kondisi baik. Adanya aktivitas pembangunan dan konservasi kawasan mangrove yang dijalankan secara bersama-sama di Kota Semarang merupakan faktor lainnya yang menjadi justifikasi penetapan wilayah studi ini. Dari Tabel 1, diketahui bahwa wilayah yang memiliki luasan mangrove terluas adalah wilayah Kecamatan Tugu. Untuk ketiga wilayah lainnya, mangrove tidak dapat dikatakan sebagai kawasan sehingga tidak memenuhi kriteria wilayah studi. Dengan demikian maka pada studi ini kawasan mangrove Kota Semarang diwakilkan oleh kawasan mangrove Kecamatan Tugu. Tabel 1 Keberadaan Mangrove di Sepanjang Garis Pantai Kota Semarang
NO 1. 2. 3. 4. PANJANG MANGROVE PANTAI PANJANG LUAS (KM) (KM) (HA) Kec. Tugu 3,50 1,50 2,25 Kec. SMG. Utara 5,56 1,00 1,00 Kec. SMG. Barat 8,94 0,50 0,30 Kec. Genuk 7,00 0,72 0,45 LOKASI

Secara makro wilayah studi ini mencakup kawasan pesisir Kota Semarang yang terbentang 18 km, dari Kelurahan Mangkang Kulon di ujung barat sampai Kelurahan Trimulyo di ujung timur, sedangkan ke arah selatan membentang dalam kisaran 1,5-4 km (Bappeda Kota Semarang, 2005). Penetapan Kota Semarang sebagai wilayah studi, didasarkan atas pertimbangan bahwa Kota Semarang merupakan salah satu kota besar di wilayah pantai utara Pulau Jawa yang masih memiliki kawasan mangrove. Menurut hasil inventarisasi yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang pada tahun 2004, dari 325 hektar luas mangrove ideal yang seharusnya dimiliki, luas mangrove yang terdapat di seluruh wilayah pantai Kota Semarang hanya 15 ha. Bahkan, dari 15 ha tersebut 72,33% dalam

Lingkup dan Justifikasi Wilayah Studi

Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang, 2004

Secara mikro, deliniasi wilayah bukan berdasarkan batas administratif, melainkan atas dasar kesamaan ciri ekologis dengan karakteristik masyarakat yang dinilai dapat mewakili masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan mangrove Kota Semarang. Kriteria wilayah yang menjadi area sampling adalah merupakan kawasan mangrove yang di dalamnya terdapat aktivitas konservasi dan rehabilitasi yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Berdasarkan kiteria yang ada maka ditetapkan area sampling dari studi ini adalah kawasan mangrove Dukuh Tapak-Kelurahan Tugurejo, Mangkang Wetan, Mangunharjo dan Mangkang Kulon.

Gambar 1 Lingkup Wilayah Studi

Pendekatan studi yang digunakan adalah kualitatif fenomenologis, agar keunikan lokal masyarakat dan lingkungan wilayah studi dapat terlihat. Adapun metode pengumpulan data primer yang digunakan adalah snowballing dengan wawancara tidak terstruktur, untuk mendapatkan pengungkapan fenomena yang terjadi secara lebih mendalam pada responden, dan ingin mengetahui motivasi, maksud dari responden secara khusus. Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif, untuk mengidentifikasi karakteristik masyarakat dan lingkungan di kawasan mangrove. Selain itu juga dilakukan analisis komparatif, untuk membandingkan karakteristik masyarakat
INPUT
M enetapkan wilayah studi
Pendefinisian konsepsi konservasi yang berkelanjutan dan m uskan kriteria erum indikator sem entara

Metodologi Studi

yang menjamin dan mengancam keberlanjutan konservasi, yang telah diidentifikasi sebelumnya oleh analisis kualitatif deskriptif. Hasil dari metode kualitatif komparatif adalah perilaku merusak dan perilaku konservasi mangrove; motivasi yang mendukung keberlanjutan konservasi dan yang tidak mendukung; budaya yang mendukung dan yang tidak mendukung keberlanjutan konservasi. Gambar 2 merupakan tahapan proses perumusan kriteria dan indikator keberlanjutan konservasi mangrove Kota Semarang. Pada gambar ini dapat dilihat proses pembentukan indikator perilaku konsumsi sebagai indikator keberlanjutan konservasi mangrove Kota Semarang.
O UTPUT
W ilayah penelitian dan justifikasi area sam pling

PRO SES
Prelim inary survey

Literature review

Kriteria indikator keberlanjutan sem entara

Fakta dan inform hasil asi observasi

Analisis kesesuaian kiteria dengan hasil observasi lapangan

Kriteria indikator keberlanjutan konservasi m angrove Kota Sem arang

Faktor-faktor yang diduga berpengaruh pada keberlanjutan konservasi Aktivitas dan nilai di m asyarakat yang m endukung/ tidak m endukung konservasi Perum usan indikator-indikator keberlanjutan konservasi berdasarkan kriteria yang telah terbentuk Posisi hasil penelitian terhadap PW K

Analisis faktor-faktor yang berpengaruh pada keberlanjutan konservasi dengan pendekatan kualitatif: Analisis deskriptif dan kom paratif terhadap hasil wawancara dan kondisi lapangan

Faktor-faktor yang berpengaruh pada keberlanjutan konservasi Faktor karakteristik m asyarakat yang m enjam keberlanjutan konservasi in Faktor karakteristik m asyarakat yang m engancamkeberlanjutan konservasi

Sintesa analisis

Indikator-indikator keberlanjutan konservasi m angrove Kota Sem arang

Analisis perum usan peran hasil penelitian terhadap PW K

Peran indikator keberlanjutan konservasi m angrove dalampenetapan kebijakan konservasi di Kota Sem arang

Sumber: Hasil analisis, 2006

Gambar 2 Tahapan Proses Perumusan Kriteria dan Indikator Keberlanjutan Konservasi Mangrove di Kota Semarang TINJAUAN LITERATUR Penyusunan tinjauan literatur dilakukan untuk lebih memahami fenomena yang berhubungan dengan konservasi mangrove, serta memberikan perspektif dalam usaha penjaringan informasi di lapangan. Pentingnya keberlanjutan konservasi, yang merupakan gagasan dari konsep pembangunan berkelanjutan, memunculkan pertanyaan mengenai bagaimana kriteria konservasi yang dikatakan berkelanjutan, serta indikator seperti apa yang dapat dipakai untuk mengukurnya. Dalam kajian literatur ini, peneliti penyusun ingin mencoba melihat bagaimana perilaku konsumsi masyarakat dapat mempengaruhi keberlanjutan upaya konservasi. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (WCED,1987:43). Pembangunan berkelanjutan 3

Konsep Pembangunan Berkelanjutan

mengharuskan kita untuk dapat mengelola sumberdaya alam serasional mungkin untuk kesejahteraan manusia. Adapun kesejahteraan manusia mengandung makna yakni tidak hanya pemenuhan kebutuhan material, pemenuhan kebutuhan generasi masa kini, namun juga mencakup pemenuhan kesejahteraan non-fisik, mutu kualitas hidup dengan lingkungan hidup yang layak dihidupi dan jaminan bahwa terpeliharanya kesinambungan kesejahteraan bagi generasi di masa depan (Salim, 1993). Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan semacam ambang batas pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Secara esensial yang dimaksud dengan pembangunan berkelanjutan adalah suatu proses perubahan dimana eksploitasi sumberdaya, tujuan investasi, orientasi pembangunan teknologi dan perubahan institusi, semuanya berada dalam harmoni. Baik di masa kini maupun masa mendatang semuanya memiliki potensi yang sama untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pembangunan berkelanjutan bukan merupakan tujuan yang harus dicapai, melainkan suatu cara pandang yang harus dimiliki setiap orang, yakni sebagai bentuk tanggung jawab manusia terhadap lingkungan dan generasi mendatang. Pengelolaan terhadap wilayah pesisir dan sumberdayanya mutlak harus dilakukan secara baik dan benar agar tercapai pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan. Pengelolaan yang salah, dampaknya tidak hanya akan dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di daerah pesisir saja, karena pengaruh dari wilayah pesisir itu sendiri dirasakan sampai ke arah daratan (eksternalitas pesisir). Menurut Dahuri (2001), konsep pembangunan yang berkelanjutan merupakan konsep yang paling relevan untuk diterapkan di wilayah pesisir. Hal ini disebabkan oleh karena terdapat suatu unsur keseimbangan di dalam konsep tersebut, yakni keamanan ekonomi, integritas ekologi, demokrasi/ sosial yang merupakan tiga pilar dalam pembangunan berkelanjutan, serta keseimbangan dalam pemanfaatan lima kapital penopangnya. Adapun lima modal dari keberlanjutan antara lain adalah modal alam, modal manusia, modal hasil budidaya manusia, modal sosial, dan modal kebudayaan (Viederman, 1996:47). Penggunaan modal-modal tersebut merupakan isu utama yang menentukan tercapai atau tidaknya tiga pilar pembangunan berkelanjutan di wilayah pesisir.

Keberlanjutan merupakan sebuah kontrol masyarakat dan penggunaan yang hati-hati dari semua bentuk modal, untuk menjamin derajat kemungkinan bahwa generasi sekarang dan yang akan datang bisa memperoleh keamanan ekonomi dan mencapai demokrasi dengan derajat kemungkinan yang tinggi, sementara mereka mempertahankan integritas dari sistem ekologis di atas ketergantungan semua produksi dan kehidupan (Viederman, 1996:46). Keberlanjutan juga merupakan upaya meningkatkan kualitas hidup manusia, dengan daya dukung (carrying capacity) dari ekosistem yang mendukungnya (Hart, 1998). Secara praktis, suatu kegiatan dikatakan berkelanjutan apabila kegiatan tersebut dapat berlangsung secara terus menerus (WWF, 1993:9). Dapat disimpulkan bahwa dalam kata keberlanjutan terkandung makna adanya kontrol masyarakat, penggunaan yang hati-hati, kesamaan kesempatan antar dan inter generasi dalam memanfaatkan sumberdaya, peningkatan kualitas hidup manusia, serta adanya pembangunan dan konservasi sebagai suatu proses yang berdampingan. Oleh karena itu, perubahan yang sistemik dan struktural sangat dibutuhkan untuk mencapai keberlanjutan. Hutan mangrove yang sering juga disebut sebagai hutan bakau, hutan payau atau hutan pasang surut, merupakan suatu ekosistem peralihan antara darat dan laut. Mangrove dapat tumbuh optimal di wilayah pesisir dengan muara sungai yang besar, delta aliran sungai yang banyak mengandung aliran lumpur, daerah pantai yang terlindung dari gelombang yang besar dan arus pasang surut yang kuat. Hal ini dikarenakan dengan adanya gelombang yang besar dan arus pasang surut yang kuat tidak memungkinkan terjadinya pengendapan sedimen yang diperlukan sebagai substrat bagi pertumbuhan mangrove (Dahuri et al, 2001:66). Namun demikian, tumbuhan mangrove ini memiliki kemampuan adaptasi yang sangat baik untuk dapat bertahan hidup di kawasan pesisir. Perakarannya yang pendek dan melebar luas, serta kokoh memiliki kemampuan meredam gelombang, dan melindungi pantai dari abrasi, angin taufan maupun gelombang pasang. Ekosistem mangrove bagi sumber daya ikan dan udang berfungsi sebagai tempat mencari makan, memijah, memelihara juvenil dan berkembang biak (Dahuri et al, 2001: 60). Bagi fungsi ekologi sebagai penghasil sejumlah detritus dan perangkap sedimen. Bagi fungsi ekonomi 4

Makna Keberlanjutan

Karakteristik Ekosistem Hutan Mangrove

dapat bermanfaat sebagai sumber penghasil kayu bangunan, bahan baku pulp dan kertas, kayu bakar, bahan arang, alat tangkap ikan dan sumber bahan lain seperti pewarna. Permasalahan utama tekanan terhadap habitat mangrove adalah kegiatan manusia dalam mengkonversi hutan mangrove untuk berbagai kepentingan seperti untuk perumahan, industri, pertanian dan pembukaan tambak-tambak budidaya. Konversi hutan mangrove yang intensif di Indonesia, terjadi terutama akibat laku kerasnya udang windu di pasar dalam maupun luar negeri. Oleh karena itu, banyak hutan mangrove yang dibuka dan diubah menjadi lahan pertambakan (Supriharyono, 2000:47). Menurut Perbatakusuma (2005), permasalahan yang menimpa hutan mangrove ini terjadi karena adanya kegagalan dalam penentuan kebijakan. Kegagalan pertama adalah kegagalan kebijakan ekonomi pasar. Besarnya konsumsi udang yang meningkat lebih dari 3 kali lipat dalam satu dekade terakhir telah mengakibatkan terjadinya kerusakan mata pencaharian dan lingkungan bagi masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir. Sejak tahun 1960-an, Pulau Jawa telah kehilangan 70% kawasan hutan bakau, Sulawesi 49% dan Sumatera 36%. Industri udang adalah industri yang setelah dieksploitasi habishabisan maka dapat ditinggalkan jika memang sudah tidak menguntungkan lagi (rape and run industry). Luasan kawasan yang dikonversi ini semakin besar jika diperhitungkan bukan hanya untuk pertambakan udang, namun juga dengan konversi untuk kebutuhan pemukiman penduduk, industri, resort wisata dan pembangunan infrastruktur lainnya. Kegagalan kebijakan ekonomi pasar ini berimbas pada kegagalan kebijakan penegakan hukum bidang perlindungan lingkungan, khususnya di kawasan pesisir dan penataan ruang daerah baik pada tingkat propinsi maupun kabupaten/kota.

Perilaku Konsumsi Masyarakat Pesisir terhadap Hutan Mangrove

Perilaku menunjukan aksi manusia secara sadar maupun tidak sadar, yang berkaitan dengan semua aktivitas manusia secara fisik; berupa interaksi manusia dengan sesamanya maupun lingkungannya. Perilaku dalam hal ini merupakan aktivitas yang kasat mata, namun penyebab terjadinya perilaku tersebut secara langsung mungkin tidak dapat diamati (Laurens, 2004). Perilaku yang dilakukan oleh setiap manusia tidak timbul dengan sendirinya, melainkan sebagai akibat adanya stimulus eksternal maupun internal, dan bergantung juga pada individu yang bersangkutan (Walgito, 2003).

Begitu pula halnya dengan perilaku manusia terhadap lingkungan alamnya, dihubungkan dengan kebudayaan yang dimilikinya. Dengan kata lain manusia dapat beradaptasi dengan lingkungannya, sehingga dia mampu terus mempertahankan hidupnya oleh karena kebudayaan yang dimilikinya. Adapun yang dimaksud dengan kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang dipergunakan untuk memahami dan mengintrepetasikan pengalaman dan lingkungannya serta menjadi landasan untuk mewujudkan kelakuan mereka (Poerwanto, 2000:243). Sesungguhnya masyarakat memiliki hak sebagai konsumen, akan lingkungan yang lebih baik, namun mereka harus meletakan kewajiban atas diri mereka sebagai konsumen untuk belajar, mengenal, memahami dan mengendalikan dampak pengaruh tindaktanduknya kepada lingkungan (Salim, 1993:212). Perilaku dapat dibentuk melalui kebiasaan, dengan pengertian, maupun dengan model (Walgito, 2003). Dalam hal perilaku konsumsi masyarakat terhadap hutan mangrove perilaku konsumsi dapat dibentuk melalui kebiasaan, yakni dengan cara membiasakan diri untuk berperilaku seperti yang diharapkan. Perilaku juga dapat dibentuk dengan adanya pengertian. Sebagai gambaran adalah menangkap ikan di kawasan mangrove, karena mengetahui fungsi mangrove sebagai penangkap substrat, sehingga baik untuk tempat tinggal ikan. Selanjutnya pembentukan perilaku dapat juga dilakukan dengan model atau contoh, misal dalam konteks ini adalah orang tua yang memberi contoh anaknya untuk menebang pohon mangrove untuk bahan bakar, nantinya akan membawa anaknya untuk mengikuti apa yang dicontohkan orangtuanya. Secara ekonomis masyarakat pesisir banyak melakukan kegiatan konsumsi sumberdaya mangrove. Besarnya peranan ekosistem hutan mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di tajuk-tajuk pohon mangrove atau manusia yang bergantung pada hutan mangrove tersebut (Naamin, 1991). Ekosistem hutan mangrove ini terancam mengalami degradasi oleh karena eksploitasi sumberdaya, baik dalam bentuk konversi lahan menjadi budidaya tambak, industri, dan perumahan, maupun dalam bentuk penebangan kayu ataupun hasil hutan lainnya untuk dijual secara besar-besaran. Pemanfaatan sumberdaya oleh masyarakat pesisir cenderung terpikirkan setelah eksploitasi

berlebihan, sehingga menyebabkan penurunan sumberdaya yang mencolok yang mengakibatkan timbulnya kekurangan serta konflik sosial di wilayah pesisir (Dahuri et al, 2001:168). Kesulitan yang ada dari pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan di wilayah pesisir antara lain disebabkan oleh karena peningkatan populasi penduduk di wilayah pesisir, kebutuhan jangka pendek untuk memperoleh profit, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang dampak negatif yang mungkin timbul dari eksploitasi yang berlebihan dan banyak hal lainnya. Banyak hal yang dapat mempengaruhi keberlanjutan ekosistem mangrove, dan sebagian besar berasal dari luar ekosistem mangrove, yakni berupa intervensi manusia dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove. Oleh karena itu, dibutuhkan konservasi dan pemanfaatan mangrove yang terintegrasi dengan mempertimbangkan kebutuhan ekosistem itu.

Menurut Gifford Pinchot, konservasi merupakan penggunaan sumberdaya alam untuk kebaikan secara optimal, dalam jumlah yang terbanyak dan untuk jangka waktu yang paling lama (Suparmoko,1997:21). Definisi konservasi Pinchot ini didukung dengan pengertian konservasi yang terdapat pada UU No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Menurut UU tersebut, konservasi sumberdaya alam adalah pengelolaan sumberdaya alam tak terbaharui untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana, dan sumberdaya alam yang terbaharui untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya. Kesepakatan mengenai pengertian konservasi secara internasional, dinyatakan oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources), yakni pengelolaan biosfer sehingga dapat menghasilkan manfaat terbesar kepada generasi kini tanpa kehilangan potensialnya untuk memenuhi kebutuhan dan ambisi generasi mendatang (IUCN, 1980 dalam Ilyas, 1997:163). Dari beberapa pengertian yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa konservasi merupakan tindakan sebagai upaya pencegahan terjadinya pengurasan dan pengeksplotasian besar-besaran terhadap sumberdaya alam. Adapun yang dimaksud dengan konservasi yang berkelanjutan dalam studi ini adalah upaya yang berkesinambungan untuk mengelola biosfer dan sumberdaya yang ada di dalamnya secara bijaksana, dengan memelihara kualitas dan

Pengertian dan Upaya Konservasi yang Berkelanjutan

keragamannya sehingga dapat menghasilkan manfaat terbesar kepada generasi kini tanpa kehilangan potensialnya untuk memenuhi kebutuhan dan ambisi generasi mendatang. Jika dilihat lagi dari makna keberlanjutan yang melekat pada konservasi berkelanjutan, maka dapat disimpulkan bahwa di dalam konservasi yang berkelanjutan terdapat unsur kontrol masyarakat dalam memelihara daya dukung (carrying capacity), penggunaan sumberdaya secara hati-hati, kesempatan yang sama antar dan inter generasi untuk memenuhi kebutuhannya, dan perubahan gaya hidup dan kebiasaan/perilaku berkonsumsi sebagai upaya peningkatan kualitas hidup manusia. Keberlanjutan dalam konservasi juga bermakna bahwa kegiatan konservasi dapat berlangsung terus menerus. Upaya konservasi yang berkelanjutan dapat dilakukan antara lain dengan cara melakukan kontrol masyarakat terhadap perencanaan dan pemanfaatan sumberdaya, pengembangan sumberdaya alternatif, dan penggunaan teknologi dalam pengeksploitasian sumberdaya. Pada umumnya masyarakat menghendaki adanya kesempatan yang sama antar generasi saat ini dengan generasi mendatang, dalam memafaatkan sumberdaya alam, sehingga preferensi masyarakat untuk melakukan konservasi adalah konservasi untuk jangka panjang. Dalam menghadapi pertanyaan mengenai bagaimana penanggulangan hambatan dalam konservasi maka yang dapat kita lakukan adalah mengidentifikasi darimana saja hambatan itu berasal, dan bagaimana latar belakangnya, setelah itu baru mencari alternatif pemecahannya. Dalam konservasi hambatan-hambatan dapat dibedakan menjadi hambatan fisik, ekonomi, kelembagaan dan teknologi (Suparmoko, 1997:99). Hambatan secara fisik misalnya dapat terlihat dari upaya konservasi mangrove dengan penanaman mangrove muda di Kendal dan Pasuruan yang dihambat oleh adanya abrasi dan gelombang yang dapat mematikan dan merusak mangrove muda. Kriteria bukanlah suatu alat pengukuran melainkan standar yang digunakan untuk menilai kondisi lingkungan yang dikaji. Kriteria dan indikator pengelolaan hutan berkelanjutan pertama kali diperkenalkan oleh ITTO (International Tropical Timber Organization) pada sidang Council ke 8 di Bali pada tahun 1990. Berikut ini adalah kriteria hasil dari pertemuan tersebut:

Hambatan dalam Konservasi Berkelanjutan

Kriteria Konservasi Berkelanjutan

1. Forest resource base, terjaminnya sumber hutan yang dapat dikelola secara lestari. 2. The continuity of flow of forest products, kontinuitas hasil hutan yang dapat dipungut berdasarkan azas-azas kelestarian. 3. The level of environmental control, yang mempertimbangkan kondisi lingkungan dan dampak - dampaknya yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan hutan lestari yang berwawasan lingkungan. 4. Social and economic aspects, dengan memperhitungkan pengaruh kesejahteraan sosia-ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. 5. Institutional frameworks, penyempurnaan wadah kelembagaan yang dinamis dan mendukung pelaksanaan pengelolaan hutan lestari. Kriteria ini juga mencakup pengembangan sumberdaya manusia, serta kemajuan penelitian, iptek yang kesemuanya turut mendukung terciptanya manajemen hutan lestari. Selain ITTO, 10 negara Montreal juga mengadakan pertemuan di Santiago, Chile pada tahun 1995 untuk membahas mengenai pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Dari pertemuan itu dihasilkan tujuh kriteria untuk indikator pengelolaan hutan berkelanjutan: 1. Konservasi keanekaragaman hayati. 2. Pemeliharaan kapasitas produksi ekosistem. 3. Pemeliharaan kesehatan dan vitalitas ekosistem hutan. 4. Konservasi dan pemeliharaan sumberdaya tanah dan air 5. Pemeliharaan fungsi lindung hutan 6. Pemeliharaan dan peningkatan keuntungan sosiaekonomi jangka panjang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. 7. Kerangka kerja legal, institusional dan ekonomi untuk konservasi berkelanjutan. Kriteria-kriteria yang dihasilkan dari Konferensi ITTO dan 10 Negara Montreal, memiliki beberapa kelemahan jika diterapkan di Indonesia. Tidak tersedianya data-data yang mendukung untuk verifikasi kriteria, seperti misalnya data mengenai kesehatan dan vitalitas hutan, selain itu data yang tersedia biasanya merupakan data tahun terakhir, sehingga sulit untuk melihat trend yang terjadi. Namun demikian, bukan berarti kriteria-kriteria yang dihasilkan tersebut tidak dapat diadopsi dalam proses pembentukan indikator konservasi mangrove ini. Pada kriteria yang dihasilkan dari konferensi tersebut, aspek yang akan dilihat adalah proses mengendalikan aksi manusia dalam hal memanfaatkan sumberdaya yang ada, agar

manfaat terbesar dapat diberikan pada komunitas masa kini dan yang akan datang. Kriteria yang mencakup aspek tersebut dan sesuai dengan konteks lokal wilayah studi akan digunakan penelitian ini. Agar pembangunan berkelanjutan dapat terlaksana harus ada tolok ukurnya. Dengan tolok ukur itu, perkembangan pembangunan berkelanjutan dapat dipantau dan dievaluasi secara periodik. Tolok ukur tersebut harus mencerminkan isu penting sehingga dapat merespon isu-isu penting dan aspirasinya tersebut. Tolok ukur yang dimaksud dalam hal ini dapat berupa indikator. Indikator merupakan suatu alat untuk menilai suatu permasalahan yang muncul sehingga mendorong manusia untuk melakukan feedback dan penelitian (Corson,1996:327). Penggunaan indikator yang menunjukan pencapaian suatu tujuan, misalnya dampak dan akibat pembangunan mungkin saja rumit dan mahal, oleh karena itu dapat dipertimbangkan penggunaan penilaian yang kualitatif dan kurang objektif (Mikkelsen, 2003). Indikator untuk pembangunan berkelanjutan yang baik adalah indikator yang masuk dalam syarat-syarat sebagai berikut (Warren, 1997:135): 1. Mencerminkan sesuatu yang dasar dan fundamental pada ekonomi, sosial atau kesehatan lingkungan jangka panjang dari sebuah masyarakat antar generasi. 2. Mudah dikenali dan jelas; sederhana, bisa dimengerti; dan diterima oleh masyarakat. 3. Dapat diukur secara kuantitatif. 4. Sensitif terhadap perubahan lintas ruang atau dalam kumpulan kumpulan. 5. Prediktif atau antisipatif. 6. Merekomendasikan atau ambang batas nilainilai yang ada. 7. Menyatakan apakah perubahan dapat dikembalikan dan dikontrol. 8. Relatif dapat dengan mudah dikumpulkan dan digunakan. 9. Aspek kualitas: metodologi yang digunakan untuk membangun indikator harus dengan jelas didefinisikan, secara akurat dijelaskan, dapat diterima secara sosial dan ilmiah, dan mudah untuk dibuat kembali. 10. Sensitif pada waktu: kalau digunakan setiap tahun, indikator dapat menunjukan kecenderungan yang representatif. Indikator adalah sedikit informasi yang dapat merefleksikan apa yang terjadi pada sistem yang luas. Indikator keberlanjutan tidak hanya berkutat dengan kondisi lingkungan namun juga

Indikator Konservasi Berkelanjutan

karakter-karakter interaktif antara sistem sosial ekonomi dan sistem lingkungan (Huang et al, 1998:18). Berikut ini adalah kegunaan indikator untuk tujuan keberlanjutan konservasi (dimodifikasi dari Hart, 1998): Mengukur progress. Menjelaskan keberlanjutan proses ini membantu masyarakat untuk mencapai konsensus mengenai makna keberlanjutan. Indikator membantu menempatkan keberlanjutan untuk memperlihatkan cara baru dalam mengukur kemajuan. Mendidik Proses menjelaskan indikator berguna untuk mendidik. Saat kita mengetahui bagaimana mengukur tingkat pemanfaatan sumberdaya yang berbahaya, maka kita dapat menghentikan aktivitas kita yang berkontribusi dalam pengeksplotasian. Menunjukan hubungan Semakin banyak orang yang mengerti mengenai keterkaitan antar aspek, semakin banyak solusi yang dapat dikembangkan untuk mengatasi banyak permasalahan. Memberi motivasi Indikator membantu kita untuk menggunakan semangat persaingan kita demi keuntungan kita. Memfokuskan tindakan hanya kepada isu Tujuan dari hal ini adalah agar upaya yang kita lakukan tepat sasaran, sehingga kita tidak menyia-nyiakan waktu, tenaga dan biaya. Indikator keberlanjutan seringkali disusun dengan melihat studi penyusunan indikator terdahulu. Mengingat keterlibatan indikator dalam penyusunan kebijakan dan pengambilan keputusan, jumlah indikator harus dibatasi. Braat (Huang et al,1998:19) membagi indikator menjadi indikator prediktif dan retrospektif. Indikator prediktif menyediakan informasi tentang masa datang dan peningkatan variabel-variabel sosial ekonomi dan lingkungan. Sementara itu, indikator retrospektif menyediakan informasi mengenai efektivitas kondisi saat ini. Indikator-indikator mungkin saja bersifat kuantitatif untuk menjawab pertanyaan seberapa besar, namun untuk memahami mengapa keadaan berlangsung seperti ini, dibutuhkan pendekatan sebab akibat yang bersifat kualitatif untuk melihat hubungan antar sektor (Huang et al,1998). ANALISIS PEMBENTUKAN INDIKATOR KEBERLANJUTAN KONSERVASI Analisis Perilaku Konsumsi Masyarakat Analisis mengenai perilaku konsumsi masyarakat ini dilakukan untuk melihat bagaimana aktivitas masyarakat yang berupa

konsumsi terhadap sumberdaya di kawasan mangrove, yang mempengaruhi keberlanjutan konservasi mangrove. Adaupun perilaku konsumsi yang dianalisis antara lain konsumsi masyarakat di masa lalu; pemanfaatan buah, getah dan kayu dari pohon mangrove oleh masyarakat; budidaya ikan, udang dan kepiting mangrove; serta pemanfaatan lahan kawasan mangrove untuk wisata.

Konsumsi masyarakat di masa lalu

Perilaku konsumsi masyarakat di masa lalu dapat memberikan pengaruh bagi cara pandang masyarakat saat ini dalam melakukan konservasi yang berkelanjutan. Konsumsi ekosistem kawasan mangrove yang dilakukan masyarakat di masa lalu antara lain adalah untuk memperkuat tanggul, bahan bakar, dan mengkonsumsi lahan kawasan mangrove untuk diubah menjadi pertambakan. Sebagian besar masyarakat di masa lalu menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk memasak. Kayu mangrove yang keras dulu menjadi bahan bakar favorit karena jenisnya yang kuat dan bagus untuk dijadikan arang. Oleh karena konsumsi mangrove sebagai bahan bakar yang dibutuhkan setiap hari, maka aktivitas menggunakan kayu bakar dari mangrove dapat dikatakan bukan aktivitas konservasi yang berkelanjutan. Jika aktivitas ini tetap dilanjutkan maka kelestarian mangrove akan dipertanyakan. Pada masa kejayaan udang windu, konsumsi lahan kawasan mangrove dilakukan untuk memperbanyak keuntungan dengan ekstensifikasi. Sayangnya hanya keuntungan yang bersifat jangka pendek saja, karena setelah mangrove ditebang dan lahannya dikonversi menjadi pertambakan, daya dukung lahan menurun dan menyebabkan perikanan tambak menjadi tidak seproduktif sewaktu masih ada kawasan mangrove di sekitarnya. Konsumsi lahan mangrove untuk dikonversi menjadi pertambakan merupakan perilaku konsumsi yang tidak berkelanjutan. Di Kota Semarang pada umumnya, lahan-lahan di sepanjang garis pantai sudah berubah peruntukannya, menjadi lahan untuk aktivitas yang bernilai ekonomis tinggi. Kecenderungan masyarakat untuk mengekstensifikasi tambaknya dimulai pada masa pemerintahan Mantan Presiden Suharto, sekitar tahun 1980an, yakni ketika terjadi lonjakan usaha tambak udang. Masyarakat petani tambak serempak melakukan pembabatan pada kawasan

mangove untuk dijadikan lahan budidaya tambak. Sayangnya pada saat mereka melakukan konversi itu, mereka tidak mempertimbangkan manfaat ekosistem mangrove sebagai tempat pemijahan dan perawatan ikan dan habitat lainnya. Akibat dari perbuatan yang dilakukan di masa lalu tersebut adalah semakin besar biaya yang harus mereka keluarkan untuk pemeliharaan udang, karena tidak adanya tumbuhan mangrove sebagai nursery (pemijahan) dan feeding ground (penyedia makanan alami). Mereka harus mengeluarkan biaya ekstra untuk membeli pupuk. Lonjakan budidaya udang juga memicu permasalahan lain yang berdampak negatif pada kawasan mangrove. Vegetasi mangove yang terdapat di sekitar tambak rakyat, dianggap mengancam keamanan udang-udang yang dibudidayakan masyarakat. Daunnya yang lebat menyulitkan petambak untuk menjaga tambaknya dari para penjarah, sehingga mereka memutuskan untuk menebang mangrove yang ada di sekitar tambak mereka. Walaupun perilaku konsumsi masyarakat setempat sudah tidak seperti di masa lalu, namun trend pengulangan dapat saja terjadi, misal konsumsi lahan kawasan mangrove untuk dikonversi menjadi lahan industri. Kecenderungan tersebut merupakan wacana bagi masyarakat yang harus diperhatikan, dalam melakukan konservasi yang berkelanjutan. Konservasi tidak akan bisa berkelanjutan bila perilaku konsumsi yang tidak berkelanjutan terjadi.

orang yang masih mengetahui manfaat getah tersebut. Mereka yang mengetahui manfaatnya pun, sekarang lebih memilih obat-obatan modern ketimbang menggunakan getah pohon tersebut. Penggunaan kulit kayu mangrove sebagai pewarna merupakan aktivitas konsumsi lainnya yang terdapat di masyarakat wilayah studi. Secara kuantitas jumlah kulit yang dibutuhkan tidak banyak, dan secara kualitas aktivitas tersebut tidak mengganggu upaya pelestarian mangrove. Bagian dari pohon mangrove yang sampai saat ini masih dikonsumsi oleh masyarakat adalah kayunya yang kuat dan keras. Masyarakat yang bekerja di pertambakan biasanya mengkonsumsi kayu dari pohon tersebut, yakni untuk memperkuat tanggul tambak mereka. Kayu-kayu itu didapat dengan menebang pohon mangrove yang berusia 3 tahun ke atas yang tumbuh di tambaknya, atau mangrove yang sudah mati. Aktivitas ini, sampai saat ini masih aman untuk dilakukan, karena tidak banyak pohon yang ditebang untuk memperkuat tanggul. Selain itu masyarakat/ petani tambak juga melakukan penggantian tanaman mangrove yang ditebang dengan yang baru. Konsumsi kayu untuk bahan bakar, juga masih dilakukan oleh beberapa keluarga. Konsumsi tersebut tidak dilakukan setiap hari karena hampir semua keluarga memasak dengan bahan bakar minyak tanah dan gas, sedangkan kayu bakar hanya digunakan jika dalam keadaan mendesak saja. Kayu-kayu bakar yang digunakan hanya kayu-kayu dari pohon yang mati atau diambil dari ranting-ranting kering. Hal ini karena selain kayu bakar lebih baik jika digunakan dalam keadaan kering, juga mereka tidak membutuhkan kayu tersebut dalam jumlah yang besar. Untuk masyarakat daerah Mangkang Kulon, mereka mendapatkan kayu dari limbah kayukayu dari KLI, sehingga mereka tidak perlu banyak mengambil kayu mangrove. Di satu sisi limbah kayu tersebut merugikan mereka, namun di sisi lain mereka berusaha memanfaatkan segala yang ada di lingkungan mereka. Masyarakat di daerah Mangunharjo, Mangkang Wetan dan Tugurejo yang membutuhkan kayu untuk bahan bakar biasanya meminta kayu-kayu tersebut dari para petani yang memiliki tambak, tempat dimana pohon tersebut tumbuh. Untuk mangrove yang berada di sekitar pantai, tidak ditebang oleh masyarakat, dengan pertimbangan bahwa 9

Vegetasi mangrove yang tumbuh di pertambakan dan sekitar garis pantai memiliki manfaat yang sangat beragam. Buah dari pohon api-api (Avicennia marina) dapat dijadikan sayuran. Getah pohon mangrove dapat dijadikan obat untuk sakit urat. Kayu pohon dapat dijadikan penguat tanggul dan untuk kayu bakar.

Pemanfaatan buah, getah dan kayu dari pohon mangrove oleh masyarakat

Dulu, masyarakat yang akrab dengan kehidupan tambak (misalnya petambak dan keluarganya), cukup banyak yang mengkonsumsi buah berayu/ api-api untuk diolah menjadi sayur. Sekarang, walaupun masih ada masyarakat yang memanfaatkannya untuk dikonsumsi, namun jumlahnya sudah tidak banyak lagi. Getah pohon mangrove yang menurut masyarakat dapat digunakan sebagai obat asam urat pun, sudah tidak terlalu populer lagi pemanfaatannya. Hanya beberapa

mangrove tersebut untuk melindungi pantai dari abrasi. Masyarakat biasanya memanfaatkan buah bakau (Rhizopora) untuk dijadikan bibit tanaman mangrove, baik untuk ditanam di lahannya sendiri, maupun untuk dijual. Bibit mangrove yang berusia 2-3 bulan dikumpulkan oleh masyarakat dan dihargai Rp.50-100/buah. Bibit mangrove yang disemaikan dengan polybag harganya bisa lebih mahal, yakni sekitar 500-1000/ bibit, tergantung daun yang dimilikinya (daun menunjukan usia mangrove). Bibit tersebut biasanya dibeli oleh pemerintah untuk kegiatan penghijauan. Dengan buah yang sudah matang saja masyarakat dapat menjualnya sebagai bibit dan mendapatkan penghasilan. Apalagi jika mereka melakukan upaya penyemaian bibit sendiri, hasil yang mereka dapatkan akan jauh lebih besar, hanya dengan modal buah mangrove, tanah lumpur plastik polybag dan niat berusaha. Konsumsi masyarakat terhadap vegetasi mangrove ini hanya dilakukan sebatas untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Sifat dari konsumsi ini pun insidental, sewaktuwaktu dan tidak untuk kebutuhan sehari-hari. Konsumsi terhadap ekosistem mangrove seperti ini dapat dikatakan tidak mengancam keberlanjutan ekosistem mangrove. Tindakan masyarakat yang memanfaatkan pohon berusia 3 tahun, serta menanam tanaman mangrove pengganti tanaman yang ditebang untuk kayu bakar ataupun untuk ram tanggul, dapat dikatakan sebagai aktivitas konservasi yang berkelanjutan.

Dalam hal ini, maka konsumsi yang dilakukan oleh masyarakat adalah konsumsi secara tidak langsung, yakni konsumsi daun-daun mangrove yang digunakan sebagai pupuk untuk makanan ikan di tambak (klekap). Secara langsung konsumsi yang dilakukan oleh masyarakat adalah berupa konsumsi terhadap hasil ekosistem di kawasan mangrove seperti ikan, udang dan kepiting. Konsumsi ini dapat bersifat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri ataupun untuk dijual. Saat masyarakat menyadari bahwa mereka dapat melakukan aktivitas konsumsi tersebut karena keberadaan mangrove, dengan kualitas yang baik tentunya, maka peluang untuk terjadinya keberlanjutan dalam upaya konservasi akan semakin besar.

Pemanfaatan lahan kawasan mangrove untuk wisata

Konsumsi lahan kawasan mangrove untuk kegiatan wisata merupakan perilaku konsumsi masyarakat lainnya yang terkait dengan mangrove. Kawasan mangrove yang unik dan menyimpan banyak potensi merupakan daya tarik wisata bagi orang-orang yang menyukai wisata alam. Rimbunnya daun-daun mangrove di sekitar pertambakan dan sungai merupakan tempat yang nyaman untuk memancing. Masyarakat setempat juga menyediakan udang putih yang diperoleh dari kawasan mangrove itu sendiri, untuk dijual sebagai umpan pancing. Kawasan mangrove juga menarik untuk dijadikan tempat melakukan ekowisata. ekoturis dapat melihat keanekaragaman jenis mangrove, melakukan kegiatan konservasi seperti menanam mangrove di Pulau Tirang dan bahkan dapat belajar budaya pesisir. Konsumsi yang dilakukan terhadap lahan kawasan mangrove ini mendatangkan keuntungan yang sangat tinggi, baik dilihat dari sisi ekonomi maupun ekologi. Sekilas perilaku-perilaku konsumsi ini memang tidak terlihat jelas, karena tidak ada pengurangan secara kuantitas yang terlihat jelas sebagai dampak adanya konsumsi. Pengurangan terlihat dari segi kualitas, yakni saat terjadi degradasi lingkungan akibat pemanfaatan yang tidak berkelanjutan. Sebagai contoh adalah adanya degradasi jika terjadi pengerusakan mangrove misalnya dengan menjadikan mangrove muda sebagai pijakan untuk memancing, atau membuang sampah di kawasan mangrove yang menghambat pertumbuhan

Budidaya ikan, udang dan kepiting mangrove

Salah satu keunikan mangrove adalah akarnya yang dapat menangkap nutrien dan sedimen yang dapat menjadi makanan untuk ikan, udang, kepiting dan biota-biota laut lainnya. Daun-daunnya yang membusuk dan jatuh ke pertambakan juga dapat menjadi makanan alami untuk biota yang ada di dalamnya. Dengan semakin banyaknya mangrove di pertambakan atau di sekitar muara sungai, maka semakin banyak pula nutrisi yang didapatkan oleh biota yang ada di dalamnya. Dengan semakin banyak nutrien untuk biota yang tinggal di dalamnya, maka kualitas hewan (ikan, kepiting dan udang) yang tinggal akan semakin baik, dan keuntungan ekonomisnya akan semakin besar.

10

mangrove muda. Tabel 2 menunjukan pengaruh perilaku konsumsi masyarakat, terhadap

keberlanjutan konservasi.

Tabel 2 Pengaruh Karakteristik Masyarakat Terhadap Keberlanjutan Konservasi Mangrove


NO KARAKTERISTIK 1. Konsumsi lahan di masa lalu untuk pertambakan PENGARUH SINTESIS Perilaku konsumsi di masa lalu dapat kembali menjadi tren yang terulang dengan bentuk yang berbeda. Keberlanjutan konservasi terancam jika tren konsumsi lahan kawasan mangrove untuk diubah menjadi guna lahan lainnya terulang lagi. Konsumsi yang bersifat insidentil dalam Konsumsi vegetasi mangrove saat ini + jumlah kecil terhadap tanaman mangrove, Konsumsi buah mangrove untuk bahan + disertai upaya penggantian tanaman yang makanan/ obat + dikonsumsi (kayu bakar), mendukung Konsumsi mangrove untuk pewarna jaring. konservasi berkelanjutan. Konsumsi kayu untuk bahan bakar dan ram penguat tambak yang dilakukan secara insidentil, dan dengan regenerasi tanaman Konsumsi lahan kawasan mangrove untuk + Konsumsi lahan kawasan mangrove, dan ekowisata di Pulau Tirang, Tapak-Tugurejo pembibitan untuk kegiatan yang mendukung konservasi &peningkatan Konsumsi lahan kawasan mangrove untuk + ekonomi masyarakat, mendukung pemancingan alam konservasi berkelanjutan. Konsumsi sumberdaya kawasan mangrove Konsumsi buah mangrove untuk dijadikan + untuk kegiatan budidaya, mendukung bibit yang akan dijual lagi ataupun untuk keberlanjutan konservasi, karena menjamin dikonsumsi sendiri. pendapatan penduduk. Konsumsi sumberdaya yang terdapat di + kawasan mangrove dengan pengembangan untuk budidaya perikanan tambak.

2.

3. 4. 5. 6.

Keterangan: (+) pengaruh positif/ mendukung keberlanjutan, (-) pengaruh negatif/ mengancam keberlanjutan
Sumber: Hasil Analisis, 2006

Analisis Pembentukan Kriteria dan Indikator Keberlanjutan Konservasi Dalam perumusan kriteria dan indikator yang akan dipakai sebagai acuan konservasi yang berkelanjutan, setidaknya memperhatikan tiga aspek penting, yaitu adanya keseimbangan antara unsur-unsur ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup, serta bagaimana membuat agar ketiga aspek tadi betul-betul dapat diperhitungkan dengan seimbang. Kriteria-kriteria indikator diperoleh dengan melakukan kajian literatur, kemudian dibawa ke dalam konteks lokal wilayah studi untuk disesuaikan dengan fenomena di lapangan. Dari seluruh kriteria mengenai pengelolaan hutan berkelanjutan oleh ITTO dan 10 Negara Montreal yang dibawa ke dalam konteks lokal masyarakat, didapatkan bahwa tidak semua kriteria dapat dipakai sebagai kriteria indikator keberlanjutan konservasi. Ada banyak pertimbangan mengapa tidak semua kriteria dapat digunakan di wilayah studi, diantaranya adalah tidak tersedianya data-data yang mendukung untuk verifikasi kriteria, seperti misalnya data mengenai kesehatan dan vitalitas

hutan. Selain itu data yang tersedia biasanya merupakan data tahun terakhir, sehingga sulit untuk melihat trend yang terjadi. Berdasarkan hasil kajian literatur, dan identifikasi serta kesesuaian dengan fenomena di wilayah studi, maka salah satu kriteria yang dapat digunakan untuk melihat keberlanjutan konservasi mangrove Kota Semarang adalah kriteria pemeliharaan dan peningkatan keuntungan sosial-ekonomi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kriteria ini dapat dilihat dari bagaimana usaha konservasi yang dilakukan masyarakat berpengaruh terhadap keuntungan jangka panjang secara sosial ekonomi dalam mereka memenuhi kebutuhannya. Kriteria ini juga memperhitungkan pengaruh-pengaruh kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan. Perumusan indikator keberlanjutan konservasi dalam studi ini dilakukan berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan sebelumnya dan disesuaikan dengan kriteria yang terbentuk. Dari analisis mengenai perilaku konsumsi masyarakat diketahui bahwa perilaku konsumsi memiliki pengaruh negatif maupun positif dalam

11

keberlanjutan konservasi mangrove. Dengan kata lain, dari perilaku konsumsi tersebut terdapat faktor-faktor yang menjamin dan mengancam keberlanjutan konservasi. Dari hasil sintesa analisis didapatkan bahwa perilaku konsumsi masyarakat terhadap sumberdaya mangrove dapat menjadi indikator keberlanjutan konservasi yang termasuk ke dalam kriteria pemeliharaan dan peningkatan keuntungan sosial-ekonomi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Indikator yang terbentuk kemudian dianalisis kembali untuk mendapatkan keterangan mengenai bagaimana indikator

tersebut dapat menunjukan tingkatan konservasi yang baik sampai yang buruk. Keterangan ini disusun bedasarkan faktor yang menjamin maupun mengancam konservasi. Tingkat keberlanjutan konservasi dikatakan baik apabila perilaku konsumsi masyarakat menjamin keberlanjutan, dikatakan buruk bila perilaku konsumsi masyarakat mengancam keberlanjutan konservasi, dan dikatakan sedang jika pengaruh negatifnya dalam keberlanjutan tidak terlalu besar. Tabel 3 merupakan salah satu contoh dari indikator keberlanjutan konservasi mangrove Kota Semarang.

Tabel 3 Perilaku Konsumsi sebagai Indikator Keberlanjutan Konservasi Mangrove Kota Semarang
KRITERIA INDIKATOR Pemeliharaan & Perilaku konsumsi peningkatan masyarakat terhadap keuntungan sumberdaya mangrove. sosial-ekonomi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Sumber: Hasil Analisis, 2006

KETERANGAN Baik, jika konsumsi yang dilakukan tetap mempertimbangkan kelestarian sumberdaya dan ada pembaharuan sumberdaya. Sedang, jika. pemanfaatan bersifat insidentil, serta untuk konsumsi pribadi walaupun tidak ada pembaharuan sumberdaya yang telah digunakan Buruk, jika pola konsumsi tidak bertanggungjawab terhadap generasi selanjutnya.

Analisis Komprehensif Indikator yang telah terbentuk, selanjutnya diperiksa kembali apakah sudah memenuhi syarat indikator keberlanjutan yang baik menurut Warren (1997). Berdasarkan syarat secara ekonomi, ekologi dan sosial, indikator-indikator tersebut sudah dapat mencerminkan sesuatu yang dasar dan fundamental dari masyarakat antar generasi di wilayah studi, contohnya perilaku konsumsi yang merupakan aktivitas ekonomi masyrakakat yang memanfaatkan sumberdaya yang berasal dari lingkungan. Indikator yang terbentuk juga sudah dapat merekomendasikan nilai-nilai yang ada, dan dapat menunjukan trend jika digunakan dalam beberapa waktu tertentu. Dalam hal ini perilaku konsumsi masyarakat dapat menunjukan trend perubahan ke arah yang lebih baik jika konsumsi yang mereka lakukan tetap mempertimbangkan kelestarian dan pembaharuan sumberdaya mangrove, dan begitupula sebaliknya. Indikator yang terbentuk dalam studi Penyusunan Indikator Keberlanjutan Konservasi Mangrove Kota Semarang merupakan indikator yang bersifat kualitatif, dan sebagian besar tidak dapat diukur secara kuantitatif. Namun demikian, beberapa indikator yang bersifat kualitatif tersebut, tetap dapat diukur secara kuantitatif, contohnya dalam indikator perilaku konsumsi. Secara kuantitatif indikator tersebut dapat diukur

dari jumlah sumberdaya yang dikonsumsi ataupun dengan cara melihat intensitas kegiatan konsumsi yang masyarakat lakukan. Indikator perilaku konsumsi masyarakat ini merupakan indikator yang bersifat antisipatif. Indikator ini dapat menolong masyarakat untuk mengantisipasi terjadinya pemanfaatan berlebih, yang mengakibatkan terjadinya degradasi lingkungan kawasan mangrove dan sekitarnya. Kemudian untuk syarat kemudahan dalam penggunaan, indikator juga relatif dapat dengan mudah dikumpulkan dan digunakan. Hal ini karena indikator dibentuk berdasarkan data-data yang diperoleh langsung di lapangan maupun dokumen-dokumen kebijakan yang telah tersedia. Agar indikator semakin mudah dikenali dan jelas; sederhana, bisa dimengerti; dan diterima oleh masyarakat, maka sebaiknya indikator-indikator tersebut kemudian ditarik ke dalam peran indikator untuk masyarakat dan dalam pengambilan kebijakan pembangunan di Kota Semarang. Tujuannya adalah memperjelas kegunaan dan penerapan indikator di lapangan. Indikator yang disusun untuk melihat keberlanjutan upaya konservasi ini memiliki peran yang penting dalam upaya mencapai pembangunan berkelanjutan di wilayah pesisir Kota Semarang. Pertama, memberikan pertimbangan dalam penataan ruang untuk kawasan lindung dan budidaya di kawasan pantai, 12

yang menghasilkan zonasi kawasan konservasi dan budidaya. Kedua, memberikan pertimbangan dalam perumusan kebijakan pengembangan kawasan pantai bermangrove, yang menghasilkan strategi-strategi pengembangan. Dalam pembangunan berkelanjutan di wilayah pesisir terdapat 4 (empat) dimensi yang perlu diperhatikan, yakni: ekologis, sosialekonomi-budaya, sosial politik, serta hukum dan kelembagaan (Dahuri et al, 2001:154). Hal ini berarti, untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan, pelaksanaan dan penyusunan kebijakan dan rencana pembangunan harus memperhatikan empat dimensi tersebut. Ada tiga prinsip yang dapat menjamin terciptanya pembangunan berkelanjutan, yaitu keharmonisan spasial, terpeliharanya kapasitas asimilasi, dan pemanfaatan yang berkelanjutan (Dahuri et al, 2001:155). Berdasarkan prinsip keharmonisan spasial, indikator yang tersusun mengimplikasikan pentingnya pembagian/ zonasi kawasan di wilayah pesisir Kota Semarang. Hal ini karena dalam prinsip tersebut terdapat syarat bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya juga memiliki zona preservasi dan zona konservasi, sebagai pemelihara berbagai proses penunjang kehidupan. Keppres 32/1990 tentang pengelolaan kawasan lindung menyebutkan bahwa kriteria kawasan pantai berhutan bakau adalah minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah ke arah darat. Hal ini berarti untuk kawasan pantai Kota Semarang penanaman mangrove sebagai sabuk hijau minimal sejauh 200 meter ke arah darat (Bappeda, 2005). Kenyataan yang ada, banyak industri dan pertambakan, melanggar aturan sempadan pantai tersebut (Sinar Harapan, 9 Januari 2002). Dengan adanya indikator keberlanjutan konservasi ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Pemerintah Kota Semarang untuk membuat peraturan yang lebih jelas dengan sanksi yang lebih tegas. Prinsip terpeliharanya kapasitas asimilasi di kawasan pantai Kota Semarang, secara tersirat juga sudah dinyatakan dalam indikator keberlanjutan konservasi ini. Kegagalan upaya konservasi diantaranya disebabkan karena pencemaran yang disebabkan limbah industri melebihi kemampuan yang dapat diterima ekosistem mangrove untuk menerima limbah tertentu, sebelum ada indikasi kerusakan lingkungan. Indikator hasil penelitian ini, juga berimplikasi pada prinsip mengenai pemanfaatan yang berkelanjutan. Dalam hal ini adalah

pemanfaatan ekosistem mangrove yang berkelanjutan. Sampai saat ini belum ada peraturan pemanfaatan dan pengelolaan kawasan mangrove di Kota Semarang yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan kejelasan secara hukum, tentang upaya konservasi yang mereka lakukan. Secara implisit, indikator yang terbentuk juga memberikan gambaran mengenai strategi pengembangan kawasan pantai bermangrove di Kota Semarang. Sebagai contoh adalah dalam hal pengembangan ekowisata sebagai bentuk pemanfaatan sumberdaya lahan kawasan mangrove, yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Dalam indikator hasil penelitian ini, terdapat faktor budaya dan karakteristik masyarakat setempat dalam kepemilikan lahan dan pemanfaatan sumberdaya mangrove. Faktor tersebut termasuk dalam dimensi sosialekonomibudaya, yang merupakan salah satu faktor penting dalam pembangunan dan pengembangan pesisir, khususnya dalam hal penataan ruang. Tujuannya adalah agar penataan ruang yang terbentuk dapat dengan adil mengakomodasi kepentingan semua pihak, sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya konflik antar kepentingan, seperti kepentingan sektor swasta dengan masyarakat umum, ataupun kepentingan konservasi dengan budidaya. Sebagai contoh di wilayah studi terdapat konflik kepentingan antar industri dengan pertambakan milik masyarakat dan kawasan mangrove, karena pencemaran yang dilakukan aktivitas industri. Berdasarkan dimensi sosial-politik, pembangunan berkelanjutan hanya dapat dilakukan pada suasana politik yang transparan dan demokratis. Dengan adanya indikatorindikator ini diharapkan keterbukaan pemerintah akan kebijakan/ peraturan kepada masyarakat, sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan masalah di pesisir, semakin ditingkatkan. Hal ini karena ciri permasalahan yang terjadi di wilayah pesisir bersifat eksternalitas. Artinya pihak yang menderita kerugian akibat kerusakan tersebut, bukanlah si pembuat kerusakan, namun pihak lain, yang biasanya adalah masyarakat kecil. Untuk itu Pemerintah Kota Semarang dapat mengadakan sosialisasi kebijakan/ rencana mengenai zonasi kawasan pemanfaatan intensif (budidaya) dan kawasan konservasi. Secara hukum dan kelembagaan, pembangunan berkelanjutan mensyaratkan adanya pengendalian diri untuk tidak merusak lingkungan. Persyaratan yang bersifat personal ini dapat dipenuhi melalui penerapan sistem peraturan dan perundang-undangan yang

13

berwibawa dan konsisten, serta disertai dengan penanaman etika pembangunan berkelanjutan pada setiap warga. Peran indikator dalam hal ini adalah memberikan edukasi kepada masyarakat untuk melakukan konservasi mangrove yang berkelanjutan, yakni sebagai bentuk awal dari pengembangan masyarakat di kawasan pantai bermangrove di Kota Semarang.

Kesimpulan

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

1. Perilaku konsumsi masyarakat di kawasan mangrove di Kota Semarang, belum sampai pada tahap yang merusak kawasan mangrove. Hal ini dikarenakan hanya sebagian kecil masyarakat yang mengkonsumsi sumberdaya mangrove, terutama kayu mangrove. Konsumsi yang dilakukan masyarakat itu pun tidak dilakukan secara rutin, melainkan bersifat insidental. 2. Masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam upaya mencapai konservasi yang berkelanjutan. Upaya konservasi yang berkelanjutan baru akan berjalan dengan efektif apabila masyarakat menyadari dan merasakan secara langsung manfaat keberadaan mangrove bagi keberlanjutan hidup mereka. Berawal dari rasa menyadari dan merasakan manfaat mangrove, kemudian timbul rasa memiliki dan akhirnya peduli dan mau terus menjaga dan melindungi mangrove di sekitar tempat mereka. 3. Pada proses pembentukan kriteria dan indikator ini dipertimbangkan adanya keseimbangan antara unsur-unsur ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Aspek terbesar yang diperhatikan dalam pembentukan kriteria adalah aspek masyarakat, yakni mengendalikan agar aktivitas pengelolaan dan pemanfaatan yang dilakukan masyarakat dapat terus memberikan manfaat yang terbesar pada generasi masa kini dan masa depan. 4. Dari hasil observasi dan pengumpulan data kemudian didapatkan informasi. Informasi yang terungkap kemudian dianalisis untuk mendapatkan hal-hal apa saja yang menjamin keberlanjutan konservasi dan sebaliknya 5. Hasil sintesis analisis yang menghasilkan faktor yang menjamin dan mengancam keberlanjutan konservasi kemudian dibawa ke dalam kriteria indikator yang telah terbentuk, untuk kemudian dilakukan pembentukan indikator berdasarkan kriteria, kondisi faktual, serta trend dan nilai yang berlaku di masyarakat.

6. Penyusunan indikator keberlanjutan konservasi mangrove Kota Semarang, dilakukan dengan memperhatikan fenomena yang ada, sehingga sifat indikator yang terbentuk juga akan khusus 7. Indikator yang digunakan untuk mengukur keberlanjutan upaya konservasi yang dilakukan oleh masyarakat, sebagian besar berupa indikator yang bersifat kualitatif. 8. Indikator yang terbentuk merupakan indikator yang bersifat lokal, namun secara umum indikatorindikator ini dapat digunakan di seluruh kawasan mangrove di Kota Semarang. Pemilihan lokasi sampel yang mewakili tingkatan-tingkatan konservasi, menghasilkan indikator yang dapat mewakili kawasan mangrove Kota Semarang. 9. Pemerintah dapat meninjau kembali kebijakan-kebijakan pemanfaatan lahan di kawasan pesisir yang masih tumpang tindih dan tidak mendukung antara satu aktivitas dengan aktivitas lainnya, seperti yang terjadi pada kasus aktivitas industri dengan pertanian dan konservasi di Kecamatan Tugu. 10. Perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat umum mengenai kebijakan pemerintah terkait dengan konservasi mangrove, dan pemanfaatan lahan kawasan pantai Kota Semarang.

Rekomendasi

Masyarakat dapat melakukan bentuk konservasi mangrove berkelanjutan yang sesuai dengan wilayahnya masing-masing. Adapun bentuk konservasi berkelanjutan yang mungkin dilakukan di wilayah studi antara lain dengan: Melakukan pembudidayaan kepiting, udang dan hasil-hasil dari ekosistem kawasan mangrove lainnya sebagai upaya pengembangan hasil dari ekosistem mangrove. Dengan pembudidayaan, masyarakat dapat menikmati hasil yang lebih dari ekosistem mangrove, sehingga akan menimbulkan motivasi yang lebih dalam melestarikan mangrove di tempatnya. Melakukan penghijauan dan perawatan mangrove di tambak maupun pinggir sungai dan pantai. Bibit dapat diperoleh dari mangrove di lokasi sekitar. Bibit yang diperoleh dari wilayah sekitar memiliki kemungkinan tumbuh yang lebih besar karena adanya persamaan substrat tempat tumbuhnya, selain itu juga lebih murah, karena

14

tidak membutuhkan ongkos kirim dan metode pembibitan polybag. Ekowisata dengan bentuk atraksi perjalanan melewati kawasan mangrove sambil mempelajari keanekaragaman jenis mangrove, penanaman mangrove di bibir pantai ataupun Pulau Tirang, wisata budaya pesisir, wisata pemancingan di tambak-tambak milik masyarakat. Untuk atraksi wisata pemancingan, masyarakat dapat menyediakan gubuk-gubuk kecil, dan alat pancing dengan sistem sewa, maupun umpan-umpan yang dijual untuk para pemancing. Dalam bentuk konservasi ini, pengawasan dari masyarakat perlu ditingkatkan untuk mencegah terjadinya kerusakan mangrove. Pembibitan yang dilakukan untuk kegiatan konservasi skala lokal daerah mereka sendiri, dan untuk kegiatan komersil, yakni dijual untuk pembibitan di daerah lain. Hasilnya selain dapat digunakan untuk membiayai konservasi, juga meningkatkan penghasilan mereka.

Referensi
Baiquni, M dan Susilawardani.2002. Pembangunan yang Tidak Berkelanjutan: Refleksi Kritis Pembangunan Indonesia. Yogyakarta: Transmedia Global Wacana. _________, 2005. Perencanaan Kawasan Pantai Bungin, Burhan. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif (Aktualisasi Metodologis Ke Arah Ragam Varian Kontemporer). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Clys, Pramaribo dan Isa Karmisa Ardiputra. 1995. Buku Petunjuk Praktis Penanaman Mangrove. Jakarta: Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Corson, Walter H. 1996. Measuring Sustainability: Indicators, Trends, and Performance. In Dennis Pirages. Building Sustainable Societies: A Blue Print For a Post-Industrial World. New York: M. E Sharpe, Inc, pp. 325-351. Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting dan M.J., Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang, 2005a. Laporan Kegiatan Penghijauan Pantai di Kecamatan Tugu dan Genuk Kota Semarang Tahun 2004 anggaran APBD Propinsi Jawa Tengah (2POA) 2004. Semarang

________, 2005b. Laporan Akhir Inventarisasi dan Sosialisasi Data Perikanan 2005. Semarang Esariti, Landung dan Setiadi, Rukuh. 2005. Monitoring Progres Pembangunan Berkelanjutan Bagi Propinsi Jawa Tengah. Jurnal Tata Loka, Vol. VII No.3, November, pp 72-88. Furze, Brian, De Lacy, Terry, Birckhead, J. 1996. Culture, Conservation, and Biodiversity. West Sussex: John Willey and Sons Ltd. Hart, Maureen. 1998. What is Sustainability: Indicators are for. Available at: http://www.sustainablemeasures.com/ Training/Indicators/.html. Diakses pada tanggal 17 Maret 2006 Huang, Shu-Li, Wong, Jui-Hao, Chen, dan TzyChuen.1998. A Framework of Indicator System for Measuring Taipeis Urban Sustainability.Landscape and Urban Planning Vol.42, pp 15-27 Idris, Irwandi dkk.2001. Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir. Jakarta Ilyas, Sofyan dkk. 1997. Glosari Istilah Perencanaan dan Pengelolaan Laut dan Pesisir. Jakarta : Bappenas. ITTO, 1998. Criteria And Indicators For Sustainable Management Of Natural Tropical Forests. Yokohama: International Organizations Center Laurens, Joyce M. 2004. Arsitektur dan Perilaku Manusia. Jakarta: Grasindo. Mannis, Adam. 2002. Indicators of Sustainable Development. University of Ulster. [home page of ESS Environmental Software and Services GmbH AUSTRIA]. Available at: http://www.ess.co.at.htm. Diakses pada tanggal 24 Maret 2006 Mikkelsen, Britha. 2003. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-upaya Pemberdayaan: Sebuah Buku bagi para Praktisi Lapangan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Milbrath, Lester W. 1996. Becoming Sustinable: Changing the Way We Think. In Dennis Pirages. Building Sustainable Societies: A Blue Print For a Post-Industrial World. New York: M. E Sharpe, Inc, pp.275-297. Mitchell, Bruce, B. Setiawan dan Dwita H. Rahmi. 2000. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Yogyakarta: Gajahmada University Press.

15

NASF. 1997. The Use of Criteria & Indicators in Sustainable Forest Management. Available at: http://www.stateforesters.org. Diakses pada tanggal 19 April 2006 Naamin, N. 1991. Penggunaan Hutan Mangrove untuk Budidaya Tambak Keuntungan dan Kerugian. Dalam Prosiding Seminar IV Ekosistem Hutan Mangrove MAB Indonesia LIPI. Bandar Lampung. Nugroho, Budi. dkk. 2001. Pengelolaan Wilayah Pesisir Untuk Pemanfaatan Sumberdaya Alam yang Berkelanjutan. Makalah Program Pasca Sarjana Falsafah Sains. Institut Pertanian Bogor 10 Oktober 2001. Perbatakusuma, Edwin. 2005. Tsunami dan Kerusakan Ekosistem. Available at: http://www.conservation.or.id. Diakses pada tanggal 5 Januari 2006 Poerwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Primack, R. Dkk.1997. Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Roseland, Mark. 1998. Toward Sustainable Communities Resources for Citizen and Their Governments. Canada: New Society Publisher. Salim, Emil, 1993. Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Jakarta: LP3ES Santoso, Eko Rudi. 1999. Penggunaan Lahan Perkotaan dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan. Pelatihan manajemen lingkungan perkotaan Surabaya 22 November 4 Desember 1999 Siahaan, N.H.T. 2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta: Erlangga. Suparmoko, M.1997. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Suatu Pendekatan Teoritis. Yogyakarta: BPFE. Supriharyono. 2000. Pelestarian dan pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Tamale, Erie Sentongo. 1996. Incentive Measures For The Conservation And Sustainable Use Of Biological Diversity In Uganda: A Case Study Of The 'Development Through Conservation' Project In Communities Around Bwindi National Park. Available at : http://economics.iucn.org. Montreal. Canada

Thompson, Dixons dkk. 2002. Tools for Environmental Management: Environmental Indicators. Canada: Friesens Inc. In Viederman, Stephen.1996. Sustainabilitys Five Capitals and Three Pillars in Dennis Pirages. Building Sustainable Societies: A Blue Print For a Post-Industrial World. New York: M. E Sharpe, Inc, pp 45-53. Walgito, Bimo. 2003. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Penerbit Andi. Warren, John L. 1997. How Do We Know What Is Sustain? A Retrospective and Prospective View. In Douglass F. Muschett (ed.) Principles of Sustainable Development. Florida: St Lucie Press, pp. 135-137. WCED. 1987. Our Common Future. New York: Oxford University Press. WWF Indonesia, 1993. Bumi Wahana Strategi Menuju Kehidupan yang Berkelanjutan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

16

Anda mungkin juga menyukai