Anda di halaman 1dari 11

Analisis Disparitas Sosioekonomi Intra dan Antarwilayah

di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam


1
(Sosioeconomics Disparity Analyses of Intra and Interregional
in Province of Nanggroe Aceh Darussalam)
Abd. Jamal
2
Muhammad Abrar
2
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat ketimpangan pendapatan antar
dan intrawilayah di Provinsi NAD, khususnya antara Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh
Utara, dan Kabupaten Aceh Timur, serta faktor-faktor sosioekonomi yang menjadi sumber
ketimpangan di Provinsi NAD. Di dalam penelitian ini analisis dilakukan dengan
menggunakan Indeks Entropi Theil dan model regresi linear berganda.
Hasil penelitian menunjukkan, tahun 2006, Kota Banda Aceh memiliki PDRB per
kapita yang setara dengan 1,45 kali PDRB per kapita Provinsi NAD. Sedangkan
Kabupaten Aceh Utara dan Aceh Timur memiliki PDRB yang lebih rendah daripada
Provinsi NAD. Selama periode 1997 2006, disparitas antar daerah menunjukkan
kecenderungan yang menurun. Namun Indeks entropi Theil rata-rata menunjukkan
disparitas terjadi secara signifikan dengan indeks rata-rata sebesar 3,33 dan t rasio
sebesar 8,168 pada alpha 0,001.
Kedua faktor berpengaruh secara siginifikan terhadap tingkat disparitas yaitu
PDRB per kapita dan indeks keunggulan ekonomi, di mana untuk kasus penelitian ini
PDRB per kapita berpengaruh positif, sedangkan Indeks keunggulan daerah berpengaruh
negatif.
ABSTRACT
This study aims to analyse the income disparity inter and intraregions in
Province of Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), especially, Kota Banda Aceh, Kabupaten
Aceh Utara, and Kabupaten Aceh Timur, and also to analyse the socioeconomics factors
as the sources of disparities. Entrophy Theil Index and multiple regression model are used
in this study.
The results show, in 2006s, Kota Banda Aceh had GRDP (PDRB) per capita
equal to 1.45 of NADs GRDP per capita. While Kabupaten Aceh Utara and Aceh Timur is
lower than GRDP of NAD Province. In periods of 1997 2006, regional disparities tend to
decline. But average Entrophy Theil Index indicates disparities exist by average index of
3.33 and t ratio 8.168 at alpha of 0.001. GRDP per capita and economic advantage
indexes affect the disparities significantly by the sign of positive and negative each one.
1
Penelitian ini dibiaya dengan Anggaran dari DPA SKPD
2
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Salah satu hal besar yang menjadi masalah kontroversial sejak era pemerintahan
orde baru adalah persoalan yang berkaitan dengan disparitas atau ketimpangan pendapatan
regional dan kesenjangan pembangunan antar wilayah atau antara desa (rural) dan kota
(urban). Setelah terjadinya reformasi pada tahun 1998 pun, masalah tersebut masih menjadi
persoalan yang belum terselesaikan.
Pada awal pembangunan Indonesia di masa orde baru, yang di mulai pada Pelita I,
strategi pembangunan lebih diarahkan pada stabilitas pembangunan ekonomi. Hal ini
disebabkan oleh belum stabilnya kondisi sosial dan politik pada masa itu, di mana negara
baru saja menghadapi persoalan politik pemberontakan Gerakan 30 September. Akan
tetapi, memasuki Pelita II, strategi pembangunan sudah diarahkan pada orientasi
pertumbuhan ekonomi (growth oriented strategy of development). Asumsi dari teori
pertumbuhan mengatakan bahwa bila pertumbuhan ekonomi meningkat, maka akan terjadi
pemerataan ekonomi yang disebut dengan tetesan ke bawah (trickle down effect).
Atas dasar pemikiran tersebut, konsep kutup pertumbuhan (growth pole)
dikembangkan di Indonesia, yaitu dengan terkonsentrasinya pembangunan pada wilayah-
wilayah tertentu di Indonesia. Hal ini dapat terjadi karena terkonsentrasinya investasi pada
wilayah (regional) tersebut.
Menurut Frantilla (1981) dari (Ghalib, 2005 : 6), pada tahap awal pembangunan
Indonesia (Pelita I), kegiatan pembangunan cenderung terkonsentrasi di Jakarta dan
sekitarnya. Kondisi ini terjadi karena swasta memilih Pulau Jawa, khususnya Jakarta,
dengan alasan efisiensi. Oleh karena itu, pada awal Pelita II, dimunculkan konsep
regionalisasi dengan pola growth pole. Memang, model growth pole tidak murni
digunakan di Indonesia. Pemerintah Indonesia melaksanakan pembangunan berdasarkan
wilayah administratif pemerintahan, walaupun mengkombinasikan dengan konsep
pembangunan regional lain, seperti model pembangunan daerah aliran sungai,
pembangunan daerah tertinggal dan konsep pembangunan agropolitan.
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebagai salah satu provinsi yang
terintegrasi di dalam negara Republik Indonesia, pada tahun 2006 memiliki pertumbuhan
ekonomi sebesar 2,40 persen (termasuk migas) atau 7,70 persen (tanpa migas), penyerapan
2
tenaga kerja 752.328 orang, PDRB per kapita (dengan Migas) Rp 18.057.349, dan PDRB
per kapita (tanpa migas) sebesar Rp 11.042.312. Akan tetapi, dengan tingginya angka-
angka tersebut tidaklah menjamin telah terjadinya kemajuan yang merata antar
kabupaten/kota di Provinsi NAD. Beberapa kabupaten/kota menunjukkan perkembangan
pembangunan yang sangat cepat, sementara yang lainnya sebaliknya menunjukkan
perkembangan yang lambat. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa indikator ekonomi dan
sosial seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, tingkat pengangguran, kemiskinan dan tingkat
pendidikan penduduk. Perbedaan tersebut lebih disebabkan oleh faktor-faktor seperti
perbedaan sumberdaya dan letak geografis dari wilayah.
Berdasarkan latar-belakang yang diuraikan di atas, di dalam penelitian ini
permasalahan yang ingin dikaji adalah 1). Seberapa besarkah disparitas/ketimpangan
pendapatan yang terjadi antar wilayah (inter-regional) dan intra wilayah (intra-regional) di
Provinsi NAD? 2). Faktor-faktor apa sajakah (karakteristik sosioekonomi) yang
menunjukkan ketimpangan yang dominan?
1.2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis 1). Tingkat ketimpangan pendapatan
antar dan intra wilayah di Provinsi NAD. 2). Faktor-faktor sosioekonomi yang menjadi
sumber ketimpangan di Provinsi NAD.
1.3. Hipotesis
Berdasarkan latar-belakang yang diuraikan di atas, diduga bahwa : 1). Disparitas
pendapatan antar kabupaten/kota di Provinsi NAD menunjukkan tingkat perbedaan yang
signifikan. 2). Tingkat jumlah penduduk, dan indeks keunggulan ekonomi menunjukkan
pengaruh yang signifikan terhadap disparitas di NAD.
II. STUDI PUSTAKA
2.1. Pengertian Pembangunan Regional dan Disparitas
Pengertian wilayah (regional) tidak dapat dilepaskan dengan penggunaannya
dalam berbagai tujuan. Istilah wilayah dapat digunakan untuk skala sempit dalam
lingkungan tetangga hingga skala luas dalam pergaulan internasional (Nugroho dan
3
Rochmin, 2004 : 9). Dalam menganalisis wilayah secara umum, Blair (1991 : 5) membagi
wilayah ke dalam tiga tipe. Pertama, wilayah fungsional, yaitu suatu wilayah yang ditandai
dengan ciri adanya derajat integrasi antara komponen-komponen di dalamnya yang
berinteraksi ke dalam wilayah. Kedua, wilayah homogen, yaitu wilayah yang dicirikan oleh
adanya relatif kemiripan dalam wilayah. Ketiga, wilayah administratif, yaitu wilayah yang
dibentuk untuk pengelolaan atau organisasi oleh pemerintah maupun pihak lain.
Pembangunan wilayah (regional development) merupakan upaya untuk memacu
pembanguna sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan atau ketimpangan antarwilayah,
dan menjaga kelestarian lingkungan hidup dalam suatu wilayah. Pengembangan suatu
wilayah sangat diperlukan karena kondisi sosial ekonomi, budaya, dan geografis yang
sangat berbeda antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya.
Pembangunan nasional dan pembangunan daerah sepanjang dekade 1960-an lebih
diwarnai oleh pendekatan pembangunan sektoral yang bersifat parsial. Kebijakan seperti itu
telah memberikan dampak yang kurang menguntungkan karena adanya ketimpangan
(disparitas), baik secara sektoral maupun regional (wilayah). Disadari oleh banyak
perencana bahwa perencana bahwa pendekatan yang mengutamakan konsep growth pole
(kutup pertumbuhan) wilayah kurang memberikan perhatian pada pemerataan dan rasa
keadilan bagi daerah-daerah yang terbelakang.
2.2. Penelitian Sebelumnya
Hasil penelitian Toto Gunarto (2004) tentang ketimpangan antarregion di
Kabupaten Aceh Besar dan Kota Banda Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam selama
periode 1986 2002 menyimpulkan bahwa distribusi pendapatan kedua daerah tersebut
tidak mutlak merata dan juga tidak mutlak timpang. Nilai Indeks Williamson kedua daerah
tersebut semakin menurun. Berdasarkan koefisien trend arah Indeks Williamson
menunjukkan tanda yang negatif sebesar -0,003126 yang bermakna bahwa selama periode
penelitian terjadi ketimpangan yang semakin menurun.
Hasil penelitian Ahmad (2003) tentang ketimpangan pendapatan antardaerah dalam
proses pertumbuhan nasional menghadapi nuansa globalisasi menyimpulkan bahwa
perkembangan dan kinerja ketidakmerataan antardaerah di Sumatera sebesar 89,2 persen
dari perubahan yang terjadi pada ketidakmerataan antardaerah di Sumatera disebabkan oleh
4
perubahan-perubahan yang terjadi pada PDRB per kapita tanpa migas dan nilai tambah
bruto per kapita industri pengolahan. Sedangkan di tingkat nasional perkembangan
ketidakmeratan antardaerah sebesar 85,7 persen dijelaskan oleh variasi PDB per kapitan
dan perubahan nilai tambah bruto per kapita industri pengolahan.Di pihak lain,
ketidakmerataan antardaerah di Jawa sebesar75,6 persen dari perubahan disebabkan oleh
perubahan-perubahan yang terjadi pada PDRB per kapita dan nilai tambah bruto per kapita
industri pengolahan
Hasil penelitian Effendi (2003) tentang ketidakseimbangan pendapatan
antarwilayah di Peovinsi Nanggroe Aceh Darussalam menyimpulkan bahwa rasio
ketidakseimbangan pendapatan per kapita antarwilayah cenderung meningkat. Pada tahun
1985, tingkat pendapatan per kapita yang diperoleh kabupaten/kota (dalam hal ini Banda
Aceh) setara dengan 1,8 kali pendapatan per kapita kabupaten termiskin (Aceh Tenggara).
Hingga enam tahun berikutnya rasio ketidakseimbangan meningkat, yang juga ditandai
oleh bervariasinya posisi kabupaten yang berpredikat terkaya. Indeks Williamson selama
periode 1985 1999 menunjukkan angka yang relatif tinggi dan cenderung meningkat.
Tingginya koefisien tersebut menunjukkan tingginya tingkat ketidakseimbangan
antarwilayah di NAD.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini hanya mengkaji ketimpangan/disparitas antar dan
intrawilayah yang dibatasi pada pengkajian variabel-variabel sosioekonomi, di mana
wilayah yang dimaksudkan di sini hanya mencakup tiga kabupaten/kota di Provinsi NAD,
yaitu Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Utara, dan Kabupaten Aceh Timur. Penentuan
ketiga kabupaten/kota tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa ketiga kabupaten/kota
tersebut merupakan wilayah yang sudah cukup mapan di dalam pembangunan dengan masa
pembangunan yang sudah relatif lama, dan ketiganya berada pada jalur wilayah pantai
utara-timur Aceh yang dianggap sebagai wilayah yang sudah memiliki pertumbuhan yang
tinggi.
3.2. Sumber dan Jenis Data
5
Jenis data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data
seksi silang (cross section) dan seri waktu (time series) selama periode 1997-2006, yang
bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten/Kota dan Provinsi NAD, Bappeda,
dan instansi lain yang terkait.
3.3. Model Analisis
Di dalam penelitian ini analisis dilakukan dengan menggunakan dua model, yaitu
analisis kuantitatif dan kualitatif deskriptif. Analisis kuantitatif dilakukan dengan
menggunakan indeks, yaitu : Indeks entropi Theil (Kuncoro, 2004 : 134 diambil dari Ying,
2000) :
( )

1
1
]
1

,
_

X x
Y y
log
Y
y
) y ( I
j
j j
(3.1)
Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas, digunakan model
persamaan regresi linear berganda (Syafrizal, 2008 : 112), yang selanjutnya model ini
dimodifikasi menjadi ( )

LQ P Y I
y
(3.2)
Analisis kualitatif digunakan untuk menjabarkan variabel-variabel yang dihitung
dengan menggunakan rasio-rasio atau perbandingan-perbandingan atau menjelaskan secara
kualitatif terhadap data yang telah disusun dalam tabel.
IV. HASIL PENELITIAN
4.1. Pertumbuhan dan PDRB per Kapita
Pertumbuhan ekonomi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang diukur
dengan pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan
(ADHK) tahun 2000 selama periode 1997 2006 menunjukkan kecenderungan yang
menurun. Pertumbuhan terendah dicapai pada tahun 2002 yaitu -0,30 persen dari tahun
2001. Padahal pada periode 1997 2001, pertumbuhan ekonomi NAD berkisar antara 19
hingga 50 persen per tahun. Ini patut diduga bahwa rendahnya pertumbuhan riil selama 5
tahun terakhir disebabkan oleh tingginya inflasi di NAD.
Sektor industri yang selama ini dianggap sebagai sektor yang dapat memacu
pertumbuhan ekonomi, selama periode 2002-2006 hanya mampu memberikan kintribusi
6
berkisar 5 hingga 10 persen. Bahkan kontribusi dari sektor ini menunjukkan kecenderungan
yang menurun. Dari keempat sektor tersebut hanya sektor jasa yang menujukkan
kecenderungan kontribusi yang meningkat, sementara tiga sektor lainnya menunjukkan
kecenderungan yang negatif atau menurun. Sedangkan lima sektor yang tidak ditunjukkan
dalam Gambar 4.2 hanya memberikan kontribusi terhadap PDRB NAD di bawah 9 persen
saja.
PDRB per kapita NAD ADHK 2000 selama periode 2000 2006 berkisar 3,67
juta rupiah hingga 6,92 juta rupiah, dengan kecenderungan yang meningkat. Juga sama
halnya dengan Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Timur juga menunjukkan
kecenderungan yang meningkat. Hanya Kabupaten Aceh Utara yang menunjukkan
kecenderunga menurun walaupun nilainya masih lebih tinggi daripada PDRB per kapita
Kabupaten Aceh Timur. Akan tetapi, PDRB per kapita Kota Banda Aceh lebih tinggi
daripada Provinsi NAD. Kondisi menunjukkan bahwa dari segi pendapatan per kapita telah
adanya ketimpangan pendapatan antar daerah di Provinsi NAD.
4.2. Rasio Ketidakseimbangan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan per kapita Kota Banda Aceh
memimilik rasio berkisar 1,11 hingga 1,51 dibandingkan PDRB per kapita Provinsi NAD
selam periode 2000 2006. Ini menggambarkan bahwa PDRB per kita Kota Banda Aceh
setara dengan 1,5 kali PDRB per kapita Provinsi NAD pada tahun 2000. Juga untuk tahun-
tahun selanjutnya, PDRB per kapita Kota Banda Aceh lebih dari satu kali lipat PDRB per
kapita Provinsi NAD.
Sementara itu, rasio PDRB per kapita Kabupaten Aceh Utara dan Aceh Timur
masing-masing hanya berkisar 0,75 hingga 0,95 dan 0,36 hingga 0,81 selama periode tahun
2000 2006. Ini dapat dijelaskan bahwa pada tahun 2006, PDRB per kapita Kabupaten
Aceh Utara hanya sebesar 75 persen dari besarnya PDRB per kapita NAD dan seterusnya
untuk tahun-tahun lainnya. Demikian juga halnya Kabupaten Aceh Timur, PDRB per
kapitanya pada tahun 2006 hanya setara dengan 78 persen dari besarnya PDRB per kapita
NAD.
Berdasarkan hasil perhitungan secara parsial menunjukkan bahwa rasio
ketimpangan atau disparitas antar ketiga kabupaten kota tersebut cenderung menurun
7
selama kurun waktu 2000 - 2006. Ini ditunjukkan oleh semakin rendahnya rasio PDRB per
kapita antar daerah, di mana kabupaten dengan PDRB per kapita rata-rata terendah (Aceh
Timur) menjadi penimbang. Kondisi ini menunjukkan telah terjadi perubahan yang sangat
signifikan di dalam pembangunan ekonomi daerah selama 6 tahun terakhir, sehingga
disparitas antar daerah dapat dikurangi.
Pada tahun 2000, Kota Banda Aceh memiliki rasio sebesar 3,24 yang berarti
bahwa PDRB per kapita Kota Banda Aceh setara dengan 3,24 kali PDRB per kapita
Kabupaten Aceh Timur. Juga untuk tahun 2001, PDRB per kapita Kota Banda Aceh masih
di atas 3 kali lipat PDRB per kapita Aceh Timur. Sama halnya juga dengan Kabupaten
Aceh Utara. Untuk tahun 2000 dan 2001, PDRB per kapita Kabupaten Aceh Utara di atas 2
kali lipat PDRB per kapita Kabupaten Aceh Timur.
Akan tetapi, setelah berlakunya otonomi daerah, ternyata disparitas antarwilayah
dapat dikurangi yang ditunjukkan oleh rasio PDRB per kapita yang sudah menurun.
Sayangnya, Kabupaten Aceh Utara pada tahun 2005 dan 2006, ternyata memiliki PDRB
per kapita yang lebih rendah dari Kabupaten Aceh Timur yang setara dengan 0,96 kali
PDRB per kapita Kabupaten Aceh Timur. Ini mengindikasikan bahwa tingkat inflasi di
Kabupaten Aceh Utara relatif tinggi. Secara rata-rata, selama periode 2000 2006, rasio
PDRB per kapita Kota Banda Aceh hampir dua kali lipat Kabupaten Aceh Timur yang
berarti tingkat dispariitasnya hampir mencapai dua kali lipat. Sedangkan untuk Kabupaten
Aceh Utara hanya memiliki rasio sebesar 1,22 yang berarti PDRB per kapita nya lebih
tinggi sekitar 22 persen daripada Aceh Timur.
4.3. Indeks Entropi Theil dan Faktor yang Berpengaruh
Selama kurun waktu 1997 2006, Indeks entropi Theil menunjukkan
kecenderungan yang menurun. Dari tahun 1997 ke 1998 terjadi perbedaan penurunan yang
sangat besar. Namun bila diperhatikan dari angka-angka indeksnya menunjukkan fluktuasi
walau dengan tingkat yang relatif rendah. Artinya, distribusi pendapatan di dalam wilayah
tersebut (interregional) menunjukkan tingkat disparitas yang bervariasi dari satu tahun ke
tahun yang lain.
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata Indeks Entropi Theil selama kurun waktu
1997 2006 sebesar 3,33, dengan tingkat signifikansi pada alpha 0,001 dan t rasio sebesar
8
8,168 serta standar error sebesar 0,4079. Ini berarti bahwa dari besarnya indeks rata-rata
menunjukkan adanya disparitas yang cukup berarti di dalam Provinsi NAD .
Hasil penelitian juga menunjukkan indeks yang cenderung menurun. Akan tetapi,
bila diabaikan tahun 1997, indeks menunjukkan kecenderungan yang meningkat. dengan
rata-rata Indeks Entropi Theil selama periode tahun 1998 2006 sebesar 2,96 dengan
tingkat signifikansi pada alpha 0,001 dan t rasio sebesar 16,554, yang berarti juga adanya
disparitas yang sangat berarti secara rata-rata selama periode 1998 2006.
Pada tahun 1998 nilai indeks entropi Theil sebesar 2,44 dan pada tahun 2006
menjadi 3,65. Akan tetapi, hanya tahun 2005 dan 2006 plus 1997 yang menunjukkan
indeks entropi Theil yang berada di atas rata-rata indeks. Kondisi ini menggambarkan
bahwa tahun-tahun tersebut daerah-daerah yang berada di dalam wilayah tersebut
menujukkan tingkat ketimpangan yang relatif tinggi. Hasil regresi menunjukkan bahwa
kedua variabel PDRB per kapita dan indeks keunggulan ekonomi daerah (LQ) berpengaruh
secara signifikan terhadap disparitas dengan tingkat signifikansi pada alpha 1 persen.
PDRB per kapita memiliki peran yang positif di dalam meningkatkan besarnya
indeks entropi Theil dengan koefisien sebesar 0,0205. Ini menjelaskan, bila PDRB per
kapita meningkat akan mendorong pada meningkatnya tingkat disparitas antar daerah.
Sedangkan indeks keunggulan ekonomi menunjukkan peran yang negatif di dalam
meningkatkan besarnya indeks entropi Theil dengan koefisien sebesar -0,0283, yang berarti
bila terjadi peningkatan pada indeks keunggulan ekonomi daerah atau meningkatnya daya
saing ekonomi akan menurunkan tingkat disparitas antar daerah.
Kedua variabel PDRB per kapitan indeks keunggulan ekonomi (LQ) ternyata
mampu menjelaskan variabel disparitas secara bersama-sama sebesar 97,32 persen, yang
ditunjukkan oleh koefisien R
2
sebesar 0,9732.
V. KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang dilakukan dapat disimpulkan
Selama kurun waktu 2000 2006, Kota Banda Aceh merupakan daerah yang memiliki
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita yang lebih tinggi daripada Provinsi
9
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sedangkan Kabupaten Aceh Utara dan Aceh Timur
memiliki PDRB yang lebih rendah daripada Provinsi NAD.
Selama kurun waktu 1997 2006, trend disparitas antar daerah (Banda Aceh,
Aceh Utara dan Aceh Timur) menunjukkan kecenderungan yang menurun, Namun periode
1998 2006, trendnya menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Indeks entropi Theil
rata-rata menunjukkan bahwa walaupun ada kecenderungan menurunnya indeks selama
periode 1997 2006, namun disparitas terjadi secara signifikan.
Dua faktor yang menjelaskan secara siginifikan berpengaruh terhadap tingkat
disparitas yaitu PDRB per kapita dan indeks keunggulan ekonomi daerah, di mana untuk
kasus penelitian ini PDRB per kapita berpengaruh positif. Indeks keunggulan daerah
berpengaruh negatif, yang berarti PDRB per kapita memberikan kontribusi pada
peningkatan disparitas, sedangkan indeks keunggulan daerah memberikan kontribusi pada
menurunnya disparitas.
5.2. Rekomendasi
Berdasarkan hasil analisis dapat diberikan rekomendasi sebagai berikut :
1. Perlunya peningkatan kualitas sumberdaya manusia (penduduk) di daerah
yang masih tertinggal dalam upaya untuk menggali potensi sektor-sektor
ekonomi yang potensial. Dengan demikian, indeks keunggulan ekonomi
daerah akan dapat ditingkat melalui peningkatan indeks sektor-sektor
ekonomi untuk menjadi sektor basis.
2. Pertumbuhan penduduk perlu diimbangkan dengan pertumbuhan ekonomi
daerah, sedapat mungkin pertumbuhan ekonomi lebih tinggi daripada
pertumbuhan penduduk. Dengan demikian pertumbuhahan PDRB per kapita
akan lebih tinggi, sehingga disparitas dapat dikurangi.
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, R, 2005. Dasar-dasar Ekonomi Wilayah, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Ahmad, D, 2003. Mon Mata, Ketimpangan Pendapatan Antar-Daerah dalam Proses
pertumbuhan Nasional Menghadapi Nuansa Globalisasi (Sebuah Studi Kasus di
Indonesia), Volume 5, Nomor 1, Juni 2003, hal. 1-16.
10
Ambardi, U.M dan Socia Prohawantoro (eds), 2002. Pengembangan Ekonomi Wilayah
dan Otonomi Daerah : Kajian Konsep dan Pengembangan, Pusat Pengkajian
Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah, Jakarta.
Effendi, R, Mon Mata, Analisis Ketidakseimbangan Pendapatan Antar-wilayah di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Vol. 5, Nomor 1, Juni 2003, hal. 33-43.
Ghalib, R, 2005. Ekonomi Regional, Pustaka Ramadhan, Bandung.
Gunarto, T, 2004. Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Analisis Ketimpangan Pendapatan Antar-
region di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Volume 3, Nomor 1, April 2005,
hal. 113-125.
Isard, W, 1975. Introduction to Regional science, Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs,
N.J.
Kuncoro, M, 2002. Analisis Spasial dan Regional : Studi Aglomerasi dan Kluster Industri
Indonesia, UPP AMP YKPN, Yogyakarta.
_______, 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah : Reformasi, Perencanaan,
Strategi dan Peluang, Penerbit Erlangga, Jakarta..
_______, 2007. Ekonomika Industri Indonesia : Menuju Negara Industri Baru 2030?,
Penerbit Andi, Yogyakarta
Masyuri dan Syarif Hidayat, 2001. Menyingkap Akar Persoalan Ketimpangan Ekonomi
di Daerah : Sebuah Kajian Ekonomi Politik, M2 Print Offset Printing, Jakarta.
Nugroho, I dan Rochmin Dahuri, 2004. Pembangunan Wilayah : Perspektif Ekonomi,
Sosial dan Lingkungan, LP3ES, Jakarta.
Richarson, H.W, 1979. Regional Economics, University of Illinois Press, Urbana.
Sugiharto, 2006. Pembangunan dan Pengembangan Wilayah, USU Press, Medan.
Sukirno, S, 2006. Ekonomi Pembangunan, Edisi Kedua, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta.
Syafrizal, 2008. Ekonomi Regional : Teori dan Aplikasi, Praninta Offset, Padang.
11

Anda mungkin juga menyukai