Anda di halaman 1dari 1

Dea Amanta Hukum 02108019 Penyelesaian sengketa & Arbitrasi Upin dan ipin adalah sepasang suami istri,

mereka menikah tahun 2000. Namun selama 2 tahun menikah mereka tidak di karuniani seorang anak dikarenakan ipin menderita penyakit kista ovari (terdapat benjolan dalam tuba palofi yang akan beresiko terhadap kehamilan). Sehingga tahun 2002 mereka berdua memutuskan untuk melakukan inseminasi dengan mengambil sperma dan sel telur upin, ipin dan dilakukan pembuahan di rahim wiwik (istri dari tono). Proses tersebut berjalan lancar dan mereka telah melakukan perjanjian atas hal tersebut. Namun dari pernikahan wiwik dan Tono mereka tidak dapat memiliki seorang anak dikarenakan Tono menngalami infertilitas, oleh sebab itu wiwik menuntut kepada upin, upin untuk menyerahkan hak asuh anak diserahkan kepada wiwik dan tono karena wiwik lah yg mengandung dan melahirkan ank tersebut. Dari kasus tersebut apakah wiwik dapat mengambil hak asuh anak tersebut? Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami, maka secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan penghamil, bukan pasangan yang mempunyai benih. Dasar hukum ps. 42 UU No. 1/1974 (Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah). dan ps. 250 KUHPer. Dalam hal ini Suami dari Istri penghamil dapat menyangkal anak tersebut sebagai anak sah-nya melalui tes golongan darah atau dengan jalan tes DNA. (Biasanya dilakukan perjanjian antara kedua pasangan tersebut dan perjanjian semacam itu dinilai sah secara perdata barat, sesuai dengan ps. 1320 dan 1338 KUHPer.) jadi ketika wiwik menuntut hak asuh anak tersebut sebenarnya wiwik bisa mendapatkan ha asuh itu, namun dalam hal ini wiwik telah melakukan perjanjian kepada upin upin, sehingga hak asuh tetap jatuh kepada upin, ipin.

Anda mungkin juga menyukai