Anda di halaman 1dari 59

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Perawat masa kini dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan/keperawatan yang bermutu tinggi kepada masyarakat. Hal ini dapat diwujudkan bila perawat mampu menggunakan metode pendekatan pemecahan masalah, menerapakan hasil penelitian/pengetahuan terbaik, bekerja dengan baik bersama tim kesehatan, serta melakukan pengkajian kemampuan diri/refleksi diri untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari aspek profesional yang harus dikuasai ((Priharjo, 2007: 1). Pengkajian terutama pemeriksaan fisik tidak dipandang secara terpisah karena aspek ini merupakan salah satu upaya penanganan kesehatan pasien khususnya pasien dengan gangguan ataupun penyakit sistem neurologis. Sistem persarafan atau neurologis merupakan sistem yang paling sentral bagi fungsi kehidupan manusia sehingga pengkajian sistem neurologis dapat menggambarkan kondisi sistem-sistem yang lain (Priharjo, 2007: 161). Untuk menindaklanjuti agar kerusakan pada sistem neurologis yang sudah terlanjur terjadi tidak menjadi semakin parah dan berat, maka diperlukan usahausaha untuk mengetahui secara dini kelainan-kelainan yang terjadi tersebut. Dan kaitannya dengan deteksi dini gangguan ataupun penyakit sistem neurologis maka diperlukan pemeriksaan neurologis yang akurat, cepat dan tepat. Sehingga koreksi yang diberikan pun dapat dilakukan sedini mungkin dan dapat memberikan hasil yang optimal bagi individu baik dewasa maupun bayi atau anak khususnya tumbuh kembang bagi bayi dan anak di kemudian hari (Saharso, Herjana, dan Erny, 2005:1).

1.2 Tujuan

1.2.1

Tujuan Umum Mahasiswa mampu mengetahui dan menjelaskan pemeriksaan fisik pada sistem neurologi.

1.2.2

Tujuan Khusus dan khususnya pemeriksaan fisik sistem neurologi.

a. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian pemeriksaan fisik secara umum b. Mahasiswa mampu menjelaskan tujuan pemeriksaan fisik secara umum dan khususnya pemeriksaan fisik sistem neurologi. c. Mahasiswa mampu menjelaskan manfaat pemeriksaan fisik secara umum dan khususnya pemeriksaan fisik sistem neurologi. d. Mahasiswa mampu menjelaskan beberapa macam dan teknik pemeriksaan fisik sistem neurologi.

1.3 Implikasi Keperawatan Dalam melakukan pemeriksaan fisik sistem persarafan (B3), seorang perawat memerlukan pengetahuan tentang anatomi, fisiologi, dan patofisiologi dari sistem persarafan. Pengalaman dan keterampilan perawat diperlukan dalam pengkajian dasar kemampuan fungsional sampai manuver pemeriksaan diagnostik canggih yang dapat menegakkan diagnosis kelainan pada sistem persarafan. Pemeriksaan fisik sistem persarafan dan interpretasi hasilnya memerlukan banyak latihan. Tanda-tanda dari kelainan saraf sangat bergantung pada lokalisasi anatomi dari setiap lesi yang ada. pada praktiknya teknik pemeriksaan sistem persarafan lebih rumit daripada pemeriksaan sistem lainnya, maka penting untuk mengingat kembali neuro anatomi dasar. Sebagai perawat, kita dituntut mampu untuk memberikan asuhan keperawatan secara optimal pada pasien. Jika asuhan keperawatan yang diberikan perawat mulai dari pengkajian, diagnosa, perencanaan, intervensi sampai evaluasi

dilaksanakan dengan tepat dan baik dapat membantu penderita gangguan sistem persarafan untuk dapat mempertahankan kondisi kesehatannya. Dari pengkajian khususnya pemeriksaan fisik pada pasien, bertujuan untuk mengevaluasi keadaan fisik klien secara umum dan juga menilai apakah ada indikasi penyakit lainnya selain kelainan neurologis. Ketika kita mendapati individu mengalami tanda dan gejala yang mengindikasikan adanya gangguan pada sistem neurologisnya, kita dapat langsung memvalidasi data kemudian menganalisanya. Setelah analisa kita pikir tepat, kita pun dapat mengambil masalah keperawatan apa saja yang terjadi pada anak. Kemudian diagnosa keperawatan pun dapat kita rumuskan. Setelah diagnosa ini kita rumuskan, perawat membuat rencana asuhan keperawatan yang mempunyai tujuan dan kriteria hasil. Diharapkan dengan adanya pelaksanaan dari rencana asuhan keperawatan tersebut, masalah pasien dapat teratasi baik setengah maupun keseluruhan. Setelah pelaksanaan asuhan keperawatan diaplikasikan, perawat lalu membuat evaluasi yang berguna untuk mengetahui efektivitas tindakan keperawatan yang dilakukan terhadap pasien anak. Dari evaluasi, kita dapat mengkaji lagi data-data kesehatan, tidak sebatas aspek biologis saja. Data-data dapat berupa aspek psikologis, sosial, dan spiritual. Ketika perawat memberikan asuhan keperawatannya secara holistik dan komprehensif kepada pasiennya, masalah kesehatan yang dialami pasien dapat tertangani dengan baik. Lalu pasien dapat kembali pada kondisinya yang optimal.

BAB 2. TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan yang dilakukan pada bagian tubuh dari kepala sampai kaki (Hidayati, 200:38). Pemeriksaan fisik adalah salah satu teknik pengumpul data untuk mengetahui keadaan fisik dan keadaan kesehatan. Ketika melakukan pemeriksaan fisik, terdapat beberapa hal-hal yang perlu diperhatikan oleh perawat yaitu: a. Selalu meminta kesediaan/ izin pada pasien untuk setiap pemeriksaan b. Jagalah privasi pasien c. Pemeriksaan harus seksama dan sistematis d. Jelaskan apa yang akan dilakukan sebelum pemeriksaan (tujuan, kegunaan, cara dan bagian yang akan diperiksa) e. Beri instruksi spesifik yang jelas f. Berbicaralah secara komunikatif g. Ajaklah pasien untuk bekerja sama dalam pemeriksaan h. Perhatikanlah ekpresi/bahasa non verbal dari pasien

2.2 Tujuan Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik klien dengan gangguan sistem persarafan secara umum biasanya menggunakan teknik pengkajian per sistem sama seperti pemeriksaan medikal bedah lainnya meliputi B1 (Breathing), B2 (Bleeding), B3 (Brain), B4 (Bladder), B5 (Bowel), dan B6 (Bone). Pemeriksaan fisik ini dilakukan sebagaimana pemeriksaan fisik lainnya dan bertujuan untuk mengevaluasi keadaan

fisik klien secara umum dan juga menilai apakah ada indikasi penyakit lainnya selain kelainan neurologis (Muttaqin, 2008:63). Tujuan utama pengkajian persarafan dari segi perspektif medis adalah mendiagnosis, menentukan adanya penyakit, lokasi, perkembangan penyakit saraf, sertz sebagai upaya penentuan pengobatan. Berbeda dengan kedokteran, tujuan utama keperawatan adalah membantu manusia mengatasi perubahan kehidupan sehari-hari secara efektif dan perawatan diri baik aktual maupun potensial yang disebabkan oleh adanya masalah kesehatan atau penyakit (Priharjo, 2007:164-165). Tujuan umum pemeriksaan fisik adalah untuk memperoleh informasi mengenai status kesehatan pasien. Tujuan definitif pemeriksaan fisik adalah pertama untuk mengidentifikasi status normal dan kemudian mengetahui adanya variasi dari keadaan normal tersebut dengan cara memvalidasi keluhan-keluhan dan gejala-gejala pasien, penapisan/skrining keadaan well being pasien, dan pemantauan masalah kesehatan/penyakit pasien saat ini. Informasi ini menjadi bagian dari catatan/rekam medis (medical record) pasien, menjadi dasar data awal dari temuantemuan klinis yang kemudian selalu diperbarui (updated) dan ditambahkan sepanjang waktu.

2.3 Manfaat Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien dapat dilakukan dengan wawancara ataupun observasi pada pasien langsung. Pemeriksaan fisik adalah pada kemampuan fungsional pasien. Misalnya pada sistem persarafan yaitu pasien mengalami gangguan sistem saraf maka perawat dapat mengkaji apakah gangguan tersebut mempengaruhi pasien dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari atau tidak. Manfaat dari pemeriksaan fisik yaitu memperoleh informasi mengenai status kesehatan pasien, mendapatkan data objektif dari riwayat keperawatan pasien, menentukan status kesehatan pasien, mengidentifikasi masalah pasien, mengambil data dasar untuk menentukan rencana tindakan keperawatan. Sehingga perawat dapat mengetahui keadaan pasien dan dapat melakukan tidakan untuk proses penyembuhan pasien.

2.4 Macam dan Teknik Pemeriksaan Fisik Sistem Neurologis Secara umum pemeriksaan fisik pada sistem persarafan ditujukan untuk area fungsi mayor meliputi pemeriksaan: 1. Tingkat kesadaran 2. Fungsi serebri 3. Saraf kranial 4. Sistem motorik 5. Respons refleks 6. Sistem sensorik 2.4.1 Tingkat Kesadaran Kesadaran mempunyai arti yang luas. Kesadaran dapat didefinisikan sebagai keadaan yang mencerminkan pengintegrasian impuls eferen dan aferen. Keseluruhan dari impuls aferen dapat disebut input susunan saraf pusat dan keseluruhan dari impuls eferen dapat disebut output susunan saraf pusat (Sidharta dalam Muttaqin, 2008:63). Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap rangsangan dari lingkungan. Kesadaran yang sehat dan adekuat dikenal sebagai kewaspadaan yaitu aksi dan reaksi terhadap apa yang diserap (dilihat, didengar, dihirup, dikecap, dan seterusnya) bersifat sesuai dan tepat. Keadaan ketika aksi sama sekali tidak dibalas dengan reaksi dikenal sebagai koma. Kesadaran yang terganggu dapat menonjolkan kedua seginya yaitu unsur tingkat dan unsur kualitasnya. Suatu ilustrasi perbedaan tingkat dan kualitas kesadaran ketika seorang klien yang sakit tidak dapat mengenal lagi orang-orang yang biasanya bergaul akrab dengan dia. Orang awam menamakan keadaan itu tidak sadar atau pikiran kacau. Apa yang dimaksud dengan istilah itu adalah kualitas kesadarannya yang terganggu. Dalam hal ini klien tidak menunjukkan gangguan tingkat kesadaran, oleh karena apabila perawat memberikan stimuli klien akan memberikan respons dengan perubahan ekspresi nyeri atau klien akan menarik bagian yang diberikan stimuli untuk menghindarinya.

Kualitas kesadaran yang menurun tidak senantiasa menurunkan juga tingkat kesadaran. Tetapi tingkat kesadaran yang menurun senantiasa mengganggu kualitas kesadaran. Oleh karena itu fungsi mental yang ditandai oleh berbagai macam kualitas kesadaran sangat ditentukan oleh tingkat kesadaran. Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat keterjagaan klien dan respons terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Beberapa sistem digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan keterjagaan. Istilah-istilah seperti letargi, stupor, dan semikomatosa adalah istilah yang umum digunakan dalam berbagai area. Tingkat kesadaran secara kualitatif dibedakan menjadi :
a. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat

menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.


b. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan

sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.


c. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak,

berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.


d. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor

yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
e. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon

terhadap nyeri.
f. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap

rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya). Perubahan tingkat kesadaran dapat diakibatkan dari berbagai faktor, termasuk perubahan dalam lingkungan kimia otak seperti keracunan, kekurangan oksigen karena berkurangnya aliran darah ke otak, dan tekanan berlebihan di dalam rongga tulang kepala. Adanya defisit tingkat kesadaran memberi kesan adanya hemiparese serebral atau sistem aktivitas reticular mengalami injuri. Penurunan tingkat kesadaran berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas (kecacatan)

dan mortalitas (kematian). Jadi sangat penting dalam mengukur status neurologikal dan medis pasien. Tingkat kesadaran ini bisa dijadikan salah satu bagian dari tanda vital. a. Penyebab Penurunan Kesadaran Penurunan tingkat kesadaran mengindikasikan defisit fungsi otak. Tingkat kesadaran dapat menurun ketika otak mengalami kekurangan oksigen (hipoksia); kekurangan aliran darah (seperti pada keadaan syok); penyakit metabolik seperti diabetes mellitus (koma ketoasidosis) ; pada keadaan hipo atau hipernatremia ; dehidrasi; asidosis, alkalosis; pengaruh obat-obatan, alkohol, keracunan: hipertermia, hipotermia; peningkatan tekanan intrakranial (karena perdarahan, stroke, tomor otak); infeksi (encephalitis); epilepsi. b. Mengukur Tingkat Kesadaran Salah satu cara untuk mengukur tingkat kesadaran secara kuantitatif dengan hasil seobjektif mungkin adalah menggunakan GCS (Glasgow Coma Scale). GCS dipakai untuk menentukan derajat cedera kepala. Reflek membuka mata, respon verbal, dan motorik diukur dan hasil pengukuran dijumlahkan jika kurang dari 13, maka dikatakan seseorang mengalami cedera kepala, yang menunjukan adanya penurunan kesadaran. Pada keadaan perawatan sesungguhnya, ketika waktu mengumpulkan data untuk penilaian tingkat kesadaran sangat terbatas, GCS dapat memberikan jalan pintas yang sangat berguna. Skala tersebut memungkinkan pemeriksa membuat peringkat tiga respons utama klien terhadap lingkungan seperti respons membuka mata, verbal, dan motorik. Nilai total maksimum untuk sadar penuh dan terjaga adalah 15. Nilai minimum 3 menandakan klien tidak memberikan respons. Nilai total 8 atau kurang menandakan adanya koma dan jika bertahan pada waktu yang lama dapat menjadi satu prediktor buruknya pemulihan fungsi. Sistem penilaian ini dirancang sebagai pedoman untuk mengevaluasi dengan cepat klien yang sakit kritis atau klien yang cedera sangat berat yang status kesehatannya dapat berubah dengan cepat.

Tabel 2.1 Tingkat Kesadaran dengan Menggunakan GCS Respons motorik yang Respons terbaik Menurut Terlokalisir Menghindar Fleksi 6 5 4 3 verbal yang Membuka mata Spontan Terhadap panggilan 2 Terhadap nyeri Tidak dapat 1 4 3 2 terbaik Orientasi 5 Bingung 4 Kata tidak 3 dimengerti Hanya suara

abnormal Ekstensi 2 Tidak ada 1 Tidak ada 1 Sumber: Black, et.al dalam Muttaqin (2008). Scale) yaitu: 1. Menilai respon membuka mata (E) (4) : spontan

Penilaian tingkat kesadaran secara kuantitatif dengan GCS (Glasgow Coma

(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata). (2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku jari) (1) : tidak ada respon 2. Menilai respon verbal/respon bicara (V) (5) : orientasi baik (4) : bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang ), disorientasi tempat dan waktu. (3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun tidak dalam satu kalimat. Misalnya aduh, bapak) (2) : suara tanpa arti (mengerang) (1) : tidak ada respon 3. Menilai respon motorik (M) (6) : mengikuti perintah (5) : melokalisir nyeri (menjangkau dan menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri)

10

(4) : withdraws (menghindar / menarik ekstremitas atau tubuh menjauhi stimulus saat diberi rangsang nyeri) (3) : fleksi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku di atas dada dan kaki ekstensi saat diberi rangsang nyeri). (2) : ekstensi abnormal (tangan satu atau keduanya ekstensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal dan kaki ekstensi saat diberi rangsang nyeri). (1) : tidak ada respon Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol EVM Selanjutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1. Setelah dilakukan scoring maka dapat diambil kesimpulan yaitu: a. Compos Mentis (GCS: 15-14) b. Apatis (GCS: 13-12) c. Somnolen (11-10)
d. Delirium (GCS: 9-7) e. Soporo coma (GCS: 6-4)

f. Coma (GCS: 3) Metode lain adalah menggunakan sistem AVPU, di mana pasien diperiksa apakah sadar baik (alert), berespon dengan kata-kata (verbal), hanya berespon jika dirangsang nyeri (pain), atau pasien tidak sadar sehingga tidak berespon baik verbal maupun diberi rangsang nyeri (unresponsive). Ada metode lain yang lebih sederhana dan lebih mudah dari GCS dengan hasil yang kurang lebih sama akuratnya, yaitu skala ACDU, pasien diperiksa kesadarannya apakah baik (alertness), bingung/kacau (confusion), mudah tertidur (drowsiness), dan tidak ada respon (unresponsiveness).

2.4.2

Pemeriksaan Fungsi Serebri

11

Fungsi serebri yang tidak normal dapat menyebabkan gangguan dalam komunikasi, fungsi intelektual, dan dalam pola tingkah laku emosional. Pemeriksaan fungsi serebri secara ringkas meliputi pemeriksaan status mental, fungsi intelektual, daya pikir, status emosional, dan kemampuan bahasa (Sidharta dalam Muttaqin, 2008:66). a. Status mental Secara ringkas prosedur pengkajian status mental klien dapat dilakukan meliputi: 1) Observasi penampilan klien dan tingkah lakunya dengan melihat cara berpakaian klien, kerapihan, dan kebersihan diri. 2) Observasi postur, sikap, gerakan-gerakan tubuh, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik 3) Penilaian gaya bicara klien dan tingkat kesadaran juga diobservasi 4) Apakah gaya bicara klien jelas atau masuk akal? 5) Apakah klien sadar dan berespons atau mengantuk dan stupor? Tabel 2.2 Tata pemeriksaan status mental Penilaian Perhatian Daya ingat Respons Rentang perhatian ke depan dan ke belakang a. Jangka pendek: mengingat kembali tiga item setelah lima menit b. Jangka panjang: mengingat nama depan ibunya, mengingat kembali menu makanan pagi, kejadian pada Perasaan (afektif) hari sebelumnya, dsb. a. Amati suasana hati yang tercermin pada tubuh, ekspresi tubuh b. Deskripsi verbal afektif Bahasa c. Verbal kongruen, indikator tubuh tentang suasana hati a. Isi dan kualitas ucapan spontan b. Menyebutkan benda-benda yang umum, bagian-bagian dari suatu benda c. Pengulangan kalimat

12

d. Kemampuan untuk membaca dan menjelaskan pesanpesan singkat pada surat kabar, majalah Pikiran e. Kemampuan menulis secara spontan, didikte a. Informasi dasar (misalnya presiden terbaru, tiga presiden terdahulu) b. Pengetahuan tentang kejadian-kejadian baru c. Orientasi terhadap orang, tempat, dan waktu d. Menghitung: menambahkan dua angka, mengurangi Persepsi 100 dengan 7 a. Menyalin gambar, persegi, tand silang, kubus tiga dimensi b. Menggambar bentuk jam, membuat peta ruangan c. Menunjuk ke sisi kanan dan kiri tubuh d. Memperagakan: mengenakan jaket, meniup pluit, menggunakan sikat gigi Sumber: Hudak dan Gallo dalam Muttaqin (2008) b. Fungsi Intelektual Penilaian fungsi intelektual akan mengungkapkan banyak informasi tentang adanya kerusakan otak. Fungsi intelektual mencakup kemampuan untuk berpikir secara abstrak dan memanfaatkan pengalaman. Dalam mengembangkan aktivitas intelektual seluruh otak mengambil bagian. Segi-segi pelaksanaan intelektual yang diteliti ialah 1) Ingatan atau memori 2) Pengetahuan umum 3) Berhitung atau kalkulasi 4) Pengenalan persamaan dan perbedaan, dan 5) Pertimbangan c. Daya pikir Sidharta dalam Muttaqin (2008:68) menjelaskan alam pikiran atau jalan pikiran hanya dapat dinilai dari ucapan-ucapannya. Adakalanya alam pikiran tersembunyi dalam satu sikap yang kurang wajar. Semntara dengan mengkaji kemmapuan berpikir klien penting selama melaksanakan kegiatan wawancara.

13

d.

Status Emosional Status emosional klien dapat dinilai dari reaksinya terhadap pertanyaan yang

diberikan perawat, terhadap tindak-tanduk orang-orang di sekelilingnya atau terhadap keadaan dan perasaan fisik diri sendiri. Pengkajian status emosional klien dapat dilakukan perawat meliputi: 1) Apakah tingkah laku alamiah dan datar, sensitif dan pemarah, cemas, apatis, atau euforia? 2) Apakah alam perasaannya berubah-ubah secara normal atau iramanya tidak dapat diduga dari gembira menjadi sedih selama wawancara? 3) Apakah tingkah lakunya sesuai dengan kata-kata atau isi dari pikirannya? 4) Apakah komunikasi verbal sesuai dengan tampilan komunikasi nonverbal? e. Kemampuan Bahasa Orang-orang dengan fungsi neurologis normal mampu mengerti dan berkomunikasi dalam pembicaraan dan bahasa tulisan (Sidharta dalam Muttaqin, 2008:70). Pada pengkajian ini perawat mungkin menemukan disartria (kesulitan artikulasi), disfonia (kualitas suara yang berubah akibat penyakit pada pita suara), atau disfasia/afasia (defisiensi fungsi bahasa akibat lesi/kelainan korteks serebri).

2.4.3

Pemeriksaan Saraf Kranial Terdapat dua belas pasang saraf kranial yang keluar dari permukaan bawah

otak melalui foramina kecil. Saraf kranial diberi nomor sesuai dengan urutan keluarnya dari depan ke samping. Saraf kranial terdiri atas serabut aferen atau eferen, dan beberapa memiliki kedua serabut tersebut yang dikenal dengan nama serabut campuran. Badan sel serabut aferen terdapat pada ganglia di luar batang otak, sedangkan badan sel serabut eferen terdapat pada nuklei batang otak. Pemeriksaan saraf kranial dimulai dengan mengatur posisi kliens ehingga duduk di tepi tempat tidur bila memungkinkan, perhatikan kepala, wajah, dan leher. Catat apakah terdapat hidrosefalus (kepala dan wajah menyerupai segitiga terbalik) atau akromegali Sidharta dalam Muttaqin, 2008:74) a. Saraf Kranial I

14

Teknis pemeriksaan dimulai dengan mata klien ditutup dan pada saat yang sama satu lubang hidung ditutup, klien diminta membedakan zat aromatis lemah seperti vanili, cologne, dan cengkeh. Zat yang baunya tajam seperti amonia jangan dipergunakan karena zat tersebut mengganggu klien dan rangsang yang berbahaya ini terdeteksi oleh serabut sensorik dari saraf kelima (trigeminus). Klien diminta memberitahu saat mulai terciumnya zat tersebut dan kalau mungkin mengidentifikasi apa yang dicium tersebut. Penyakit pada hidung (misalnya sinusitis, alergi, dan infeksi saluran pernapasan atas) merupakan penyebab tersering kehilangan kemampuan untuk mencium. b. Saraf Kranial II Pemeriksaan saraf optikus meliputi: 1) Tes ketajaman penglihatan Tes ini biasanya menggunakan tes Snellen. Pemeriksaan Snellen ini dimulai dengan mendudukkan klien di kursi atau di atas tempat tidur periksa. Gantungkan kartu Snellen setinggi kedudukan mata klien dan berjarak enam meter dari klien. Karena jarak tembok kamar periksa jarang selebar enam meter, maka biasanya kartu Snellen digantung pada tembok yang dibelakangi klien dan klien diminta untuk membaca kartu Snellen di cermin yang digantung di tembok yang dihadapi klien sejauh tiga meter. Mata kiri klien ditutupi dengan tangannya sendiri dan visus mata kanan diperiksa. Jika klien dengan mata kanannya hany dapat membaca huruf-huruf barisan ketiga saja, maka visus mata kanan adalah 6/20 atau 30% jika klien diperiksa untuk jarak enam meter. Setelah visus mata kanan diperiksa, klien diminta untuk menutupi mata kanannya dan visus mata kirinya mendapat giliran untuk diperiksa. Kalau tes ini tidak tersedia, klien diminta membaca berbagai ukuran huruf pada surat kabar. Menurunnya ketajaman penglihatan biasanya disebabkan karena adanya lesi di kiasma optikum dan lesi pada saraf optikus atau oleh karena adanya kelainan di kornea (nebula, jaringan parut), lensa (katarak, anomali refraksi), korpus vitreum atau perdarahan di retina, dan sebagainya.

15

Gambar 2.1 Tes dengan kartu Snellen (sumber: Muttaqin, 2008) 2) Tes lapang pandang Menurut beberapa ahli, pemeriksaan medan penglihatan adalah pemeriksaan penglihatan perifer. Pemeriksaan medan penglihatan dapat menghasilkan informasi yang mengungkapkan lesi di seluruh susunan optikus, mulai di saraf optikus, kiasma, traktus optikus, traktus genikulo-kalkarina pada tingkat lobus temporal, parietal, dan oksipital. Di samping itu pemeriksaan ini dapat memberikan data dalam penilaian visus, daya pengenalan warna, dan penilaian gambaran papiledema pada tahap dini. Medan penglihatan yang normal mempunyai konfigurasi yang tertentu.

Gambar 2.2 Medan penglihatan normal (sumber: Simon dan Schuster dalam Muttaqin, 2008) 3) Tes Konfrontasi Tes ini menggunakan jari sebagai objek yang harus dilihat di dalam batas medan penglihatan. Pemeriksa berdiri berhadapan dengan klien yang duduk di atas tempat tidur periksa. Jarak antara mata klien dan pemeriksa harus sejauh 30-40 cm.

16

Untuk pemeriksaan mata kanan klien, maka mata kiri klien dan mata kanan pemeriksa harus ditutup. Pada giliran medan penglihatan kiri klien diperiksa, maka mata mata kanan klien dan mata kiri pemeriksa harus ditutup. Dengan dua jarinya yang digoyang-goyangkan, tangan pemeriksa memasuki medan penglihatan masing-masing. Dalam memasuki medan penglihatan ini, jari-jari pemeriksa harus tetap berada di bidang yang sama jauhnya antara mata klien dan mata pemeriksa. Klien harus memberitahukan terlihatnya jari itu dengan kata Ya. Medan penglihatan pemeriksaan digunakan sebagai patokan medan penglihatan yang normal. Maka dari itu, baik klien maupun pemeriksa harus dapat melihat jari-jari yang bergerak itu pada jarak yang sama apabila medan penglihatan klien normal. Dengan metode ini diperoleh medan penglihatan secara kasar.

Gambar 2.3 Tes konfrontasi dengan jari tangan (sumber: Tenney dan OConnor Simon dalam Muttaqin, 2008) 4) Tes Fundus Tes fundus atau funduskopi yaitu tes untuk melihat dan menilai kelainan dan keadaan pada fundus okuli. Funduskopi dilakukan dengan bantuan oftalmoskop. Dengan oftalmoskop akan lebih mudah untuk mengidentifikasi gambaran fundus serta kelainan-kelainan di dalamnya. Walaupun peran perawat dalam pemeriksaan ini tidak terllau signifikan, tetapi dengan pengetahuan dan pengalaman yang lama dalam merawat klien disfungsi saraf yang mengenai saraf kranial II penting untuk mengolaborasikan guna mengetahui adanya kelainan pada lensa, iris, korpus vitreum, retina, pupil nervi optisi, serta penilaian adanya papiledema yang penting untuk intervensi keperawatan selanjutnya. Teknik pemeriksaan funduskopi a) Dengan memegang oftalmoskop dengan tangan kanannya b) Tangan kirinya diletakkan di atas dahi klien

17

c) Tangan kiri pemeriksa itu melakukan fiksasi terhadap kepala klien. Kemudian pemeriksa menyandarkan dahinya pada dorsum manus tangan kiri yang memegang dahi klien itu sehingga mata klien dan mata pemeriksa saling berhadapan. d) Selanjutnya pemeriksa menempatkan tepi atas teropong oftalmoskop dengan lubang pengintai menghadap ke matanya di atas alisnya.
e) Setelah lampu oftalmoskop dinyalakan, pemeriksa mengarahkan sinar lampu ke

pupil klien. Selama funduskopi dilakukan klien diminta untuk mengarahkan pandangan matanya jauh ke depan.

Gambar 2.4 Pemeriksaan funduskopi dengan menggunakan oftalmoskop (sumber: Tenney dan OConnor Simon dalam Muttaqin, 2008)
c. Saraf Kranial III, IV, dan VI

Saraf okulomotorius, troklearis, dan abdusens (saraf kranial III, IV, dan VI) ketiga saraf ini diperiksa bersama-sama karena mereka bekerja sama mengatur otototot ekstraokular (EOM). Kecuali itu, saraf okulomotorius juga beffungsi mengangkat kelopak mata atas dan mempersarafi otot konstriktor yang mengubah ukuran pupil. Persarafan EOM diperiksa dengan meminta klien untuk mengikuti gerakan tangan atau pensil dengan mata bergerak ke atas, ke bawah, medial, dan lateral. Kelemahan otot diketahui bila mata tidak dapat mengikuti gerakan pada daerah tertentu. 1) Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil meliputi a) Observasi bentuk dan ukuran pupil Pada umumnya pupil adalah bundar dan batasnya rata dan licin. Ukuran kedua pupil dapat berubah-ubah setiap saat karena terjadi konstriksi dan dilatasi pupil secara berselingan menurut irama tertentu. Gejala dikenal sebagai hipus. Pada

18

ekspirasi, terjadi sedikit konstriksi pupil yang mengembang kembali sewaktu inspirasi. b) Perbandingan pupil kanan dan kiri Secara praktis kedua pupil adalah sama dan sebangun. Akan tetapi selisih sampai 1 mm antara diameter pupil kanan dan kiri masih dapat dianggap normal. Perbedaan yang lebih dari 1 mm sudah menunjukkan adanya anisokoria. Anisokoria tidak selamanya patologis tetapi anisokoria yang menunjukkan kelainan refleks cahaya adalah patologis. c) Pemeriksaan refleks pupil Sebelum melakukan tes terhadap refleks pupil, kamar periksa harus sedikit digelapkan. Klien yang akan menjalani tes tersebut harus memandang jauh ke depan, agar refleks pupil akomodatif tidak memengaruhi hasil tes reaksi pupil terhadap cahaya. Siapkan satu senter yang memberikan sinar terang yang konvergen. Refleks pupil yang akan diperiksa meliputi refleks cahaya langsung, refleks konsensual atau refleks cahaya tak langsung, dan refleks pupil akomodatif atau konvergensi. i. Refleks cahaya langsung Dengan tangan kirinya pemeriksa melakukan fiksasi kepala klien dan tangan kanan pemeriksa menyoroti pupil dari samping agar pupil sisi yang lain tidak ikut tersoroti. Bila sorotan lampu senter itu tiba pada retina, impuls visual optokinetik akan dikirimkan ke kolikulus superior untuk mencetuskan potensial aksi sehingga konstriksi pupil terjadi. Jika sorotan lampu meninggalkan pupil, pelebaran pupil akan terlihat. ii. Refleks konsensual atau refleks cahaya tak langsung Penyinaran terhadap pupil sesisi akan menimbulkan miosis pada pupil kedua sisi. Miosis pada pupil yang tidak disinari yang terjadi karena pupil sisi yang lain disoroti sinar lampu, dikenal sebagai reaksi pupil konsensual atau reaksi cahaya tak langsung. iii. Refleks pupil akomodatif atau konvergensi Pada penatapan mata ke suatu benda di dekat mata, kedua otot rektus medialis berkontraksi. Gerakan konsensual ke arah nasal itu dikenal sebagai

19

konvergensi. Dalam melaksanakan tes tersebut, penerangan di kamar periksa diatur sedemikian rupa, sehingga sinar lampu tidak menimbulkan miosis tetapi penerangan masih cukup untuk mengamati bentuk dan ukuran pupil. Dengan mengacungka jari, pemeriksa mendekatkan jarinya ke arah mata klien dan klien diminta untuk terus menatapkan matanya pada jari itu yang semakin mendekati matanya. Pupil klien yang semakin menyempit pada pendekatan objek yang dilihatnya, menandakan bahwa reaksi pupil akomodatif adalah baik. Jika mata menderita atrofi optik atau ketajaman penglihatan sangat berkurang oleh penyebab lainnya, maka pupil yang terkena akan berdilatasi secara paradoksal (setelah beberapa saat) apabila senter digerakkan dari mata yang normal menuju mata yang abnormal. Keadaan ini disebut fenomena pupil Markus Gunn.

Tabel 2.3 Kelainan Pupil

20

Sumber: Muttaqin (2008) 2) Pemeriksaan gerakan bola mata Pemeriksaan terhadap gerakan bola mata dapat memberikan informasi penting tetntang adanya lesi di berbagai daerah susunan saraf. Pemeriksaan tersebut meliputi pemeriksaan gerakan bola mata volunter dan gerakan bola mata involunter a) Pemeriksaan gerakan bola mata volunter i. Gerakan konjugat Gerakan bola mata dilakukan oleh otot-otot okular yang dikendalikan oleh saraf kranial II,IV, dan VI. Dalam gerakan tersebut kedua mata bertindak sebagai organ visual yang tunggal yang berarti bahwa hasil mencerapkan mata kedua sisi adalah suatu penglihatan yang tunggal. Pada pemeriksaan apabila bola mata kiri melirik ke kiri, maka bola mata kanan melirik pula ke kiri secara sinkron, tanpa selisih dalam arah dan kecepatan baik dalam arti linear, tangensial, atau rotatorik. Bila terdapat selisih yang sedikit pun dalam sinkronisasi itu, kedua bola mata tidak lagi bertindak sebagai organ visual yang tunggal. Dan hasilnya ialah penglihatan yang kembar atau diplopia. ii. Gerakan diskonjugat atau gerakan konvergen

21

Gerakan kedua bola mata untuk menatapkan mata pada sesuatu tidak selalu berjalan searah, melainkan bisa juga berjalan ke arah yang berlawanan. b) Pemeriksaan gerakan bola mata involunter Nistagmus merupakan suatu osilasi atau getaran bola mata yang timbul secara spontan. Gerakan bola mata involunter ini dapat dianggap sebagai gerakan kompensatorik bola mata terhadap impuls-impuls abnormal dari pusat yang mengatur gerakan konjugat melalui nuklei vestibulares, yakni retina, otot-otot okular, otot-otot leher, dan alat-alat keseimbangan berikut serebelum. Pemeriksaan nistagmus dimulai dengan kedua mata dalam keadaan istirahat dipertahankan pada garis tengah oleh keseimbangan tonus antara otot-otot okuler yang berlawanan. Gangguan tonus ini yang bergantung pada impuls dari retina, otot-otot mata itu sendiri dan berbagai hubungan vestibuler dan sentral, membuat mata dapat melirik ke satu atau lain arah. Gerakan okulogorik merupakan gerakan bola mata involunter di mana kedua bola mata memutar ke atas secara konjugat dengan sedikit menyimpang ke kiri atau ke kanan. Gejala ini merupakan manifestasi iritasi terhadap pusat lirikan atau area 8 Brodmann di lobus frontalis. d. Saraf Kranial V Pemeriksaan fungsi saraf trigeminus meliputi pemeriksaan fungsi motorik saraf trigeminus, pemeriksaan fungsi sensorik saraf trigeminus, dan pemeriksaan refleks trigeminal. 1) Pemeriksaan fungsi motorik saraf trigeminus Paralisis saraf trigeminus dinilai dengan meneliti kerja sama otot-otot yang dipersarafinya. Otot-otot yang bekerja sama dalam melakukan gerakan mengunyah dapat diperiksa sebagai berikut a) Klien diminta untuk menggigit giginya dengan sekuat-kuatnya. Selama klien melaksanakan perintah, perawat melakukan palpasi terhadap kontraksi otot maseter dan temporalis sisi kanan dan kiri. Bila ada kelumpuhan unilateral, maka pada sisi ipsilateral terdapat otot maseter dan temporalis yang tidak berkontraksi atau hanya berkontraksi secara lemah.

22

b) Kemudian klien disuruh membuka mulutnya. Perawat yang memeriksa berdiri di depan klien dan mengawasi rahang bawah klien. Pada kelumpuhan unilateral, rahang bawah akan menyimpang ke sisi ipsilateral pada waktu mulut dibuka oleh karena muskulus pterigoideus eksternus yang sehat mendorong kondilus mandibula dan rahang bawah ke depan tanpa doorngan yang mengimbangi dari sisi yang lain. c) Jika terdapat kelumpuhan sesisi, maka gerakan ke samping yang lumpuh adalah kuat sedangkan gerakan ke samping yang sehat adalah lemah atau tidak ada sama sekali. d) Kekuatan otot maseter dapat diperiksa dengan meletakkan kayu penekan lidah (tongue spatel) di atas deretan geraham kiri lalu perintahkan klien untuk menggigit kayu itu sekuat-kuatnya. Lubang gigitan pada sisi maseter yang lumpuh adalah lebih dangkal daripada lubang gigitan dengan maseter yang sehat. 2) Pemeriksaan fungsi sensorik saraf trigeminus Sensibilitas yang diperiksa meliputi sensibilitas kulit dan mukosa dalam kawasan saraf trigeminus. Modalitas sensorik yang harus diteliti mencakup perasa nyeri, panas, dingin, dan raba. 3) Pemeriksaan refleks trigeminal Teknik pemeriksaan refleks masester dimulai dengan klien diminta untuk sedikit membuka mulutnya dan mengeluarkan suara aaaaaaaaaaa. Sementara itu pemeriksa menempatkan jari telunjuk tangan kirinya di garis tengah dagu dan dengan palu refleks dilakukan pengetukan dengan tangan kanan pada jari telunjuk tangan kiri. Jawaban yang diperoleh berupa kontraksi otot masester dan temporalis bagian depan yang menghasilkan penutupan mulut secara tiba-tiba. Refleks kornea adalah refleks yang paling sering diperiksa oleh karena banyak informasi yang diungkapkannya. Teknik pemeriksaan refleks kornea dimulai dengan klien diminta melirik ke atas atau ke samping, supaya mata jangan berkedip ketika korneanya hendak disntuh oleh seutas kapas. Goresan pada kornea dengan ujung seutas kapas pada satu sisi membangkitkan kedipan kelopak mata atas reflektorik secara bilateral.

23

Gambar 2.5 (A) Teknik pemeriksaan untuk menilai refleks masester (B) refleks kornea diperiksa pada setiap mata (sumber: Sidharta dalam Muttaqin, 2008) e. Saraf Kranial VII Teknik pemeriksaanya yaitu: 1) Inspeksi adanya asimetri wajah. Karena kelumpuhan saraf ini dapat menyebabkan penurunan sudut mulut unilateral, kerutan dahi menghilang, serta lipatan nasolabial mendatar. 2) Lakukan tes kekuatan otot. Klien diminta untuk memandang ke atas dan mengerutkan dahi. Tentukan apakah kerutan akan menghilang dan raba kekuatan ototnya dengan cara mendorong kerutan ke arah bawah pada setiap sisi. 3) Selanjutnya klien disuruh menutup kedua matanya dengan kuat. Bandingkan seberapa dalam bulu-bulu matanya terbenam pada kedua sisi dan kemudian coba memaksa kedua mata klien untuk terbuka.

24

Gambar 2.6 Kelumpuhan saraf kranial VII kiri tipe UMN (sumber: Tenney dan OConnor Simon dalam Muttaqin, 2008) f. Saraf Kranial VIII Pemeriksaan pendengaran yaitu inspeksi meatus akustikus eksternus (lubang telinga) dari klien untuk mencari adanya serumen atau obstruksi lainnya dan membran timpani untuk menentukan adanya inflamasi atau perforasi. Kemudian lakukan tes pendengaran. Tes yang dianjurkan adalah dengan memasukkan satu jari tangan ke dalam telinga kontralateral dari klien dan lepaskan jari tangan ini secara bergantian sambil membisikkan sebuah angka pada telinga lainnya. Pemeriksaan ini harus dibuat standarnya dengan memakai sejumlah angka untuk berbagai nada. Misalnya angka 68 dipakai untuk mengetes nada tinggi dan 100 untuk mengetes nada rendah. Jika tuli dicurigai maka lakukan tes Rinne dan tes Weber. Tes Rinne: garpu tala dengan frekuensi 256 Hz mula-mula diletakkan pada prosesu mastoideus, di belakang telinga, dan bila bunyi tidak lagi terdengar letakkan garpu tala tersebut sejajar dengan meatus akustikus eksternus. Dalam kedaan normal nada masih terdengar pada meatus akustikus eksternus. Keadaan ini disebut Rinne positif. Pada tuli konduktif (telinga tengah) tidak ada nada yang terdengar pada meatus akustikus eksternus. Keadaan ini disebut Rinne negatif. Tes Weber: garpu tala dengan frekuensi 256 Hz diletakkan pada bagian tengah dahi. Dalam keadaan normal bunyi akan terdengar pada bagian tengah dahi. Pada tuli saraf bunyi dihantarkan ke telinga yang normal. Pada tuli konduktif bunyi terdengar lebih keras pada telinga yang abnormal (Talley dalam Muttaqin, 2008:96).

25

Gambar 2.7 Pemeriksaan dengan garpu tala (A) tes Schwabach (B) tes Rinne (C) tes Weber (sumber: Sidharta dalam Muttaqin, 2008) Perawat dapat memeriksa fungsi vestibular dimulai dengan mengkaji adanya keluhan pusing, baik yang bersifat vetigo, maupun yang kurang jelas sifatnya. Pemeriksaan dimulai dengan mengobservasi sikap berdiri dan sikap badan sewaktu bergerak. di mana pun lokasi gangguan vestibular, setiap klien dengan gangguan keseimbangan memperlihatkan abnormalitas umum. g. Saraf kranial IX dan X Refleks menelan klien diperiksa dengan memerhatikan reaksi klien waktu minum segelas air. Diperhatikan apakah klien menemui kesulitan menelan atau apakah terjadi regurgitasi cairan melalui hidung yang meripakan petunjuk adanya kelemahan palatum mole dan ketidakmampuan menutup nasofaring waktu menelan. Pita suara dapat dilihat apakah terjadi paresis atau lesi. Lesi bilateral dapat menyebabkan gangguan menelan hebat dan gangguan kemampuan mobilisasi sekret. Penyebab kelumpuhan saraf glosofaringeus (IX) dan saraf vagus (X) yaitu: 1) Penyebab sentral: tumor, lesi vaskular (misalnya infark medula lateral) yang disebabkan oleh penyakit arteri vertebralis atau arteri serebelaris inferior posterior, siringobulbia, dan penyakit motorneuron. 2) Lesi perifer (fosa posterior): tumor, aneurisma, meningitis kronis, dan sindrom Guillain-Bare.

26

Gambar 2.8 Mekanisme menelan (sumber: Simon dan Schuster dalam Muttaqin, 2008) h. Saraf Kranial XI Fungsi saraf asesorius dapat dinilai dengan memerhatikan adanya atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius dan dengan menilai kekuatan otot-otot tersebut. Untuk menguji kekuatan otot sternokleidomastoideus, klien diminta untuk memutar kepala ke salah satu bahu dan berusaha melawan usaha pemeriksa untuk menggerakkan kepala ke arah bahu yang berlawanan. Kekuatan otot sternokleidomastoideus pada sisi yang berlawanan dapat dievaluasi dengan mengulang tes ini pada sisi yang berlawanan. Otot trapezius dinilai dengan meminta klien mengangkat bahu sementara pemeriksa berusaha menekan ke bawah. Kemudian klien diminta mengangkat kedua lengannya ke arah vertikal. Klien dengan otot trapezius yang lemah tidak dapat melakukan perintah tersebut.

Gambar 2.9 Posisi tortikolis akibat disfungsi unilateral otot sternokleidomastoideus dan otot trapezius (sumber: Talley dan OConnor dalam Muttaqin, 2008). i. Saraf Kranial XII Saraf hipoglosus (saraf kranial XII) mengendalikan otot-otot lidah. Pemeriksaan lidah termasuk ada tidaknya asimetris, deviasi pada satu sisi, dan fasikulasi. Mula-mula pemeriksaan dilakukan di dalam mulut dengan lidah dalam keadaan istirahat, kemudian dilanjutkan dengan lidah terjulur.

27

Pada pemeriksaan klien disuruh menjulurkan lidahnya yang mana akan berdeviasi ke arah sisi yang lemah (terkena) jika terdapat lesi upper atau lower motor neuron unilateral.

Gambar 2.10 (A) Fasikulasi lidah pada penyakit motor neuron, (B)
kelumpuhan pada saraf hipoglosus kanan (sumber: Tenney dan OConnor Simon dalam Muttaqin, 2008)

28

Tabel 2.4 Ringkasan Pemeriksaan Saraf Kranial Saraf Teknik Pemeriksaan Normal I Mata klien ditutup dan Mampu pada saat yang sama membedakan satu lubang hidung aromatis lemah zat ditutup, klien diminta membedakan II aromatisme lemah Penilaian ketajaman Visus normal penglihatan Snellen) Lapang pandang (tes (tes Lapang normal. melihat yang sama Pemeriksaan Fundus Pemeriksaan pemeriksa Keadaan

Abnormal Kehilangan zat kemampuan membedakan bau

Hasil Pemeriksaan Penyebab abnormalitas ISPA (paling sering), meningioma pada sulkus untuk olfaktorius, tumor etmoid, fraktur basis kranii dan kongenital. Penyebab unilateral: trauma kepala tanpa fraktur, meningioma awal pada sulkus olfaktorius

Visus menurun

Lesi di kiasma optikum, lesi di saraf optikus, kelainan di kornea, lensa (katarak, anomali

pandang Lapang Mampu menurun. bergerak jari yang

refraksi), korpus vitreum atau perdarahan di retina pandang Lesi di susunan optikus, mulai dari saraf optikus, Tidak kiasma, traktus optikus, traktus genikulo-kalkarina bergerak

konfrontasi jari tangan)

jari-jari mampu melihat jari- pada tingkat lobus temporal, parietal, dan oksipital

pada jarak yang pada jarak yang sama dengan dengan pemeriksa lensa, Ditemukan adanya: Papiledema disebabkan oleh peningkatan tekanan

dengan iris, retina, pupil miopia, hipermetropia, intrakranial

29

oftalmoskop

tidak kelainan.

ada, emetripia, papiledema

dan

Papiledema tidak III, IV, dan VI Observasi bentuk dan Bentuk ukuran pupil bundar licin. pupil Midriasis dan miosis Melihat tabel 2.3 Kelainan Pupil dan unilateral Diameter Observasi kelopak mata ada. Kelopak normal mata Adanya reaksi kelopak Retraksi bilateral merupakan manifestasi proses mata bilateral dan patologis di bagian kaudal ventrikel ke-3 dan bagian mesensefalon unilateral

batasnya rata dan pupil antara 2-6 Perbandingan kanan dan kiri mm pupil Pupil sama besar, Anisokor, dari 1 mm perbedaan Trauma, herniasi tontorium, dan paralisis otot-otot okular

perbedaan kurang lebih dri 1 mm

Pemeriksaan

refleks

30

pupil 1. Refleks langsung

cahaya 1. Cahaya meninggalkan pupil, pelebaran pupil terlihat 2. Miosis pupil pada kedua sisi 3. Pupil semakin menyempit pada pendekatan objek dilihatnya yang akan pupil atau

1. Cahaya meninggalkan pupil, pelebaran pupil tidak ada 2. Miosis unilateral 3. Pupil menyempit pendekatan yang (gangguan konvergensi) tidak pada objek dilihatnya refleks pupil

1. Lesi otak tengah misalnya pupil Argyll Robertson, lesi ganglion siliaris 2. Lesi di lintasan aferen 3. Lesi di lintasan eferen

2. Refleks konsensual 3. Refleks akomodasi konvergensi

Pemeriksaan

gerakan Gerakan konjugat Diplopia dan gerakan konvergen normal gerakan Mata dapat Adanya melirik ke satu atau lain arah dan

Gangguan impuls dan sinkronisasi di area 8 dan 19 Brodmann gerakan Manifestasi di pusat lirikan atau area 8 Brodmann gerakan

bola mata volunter Pemeriksaan

bola mata involunter

abnormal nistagmus di lobus frontalis

31

Pemeriksaan

fungsi Koordinasi melakukan gerakan mengunyah normal fungsi Kemampuan saraf menunjukkan defisit menurut perasaannya

okulogirik otot- Penyimpangan rahang Parasia yang bawah ipsilateral, kelumpuhan seisi otototot pterigoideus internus dan eksternus Ketidakmampuan menunjukkan ke

dan

paralisis saraf

otot-otot

pengunyah lesi

motorik saraf trigeminus otot

sisi disebabkan

trigeminus

mengidap

nuklearis atau infranuklearis

Pemeriksaan sendorik trigeminus

Trauma kapitis, infeksi glandula parotis, regenerasi Lesi pada ganglion atau radiks sensorik (neuroma

batas pada Bells palsy

batas-batas daerah daerah defisit sensorik sensorik Adanya paraslesia, dan

hipeselesia, akustik)

anestesia pada wajah masester Refleks maseter hilang pada paralisis nuklearis dan infranuklearis saraf pada trigeminus lesi dan refleks saraf supranuklearis

Pemeriksaan trigeminal

sendiri refleks Refleks masester, Refleks kontraksi Refleks kedipan mata penutupan mulut.

otot hilang atau meningkat

Refleks kornea, tidak meningkat

kornea, ada kedipan kelopak trigeminus kelopak mata reflektorik

32

VII VIII

Inspeksi wajah Pemeriksaan pendengaran

secara bilateral Wajah simetris Pendengaran normal

Wajah asimetris 1. Tuli saraf 2. Tuli konduktif

Lesi UMN, Lesi LMN, Bells palsy, GBS 1. Tumor, degenerasi, trauma, toksisitas, infeksi atau penyakit batang otak (jarang) 2. Serumen, otitis media, otosklerosis, atau penyakit Paget Gangguan penghantaran impuls proprioseptif

Pemeriksaan vestibular

fungsi Sikap berdiri dan Gangguan sikap badan keseimbangan sewaktu bergerak

IX dan X

Mekanisme menelan Pengecapan

seimbang Proses menelan Gangguan normal Pengecapan bagian lidah normal otot Otot sternokleidomasto ideus dan trapezius normal hebat, pengecapan

menelan Penyebab sentral: tumor, lesi vaskuler dan penyakit gangguan motorneuron. dan Lesi perifer: tumor, aneurisma, meningitis kronis,

belakang gangguan kemampuan dan GBS. mobilisasi sekret Tortikolis Atrofi otot sternokleidomastoideu Unilateral: trauma leher, basis kranii, dan tumor otot foramen juguare. Bilateral: penyakit motor neuron, poliomielitis, dan

XI

Inspeksi

fungsi

sternokleidomastoideus dan otot trapezius

s dan otot trapezius GBS. bilateral dan unilateral Asimetris, deviasi Lesi UMN, lesi LMN, lesi perifer, meningitis,

XII

Pemeriksaan lidah

Lidah simetris

33

pada satu sisi dan GBS. fasikulasi

34

2.4.4 Pemeriksaan Sistem Motorik Pemeriksaan yang teliti pada sistem motorik meliputi inspeksi umum (postur, ukuran otot, gerakan abnormal, dan kulit), fasikulasi, tonus otot, kekuatan otot, serta keseimbangan dan koordinasi. a. Inspeksi Umum Perawat mundur sebentar dan perhatikan adanya postur yang abnirmal misalnya klien dengan hemiplegia akibat stroke. Pada pemeriksaan ini anggota badan atas dalam posisi fleksi dan lengan dalam posisi adduksi dan pronasi, sedangkan anggota badan bawah dalam posisi ekstensi. Kemudian carilah atrofi otot yang menunjukkan adanya denervasi otot, penyakit otot primer atau disuse atrophy. Bandingkan satu sisi dengan sisi lainnya untuk menentukan adanya atrofi dan tentukan kelompok otot yang terkena (proksimal, distal, atau generalisata, simetris atau asimetris). Klien diinstruksikan untuk berjalan menyilang di dalam ruangan sementara pengkaji mencatat postur dan gaya berjalan. Keadaan tonus yang tidak normal mencakup spastisitas (kejang), rigiditas (kaku), atau flaksiditas.

Gambar 2.11 (A) Penilaian gaya berjalan normal. (B) Penilaian gaya berjalan penyakit Little (sumber: Sidharta dalam Muttaqin, 2008). Secara umum pemeriksaan dimulai dari jabat tangan dengan klien dan perkenalkan diri perawat. Klien yang tidak dapat melepaskan genggaman tangannya merupakan tanda-tanda menderita miotonia (ketidakmampuan melemaskan otototot setelah kontraksi volunter).

35

Gambar 2.12 Penilaian gaya berjalan Parkinson (sumber: Sidharta dalam Muttaqin, 2008). Klien disuruh duduk di tepi tempat tidur jika memungkinkan dan merentangkan kedua tangannya dengan lengan dalam keadaan ekstensi dan menutup kedua matanya. Perhatikan lengan klien apakah terdapat drifting (deviasi gerakan satu atau kedua lengan dari posisi awal yang netral). b. Fasikulasi Kelainan ini merupakan kontraksi bagian-bagian kecil dari otot yang irreguler yang tidak mempunyai pola yang ritmis. Fasikulasi dapat bersifat kasar atau halus dan terdapat pada waktu istirahat tetapi tidak terjadi selama gerakan volunter. Jika tidaak ditemukan fasikulasi, ketok otot brakioradialis dan biseps dengan palu refleks dan amati lagi. Jika fasikulasi terdapat bersama-sama dengan kelumpuhan dan atrofi maka fasikulasi menunjukkan degenerasi dari lower motor neuron. c. Tonus Otot Pada waktu lengan bawah digerak-gerakkan pada sendi siku secara pasif, oto-otot ekstensor dan fleksor lengan membiarkan dirinya ditarik dengan sedikit tahanan yang wajar. Apabila semua unsur saraf disingkirkan dari otot (denervasi), maka tahanan tersebut sama sekali lenyap. Tahanan itu dikenal sebagai tonus otot yang merupakan manifestasi dari resultan gaya saraf (baik motorik maupun sensorik) yang berada pada otot dalam keadaan sehat. Tonus otot dapat meningkat secara fisiologis karena ketegangan mental. Dalam pemeriksaan tonus otot perawat menggerakkan lengan dan tungkai di sendi lutut dan siku klien. Perawat pemeriksa perlu menggunakan kedua tangannya. Penilaian tonus yang meningkat berarti bahwa perawat pemeriksa mendapat kesulitan untuk menekukkan dan meluruskan lengan dan tungkai di sendi siku dan

36

lutut. Jika tonus otot hilang, maka dalam menekukkan dan meluruskan lengan dan tungkai klien tidak dirasakan sedikit tahanan pun.

Gambar 2.13 Pemeriksaan tonus otot (sumber: Sidharta dalam Muttaqin, 2008). d. Kekuatan Otot Kekuatan otot dinilai dari perbandingan antara kemampuan pemeriksa dengan kemampuan untuk melawan tahanan otot volunter secara penuh dari klien. Pemeriksaan kekuatan otot yaitu: 1) Anterofleksi dan dorsofleksi kepala

Gambar 2.14 (kiri) Penilaian kekuatan otot rektus kapitis posterior (C1) dan trapezius (saraf kranial XI). (kanan) penilaian kekuatan otot rektus kapitis anterior (C1) sternokleidomastoideus (C2 dan saraf kranial XII). (sumber: Sidharta dalam Muttaqin, 2008).

37

2) Elevasi dan abduksi dari skapula

Gambar 2.15 (kiri) Penilaian kekuatan otot deltoid, trapezius, supraskapular, dan seratus anterior (C4-C7 dan saraf kranial XI). (kanan) penilaian kekuatan otot triseps (C6, C7, dan C8). (sumber: Sidharta dalam Muttaqin, 2008). 3) Ekstensi di sendi siku 4) Fleksi di sendi siku

Gambar 2.16 (kiri) Penilaian kekuatan otot-otot biseps, brakialis dan brakio radialis (C5 dan C6), (kanan) Penilaian kekuatan otot-otot ekstensor karpi radial longus/brevis, ekstensor karpi ulnar, dan ekstensor digitorum komunis (C6 dan T1), (sumber: Sidharta dalam Muttaqin, 2008). 5) Depresi dan adduksi dari skapula 6) Fleksi di sendi pergelangan 7) Ekstensor (dorsofleksi) di sendi pergelangan

38

8) Mengepal dan mengembangkan jari-jari tangan

Gambar 2.17 (kiri dan tengah) Penilaian kekuatan otot-otot abduktor jari-jari, terutama otot-otot interosei dorsalis, (kanan) Penilaian kekuatan otot iliopsoas (L1L4), (sumber: Sidharta dalam Muttaqin, 2008). 9) Fleksi di sendi panggul 10) 11) 12) Ekstensi di sendi panggul Ekstensi di sendi lutut Fleksi di sendi lutut

Gambar 2.18 Penilaian kekuatan otot-otot fleksor sendi lutut (L4, L5 dan S1, S2) (sumber: Sidharta dalam Muttaqin, 2008). 13) 14) Dorsofleksi di sendi pergelangan kaki dan dorsofleksi jari-jari kaki Plantar fleksi kaki dan jari-jari kaki

39

Gambar 2.19 (kiri) Penilaian kekuatan otot trapezius bagian bawah (C3 dan C4), (tengah) Penilaian kekuatan otot trapezius bagian atas (C3 dan C4), (kanan) Penilaian kekuatan otot deltoid (C5 dan C6), (sumber: Sidharta dalam Muttaqin, 2008). Tabel 2.5 Penilaian Kekuatan Otot

Sumber: Muttaqin, 2008

40

e. Pemeriksaan keseimbangan dan koordinasi Koordinasi tangan dan ekstremitas atas dikaji dengan cara meminta klien melakukan gerakan cepat, berselang-seling, dan uji menunjuk satu titik ke titik yang lain. Pertama, klien diminta untuk menepukkan tangan ke paha secepat mungkin. Kemudian klien diinstruksikan untuk membalikkan tangan ke posisi telungkup dengan cepat. Koordinasi ekstremitas bawah dikaji dengan cara klien diperintahkan untuk meletakkan tumit pada kaki yang satunya dan turun perlahan-lahan ke bawah yaitu ke daerah tibia bagian anterior. Masing-masing kaki diuji. Ketidakmampuan mengarahkan gerakan tersebut disebut ataksia. Adanya ataksia atau tremor (gerakan berirama, involunter) selama pengujian ini, menandakan adanya penyakit serebellum. Selama pemeriksaan rutin, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan sederhana terhadap ekstermitas atas dan bawah dengan meminta klien melakukan gerakan baik cepat, berubah-ubah, atau pengujian satu titik ke titik lain. Bila ada abnormalitas, pemeriksaan lebih lengkap dianjurkan. 2.4.5 Pemeriksaan Respons Refleks Refleks adalah jawaban terhadap suatu perangsangan. Gerakan yang timbul disebut gerakan reflektorik. Semua gerakan reflektorik merupakan gerakan yang bangkit untuk penyesuaian diri, baik untuk menjamin ketangkasan gerakan volunteer maupun untuk membela diri. Gerakan reflektorik tidak saja dilaksanakan oleh anggota gerak akan tetapi setiap otot lurik dapat melakukan gerakan reflektorik. Refleks-refleks yang dibangkitkan dalam rangka pemeriksaan klinis dapat bersifat refleks dalam dan refleks superficial. Refleks dalam berarti refleks yang bangkit sebagai jawaban atas perangsangan terhadap otot, sedangkan refleks superficial adalah refleks yang bangkit akibat perangsangan permukaan kulit atau mukosa.

41

Gambar 2.20 Refleks fleksor dan ekstensor menyilang. (a) refleks fleksor, suatu contoh dari refleks penarikan dari suatu stimulus rasa sakit. (b) refleks ekstensor secara menyilang memberikan reaksi berbeda dari kedua kaki (lihat panah) (sumber: Sidharta dalam Muttaqin, 2008) Teknik pemeriksaan Refleks Dalam yaitu gerakan reflektorik yang timbul akibat perangsangan terhadap otot dapat dilakukan dengan pengetukan pada tendon, ligamentum, atau periostenum. Karena itu, maka refleks dalam disebut juga refleks tendon dan refleks periosteum (Sidharta dalam Muttaqin, 2008:117). Hasil pemeriksaan refleks tersebut merupakan informasi penting yang sangat menentukan. Maka dari itu, pembangkitan dan penilaiannya harus tepat. Penilaian ini selalu berarti penilaian secara banding antara sisi kiri dan sisi kanan. Respons terhadap suatu perangsangan tergantung dari intensitas pengetukan. Oleh karena itu refleks tendon atau peristeum kedua belah tubuh yang dapat dibandingkan harus merupakan hasil perangsangan yang berintensitas sama. Di samping itu posisi anggota gerak yang sepadan pada waktu perangsangan dilakukan harus sama juga. Maka dari itu teknik membangkitkan refleks tendon harus sempurna. Pokok-pokok yang harus diperhatikan ialah sebagai berikut: a. b. c. Teknik pengetukan, palu refleks tidak boleh dipegang secara keras. Sikap anggota gerak yang simetris, anggota gerak yang akan diperiksa refleks tendon/periostenumnya harus bersikap santai dan tidak boleh tegang. Pengetukan tepat pada tendon, pengetukan hendaknya dilakukan secara tak langsung yang berarti bahwa yang diketuk oleh palu refleks ialah jari pemeriksa yang di tempatkan di tendon yang bersangkutan.

42

d. e.

Pengetukan

dengan

intensitas

yang

berbeda-beda,

dilakukan

dengan

pengetukan yang dilakukan berkali-kali dengan intensitas yang berbeda-beda. Penderajatan refleks tendon/periostenum. Tabel 2.6 Derajat Refleks Derajat Respons Refleks 4+ Gerakan reflektorik patologis (hiporaktif dengan klonus torusmonorus) 3+ 2+ Gerakan reflektorik melebihi respons normal (hiperaktif) Gerakan reflektorik cukup cepat, beramplitudo cukup, dan berlangsung cukup lama (refleks normal pada individu sehat) 1+ 0 Ada gerakan reflektorik lemah (hipoaktif) Tidak ada gerakan refleks

Sumber: Muttaqin (2008) Berikut ini merupakan macam-macam refleks: a. Refleks Biseps Refleks biseps di dapat melalui peregangan tendon biseps pada saat siku dalam keadaan fleksi. Orang yang menguji menyokong lengan bawah dengan satu lengan sambil menempatkan jari telunjuk dengan menggunakan palu refleks. Respons normal dalam fleksi pada siku dan kontraksi biseps. b. Refleks Triseps Untuk menimbulkan refleks triseps, lengan klien difleksikan pada siku dan diposisikan di depan dada. Pemeriksaan menyokong lengan klien dan mengidentifikasi tendon triseps dengan memalpasi 2,5-5 cm di atas siku. Pemukulan langsung pada tendon normalnya menyebabkan kontraksi otot triseps dan ekstensi siku. c. Refleks Pektoralis Posisi klien berbaring terlentang dengan kedua lengan lurus di samping badan. Stimulus diberikan dengan ketukan pada jari pemeriksa yang di tempatkan pada tepi lateral otot pektoralis. Respons normal adalah dengan adanya kontraksi otot pektoralis.

43

d. Refleks Patella

Refleks patella ditimbulkan dengan cara mengetuk tendon patella tepat di bawah patella. Klien dalam keadaan duduk atau tidur terlentang. Jika klien terlentang, pengkaji menyokong kaki untuk emudahkan relaksasi otot. Kontraksi quadriceps dan ekstensi lutut adalah respons normal. e. Refleks Tendon Achlles Pemeriksaan dengan posisi tungkai klien ditekukan di sendi lutut dan kaki didorsofleksikan. f. Teknik Pemeriksaan Refleks Superfisial Refleks superficial ialah gerakan reflektorik yang timbul sebagai respons atas stimulasi terhadap kulit atau mukosa.

Gambar 2.21 (kiri) pemeriksaan reflekspektoralis. (tengah) pemeriksaan refleks patella, dengan posisi kedua kaki digantung. (kanan) pemeriksaan refleks patella, dengan posisi kedua kaki di atas lantai (sumber: Talley dan OConnor dalam Muttaqin, 2008).

Gambar 2.22 Pemeriksaan refleks tendon Achilles (sumber: Talley dan OConnor dalam Muttaqin, 2008).

44

Gambar 2.23 (kiri) goresan pada dinding perut (panah) untuk membangkitkan refleks kulit dinding perut, (kanan) pemeriksaan refleks kremaster (sumber: Talley dan OConnor dalam Muttaqin, 2008). g. Refleks Kontraksi Abdominal Refleks suprfisial yang ada ditimbulkan oleh goresan pada kulit dinding abdomen. Hasil yang didapat adalah kontraksi yang tidak disadari otot abdomen dan selanjutnya menyebabkan skrotum tertarik. h. Refleks Kremaster dan Refleks Skrotal Penggoresan dengan ujung gagang palu refleks terhadap kulit paha bagian medial akan dijawab dengan elevasi testis ipsilateral. Refleks ini tidak boleh disamakan dengan refleks scrotal yang merupakan refleks visceral. i. Refleks Gluteal Refleks ini terdiri atas gerakan reflektorik otot gluteus ipsilateral bilamana bokong digores atau ditusuk dengan jarum atau ujung gagang palu refleks, refleks gluteal menghilang jika terdapat lesi di segmen L4-S1. j. Refleks Plantar Penggoresan terhadap kulit telapak kaki akan menimbulkan plantar fleksi kaki dan fleksi semua jari kaki pada kebanyakan orang yang sehat. k. Pemeriksaan Refleks Patologis Refleks patologis adalah refleks-refleks yang tidak dapat dibangkitkan pada orang-orang yang sehat, kecuali pada bayi dan anak kaecil. Kebanyakan merupakan gerakan reflektorik defensif atau postural yang beda pada orang dewasa yang sehat terkelola dan ditekan oleh aktivitas susunan piramidal.

45

Gambar 2.24 Goresan pada kulit telapak kaki (a). Respos akan menimbulkan plantar fleksi kaki dan fleksi semua jari kaki, (b) Bbinski positif di mana respons goresan akan menimbulkan plantar ekstensor kaki dan pengembangan pada semua jari kaki (sumber: Muttaqin, 2008) l. Refleks Patologis di Tangan Lesi di susunan pyramidal menimbulkan refleks patologis di tangan. Adapun refleks patologis di tangan/lengan meliputi: refleks tromner, refleks Hoffman, refleks wartenberg. m. Refleks Patologis Pertanda Regresi Gerakan reflektorik yang bangkit secara fisiologis pada bayi tidak lagi dijumpai pada anak-anak yang sudah besar. Apabila pada orang dewasa dapat ditimbulkan kembali gerakan reflektorik tersebut, maka fenomena itu menandakan kemunduran fungsi sususnan saraf pusat. Refleks-refleksnyang menandakan proses regresi itu adalah refleks menetek, snout, memegang. Gerakan involunter merupakan gerakan yang timbul tidak sesuai dengan kemauan, tidak dikehendaki, dan tidak bertujuan. Adapun gerakan involunter yang sering dijumpai meliputi tremor, Tic, Spasme, serta diskinesia dan distonia(Sidharta dalam Muttaqin, 2008:129) a. Tremor Tremor merupakan suatu gerakan yang tidak dkehendaki dan tidak bertujuan yang terdiri atas satu seri gerakan bolak-balik secara ritmik sebagai manifestasi kontraksi berselingan kelompok otot yang fungsinya berlawanan.pada istilah awamnya, termor disebut gemetar. Klasifikasi tremor dapat dibuat menurut frekuensi tremor (tremor cepat/lambat), menurut amplitudonya (tremor halus/kasar), menurut sikap bagian tubuh yang memperlihatkan tremor (tremor postural/static/intensional). Tetapi pembagian

46

tremor dengan tujuan praktik klinik adalah sesuai dengan klasifikasi tremor menurut kausanya meliputi 1) Tremor fisiologis Setiap orang sehat akan menunjukkan tremor sewaktu melakukan gerakan tangkas secara lambat sekali misalnya menulis lambat, melakukan operasi di mana pembedahan halus harus dilakukan dan sebagainya. Tremor tersebut biasanya pada jari-jari dan tangan dan berfrekuensi 8-12 detik. Tremor yang jelas pada orang-orang sehat dan yang timbul karena ketegangan, keletihan, atau ketakutan/kegelisahan merupakan tremor fisiologis yang berlebihan.
2) Tremor esensial heredofamilial

Tremor ini biasanya ditemukan pada lengan saja. Namun bibir, lidah, kepala, dan rahang bawah dapat menunjukkan tremor juga. Karena gemetaran di lidah, rahang bawah dan juga otot-otot pita suara, maka tidak jarang penderita tidak dapat berbicara secara artikular sehingga kurang dimengerti. Frekuensi tremor ini ialah 8-12 kali per detik, berlangsung terus-menerus pada saat melakukan gerakan tangkas dan hilang dalam sikap istirahat. Tremor esensial dapat timbul pada bayi tetapi jarang pada dewasa muda dan tua (tremor sinilis).
3) Tremor penyakit Parkinson

Tremor ini menunjukkan sifat-sifat yang khas. Tremornya adalah terutama tremor sewaktu istirahat, hilang sama sekali kalau hendak melakukan gerakan tangkas, tetapi timbul kembali apabila gerakan tangkas yang dilakukan mulai berhenti. Anggota gerak yang tremor ialah tangan dan jarijari. Frekuensi tremor sekitar 2-7 sedetik. Tremor ini merupakan salah satu gejala khas dari penyakit Parkinson.
4) Tremor iatrogenic

Tremor ini dapat timbul karena obat atau karena factor kepribadian dari kllien. Banyak kklien menyatakan tidak kuat untuk disuntik. Bilamana klien setengah dipaksa untuk menerima suntikan, tremor, dan palpitasi dapat bangkit akibat takut.
5) Tremor metabolik

47

Tremor yang timbul akibat zat-zat metabolic yang bersifat kolinergik. Gejala yang umum ialah tremor halus pada falang-falang jari tangan karena hipertiroidismus. b. Tic Tic adalah istilah Prancis yang sudah mempunyai status internasional. Tic merupakan suatu gerakan otot invounter yang berupa kontraksi otot setempat, sejenak, namun berkali-kali dan adakalanya selalu serupa atau berbentuk majemuk. Menurut gerakan otot involunter yang timbul maka Tic diberi tambahan sesuai lokasi kontraksi otot setempat. Dengan demikian dikenal Tic fasialis, yang mengenai otot-otot wajah. Tic orbikularis oris, Tic orbikularis okuli dan Tic de pensee. Dalam hali itu otot yang berkontraksi secara involunter ialah otot orbikularis orir, otot orbikularis okuli dan otot zygomatikus mayor, atau otot fasial lainnya. c. Spasme Spasme adalah kejang otot setempat yang mengenai sekelompok atau beberapa kelompok otot yang timbul secara involunter. Adanya kejang otot disebabkan oleh gangguan otot atau karena gangguan persarafannya. Gangguan pada persarafan bisa terjadi di tingkat perifer atau di pusat. 2.4.6 Pemeriksaan Neurologis pada Bayi dan Anak Sebelum melakukan pemeriksaan neurologis pada bayi, perlu diketahui adanya beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pemeriksaan, yaitu: a. Waktu Pemeriksaan Waktu yang paling tepat untuk melakukan pemeriksaan adalah 2-3 jam setelah bayi selesai minum. Bayi dan anak yang diperiksa dalam keadaan mengantuk atau letih akan memberikan reaksi berlainan bila dibandingkan dengan mereka yang sudah beristirahat cukup.

b. Suhu Ruang Periksa Suhu ruangan yang baik pada saat pemeriksaan adalah berkisar antara 2729C.

48

Seperti halnya juga pada pemeriksaan-pemeriksaan klinis lainnya, sebaiknya pemeriksaan dimulai dengan inspeksi setelah itu diikuti dengan menilai fungsi penglihatan, fungsi pendengaran, fungsi motorik dan lain-lain. a. INSPEKSI Bayi atau bayi baru lahir secara normal akan berbaring dengan posisi lengan dan tungkai dalam keadaan fleksi, sedangkan tangannya menggenggam. Posisi bayi baru lahir tanpa kelainan neurologis bila diletakkan pada meja periksa dalam posisi telungkup (pronasi/ prone position) maka kepalanya masih akan menempel pada meja, kedua lengan dan tungkainya dalam keadaan fleksi dan bokong ke atas. Dengan semakin bertambahnya usia, maka kepalanya akan diangkat. Posisi fleksi pada bayi normal akan semakin tampak kurang jelas dengan semakin bertambahnya usia. Beberapa posisi abnormal yang dapat dijumpai pada bayi atau bayi baru lahir antara lain: 1) FROG POSTURE Yaitu bilamana kedua lengannya terbaring lemas di samping tubuhnya, kedua tangan terbuka disertai abduksi dan eksternal rotasi sendi panggul. Besar kemungkinan bayi tersebut adalah Floppy Infant 2) HEMIPLEGI Yaitu bilamana hanya ekstremitas satu sisi yang fleksi, sedangkan sisi lainnya esktensi lemah. Bila hanya satu ekstremitas atas yang ekstensi lemah, kemungkinan suatu Erbs Paralyse. 3) OPISTHOTONUS Bilamana dijumpai opisthotonus yang disertai dengan ekstensi spastik pada ke-empat ekstremitas kita curigai adanya Cerebral Palsy 4) HIPOTONI Yaitu apabila bayi terbaring lurus tertelungkup dengan posisi kedua lengan dan tungkainya diletakkan lurus di atas meja. Biasanya bayi dengan posisi seperti ini memiliki kelainan pada SSP. b. PEMERIKSAAN SARAF KRANIALIS

49

Ada 12 buah saraf kranialis yang harus dievaluasi pada bayi dan anak. Dengan melakukan pemeriksaan lengkap pada ke 12 buah saraf kranialis tersebut kita dapat mengetahui ada tidaknya gangguan pada otak. 1) PTOSIS Adanya ptosis baik unilateral maupun bilateral menunjukkan kemungkinan adanya gangguan di beberapa sistem saraf, antara lain:
a) Lesi pada saraf simpatik m. elevator palpebra (Horners Syndrome

b) Lesi pada N.III (Okulomotorius) c) Congenital Myasthenia Gravis d) Myotonic Dystrophy e) Congenital Muscular Dystrophy f) Centronuclear Myopathy 2) Gerakan Bola Mata Observasi pada pergerakan bola mata dapat menunjukkan adanya gangguan pada otot otot ekstraokuler yang diinervasi oleh N.III, N.IV (Trokhlearis) dan N.VI (Abdusens) 3) Otot Wajah Pada saat bayi atau anak menangis kita dapat melihat apakah kontraksi otot-otot wajahnya simetris atau tidak. Adanya lesi pada N.VII (Fasialis) menyebabkan wajah bayi atau anak tampak tidak menangis. 4) Mengisap Kekuatan mengisap pada bayi dan anak, selain dipengaruhi otot-otot wajah yang diinervasi N.VII juga dipengaruhi oleh N.V (Trigeminus). Lesi pada kedua saraf kranialis tersebut menyebabkan bayi atau anak mengalami kesulitan mengisap ASI atau PASI. 5) Penciuman Merupakan fungsi dari N.I (Olfaktorius). Pemeriksaan penciuman pada bayi bukanlah hal yang mudah, tetapi pada anak yg lebih besar kita bisa meminta mereka untuk membau dengan posisi mata tertutup. simetri pada waktu

50

Sebelum melakukan tes, pastikan terlebih dahulu tidak didapatkan adanya gangguan atau sumbatan pada lubang hidung. Pada bayi kita bisa menempelkan gelas obyek atau membran dan melihat adanya pengembunan akibat udara yang dikeluarkan. Anosmia adalah ketidakmampuan untuk membau aroma. Anosmia unilateral biasanya berkaitan dengan kerusakan pada SSP. Kerusakan yang terjadi bisa pada N.I itu sendiri, talamus atau lobus frontalis, atau pada struktur-struktur yang menghubungkan organ-organ tersebut. Penyebab kelainan ini adalah trauma kepala, aneurisma, perdarahan intraserebral atau tumor. 6) Refleks Cahaya Refleks cahaya yang positif menunjukkan adanya respon dari N.II dan N.III. 7) N.IX dan N.X Refleks muntah, pergerakan pallatum dan faring, kemampuan menelan dan kekuatan tangis bayi dipengaruhi oleh inervasi N.IX (Glosofaringius) dan N.X (Vagus). 8) Posisi Lidah Pada lidah perhatikan ada tidaknya atropi atau fasikulasi. Lidah diperiksa harus dalam keadaan istirahat di dasar mulut. Apabila didapatkan kontraksi yang cepat dan fasikulasi, harus dicurigai adanya gangguan pada nukleus N.XII (Hipoglosus) atau kranialis N.XII. c. FUNGSI MOTORIK Evaluasi sistem motor pada anak usia sekolah dapat dilakukan secara formal dan biasanya cukup pada otot proksimal dan distal anggota gerak atas dan bawah. Uji kekuatan otot hanya dapat dilakukan pada anak yang sudah dapat mengerjakan instruksi pemeriksa dan kooperatif. Pada bayi dan anak yang tidak kooperatif hanya dapat dinilai kesan keseluruhan saja. 1) Respon Traksi Pada seorang bayi atau anak yang normal, sebelum dapat duduk maka dia terlebih dahulu harus mempunyai kontrol terhadap fungsi otot-otot lehernya. Sejak lahir sampai dengan usia 2 bulan, kepala anak akan

51

tertinggal bilamana kita mengangkat anak tersebut pada kedua tangannya dari posisi tidur ke posisi duduk. Keadaan ini disebut dengan Head Leg. Salah satu tes untuk mengetahui kontrol terhadap otot-otot leher dan kepala ini adalah Respon Traksi. Caranya: Bayi ditidurkan dalam posisi supinasi simetris, kemudian pemeriksa memegang kedua tangan bayi pada pergelangan tangan, secara perlahan-lahan anak ditarik sampai pada posisi duduk. Kemudian dievaluasi kemampuan bayi dalam mengontrol posisi leher dan kepalanya. Apabila kepala masih tertinggal di belakang pada saat bayi posisi duduk maka head leg-nya positif (masih ada), tapi apabila bayi mampu mengangkat kepalanya pada saat posisi duduk maka head leg-nya negatif (menghilang). Head leg harus sudah menghilang setelah bayi berusia 3 bulan. Apabila setelah usia 3 bulan masih didapatkan head leg yang positif, maka harus dicurigai adanya kemungkinan hipotoni, kelainan SSP atau prematuritas. 2) Suspensi Ventral Dengan melalukan tes suspensi ventral kita dapat mengetahui kontrol kepala, curvatura thoraks dan kontrol tangan dan kaki terhadap gravitasi. Caranya: Bayi ditidurkan dalam posisi pronasi, kemudian telapak tangan pemeriksa menyanggah badan bayi pada daerah dada. Pada bayi aterm dan normal, posisi kepala akan jatuh ke bawah membentuk sudut 45 atau kurang dari posisi horizontal, punggung lurus atau sedikit fleksi, tangan fleksi pada siku dan sedikit ekstensi pada sendi bahu dan sedikit fleksi pada sendi lutut. Dengan bertambahnya usia, posisi kepala terhadap badan bayi akan semakin lurus (horizontal). Pada bayi hipotoni, leher dan kepala bayi sangat lemas sehingga pada tes suspensi ventral akan berbentuk seperti huruf U terbalik. Sedangkan pada bayi palsi serebral tes suspensi ventral akan menunjukkan posisi hiperekstensi. d. REFLEKS-REFLEKS PADA BAYI DAN ANAK Refleks-refleks yang ditimbulkan pada bayi dan anak, sebagian besar menunjukkan tahap perkembangan susunan somatomotorik sehingga banyak sekali informasi yang dapat diperoleh dengan melakukan pemeriksaan tersebut.

52

1) Refleks MORO Refleks MORO timbul akibat dari rangsangan yang mendadak. Caranya: Bayi dibaringkan terlentang, kemudian diposisikan setengah duduk dan disanggah oleh kedua telapak tangan pemeriksa, secara tiba-tiba tapi hatihati kepala bayi dijatuhkan 30 45(merubah posisi badan anak secara mendadak). Refleks MORO juga dapat ditimbulkan dengan menimbulkan suara keras secara mendadak ataupun dengan menepuk tempat tidur bayi secara mendadak. Refleks MORO dikatakan positif bila terjadi abduksi-esktensi keempat ekstremitas dan pengembangan jari-jari, kecuali pada falangs distal jari telunjuk dan ibu jari yang dalam keadaan fleksi. Gerakan itu segera diikuti oleh adduksi-fleksi ke-empat ekstremitas. Refleks MORO asimetri menunjukkan adanya gangguan sistem neuromuskular, antara lain pleksus brakhialis. Apabila asimetri terjadi pada tangan dan kaki kita harus mencurigai adanya HEMIPARESIS. Selain itu juga perlu dipertimbangkan bahwa nyeri yang hebat akibat fraktur klavikula atau humerus juga dapat memberikan hasil refleks MORO asimetri. Sedangkan refleks MORO menurun dapat ditemukan pada bayi dengan fungsi SSP yang tertekan misalnya pada bayi yang mengalami hipoksia, perdarahan intrakranial dan laserasi jaringan otak akibat trauma persalinan, juga pada bayi hipotoni, hipertoni dan prematur. Refleks MORO menghilang setelah bayi berusia lebih dari 6 bulan. 2) Refleks PALMAR GRASP Caranya: Bayi atau anak ditidurkan dalam posisi supinasi, kepala menghadap ke depan dan tangan dalam keadaan setengah fleksi. Dengan memakai jari telunjuk pemeriksa menyentuh sisi luar tangan menuju bagian tengah telapak tangan secara cepat dan hati-hati, sambil menekan permukaan telapak tangan. Refleks PALMAR GRASP dikatakan positif apabila didapatkan fleksi seluruh jari (memegang tangan pemeriksa). Refleks PALMAR GRASP asimetris menunjukkan adanya kelemahan otototot fleksor jari tangan yang dapat disebabkan akibat adanya palsi pleksus

53

brakhialis inferior atau disebut Klumpkes Paralyse.Refleks PALMAR GRASP ini dijumpai sejak lahir dan menghilang setelah usia 6 bulan. Refleks PALMAR GRASP yang menetap setelah usia 6 bulan khas dijumpai pada penderita cerebral palsy. 3) Refleks PLANTAR GRASP Caranya: Bayi atau anak ditidurkan dalam posisi supinasi kemudian ibu jari tangan pemeriksa menekan pangkal ibu jari bayi atau anak di daerah plantar. Refleks PLANTAR GRASP dikatakan positif apabila didapatkan fleksi plantar seluruh jari kaki. Refleks PLANTAR GRASP negatif dijumpai pada bayi atau anak dengan kelainan pada medula spinalis bagian bawah. Refleks PLANTAR GRASP ini dijumpai sejak lahir, mulai menghilang usia 9 bulan dan pada usia 10 bulan sudah menghilang sama sekali.
4) Refleks SNOUT

Caranya: Dilakukan perkusi pada daerah bibir atas. Refleks SNOUT dikatakan positif apabila didapatkan respon berupa bibir atas dan bawah menyengir atau kontraksi otot-otot di sekitar bibir dan di bawah hidung. Refleks SNOUT ini dijumpai sejak lahir dan menghilang setelah usia 3 bulan. Refleks SNOUT yang menetap pada anak besar menunjukkan adanya regresi SSP. 5) Refleks TONIC NECK Caranya: Bayi atau anak ditidurkan dalam posisi supinasi, kemudian kepalanya diarahkan menoleh ke salah satu sisi. Refleks TONIC NECK dikatakan positif apabila lengan dan tungkai yang dihadapi/sesisi menjadi hipertoni dan ekstensi, sedangkan lengan dan tungkai sisi lainnya/dibelakangi menjadi hipertoni dan fleksi Refleks TONIC NECK ini dijumpai sejak lahir dan menghilang setelah usia 5 - 6 bulan. Refleks TONIC NECK yang masih mantap pada bayi berusia 4 bulan harus dicurigai abnormal. Dan apabila masih bisa dibangkitkan setelah berusia 6 bulan atau lebih harus sudah dianggap patologik. Gangguan yang terjadi biasanya pada ganglion basalis. 6) Refleks Berjalan (STEPPING)

54

Caranya: Bayi dipegang pada daerah thoraks dengan kedua tangan pemeriksa. Kemudian pemeriksa mendaratkan bayi dalam posisi berdiri di atas tempat periksa. Pada bayi berusia kurang dari 3 bulan, salah satu kaki yang menyentuh alas tampat periksa akan berjingkat sedangkan pada yang berusia lebih dari 3 bulan akan menapakkan kakinya. Kemudian diikuti oleh kaki lainnya dan kaki yang sudah menyentuh alas periksa akan berekstensi seolah-olah melangkah untuk melakukan gerakan berjalan secara otomatis. Refleks berjalan tidak dijumpai atau negatif pada penderita cerebral palsy, mental retardasi, hipotoni, hipertoni dan keadaan di mana fungsi SSP tertekan. 7) Reaksi Penempatan Taktil (PLACING RESPONSE) Caranya: Seperti pada refleks berjalan, kemudian bagian dorsal kaki bayi disentuhkan pada tepi meja periksa. Respon dikatakan positif bila bayi meletakkan kakinya pada meja periksa. Respon yang negatif dijumpai pada bayi dengan paralise ekstremitas bawah. 8) Refleks Terjun (PARACHUTE) Caranya: Bayi dipegang pada daerah thorak dengan kedua tangan pemeriksa dan kemudian diposisikan seolah-olah akan terjun menuju meja periksa dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki. Refleks terjun dikatakan positif apabila kedua lengan bayi diluruskan dan jari-jari kedua tangannya dikembangkan seolah-olah hendak mendarat di atas meja periksa dengan kedua tangannya. Refleks terjun tidak dipengaruhi oleh kemampuan visual, karena pada bayi buta dengan fungsi motorik normal akan memberikan hasil yang positif. Refleks terjun mulai tampak pada usia 8 9 bulan dan menetap. Refleks terjun negatif dijumpai pada bayi tetraplegi atau SSP yang tertekan. Pengukuran lingkar kepala (Head Circumference) merupakan bagian dari pemeriksaan klinis yang murah, mudah dan sangat penting pada bayi dan anak. Pertumbuhan kepala sangat tergantung dari pertumbuhan isi kepala. Apabila otak tidak berkembang secara maksimal maka kepala akan tetap kecil dan hal ini merupakan tanda akan terjadinya perkembangan mental yang subnormal. Selain itu,

55

apabila didapatkan hambatan terhadap jalannya cairan serebrospinal (CSS) akan menyebabkan terjadinya peningkatan volume kepala sehingga kepala akan membesar. Penambahan lingkar kepala adanya kemungkinan hidrosefalus. Walaupun demikian, harus dipertimbangkan pula kecepatan pertumbuhan dari berat badan dan lingkar dada, karena pada beberapa kasus di mana pengukuran lingkar kepala menunjukkan pembesaran yang cepat tetapi apabila dibandingkan dengan pertumbuhan berat badan ternyata masih dalam batas normal. Oleh karena itu selain pengukuran lingkar kepala perlu diperhatikan pula bentuk kepala penderita dan orang tuanya, ubun-ubun besar penderita, sutura dan lain-lain. Pengukuran lingkar kepala yang benar adalah mengukur lingkaran kepala yang melewati titik suboksipito-bregmatikus. Sampai dengan sekarang tabel yang dipergunakan sebagai referensi pengukuran lingkar kepala pada bayi dan anak adalah Tabel NELLHAUS, di mana lingkar kepala bertambah 12 cm dalam 12 bulan pertama dengan distribusi yang tidak merata.
2.4.7 Pengkajian

yang cepat merupakan tanda pertama

Pengkajian-pengkajian yang dapat dilakukan yaitu: a. Pengkajian Psikososial Meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. b. Kemampuan Koping Normal Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga serta masyarakat dan respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
c.

Pengkajian sosio ekonomi spiritual

Perawat harus melakukan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri atas dua masalah yaitu

56

keterbatasan yang diakibatkan oleh deficit neurologis dalam hubungannya dengan peran sosial klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan neurologis di dalam sistem dukungan individu. d. Pengkajian Tingkat Kesadaran Kesadaran merupakan keadaan yang mencerminkan pengintegrasian impuls eferen dan aferen. Keseluruhan dari impuls aferen dapat disebut input susunan saraf pusat dan keseluruhan dari impuls eferen dapat disebut output susunan saraf pusat. 2.4.8 Evaluasi Neurologik Pemeriksaan dimulai dari fungsi tertinggi sampai yang paling dasar dari korteks serebri sampai bususr refleks spinal. Selama anamnesis, perhatikanlah afek (keadaan jiwa), penampilan, cara berbicara dan kelakuan pasien; ini semua member petunjuk segera tentang penyakit neurologis. Konfabulasi adalah teknik yang dipakai oleh pasien untuk mengimbangi gangguan fungsi mental atau neurologis. Pasien hanya memberikan jawaban umum untuk memenuhi harapan kita. Namun jawaban-jawaban tersebut tidak memberikan informasi dan dapat membuat pewawancara menjadi frustasi. Dengarkanlah dengan cermat apa yang dikatakan oleh pasien kita. Demikian pula, pasien dengan kelainan prosensefalon dapat kehilangan nada emosional yang biasanya mewarnai suatu pembicaraan. Kalau diamati secara teliti, mereka kelihatan tidak berperasaan, sedikit disorientasi dan kurang memperhatikan hal-hal pribadi.

BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan Pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan yang dilakukan pada bagian tubuh dari kepala sampai kaki. Pemeriksaan fisik adalah salah satu teknik pengumpul data untuk mengetahui keadaan fisik dan keadaan kesehatan. Manfaat dari pemeriksaan fisik yaitu memperoleh informasi mengenai status kesehatan pasien, mendapatkan

57

data objektif dari riwayat keperawatan pasien, menentukan status kesehatan pasien, mengidentifikasi masalah pasien, mengambil data dasar untuk menentukan rencana tindakan keperawatan. Secara umum pemeriksaan fisik pada sistem persarafan ditujukan untuk area fungsi mayor meliputi pemeriksaan: 1. Tingkat kesadaran 2. Fungsi serebri 3. Saraf kranial 4. Sistem motorik 5. Respons refleks 6. Sistem sensorik

3.2 Saran Dalam melakukan pemeriksaan fisik sistem persarafan (B3), seorang perawat memerlukan pengetahuan tentang anatomi, fisiologi, dan patofisiologi dari sistem persarafan. Pemeriksaan fisik sistem persarafan dan interpretasi hasilnya memerlukan banyak latihan. Tanda-tanda dari kelainan saraf sangat bergantung pada lokalisasi anatomi dari setiap lesi yang ada. Pada praktiknya teknik pemeriksaan sistem persarafan lebih rumit daripada pemeriksaan sistem lainnya, maka penting untuk mengingat kembali neuro anatomi dasar. Sebagai perawat, kita dituntut mampu untuk memberikan asuhan keperawatan secara optimal pada pasien. Jika asuhan keperawatan yang diberikan perawat mulai dari pengkajian, diagnosa, perencanaan, intervensi sampai evaluasi dilaksanakan dengan tepat dan baik dapat membantu penderita gangguan sistem persarafan untuk dapat mempertahankan kondisi kesehatannya.

58

DAFTAR PUSTAKA Behrman, Richard E., Kliegman, Robert M. dan Arvin, Ann M. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Volume 3. Jakarta: EGC. Brooker, Chris. Editor. 2009. Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta: EGC. Burnside, John W. Dan McGlynn, Thomas J. 1995. Diagnosis Fisik. Edisi 17. Jakarta: EGC.

59

Ginsberg, Lionel. Lecture Notes: Neurologi. Alih bahasa oleh Indah Retno Wardani. 2007. Jakarta: Erlangga. Gruendemann, Barbara J. dan Fernsebner, Billie. 2006. Buku Ajar Keperawatan Perioperatif. Volume 2. Jakarta: EGC. Hidayati, Ratna. 2009. Asuhan Keperawatan pada Kehamilan Fisiologis dan Patologis. Jakarta: Salemba Medika. Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika. Muttaqin, Arif. Tanpa Tahun. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika. Priharjo, Robert. 2007. Pengkajian Fisik Keperawatan. Jakarta: EGC. Saharso, Darto, Herjana, Achmad Y, dan Erny. 2005. Pemeriksaan Neurologis pada Bayi dan Anak. Tidak diterbitkan. Lokakarya Tumbuh Kembang Anak. Surabaya: RSU Dr. Soetomo. Sloane, Ethel.2004. Anatomi dan Fisiologi untk Pemula.Jakarta:EGC. Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth. Volume 3. Edisi 8. Alih bahasa Agung Waluyo dkk. Jakarta: EGC. Swartz, Mark H. 1995. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta: EGC. Willms, Janice L., Schneiderman, Henry, dan Algranati, Paula S. 2005. Diagnosis Fisik: Evaluasi Diagnosis dan Fungsi di Bangsal. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai

  • Sap Hiv Aids
    Sap Hiv Aids
    Dokumen7 halaman
    Sap Hiv Aids
    Kurnia Eka Maulida
    Belum ada peringkat
  • LP SC
    LP SC
    Dokumen17 halaman
    LP SC
    Retno Utami
    Belum ada peringkat
  • Kejang Demam
    Kejang Demam
    Dokumen3 halaman
    Kejang Demam
    Kurnia Eka Maulida
    Belum ada peringkat
  • Untuk Hafalan Quran
    Untuk Hafalan Quran
    Dokumen2 halaman
    Untuk Hafalan Quran
    Kurnia Eka Maulida
    Belum ada peringkat
  • Darma Wanita
    Darma Wanita
    Dokumen1 halaman
    Darma Wanita
    Kurnia Eka Maulida
    Belum ada peringkat
  • Asmaul Husna
    Asmaul Husna
    Dokumen1 halaman
    Asmaul Husna
    Kurnia Eka Maulida
    Belum ada peringkat
  • Kebudayaan Material
    Kebudayaan Material
    Dokumen1 halaman
    Kebudayaan Material
    Kurnia Eka Maulida
    Belum ada peringkat
  • Pertemuan 1
    Pertemuan 1
    Dokumen1 halaman
    Pertemuan 1
    Kurnia Eka Maulida
    Belum ada peringkat