Anda di halaman 1dari 5

UPAYA ADAPTASI DAN MITIGASI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP DAMPAK PERUBAHAN IKLIM Permasalahan tentang perubahan iklim beberapa

tahun terakhir menjadi topik yang sering dibahas karena menyangkut isu global. Dampak dari perubahan iklim dalam dekade terakhir ini sudah mulai dirasakan oleh masyarakat dunia dari berbagai sektor. Salah satunya adalah sektor pertanian. Perubahan iklim ini tampak dari perubahan curah hujan yang sangat berpengaruh pada sektor pertanian. Seperti yang kita ketahui, sistem pertanian di Indonesia sangat ditentukan oleh pola curah hujan. Secara umum perubahan iklim akan membawa perubahan kepada parameterparameter cuaca yaitu temperatur, curah hujan, tekanan, kelembaban udara, laju serta arah angin, kondisi awan, dan radiasi matahari. Perubahan pada curah hujan akan berdampak pada sektor-sektor yang terkait dengan air, yaitu sumber daya air, pertanian, infrastruktur (termasuk pemukiman, transportasi, Pembangkit Listrik Tenaga Air dan penataan ruang), perikanan, rawa dan lahan gambut, serta pantai. Pada sektor pertanian, dampak yang terlihat dari perubahan pola curah hujan yang ektrim adalah dari hasil panen (produksi) pertanian. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh departemen pertanian, selama kurun waktu 1993 sampai dengan 2002, akibat musim kemarau yang berkepanjangan, sekitar 220.380 ha lahan kekeringan dan mengalami puso (gagal panen) mencapai 43.434 ha atau setara dengan 190.000 ton kehilangan gabah kering. Sedangkan lahan yang terkena banjir seluas seluas 158.787 ha dan mengalami puso mencapai 39.912 ha atau setara dengan 174.000 ton kehilangan gabah kering. Dampak yang dikhawatirkan dari terjadinya gagal panen adalah rawan pangan yang pada akhirnya dapat menimbulkan kelaparan jika tidak ditangani secara dini.

Hal.1

Gambar 1. Gagal panen padi akibat banjir

Gambar 2. Gagal panen padi akibat kekeringan

Hal.2

Dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian tidak hanya berhubungan dengan kondisi biofisik seperti penurunan kualitas dan kuantitas tanaman pangan akibat perubahan kualitas lahan, tanah, air, dan organisme pengganggu tanaman (OPT) tetapi juga berpengaruh pada kondisi sosial dan ekonomi. Akibat perubahan iklim berupa cuaca yang ekstrim, dapat menimbulkan gagal panen sehingga terjadinya penurunan hasil dan produksi. Penurunan hasil dan produksi berimbas pada penurunan pendapatan domestik bruto (PDB) dari sektor pertanian, fluktuasi harga pasar dunia dan kenaikan harga. Untuk mengatasi dampak negatif pada sektor pertanian akibat dari terjadinya perubahan iklim, perlu ada beberapa upaya yang harus dilakukan. Upaya tersebut dilakukan dengan proses adaptasi dan mitigasi. Mitigasi dalam perubahan iklim, umumnya dimaksudkan sebagai tindakan-tindakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Upaya mitigasi difokuskan pada dua sektor yaitu kehutanan dan energi. Adaptasi adalah tindakan untuk mengatasi berbagai dampak perubahan iklim. Kegiatan mitigasi dan adaptasi dari sektor pertanian dapat dilakukan melalui : Konservasi air dan tanah Konservasi tanah dan air dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu secara sipil teknis dan secara vegetatif. Konservasi air dan tanah secara sipil teknis dapat dilakukan dengan pembuatan teras, yaitu teras gulud dan teras bangku. Sedangkan konservasi tanah dan air secara vegetasi dilakukan dengan penanaman tanaman lorong (alley cropping), silvipastura dan pemberian mulsa yang dapat mengurangi terjadinya erosi.
Aforestasi melalui agroforestry dengan tanaman pengikat nitrogen

Aforestasi adalah penghutanan pada lahan yang selama 50 tahun atau lebih bukan merupakan hutan. Ketentuan tentang tata cara aforestasi terdapat dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.14/Menhut-II/2004 tentang tata cara Aforestasi dan Reforestasi Dalam Kerangka Mekanisme Pembangunan Bersih. Aforestasi merupakan tanggung jawab Departemen Kehutanan. Afeorestasi melalui agroforestry diarahkan pada tanaman pengikat nitrogen karena fungsi hutan adalah sebagai carbon sink (penyimpan karbon). Jenis tanaman pengikat nitrogen umumnya berasal dari jenis kacang-kacangan (legum). Tanaman legum mempunyai kemampuan untuk mengikat (fiksasi) nitrogen dalam bentuk N2 langsung dari udara karena bersimbiosis dengan bakteri pada akar dan Hal.3

batangnya. Simbiosis ini bersifat khas, dimana setiap spesies legum hanya dapat bersimbiosis dengan spesies bakteri tertentu. Sebagai contoh tanaman kedelai hanya dapat bersimbiosis secara efektif dengan jenis bakteri Bradyrhizobium japonicum.

Gambar 3. Contoh tanaman legum yang dapat memfiksasi nitrogen


Penyesuaian waktu tanam yang dilakukan oleh petani.

Dampak perubahan iklim seperti perubahan pola curah hujan dan semakin tidak menentunya awal musim hujan maupun kemarau menyebabkan kekacauan pada pola tanam sehingga para petani dituntut untuk menyesuaikan waktu tanam. Para petani yang memiliki sawah tadah hujan harus dapat menyesuaikan waktu tanam dengan turun hujan pertama, sehingga dapat memanen hasil yang lebih baik karena tanaman pangan pada musim hujan dapat tumbuh dengan subur. Sebaliknya jika sepanjang tahun diperkirakan terjadi musim kemarau, para petani dapat mengganti tanaman pangan dengan jenis tanaman yang lebih tahan terhadap kekeringan. Selain penyesuaian pola tanam, perbaikan saluran irigasi juga merupakan salah satu alternatif terbaik untuk menghadapi krisis air pada lahan pertanian di musim kemarau. Penanaman jenis tanaman yang lebih tahan terhadap perubahan iklim Salah satu upaya terpenting untuk mengatasi dampak terjadinya perubahan iklim pada sektor pertanian adalah dengan pemilihan jenis tanaman yang tahan terhadap Hal.4

air pada saat banjir di musim hujan dan tahan terhadap kekeringan pada saat musim kemarau. Contoh tanaman pangan jenis padi yang tahan terhadap kekeringan adalah palawija. Sedangkan jenis tanaman padi dikembangkan saat ini adalah jenis inpara. tahan terhadap banjir yang sedang

Hal.5

Anda mungkin juga menyukai