Anda di halaman 1dari 19

KISARAN TOLERANSI DAN FAKTOR PEMBATAS

1.1 Kisaran Toleransi Setiap organisme hanya dapat hidup dalam kondisi faktor lingkungan yang dapat ditolelirnya dinyatakan secara lain, yaitu menurut Hukum Toleransi (Shelford) setiap organisme mempunyai suatu minimum dan maksimum ekologis yang merupakan batas bawah dan batas atas dari kisaran toleransi organisme itu terhadap kondisi faktor lingkungannya. Kisaran toleransi terhadap suatu faktor lingkungan tertentu pada berjenis hewan yang berbeda dapat berbeda pula. Jenis hewan yang satu mungkin lebar kisaran toleransinya (euri-), jenis hewan lain mungkin sempit (steno-). Ikan Mujair misalnya mempunyai kisaran toleransi yang relatif lebar terhadap salinitas (eurihalin), sedang beberapa ikan laut sempit (stenohalin, polihalin). Demikian pula halnya suatu jenis hewan tertentu dapat berbeda-beda kisaran toleransinya terhadap berbagai faktor lingkungan yang berbeda. Misalnya hewan itu bersifat stenohidris dan oligohidris tetapi euritermal. Jenis-jenis hewan yang kisaran toleransinya untuk banyak faktor lebar, biasanya mempunyai daerah sebaran yang relatif luas. Tidak mudah untuk menentukan batas-batas kisaran toleransi suatu hewan terhadap suatu faktor lingkungan, terlebih dalam lingkungan alami. Setiap organisme terdedah pada sejumlah faktor lingkungan, dan oleh adanya suatu interaksi faktor, maka sesuatu faktor lingkungan dapat mengubah efek faktor lingkungan lain. Misalnya suatu individu hewan akan merasakan efek suhu tinggi yang lebih keras apabila kelembaban udara tinggi, dibandingkan dengan pada kelembaban udara yang relatif rendah. Dengan kata lain, hewan akan lebih tahan terhadap suhu tinggi apabila udara kering dibandingkan dengan pada kondisi udara yang lembab. 1.2. Pengaruh Suhu Terhadap Pertumbuhan Ikan Suhu media berpengaruh terhadap aktifitas enzim pencernaan. Pada proses pencernaan yang tak sempurna akan dihasilkan banyak feses, sehingga banyak energi yang terbuang. Tetapi jika aktifitas enzim pencernaan meningkat maka laju pencernaan juga akan semakin meningkat, sehingga tingkat pengosongan lambung tinggi. Tingkat pengosongan lambung yang tinggi menyebabkan ikan cepat lapar dan nafsu makannya meningkat. Jika konsumsi pakan tinggi, nutien yang masuk kedalam tubuh ikan juga tinggi, dengan demikian ikan memiliki energi yang cukup untuk pertumbuhan.

Suhu media juga berpengaruh terhadap aktifitas enzim yang terlibat proses katabolisme dan anabolisme. Enzim metabolisme berpengaruh terhadap proses katabolisme (menghasilkan energi) dan anabolisme (sintesa nutrien menjadi senyawa baru yang dibutuhkan tubuh). Jika aktifitas enzim metabolisme meningkat maka laju proses metabolisme akan semakin cepat dan kadar metabolit dalam darah semakin tinggi. Tingginya kadar metabolit dalam darah menyebabkan ikan cepat lapar dan memiliki nafsu makan tinggi, sehingga tingkat konsumsi pakan meningkat. Konsumsi pakan yang tinggi akan meningkatkan jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh. Energi ini akan digunakan untuk proses-proses maintenance dan selanjutnya digunakan untuk pertumbuhan. Suhu media yang optimum akan mendorong enzim-enzim pencernaan dan metabolisme untuk bekerja secara efektif. Konsumsi pakan yang tinggi yang disertai dengan proses pencernaan dan metabolisme yang efektif, akan menghasilkan energi yang optimal untuk pertumbuhan. Proses metabolisme ikan umumnya meningkat jika suhu naik hingga dibawah batas yang mematikan. Berdasarkan hukum vant Hoff, kenaikan suhu sebesar 10C akan menyebabkan kecepatan reaksi metabolisme meningkat 2-3 kali lipat dibandingkan pada kondisi normal. Kebutuhan protein pada ikan untuk mendapatkan pertumbuhan yang optimum sangat dipengaruhi oleh suhu. Contoh pada suhu 20C pada ikan Channel Catfish (Ictalurus punctatus) memperlihatkan pertumbuhan optimum dengan kadar protein 35 %, sedangkan pada suhu 25C membutuhkan protein 40%. 1.3 Pengaruh Lingkungan Terhadap Organisme Akuatik Faktor-faktor lingkungan sering berfluktuasi, baik yang bersifat harian maupun musiman, kadang-kadang ditemukan kondisi yang ekstrim. Fluktuasi faktor lingkungan akan mempengaruhi kehidupan organisme, proses-proses fisiologis, tingkah lakunya dan mortalitas. Untuk mengurangi pengaruh buruk dari lingkungannnya maka ikan melakukan adaptasi. Adaptasi adalah suatu proses penyesuaian diri secara bertahap yang dilakukan oleh suatu organisme terhadap kondisi baru. Dalam rangka menyesuaikan diri dengan lingkungannya, hewan memiliki toleransi dan resistensi pada kisaran tertentu dari variasi lingkungan. Kemampuan mentolerir variable lingkungan ini erat kaitannya dengan faktor genetik dan sejarah hidup sebelumnya. Kisaran ekstrim dari variable lingkungan yang menyebabkan kematian bagi organisme disebut zone lethal. Kisaran intermedier dimana suatu organisme masih dapat hidup disebut zone toleransi. Namun demikian posisi dari zone-zone tersebut dapat berubah selama hidup suatu organisme.

Ikan akan melakukan mekanisme homeostasi yaitu dengan berusaha untuk membuat keadaan stabil sebagai akibat adanya perubahan variabel lingkungan. Mekanisme homeostasis ini terjadi pada tingkat sel yaitu dengan pengaturan metabolisme sel, pengontrolan permeabilitas membran sel dan pembuangan sisa metabolisme. Suhu ekstrim, perbedaan osmotik yang tinggi, racun, infeksi dan atau stimulasi sosial dapat menyebabkan stress pada ikan. Jika terjadi stress, maka ikan akan merespon dengan cara:

penurunan volume darah, penurunan jumlah leucosit, penurunan glikogen hati, peningkatan glukosa darah, menyusutnya diameter lambung menipisnya lapisar mukosa

Pengaruh lingkungan terhadap organisme dapat dibedakan kepada 5 kategori, yaitu:

Lethal factor, yaitu faktor lingkungan yang merusak sistem integrasi dari suatu organisme dan dapat menyebabkan kematian. Controlling factor, yaitu faktor lingkungan yang mempengaruhi aktivitas molekuler pada mata rantai metabolisme. Limiting factor, yaitu faktor lingkungan mempengaruhi laju metabolisme tetapi melalui pembatasan penyediaan nutrien atau pembuangan sisa metabolisme. Masking factor, yaitu faktor lingkungan yang merubah atau menghambat bekerjanya faktor lain (tidak langsung). Directive factor, yaitu faktor lingkungan yang menyebabkan gerakan atau terganggunya aktivitas suatu organisme.

1.4 Kondisi Lingkungan Ekstrem Kondisi faktor lingkungan sekitar yang optimum (preferendum), akan menghasilkan kinerja Biologis yang paling tinggi. Preferendum untuk sesuatu faktor lingkungan relatif mudah ditentukannya di laboratorium. Tidak demikian halnya di lingkungan alami. Terkonsentrasinya dalam jumlah banyak individu-individu suatu spesies hewan di suatu tempat dalam habitat

alaminya, belum tentu menunjukkan bahwa kondisi dari satu atau beberapa faktor lingkungan di tempat itu menunjukkan preferendumnya. Kehadiran pesaing atau predator dapat menyebabkan terhalangnya populasi hewan untuk mendiami tempat dengan kondisi faktor-faktor lingkungan penting, di kisaran-kisaran optimum yang sebenarnya. Manusia dan hampir seluruh mamalia hampir mustahil bisa hidup di dalam lingkungan dengan kondisi sangat ekstrem. Sebutlah suhu yang teramat dingin atau teramat panas. Namun ada makhluk-makhluk berukuran mikro yang justru menyenangi hidup di lingkungan sangat panas atau sangat dingin. Mikroba-mikroba ini justru tidak dapat berkembang di lingkungan di mana sebagian besar makhluk hidup lain dapat hidup dengan nyaman di dalamnya. Mikroba-mikroba ini biasa disebut "extremophile". "Extremo" berarti sangat berlebihan (ekstrem), "phile" berarti menyukai. Jadi extremophile adalah mikroba yang menyukai lingkungan habitat ekstrem untuk kelangsungan hidupnya. Makhluk hidup jenis ini, walaupun menurut dugaan banyak ilmuwan telah hidup di bumi jauh lebih tua daripada makhluk hidup lainnya, tetapi baru diketahui keberadaannya sekitar tahun 1980-an. Penelitian terhadap extremophile meningkat pesat sejak ditemukan mikroba yang dapat hidup mendekati suhu air mendidih oleh ilmuwan bernama Stetter dari Jerman. Ada extremophile yang menyukai lingkungan yang bersuhu sangat tinggi mendekati suhu didih (90Celcius). Bahkan hasil penemuan akhir-akhir ini menunjukkan ada mikroba yang bisa hidup di suhu 130Celcius. Extremophile yang menyenangi lingkungan sangat panas ini biasa disebut hyperthermophile. Penemuan hyperthermophile yang bisa hidup pada suhu di atas 100Celcius membawa spekulasi kepada kemungkinan adanya mikroba yang bisa hidup pada suhu lebih tinggi di atasnya, misalnya 200Celcius.
1.5 Lingkungan sebagai Faktor Pembatas

Apabila organisme terdedah pada suatu kondisi lingkungan yang mendekati batas kisaran toleransinya, maka organisme akan mengalami keadaan tekanan (stress) fisiologis. Sebagai contoh, hewan yang didedahkan pada suhu ekstrim rendah akan menunjukkan kondisi kritis berupa hipotermia, sedang pada suhu ekstrim tinggi akan mengakibatkan gejala hipertemia. Apabila kondisi lingkungan suhu yang mendekati batas-batas kisaran toleransi hewan itu berlangsung lama dan tidak segera berubah menjadi baik, maka hewan akan mati. Setiap kondisi faktor lingkungan yang besarnya atau intensitasnya mendekati atas kisaran toleransi organisme, akan beroperasi sebagai faktor pembatas, yang berperan dalam menetukan kesintasan organisme.

Proses kehidupan dan kegiatan makhluk hidup termasuk tumbuh hewan pada dasarnya akan dipengaruhi dan mempengaruhi faktor-faktor lingkungan, seperti cahaya, suhu atau nutrien dalam jumlah minimum dan maksimum. Justus von Liebig adalah seorang pionir yang mempelajari faktor-faktor lingkungan dan menjelaskan bahwa faktor lingkungan yang terdapat dalam jumlah minimumlah yang dapat berperan sebagai faktor pembatas. Penemuannya kemudian lebih dikenal sebagai "hukum minimum Liebig". Faktor-faktor lingkungan sebagai faktor pembatas ternyata tidak saja berperan sebagai faktor pembatas minimum, tetapi terdapat pula faktor pembatas maksimum. Bagi hewan tertentu misalnya factor lingkungan seperti suhu udara atau kadar garam (salinitas) yang terlalu rendah/sedikit atau terlalu tinggi/banyak dapat mempengaruhi berbagai proses fisiologinya. Faktor-faktor lingkungan tersebut dinyatakan penting jika dalam keadaan minimum, maksimum atau optimum sangat berpengaruh terhadap proses kehidupan hewan menurut batasbatas toleransinya.

Pengertian tentang faktor lingkungan sebagai faktor pembatas kemudian dikenal sebagai Hukum faktor pembatas, yang dikemukakan oleh F.F Blackman, yang menyatakan: jika semua proses kebutuhan hewan tergantung pada sejumlah faktor yang berbeda-beda, maka laju kecepatan suatu proses pada suatu waktu akan ditentukan oleh faktor yang pembatas pada suatu saat. Faktor-faktor lingkungan penting yang berperan sebagai sifat toleransi faktor pembatas minimum dan faktor pembatas maksimum yang pertama kali dinyatakan oleh V.E. Shelford, kemudian dikenal sebagai "hukum toleransi Shelford". Suatu jenis hewan yang mempunyai toleransi yang luas sebagai faktor pembatas cenderung mempunyai sebaran jenis yang luas. Masa reproduksi merupakan masa yang kritis bagi hewan jika faktor lingkungan dan habitatnya dalam keadaan minimum.
Dalam ekologi, pernyataan taraf relatif terhadap faktor-faktor lingkungan dinyatakan dengan awalan steno (sempit) atau eury (luas) pada kata yang menjadi faktor lingkungan tersebut. Misalnya toleransi yang sempit terhadap suhu udara disebut stenotermal atau toleransi yang luas terhadap kadar pH tanah, disebut euryionik. Pengaruh faktor-faktor lingkungan dan kisarannya untuk suatu hewan berbeda-beda, karena satu jenis hewan mempunyai kisaran toleransi yang berbeda-beda menurut habitat dan waktu yang berlainan. Tetapi pada dasarnya secara alami kehidupannya dibatasi oleh: jumlah dan variabilitas unsur-unsur faktor lingkungan tertentu (seperti nutrien dan faktor fisik, misalnya suhu udara)

sebagai kebutuhan minimum, dan batas toleransi hewan terhadap faktor atau sejumlah faktor lingkungan tersebut. 1.6 Faktor Pembatas Fisik dan Indikator Ekologi Kehadiran atau keberhasilan suatu organisme/ kelompok organisme tergantung kepada komples keadaan. Kadaan yang mendekati atau melampaui batas-batas toleransi dinamakan sebagai yang membatasi (faktor pembatas). Dengan adanya faktor pembatas, semakin jelas kemungkinan apakah suatu organisme mampu bertahan dan hidup pada suatu kondisi wilayah tertentu. Jika suatu organisme mempunyai batas toleransi yang lebar untuk suatu faktor yang relatif mantap dan dalam jumlah yang cukup, maka faktor tadi bukan merupakan faktor pembatas. Sebaliknya apabia organisme hanya mempunyai batas-batas toleransi tertentu untuk suatu faktor yang beragam, maka faktor tadi dapat dinyatakan sebagai faktor pembatas. Beberapa keadaan faktor pembatas, termasuk diantaranya adalah temperatur, cahaya, air, gas atmosfir, mineral, arus dan tekanan, tanah, serta api. Setiap organisme mempunyai kisaran kepekaan terhadap faktor pembatas. Dengan adanya faktor pembatas, maka faktor ini dianggap dapat ikut menseleksi organisme yang mampu bertahan dan hidup pada suatu wilayah. Organisme ini disebut sebagai indikator biologi (indikator ekologi) pada wilayah tersebut. 1.7 Aklimasi

Aklimasi adalah adaptasi terhadap pendedahan yang cukup lama pada kisaran suhu rendah atau tinggi yang dapat ditoleransi. Aklimasi termal adalah kemampuan untuk mentolerir perubahan suhu di bawah dan di atas kisaran suhu normal dengan mengubah mekanisme homeostasis menurut perubahan tahapan termal lingkungan. Seperti pada suhu normal, suhu letal atas dan bawah, juga ada suhu aklimasi atas dan bawah. Contoh, aklimasi termal ikan mas. Suhu letal atas adalah 27C untuk ikan diletakkan pada suhu 0C, dan bertambah sampai 41C untuk ikan yang diletakkan pada suhu 36C. Ikan mas tidak dapat menyesuaikan diri pada suhu yang lebih tinggi dari 41C, bahkan jika diletakkan di atas suhu 36C misalnya saja 39C membentuk batas aklimasi atas. Sebaliknya, suhu letal rendah adalah 0C/ sedikit lebih rendah lagi, untuk ikan yang diletakkan pada suhu sampai setinggi 17C, tapi jika mereka beraklimasi pada suhu yang lebih tinggi maka batas letal rendah akan bertambah. Osmoregulasi adalah proses mengatur konsentrasi cairan dan menyeimbangkan pemasukan serta pengeluaran cairan tubuh oleh sel atau organisme hidup. Proses osmoregulasi diperlukan karena adanya perbedaan konsentrasi cairan tubuh dengan lingkungan disekitarnya. Jika sebuah sel menerima terlalu banyak air maka ia akan meletus, begitu pula sebaliknya, jika terlalu

sedikit air, maka sel akan mengerut dan mati. Osmoregulasi juga berfungsi ganda sebagai sarana untuk membuang zat-zat yang tidak diperlukan oleh sel atau organisme hidup. == Makna osmoregulasi adalah proses mengatur dan menyeimbangkan konsentrasi asupan cairan dan pengeluaran oleh sel atau cairan tubuh organisme hidup. Sementara pemahaman tentang osmoregulasi ikan Tekanan osmotik cairan tubuh pengaturan sesuai untuk kehidupan ikan, sehingga proses-proses fisiologis fungsi tubuh normal (Homeostasis). ka sel menerima terlalu banyak air maka akan meletus, dan sebaliknya, jika terlalu sedikit air, maka sel akan mengerut dan mati. Osmoregulasi juga ganda sebagai sarana untuk membuang zat-zat yang tidak diperlukan oleh sel atau organisme hidup. Kebanyakan invertebrata berhabitat di laut tidak secara aktif mengelola sistem osmosis mereka, dan dikenal sebagai osmoconformer. Osmoconformer memiliki osmolaritas internal yang sama dengan lingkungan sehingga tidak ada kecenderungan untuk mendapatkan atau kehilangan air. Karena osmoconformer paling hidup dalam lingkungan yang memiliki komposisi kimia yang sangat stabil (di laut) maka osmoconformer yang cenderung memiliki osmolaritas konstan. Sementara osmoregulator adalah organisme yang menjaga osmolaritas tanpa tergantung pada lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu kemampuan untuk mengatur ini osmoregulator kemudian dapat hidup dalam lingkungan air tawar, darat, dan laut. Di lingkungan dengan konsentrasi rendah cairan, osmoregulator akan merilis kelebihan cairan dan sebaliknya. Untuk organisme akuatik, proses ini digunakan sebagai ukuran untuk menyeimbangkan tekanan osmosa antara substansi dalam tubuh dengan lingkungan melalui sel permeabel. Dengan demikian, semakin jauh perbedaan tekanan osmotik antara tubuh dan lingkungan, semakin banyak energi metabolisme yang dibutuhkan untuk osmoregulasi mmelakukan sebagai adaptasi, hingga batas toleransi yang mereka miliki. Oleh karena itu, pengetahuan tentang osmoregulasi sangat penting dalam mengelola media air pemeliharaan kualitas, terutama salinitas. Hal ini karena dalam osmoregulasi, proses regulasi terjadi melalui konsentrasi ion dan air dalam tubuh dengan kondisi di lingkungan. Ion dan air pada ikan terjadi regulasi hipertonik, hipotonik atau isotonik tergantung pada perbedaan (lebih tinggi, lebih rendah atau sama) konsentrasi cairan tubuh dengan konsentrasi media1, 2. Perbedaannya dapat digunakan sebagai strategi dalam berurusan dengan komposisi cairan ekstraselular dalam tubuh ikan2. Untuk ikan yang hiperosmotik potadrom dengan lingkungannya dalam proses osmoregulasi, air bergerak ke dalam tubuh dan ion keluar ke lingkungan dengan cara difusi. Keseimbangan cairan tubuh dapat terjadi dengan meminum

sedikit air atau tidak minum sama sekali. Kelebihan air dalam tubuh dapat dikurangi dengan membuangnya dalam bentuk urin. Untuk ikan yang hipoosmotik oseanodrom terhadap lingkungannya, air mengalir dari osmosa tubuh melalui ginjal, insang dan kulit ke lingkungan, sedangkan ion ke tubuh dengan difusi1, 2. Adapun eurihalin ikan, memiliki kemampuan untuk dengan cepat menyeimbangkan tekanan osmotik dalam tubuh dengan media (isoosmotik), namun karana kondisi lingkungan perairan tidak selalu tetap, maka proses serta ikan ormoregulasi potadrom dan oseanodrom masih terjadi. Salinitas atau garam konten adalah jumlah bahan padat dalam satu kilogram air laut, dalam hal ini semua karbonat telah diubah menjadi oksida, brom dan yodium yang telah disinkronkan dengan klorin dan bahan organik yang telah teroksidasi. Langsung, media akan mempengaruhi salinitas tekanan osmotik cairan tubuh ikan. Pengetahuan tentang metabolisme dapat juga dikaitkan dengan beberapa disiplin lain, seperti genetika, toksikologi dan lainnya ilmiah sehingga ikan yang dihasilkan dapat memiliki kualitas lebih unggul daripada sebelumnya. Hal ini karena ikan untuk berinvestasi untuk 25-50% dari output total dalam mengendalikan metabolisme komposisi cairan intra-dan ekstraselularnya. Perubahan dalam tingkat salinitas mempengaruhi tekanan osmotik cairan tubuh ikan, sehingga ikan untuk menyesuaikan pengaturan osmotik internal atau bekerja sehingga proses fisiologis dalam tubuh dapat bekerja secara normal lagi. Jika salinitas yang lebih tinggi, usaha ikan untuk menjaga ketertiban dalam kondisi homeostasi nya tercapai, sampai batas toleransi yang mereka miliki. Osmotik bekerja membutuhkan energi yang lebih tinggi juga. Hal ini juga mempengaruhi waktu kepenuhan (waktu kekenyangan) ikan. Rainbow trout seringkali digunakan sebagai sistem model untuk mempelajari rute dan mekanisme ekskresi dan osmoregulasi. Proses osmoregulasi juga menghasilkan produk-produk limbah seperti kotoran dan amonia, sehingga pemeliharaan yang akan menjadi media berwarna keruh akibat jumlah kotoran ikan dirilis. Dampak ekskresi nitrogen juga akan mempengaruhi kehidupan ikan di dalamnya. Pada embrio rainbow trout, ekskresi nitrogen dalam bentuk urea juga dapat dikaitkan dengan kandungan nitrogen dalam kuning telur, karena permeabilitas rendah dari membran sel telur dari amonia. Dampak dari produk limbah dari metabolisme pada kelangsungan hidup ikan berdasarkan perubahan fisik dalam kualitas air, dapat diduga bahwa perubahan tersebut juga mempengaruhi kondisi ambient ikan, yang pada gilirannya mempengaruhi pertahanan tubuh. Setelah melewati batas toleransi, maka ikan yang sekarat. Mengingat bahwa tidak semua ikan mati, maka dapat dipastikan bahwa kekuatan toleransi pada populasi ikan di akuarium berbeda. Hal ini mungkin

karena perbedaan kondisi tubuh sebelum dimasukkan dalam intensitas praktek media, termasuk parasit, tingkat stres dan lain-lain. Nitrat toksisitas di air tawar tergolong sangat rendah (96 h LC50s> 1000 mg / L sebagai N). Hal ini dapat dikaitkan dengan munculnya potensi masalah dalam proses osmoregulasi. Dalam sistem dengan konsentrasi nitrat tinggi, reduksi nitrat terjadi pada anaerobik. Nitrat di perairan laut konsentrasi kurang dari 500 mg / L untuk ikan laut sebagian besar, tapi untuk ikan laut tropis seperti anemone (Amphiprion ocellaris) lebih sensitif, yaitu hanya 20 mg / L. Tingkat stres juga bervariasi tambakan dialami oleh benih di akuarium, sebagai akibat dari perbedaan perlakuan. Lebih mendalam studi, dapat ditelusuri dengan isi kortisol. Banyak hal berkenaan dengan kortisol selama proses metabolisme, seperti starvasi (puasa), osmoregulasi, penyebaran penghematan energi untuk migrasi, proses gonad, pemijahan pematangan dan selama stres yang dialami oleh ikan itu sendiri. Ormoregulasi mekanisme juga dapat dilacak pada tingkat sel. Sel-sel yang pertama dihasilkan melalui mekanisme kultur sel. Penelitian tentang sel epitelioma papulosum cyprinid (EPC), berasal dari sel epidermis ikan mas dapat digunakan untuk menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan sel-sel di hiper-media dan hipoosmotik. Dengan menggunakan sel kultur, ekspresi gen dapat diamati juga bahwa bias yang terkait dengan kemampuan adaptasi dan stres osmotik. Aktivitas osmoregulasi juga dipengaruhi oleh stadia ikan atau Krustase dalam kaitannya dengan salinitas. Penelitian tentang remaja dan dewasa Krustase stadion, regulasi ionik dari Na / K-ATP menunjukkan bahwa berbeda ketika diamati dengan aktivitas enzim Na / KATPase. Pada Artemia salina dan A. franciscana aktivitas enzim meningkat sejalan dengan perkembangannya sejak setelah menetas hingga tahap mulai berenang bebas. Dalam udang, juga berlangsung begitu. Namun, pada orang dewasa stadion, aktivitas Na / K-ATPase pada udang galah tidak berbeda nyata setelah diperlakukan pada salinitas berbeda8. Studi pada osmoregulasi dalam tahap awal perkembangan ikan telah diamati pada tingkat sel klorida extrabranchial. Sejumlah sel klorida yang terkandung dalam membran kantung kuning telur embrio dan larva ikan nila disesuaikan stadion dalam air tawar (FW) dan air asin (SW). Sel klorida dalam SW seringkali dalam bentuk kompleks multiseluler bersama dengan sel aksesori yang berdekatan. Sementara di FW, sel klorida yang terletak di kondisi individu. Klorida tes dan X-ray Mikroanalisis menunjukkan bahwa sel-sel klorida dalam SW dalam kompleks, fungsi definitif dari sekresi klorida. Namun, setelah sel tersebut dipindahkan ke lingkungan SW, membentuk sel tunggal juga berubah sebagai respons terhadap lingkungan baru yang

kompleks yang SW. Umumnya, sel klorida extrabranchial memainkan peran penting dalam mengontrol osmoregulasi sampai tahap sel insang klorida bekerja fungsional. Penemuan terakhir adalah tentang morfologi fungsional dari sel klorida pada ikan membunuh, Fundulus heteroclitus, ikan euryhaline air laut (SW). Immunocytochemical deteksi dilakukan pada sel klorida dengan anti-Na + / K +-ATPase dalam distribusi klorida sel dari proses transisi selama tahap-tahap awal kehidupan. Sel klorida muncul dalam membran kantung kuning fase awal embrio dan kemudian di kulit selama tahap terakhir dari embrio. Perbedaan morfologi antara SW-jenis sel klorida dan FW diidentifikasi dalam killifish dewasa disesuaikan dengan SW dan FW. Kedua jenis sel klorida, aktif di kedua lingkungan, tetapi berbeda dalam fungsi transpor ion. Transfer langsung dari SW ke killifish FW, sel tipe klorida BD ditransformasikan ke dalam sel tipe FW, diikuti dengan penggantian sel klorida dalam promosi respon. Adaptasi ikan, juga dapat diketahui melalui penelitian pada Takifugu rubripes fugu remaja dengan lingkungan salinitas rendah. Ikan dipindahkan dari air laut (100% SW) ke media air tawar (FW), 25, 50, 75 dan 100 SW% dan mortalitas kemudian direkam selama 3 hari. Tidak membunuh ikan dalam salinitas media baru 25-100% SW dan semua ikan mati dalam media massa FW 100%. Rupanya, ikan dipindahkan ke media 25-100% SW, osmolalitas darah dipertahankan pada kisaran fisiologis yang normal. Studi terus bergerak ikan dari lingkungan 100% SW ke media FW, 1, 5, 10, 15 dan SW 25%. Semua ikan hidup di sebuah BD 5-25% menengah, tetapi meninggal di FW media dan SW 1%. Ikan yang hidup di SW media massa 25% dan kemudian ditransfer kembali ke media FW, 1 dan SW 5% dan menunjukkan bahwa osmolalitas darahnya menurun hingga mendekati level sublethal, yaitu sekitar 300 mOsm / kg H2O . Tampaknya preacclimatisasi dalam SW 25% selama 7 hari memiliki pengaruh sedikit pada kemampuan bertahan hidup dari selang. Meskipun kelangsungan hidup dan osmolalitas darah meningkat sedikit oleh preacclimatisasi dalam 25% SW, osmolalitas darah menurun setelah ditransfer ke salinitas media BD kurang dari 10%. Temuan ini menunjukkan bahwa fugu dapat beradaptasi dengan lingkungan karena kemampuan hyperosmoregulatori hypoosmotik, namun sel-sel yang telah mengurangi ion klorida mengabsorb hipoosmotik pada lingkungan. Aktivitas osmoregulasi, juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain yang diberikan untuk organisme air. Dengan memberikan kortisol, hormon pertumbuhan yg berhubung dgn domba (OGH), rekombinan insulin-seperti faktor pertumbuhan sapi I (rbIGF-I) dan 3,3 ',5-triiodo-Lthyronine (T3) dapat meningkatkan kapasitas pada ikan hypoosmoregulasi euryhaline,

Fundulus heteroclitus. Diadaptasi ikan di lingkungan air payau (BW, salinitas 10 ppt) kemudian disuntik dengan dosis hormon dan 10 hari kemudian dipindahkan ke lingkungan air asin (SW, salinitas 35 ppt. Setelah ditransfer dari BW ke SW menunjukkan peningkatan dalam plasma osmolitas nyata, tetapi tidak untuk Na + insang dan aktivitas K +-ATPase Pemberian kortisol (50 microg / g berat badan) juga dapat meningkatkan ketersediaan mereka dalam mempertahankan plasma osmolitas;. peningkatan Na + insang dan aktivitas K +-ATPase . OGH (5 microg / g berat badan) juga dapat meningkatkan kemampuan dan hypoosmoregulatory Na + insang dan aktivitas K +-ATPase Kombinasi OGH dan kortisol dapat meningkatkan kemampuan hypoosmoregulatori namun tidak meningkatkan Na + insang, aktifitas K +. ATPase. rbIGF-I (0,5 microg / g berat badan) tidak berpengaruh dalam meningkatkan toleransi untuk salinitas atau Na + insang, aktifitas K +-ATPase. rbIGF-I dan OGH menunjukkan interaksi positif dalam meningkatkan toleransi terhadap salinitas, tetapi tidak untuk Na + insang dan aktivitas K +-ATPase Pengobatan dengan T3. (5 microg / g berat badan) tidak berdampak terhadap toleransi salinitas meningkat, insang Na +, K +-ATPase aktivitas dan pengaruhnya tidak nyata konsisten ketika digunakan bersama dengan kortisol dan T3 atau antara GH dan T3. Untuk ikan air tawar, organ yang terlibat dalam osmoregulasi termasuk insang, usus dan ginjal. Sel-sel yang berperan dalam insang organ untuk proses tersebut adalah mitokondria-kaya (MR) dan peran pavement2. Struktur insang memiliki hubungan dengan kemampuan untuk mentolerir salinitas berkisar. Bhal ditunjukkan dengan histologi dari struktur insang Caprella (Amphipoda: Caprellidea) (yaitu C. danilevskii, C. subinermis, C. penantis R-type dan C. verrucosa) yang dikumpulkan dari komunitas Sargassum di timur-daya Jepang dan diamati bawah mikroskop elekron. Epitel seperti berang-berang danilevskii C, C subinermis, dan C. verrucosa terdiri-dari pengembangan sistem infolding apikal (AIS) dan sistem infolding basolateral (BIS) terkait dengan mitokondria. Percobaan tentang toleransi salinitas dari empat spesies Caprella konsentrasi letalnya mengindikasikanbahwa median (LC 50) pada 20 C berkisar antara 12,97 - 18,84 unit Salinitas praktis (PSU) dengan kelangsungan hidup lebih dari 80% dengan salinitas di atas 25,37 PSU bahkan untuk 5 hari. Karakteristik insang dan berbagai toleransi salinitas dalam Caprella spp. menunjukkan bahwa Caprella spp. menghuni komunitas Sargassum merupakan organisme yang eurihalin. IKAN AIR TAWAR PADA OSEMOREGULASI Ikan yang hidup di air tawar memiliki cairan tubuh yang hiperosmotik pada lingkungan, sehingga air cenderung untuk masuk ketubuhnya oleh difusi melalui permukaan tubuh semipermiable. Jika ini tidak dikendalikan atau offset, itu akan menyebabkan hilangnya garam

tubuh dan cairan tubuh mengencernya, sehingga cairan tubuh tidak dapat mempertahankan fungsi fisiologis normal. Ginjal akan memompa kelebihan air keluar sebagai urin. Apakah ginjal glomerulus dalamjumlah banyak dengan diameter besar. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mampu menahan tubuh garam sehingga tidak untuk memompa air keluar dan di seni yang sama sebanyak mungkin. Ketika cairan dari memasuki tubuh tubuli ginjal malpighi, glukosa akan diserap kembali di proximallis tubuli dan garam diserap dalam tubuli distal. Ginjal dinding tubuli impermiable (kedapair, kedap air). Ikan keluar dari air yang sangat encer dan seniyang mengandun g sejumlah kecil senyawa nitrogen, seperti: Asam urat Creatine kreatinin Amonia.

Meskipun urin mengandung garam sangat sedikit, pelepasan air yang berlimpah menyebabkan jumlah kerugian garam cukup besar. Garam juga hilang karena difusi dari tubuh. Kehilan garam diimbangi oleh garam yang terkandung dalam makanan dan serapan aktif melalui insang. Pada kelompok ikan dapat Teleosteiter gelembung air kencing (kandung kemih) untuk menahan kencing. Berikut melakukan re-penyerapan ion. Gelembung dinding urin impermiable air. OSMOREGULASI IKAN DI AIR LAUT Ikan laut hidup di lingkungan yang hipertonik ke jaringan dan cairan tubuh, sehingga cenderung kehilangan air melalui kulit dan insang, dan kebobolan garam. Untuk mengatasi hilangnya air, minum'air ikan laut 'sebanyak mungkin. Dengan demikian berarti juga akan meningkatkan kandungan garam dalam cairan tubuh. Fakta dehidrasi dapat dicegah oleh proses ini dan kelebihan garam harus dihilangkan. Karena ikan dipaksa oleh kondisi untuk mempertahankan osmotik air, volume urine kurang dari ikan air tawar. Tubuli ginjal dapat berfungsi sebagai penghalang air. Jumlah glomeruli ikan laut cenderung lebih sedikit dan bentuk yang lebih kecil daripada di ikan air tawar Sekitar 90% dari nitrogen limbah yang dapat dihapus melalui insang, sebagian besar dalam bentuk amonia dan sedikit urea. Namun, urine masih mengandung sedikit senyawa. Osteichthyes urin mengandung: Creatine kreatinin Nitrogen senyawa Trimetilaminoksida (TMAO) TENTANG IKAN ELASMOBRANCHII osmoregulasi Elasmobranchii cairan tubuh ikan umumnya memiliki tekanan osmotik lebih besar dari sekitarnya karena karena isi urea tinggi dan TMAO dalam tubuh (bukan sebagai garam).

Karena cairan tubuh yang hiperosmotik terhadap lingkungannya, kelompok ikan ini cenderung menerima air melalui difusi, terutama melalui insang. Untuk menjaga tekanan osmotiknya, kelebihan air dikeluarkan sebagai urin. Reabsorpsi urea di ginjal tubuli juga merupakan upaya dalam menjaga tekanan osmotik tubuhnya. Permukaan tubuh relatif impermiable mencegah masuknya air dari lingkungan ke dalam tubuhnya. Para osmoregulators hewan: vertebrata laut: Ikan tulang keras: Konsentrasi larutan dalam tubuh dengan 01:03 di lingkungan mencegah hilangnya air tubuh dan mencegah diffusi garam dari lingkungannya minum, osmosis melalui insang, ekskresi garam melalui sel-sel khusus pada insang Ikan tulang rawan: konsentrasi dalam tubuh> dengan di lingkungan air masuk ke dalam tubuh melalui osmosis diekskresikan

Air Tawar ikan: Solusi konsentrasi dalam> tubuh sebagai satu di lingkungan mencegah masuknya air dan kehilangan garam tidak minum, kulit ditutupi dengan lendir, osmosis melalui insang, produksi urin encer, pompa garam melalui sel-sel khusus pada insang. LAPORAN PRAKTIKUM TOLERANSI TERHADAP SALINITAS I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan media hidup ikan, media itupun berbeda-beda sesuai kadar garam yang dikandungnya yaitu perairan tawar, laut dan payau. Ikan yang hidup pada air tawar mempunyai cairan tubuh yang bersifat hipoosmotik terhadap lingkungan yaitu kadar garam dalm tubuh ikan lebih besar dari pada kadar garam yang ada di sekitarnya, sehingga untuk dapat menyusaikan diri, ikan tersebut banyak mengeluarkan urine. Batas toleransi kadar garam berbeda-beda untuk setiap jenis ikan. Ikan yang mempunyai batas toleransi yang luas terhadap perbedaan kadar garam disebut euryhaline, sedangkan yang mempunyai toleransi yang sempit terhadap perubahan kadar garam disebut stenohaline. Ikan adalah hewan vertebrata berdarah dingin (poikilotermal), yang pergerakan dan keseimbangan tubuhnya terutama menggunakan sirip dan umumnya bernapas dengan insang serta hidup dalam lingkungan air. Ikan memiliki mekanisme fisiologi yang tidak dimiliki oleh hewan darat, sehingga mengakibatkan ikan harus mengontrol keseimbangan air dan ion antara tubuh dan lingkungannya, disebut osmoregulasi. Semakin jauh perbedaan tekanan osmose antara tubuh dan lingkungan, semakin banyak energi metabolisme yang dibutuhkan untuk melakukan osmoregulasi sebagai upaya adaptasi,

namun tetap ada batas toleransi. Karena itu, pengetahuan ini sangat penting dalam mengelola kualitas air media pemeliharaan, terutama salinitas. Tidak ada organisme yang hidup pada air tawar tidak melakukan osmoregulasi, pentingnya hal ini maka praktikum Toleransi Terhadap Salinitas dilakukan. 1.2 Tujuan dan kegunaan Tujuan praktikum Fisiologi Biota Air tentang Toleransi Terhadap Salinitas adalah untuk mengetahui daya toleransi ikan terhadap salinitas. Kegunaan diadakannya praktikum adalah agar praktikan dapat melihat secara langsung keadaan dalam mengatasi kisaran salinitas yang tinggi. II. TINJAUAN PUSTAKA Daya tahan hidup organisme dipengaruhi oleh keseimbangan osmotik antara cairan tubuh dengan air (media) lingkungan hidupnya. Pengaturan osmotik itu dilakukan melalui mekanisme osmoregulasi. Mekanisme ini dapat dinyatakan sebagai pengaturan keseimbangan total konsentrasi eklektrolit yang terlarut dalarn air media hidup organisme, (http://www.musida.web.id/indo/osmoregulasi). Organisme perairan harus melakukan osmoregulasi karena; (1) Harus terjadi keseimbangan antara substansi tubuh dan lingkungan; (2) Membran sel yang permeabel merupakan tempat lewatnya beberapa substansi yang bergerak cepat; (3) Adanya perbedaan tekanan osmose antara cairan tubuh dan lingkungan (Kimball, 1992) Proses osmoregulasi pada ikan air tawar menyebabkan mineral dan garam cepat hilang pada air pemeliharaan, sedangkan pada pemeliharaan ikan laut, air akan menjadi semakin pekat akibat pengeluaran garam dan pengambilan air (Subani, 1984). Ikan sebagai hewan yang hidup di air mempunyai kapasitas osmoregulasi melalui membran yang dalam hal ini adalah insang. Terganggunya proses osmoregulasi dapat disebabkan karena insang menjadi lebih permaebel sehingga sulit di lalui air. Akibatnya pengeluaran garam dari insang menjadi terhenti dan menyebabkan gagal ginjal (Lesmana, 2001). Insang berfungsi sebagai alat pernapasan tetapi dapat pula berfungsi sebagai alat ekskresi garam-garam, penyaring makanan, alat pertukaran ion, dan osmoregulator. Pada hampir semua ikan, insang merupakan komponen penting dalam pertukaran gas. Insang terbentuk dari lengkungan tulang rawan yang mengeras, dengan beberapa filamen insang di dalamnya. Tiaptiap filamen insang terdiri atas banyak lamella, yang merupakan tempat pertukaran gas. Tugas

ini ditunjang oleh struktur lamella itu yang tersusun atas sel-sel tiang sebagai penyangga pada bagian dalam. Pinggiran lamella yang tidak menempel pada lengkung insang sangat tipis, ditutupi oleh epithelium dan mengandung jaringan pembuluh darah kapiler. Jumlah dan ukuran lamella sangat besar variasinya, tergantung tingkah laku ikan (Fujaya, 2008). Tubuh ikan terdiri atas caput, truncus, dan cauda, diantara mana tidak ada batas yang nyata sebagai batas antara caput dan truncus dipandang tepi caudal operculum dan sebagai batas antara truncus dan ekor dipandang anus. Ikan-ikan yang dapat berenang cepat berbentuk seperti torpedo. TetapiCypri nus lebih pendek, lebih pipih kearah bilateral dan lebih lebar ka arah dorsoventral (Radiopoetra, 1996). Pada bagian kepala ikan mas terdapat lubang mulut (moncong) yang dapat ditarik ke belekeng. Pada moncong terdapat tulang premaksila yang letaknya paling depan, maksila yang letaknya pada bagian belakang moncong, adimaksila yang letaknya pada bagian dorsal dan dentale yang merupakan tulang yang menyokong rahang bawah. Terdapat pula lekuk hidung yang letaknya disebelah atas di belakang mulut yang berfungsi sebagai indra penciuman. Mata yang terletak disebelah belakang lekuk hidung agak ke atas dan tidak mempunyai kelopak mata. Tutup insang yang tersusun dari empat potongan tulang yaitu operkulum (berupa tulang yang paling besar dan letaknya paling dorsal), preoperkulum (berupa tulang sempit yang melengkung seperti tulang sempit sabit dan terletak terletak di bagian depan), interoperkulum (merupakan yang diantara operkulum

dan preoperkulum), serta tulang keempat yang dinamakan suboperkulum. Terdapat pula membrana brankhiostegi yaitu berupa selaput tipis yang melekat pada pinggiran tulang tutup insang sebelah belakang (Djunanda, 1982) III. METODE PRAKTEK 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan praktikum Fisiologi Biota Air tentang Toleransi Terhadap Salinitas dilaksanakan pada hari Senin tanggal 25 April 2011, dimulai dari pukul 13.30 WITA sampai dengan selesai. Bertempat di Laboratorium Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Tadulako, Palu. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam praktikum Fisiologi Biota Air tentang Toleransi Terhadap Salinitas yaitu Akuarium, bak plastik, timbangan duduk, timbangan Neraca (o-hauss), penghitung waktu (stopwatch) dan alat tulis menulis. Sedangkan bahan yang digunakan adalah Ikan mas (Cyprinus carpio), garam dapur (Nacl) dan air.

3.3 1. 2.

Prosedur Kerja Menyediakan garam dapur sebanyak 200 gram masing-masing dibagi menjadi 9 bagian. Pada perlakuan pertama memasukkan ikan mas kedalam akuarium tanpa menambahkan

garam terlebih dahulu (dalam keadaan normal) lalu menghitung dan mencatat jumlah pernapasannya dalam selang waktu 3 menit. 3. Perlakuan kedua menaikkan salinitas dengan cara menambahkan garam sebanyak 200 gram kemudian mengaduk sampai garam larut dalam air sehingga mendapatkan salinitas yang diperlukan dan mengamati ikan seperti perlakuan yang sebelumnya. 4. Perlakuan selanjutnya seperti yang telah dilakukan sebelumnya secara berulang-ulang dengan cara menambahkan 200 gram garam disetiap perlakuan dengan mencatat jumlah frekuensi membuka dan menutupnyaoperculum selama 3 menit sampai ikan mati. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Berdasarkan pada pengamatan maka di dapatkan hasil sebagai berikut Grafik 1. Hubungan Salinitas dan Jumlah Respirasi Ikan Tabel. Kadar garam, salinitas serta jumlah respirasi ikan Garam (gram) 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 Salinitas (%o) 0 10 15 20 25 30 35 40 45 Jumlah Respirasi Ikan 360 343 314 400 264 121 3 -

1800

50

Tabel 2. Berat Ikan Berat Ikan Sebelum Perlakuan Sesudah Perlakuan 11,1 gram 10,4 gram

4.2 Pembahasan Pada hasil praktikum yang dilakukan, perlakuan pertama ikan dalam keadaan normal, pergerakannya masih sangat lincah dan pernapasannya stabil. Hal ini sesuai pernyataan Bachtiar (2004), ikan mas menyukai tempat hidup (habitat) di perairan tawar yang airnya tidak terlalu dalam dan alirannya tidak terlalu deras dan dapat hidup baik di daerah dengan ketinggian 150-600 meter dibawah permukaan laut (dpl) dan pada suhu 25-300 C yang bersalinitas 25-30 % o. Dari hasil praktikum diketahui ikan mas termasuk ikan yang memiliki sifat stenohaline yaitu ikan yang memiliki toleransi yang sempit terhadap perubahan kadar garam. Hal ini terlihat pada waktu pemberian garam sebanyak 200 gram pergerakannya sudah tidak stabil dan respirasi ikan sudah mulai lambat, dapat disimpulkan bahwa bila salinitas meningkat mulai 0 10 ppm maka laju metabolisme ikan menurun sehingga gerakan membuka dan menutup operkulum ikan akan lebih lambat. Menurut Romimohtarto, (1999) Pada ikan air tawar tekanan osmosis merupakan konsentrasi garam dan substansi lain dalam darah harus lebih tinggi dari air disekitarnya oleh karena perbedaan dalam konsentrasi tersebut pada ikan air tawar air akan terdorong melalui permukaan tubuh dan insang secara aktif untuk kemudian diambil garam garamnya dan dikeluarkan sebagai urine yang banyak. Pada penambahan kadar garam 400 gram, ikan mengalami ketidakstabilan dalam pernapasan maupun pergerakannya, pada pernapasannya diketahui lebih lambat daripada pernapasan pada perlakuan sebelumnya dengan penambahan 200 gram kadar garam. Hal ini disebabkan ikan masih berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungannya dan ikan

membutuhkan energi untuk menstabilkan tubuhnya. Osmoregulasi pada ikan air tawar melibatkan pengambilan ion dari lingkungan untuk membatasi kehilangan ion. Air akan masuk ke tubuh ikan karena kondisi tubuhnya hipertonik, sehingga ikan banyak mengeksresikan air dan menahan ion ( Tafal, 1992). Adapun pemberian garam pada 600 gram pernapasan pada ikan mas semakin meningkat, hal ini disebabkan karena ikan mas memerlukan energi yang tinggi untuk penyusaian dengan lingkunganya. Hal ini sesuai yang dinyatakan oleh Kimbal, (1992), Perbedaan tekanan osmoregulasi pada beberapa golongan ikan, maka struktur organ organ osmoregulasinyapun berbeda beda. Semakain jauh perbedaan tekanan osmose antara tubuh dan lingkungan, semakin banyak energi metabolisme yang dibutuhkan untuk melakukan osmoregulasi sebagai upaya adaptasi Setelah penambahan kadar garam pada akuarium sebanyak 800 gram, pernapasan ikan sudah lambat ikan terlihat lemas dan pergerakannya tidak tenang. Pada saat ikan sakit, luka, atau stres proses osmosis akan terganggu sehingga air akan lebih banyak masuk kedalam tubuh ikan, dan garam lebih banyak keluar dari tubuh. Akibatnya beban kerja ginjal ikan untuk memompa air keluar dari dalam tubuhnya meningkat. Bila hal ini terus berlangsung bisa sampai menyebabkan ginjal menjadi rusak (http://seputarberita.blogspot.com) Dari grafik yang diperoleh pada praktikum diketahui bahwa ikan mati pada penambahan 1200 gram garam dapur atau salinitas 35 %o. Hal ini disebabkan karena ikan tidak mampu lagi megimbangi salinitas yang ada di dalam air, hal ini sesuai dengan pernyataan Affandi (2001), bahwa ikan sebagai hewan yang hidup di air mempunyai kapasitas osmoregulasi melalui membran yang dalam hal ini adalah insang. Insang merupakan organ penting yang mampu dilewati air mapun mineral, pemeabilitas tinsang yang tinggi terhadapp ion-ion dapat menyebabkan insang pasif bergerak. Terganggunya proses osmoregulasi dapat disebabkan karena insang menjadi lebih permeabel sehingga sulit dilalui air. Akibatnya pengeluaran garam dari insang menjadi terhenti dan menyebabkan gagal ginjal dan akan menyebabkan ikan mati. Adapun berat ikan mas (Cyprinus carpio) sebelum perlakuan adalah 11,1 gram dan berat ikan setelah perlakuan adalah 10,4 gram, hal ini disebabkan karena pengaruh kadar salinitas yang tinggi ikan akan menyusut dan mengakibatkan perubahan berat ikan akan menurun, ketika salinitas air bertambah ikan air tawar akan melakukan daya osmoregulasi dengan caramengeluarkan urine untuk menyeimbangkan kadar garam dalam tubuhnya V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil praktikum dan pembahasan dapat di simpulkan sebagai berikut : 1. 2. Ikan mas (Cyprinus carpio) termasuk ikan yang memiliki sifat stenohalin Berat ikan sebelum perlakuan lebih besar dibandingkan dengan berat ikan setelah perlakuan 3. Batas kadar garam yang dibutukan oleh ikan mas untuk dapat bertahan hidup adalah 30% 4. Penambahan kadar garam ke dalam akuarium tidak menyebabkan proses pernapasan pada ikan semakin lambat tetapi proses pernapasan tersebut terjadi tidak teratur tergantung energi yang dibutuhkan ikan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya 5.2 Saran Saran saya adalah agar fasilitas dalam mendukung kegiatan praktikum dan alat kebersihan di dalam lab lebih memadai lagi agar prktikum berlangsung dengan nyaman dan lab yang digunakan juga tetap bersih.

Anda mungkin juga menyukai