Anda di halaman 1dari 12

Ada berbagai definisi pertunjukan teater.

Dari banyak versi itu, definisi versi Riantiarno cukup sederhana tapi mengena. Riantiarno menyatakan bahwa pertunjukan teater harus memiliki 3 pilar penyangganya yakni pelaku, tempat (panggung), dan penonton. Keunikan definisi ini adalah menyebutkan adanya penonton sebagai unsur pokok dalam pertunjukan teater. Barangkali ini pula yang menjadi salah satu faktor mengapa setiap pertunjukan Teater Koma selalu sukses dari segi perolehan penonton. Bisa dipastikan mereka (Teater Koma) memang benar-benar melakukan suatu terobosan dalam penjaringan penonton. Meski ini juga melalui proses yang bertahun-tahun dan tidak langsung diraih hanya dalam satu dua kali produksi awal mereka. Kondisi tersebut berbeda dengan suasana ruang penonton di Jogja. Jika melihat kepadatan penduduk, jumlah dan frekeuensi pertunjukan di Jogja, seharusnya Jogja juga bisa seperti itu. Namun kenyataannya, angka penonton teater dalam setiap pertunjukan di Jogja hanya berkisar 150-350 penonton per malam. Itupun hanya digelar paling lama 2 malam. Teater Garasi, di mana bisa dikatakan memimpin dinamika teater Jogja sekalipun mengaku hanya mampu meraih sekitar 500 penonton setia. Jika ratarata pertunjukan teater di gelar selama 2 malam, itu berarti Garasi juga hanya mampu meraih 1000 penonton. Bandingkan dengan Teater Koma yang bisa bertahan selama 15 hari dengan 1000an penonton per malam. Yang sekarang menjadi penting memang bukan pada membandingkan teater Jogja dengan Jakarta, Koma dengan Garasi atau Gandrik atau yang lainnya, tetapi adalah sebuah pertanyaan, bagaimana perolehan penonton teater di Jogja ini bisa ditingkatkan? Jika kita memilih jawaban optimis, Bisa! Muncul pertanyaan kedua, bagaimana meningkatkan perolehan penonton teater di Jogja? Jawabannya pasti beragam. Bisa jadi setiap group akan memiliki trik sendiri-sendiri. Dalam sudut pandang manajemen produksi, teater tidak berbeda dengan produk media seperti film, berita, hiburan TV, bahkan produk konsumtif lainnya. Teater menjual tiket, mengharap konsumen yang membeli tiket, sama seperti pabrik susu mengharap masyarakat membeli susu buatannya. Namun agaknya hal ini kurang dieksplorasi oleh pakerja teater Jogja. Tidak banyak (atau bahkan tidak ada) group yang memiliki tenaga marketing dan Public Relation yang bagus. Segalanya dilakukan sambil lalu dan konvensional. Masih lebih banyak yang fokus pada pengolahan aktor dan hal-hal artistik. Kembali kepada pertanyaan bagaimana meningkatkan perolehan penonton? Kita bisa meminjam rumus-rumus dalam dunia bisnis. Salah satunya adalah konsep marketing plus yaitu 4P : Product, Place, Price, Promotion. Empat hal inilah yag harus digodog sejak dari perencanaan produksi, proses persiapan, hingga kampanye penjualan tiket.

Keempat unsur yang diwakili huruf P inilah yang menentukan sebuah produk yang kita lemparkan ke masyarakat sukses diserap pasar (penonton) atau tidak. Empat P inilah fokus perhatian yang harus saling sinambung dan berada dalam unity yang padat. Product. Dalam hal product, sebuah group perlu memikirkan produk yang akan diluncurkan. Apabila kita percaya bahwa teater adalah hal yang penting bagi masyarakat, maka kita tidak bisa mengeluarkan sembarang produk. Kita harus benar-benar paham apa dan bagaimana produk kita ini. Apa kelebihannya dan apa kekurangannya. Penting juga sedikit meneliti selera masyarakat. Bukan semata menuruti selera, tetapi analisis kebutuhan. Pertunjukan model apa yang dibutuhkan (disukai) mayarakat. Tema apa yang mereka sedang butuhkan dan sebagainya. Jika memang ide pertunjukan muncul secara intuitif, tanpa didahului analisis isu yang sedang berkembang, ini masih bisa dijalankan dengan mengkaji kebutuhan masyarakat mana yang bisa dijawab oleh ide produk (pertunjukan) tersebut. Juga masyarakat yang mana yang membutuhkan atau yang akan memetik manfaatnya. Masyarakat umum? Atau sesama pelaku teater? Golongan tertentu? Apa keunggulan produk (pertunjukan) kita dibanding yang lain? Mengapa orang perlu menontonnya? Place Place dalam urusan teater bisa berarti tempat di mana kita memprosesnya, di mana kita akan mementaskannya, di kota mana dan di gedung apa. Lebih baik jika gedung sudah kita tentukan. Apabila gedung sudah kita tentukan, maka akan lebih mudah mencipta panggung, bloking, efek dan sebagainya. Tempat pertunjukan ini juga bisa mempengaruhi gaya yang kita pakai. Urusan tempat ini bisa berjalan dua arah. Tempat yang dipilih mempengaruhi produk, atau produk yang sudah dikonsep matang yang akan menentukan tempat mana yang cocok. Ini terlihat sepele, tapi bisa jadi membuat kerepotan jika kita asal tubruk. Selain panggung, place juga perlu dipertimbangkan berkaitan dengan content pertunjukan, misalnya gaya bahasa, gaya ungkap, dan bahkan tema. Bagaimana suhu politik dan pemahaman masyarakat setempat juga perlu dipertimbangkan jika memang itu berkaitan dengan tema kita. Contohnya, pertunjukan yang mengekspose nudity atau erotisme di lokasi semacam pesantren, atau sebuah kampus yang religius tentu saja akan menuai masalah. Price Banyak kasus penentuan harga tiket di berbagai pertunjukan yang dilakukan secara asal, ikut-ikutan harga group lain atau harga kebanyakan pertunjukan pada saat yang sama. Memang banyak dasar penentuan harga ini, misalnya dengan membagi biaya produksi plus keuntungan yang ditargetkan dengan perkiraan perolehan penonton, atau dengan alasan lain misalnya saja disesuaikan dengan kemampuan calon penonton. 5

ribu untuk pelajar dan 10 ribu untuk umum. Banyak sekali pilihan penentuan harga. Yang jelas adalah penentuan ini harus mempertimbangkan kualitas produk, dan perkiraan terhadap kemampuan penonton. Jangan sampai kita diprotes karena harga terlalu mahal dengan kualitas pertunjukan biasa, atau karena terlalu mahal bagi jangkauan masyarakat. Promotion Apa model promosi yang umum dilakukan group teater? Poster, leaflet, iklan radio, dan press release. Hampir semua pertunjukan teater Jogja menggunakan pola tersebut. Tentu saja itu sudah cukup bagus, namun seringkali tidak menolong karena beberapa hal. Misalnya design tidak menarik, penyebaran tidak efektif tepat sasaran, informasi tidak persuasif dan lain sebagainya. Dalam manajemen bisnis produk baik barang maupun jasa, promosi adalah sebuah unsur penting dalam kampanye produk yang akan berimbas pada penjualan. Teater perlu memikirkan ini dengan baik. Jika kita sudah bisa mendefinisikan produk, menentukan tempat pertunjukan dan harga, itu berarti kita juga sudah memetakan siapa calon penonton kita. Promosi lalu dikaitkan ke sana. Jika komunitas calon penonton sudah kita tentukan, kita baru menentukan metode apa yang bisa memikat mereka, memakai media apa? Posterkah? Undangan door to door kah? Pengumuman audio melalui pengeras suara? Surat atau email? SMS? Melalui pancingan acara lain? Iklan suratkabar? Atau apa? Setelah media kampanye promosi, baru kita tentukan materinya. Media visual misalnya, golongan masyarakat tertentu bisa jadi sensitif terhadap visual. Untuk memancing remaja usia belasan, kita akan menggunakan pola design grafis yang berbeda untuk golongan bapak-bapak. Kita bisa meniru logika iklan. Lihat saja, iklan obat. Warna kemasan dan tone iklan obat anak-anak berbeda dengan obat dewasa. Warna sampul majalah wanita dewasa, berbeda dengan warna sampul majalah remaja belasan, demikian juga ornamen grafis dan font nya. Selain urusan grafis. Bagus juga untuk meniru produk-produk tertentu yang sudah punya nama. Misalnya untuk memancing ABG putri, kita bisa menggunakan warna ngejreng seperti warna kemasan pembalut yang ditujukan untuk ABG. Kita tidak perlu meragukan karena perusahaan-perusahaan produk massal seperti itu telah melakukan survey yang serius untuk menentukan warna kemasan produknya. Jadi kita bisa ndompleng hasil penelitian mereka. Selain tata grafis, bahasa juga harus kita sesuaikan. Jika pertunjukan kita untuk kalangan 30-an ke atas, maka tidak tepat menggunakan bahasa gaul remaja sebagai kalimat persuasif dalam materi promosi. Langkah ketiga dalam urusan promosi adalah wilayah sebar dan timingnya. Misalnya saja poster, kita perlu mengkaji apakah efektif penempelan poster di pinggir-pinggir jalan? Apakah efektif penyebaran sejak H-8? Terlalu dini atau malah terlambat? Lalu

perlukan menyebarkan publikasi ke seluruh kampus dan desa-desa? Atau cukup hanya di sekitar tempat sanggar kita dan sekitar gedung pertunjukan? Dan sebagainya. Intinya kita harus pertimbangkan cara paling efektif untuk meningkatkan jumlah penonton teater. Bukan berarti kita akan menurunkan derajat teater menjadi sesuatu yang semata berorientasi pasar. Justru ini akan mengangkat martabat teater. Jika capaian penonton maksimal, teater tidak perlu lagi meminta bantuan pemerintah dan berbagai NGO. Tidak perlu lagi ada aktor mengeluh karena berguling-guling selama 3 bulan tanpa dibayar dan sebagainya. Dan semakin banyak penonton teater kita, maka semakin banyak orang yang bisa mendapat manfaat dari teater. Lagipula, kembali kepada definisi, teater itu tegak di atas 3 pilar, pelaku, panggung dan penonton. Semoga sharing ide ini bisa sedikit memantik kreatifitas tak terhingga Anda. Selamat bekerja.

* M. Ahmad Jalidu (nama panggung dari Didik Adi Sukmoko), Direktur Gamblank Musikal Teater

Teater Untuk Digauli: Berteater Itu Mudah tapi Tidak Gampang admin September 17, 2011 No Comments Oleh: Sulaiman Juned *) Pendahuluan seniman teater latihannya seumur hidup tak ada pensiun buat seorang seniman kecuali, mati. Seni teater merupakan kesenian kolektif. Proses kreatif pekerja teater bermunculan melalui ide-ide yang diwujudkan menjadi kenyataan teater. Melakukan pementasan teater berangkat dari naskah lakon bukanlah pekerjaan yang sederhana. Hal ini disebabkan teater bukan pekerjaan individual melainkan membutuhkan kerja bersama. Teater sebagai seni kolektif didalamnya terdapat unsur-unsur seni seperti; seni sastra, peran, musik, tari dan seni rupa. Keseluruhan unsur tersebut menjadi kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan ketika menjadi kenyataan teater. Kenyataan teater harus mampu memberikan suasana dalam mengeksplorasikan segala emosi serta menghidupkan spektakel yang sekaligus sebagai gerak batin dari tokoh-tokohnya. Teater modern sebuah karya kolektif kreatif. Segala jenis pertunjukan yang di tampilkan di depan penonton menjadi penuturan hidup dan kehidupan manusia. Karya adalah ciptaan yang menimbulkan rasa indah bagi yang melihat dan merasakan. Kolektif, bersama-sama atau secara gabungan. Kreatif, mengandung daya cipta; pekerjaan yang harus di dukung oleh kecerdasan. Begitulah teater sesungguhnya jika di pandang secara kolektifitas. Sebuah kelompok teater, sudah barang tentu memiliki idiologi baik kekaryaan maupun secara kelompok. Di samping itu pekerja teater harus memiliki keyakinan untuk mengimani dirinya. Kesadaran ini harus di bangun secara terus menerus agar terjadi kebaruan bagi proses kreatif kerja teater. Berteater itu mudah untuk mengatakannya tetapi tidak gampang untuk melaksanakan. Ilmu-kemauan-ketrampilan sangat di butuhkan. Produksi Teater Itu Untuk Di Tonton. Teater membutuhkan kekompakan tim produksi dan tim artistik. Kemampuan ini menawarkan wilayah komunikasi teater yang di tonton penonton. Komunikasi teater bersifat empiris, meskipun cakupannya sampai wilayah gagasan, konsep, emosional dan prilaku. Pementasan teater akan

berkualitas apabila memiliki kematangan identitas. Kematangan identitas akan tercapai tidak hanya lewat transformasi sastra ke atas pentas, atau kualitas artistik dalam mewujudkan realitas teater tetapi yang paling utama, peristiwa pergulatan produksi teater sebagai wahana dalam menghadirkan peristiwa teater. Kerja teater didalamnya ada sutradara sebagai seniman inovasi, berkelahi pikiran dengan kelompok kerja artistik (pemeran, dan penata artistik). Juga dengan pimpinan produksi dan jajaran non-artistiknya. Kerja teater ini dilakukan secara bersama-sama, biasanya enam bulan bahkan sampai satu tahun. Kerja menafsirkan- pemilihan-penemuan-mempertahankanmenyusun hasil-memperbaiki kesalahan-penghalusan yang berujung ke pertunjukan. Kerja teater menurut Arthur S. Nalan (1998: 5), lebih jelas dapat dilihat dalam skema: Sutradara sebagai seniman inovasi sekaligus karyawan yang mengkoordinasikan unsur teater. Pencipta bentuk karya seni terhadap peradaban manusia memiliki kecerdasan dalam: Menafsirkan lakon menjadi pengalaman pentas. Merancang konsepsi penyutradaraan. Penanggung jawab keseluruhan realitas teater. Memiliki kemampuan mengatur orang banyak, berani membuat keputusan baik secara artistik maupun non-artistik. Mampu bekerja sama dengan seluruh pendukung artistik dan non-artistik. Memiliki pengalaman, jam terbang sebagai aktor, penata artistik, menguasai ilmu pendukung; arsitektur, sosiologi, psikologi, semiotika, senirupa, seni musik, sejarah, antropologi,serta persoalan manusia dan budaya lainnya. Skenografi (art director), harus memiliki kemampuan: Menafsirkan lakon dan menerjemahkan konsep dasar sutradara. Merancang artistik; seting/properti, busana, rias, cahaya, gerak, dan musik. Sekaligus penanggung jawab artistik panggung. Memiliki kepekaan artistik dan mampu mengkoordinasi kerja dalam aspek pentas. Sementara penata seting, rias, cahaya, musik, busana, dan gerak membantu skenografi dalam menata artistik untuk mewujudkan konsep dasar penyutradaraa menjadi trasformasi ke realitas pertunjukan.

Sedangkan aktor harus cerdas dalam: Menafsirkan lakon dan konsep dasar akting (Grand Stile, Realis, Karikaturis, Parodi, dll). Menganalisis/ menyajikan karakter tokoh serta menstransformasikan karakter tersebut lewat laku. Mampu menciptakan sudut pandang dramatik lakon sepanjang pertunjukan berlangsung, cakap menghadirkan penciptaan ruang teatral yang esensial. Memiliki nalar yang tinggi, memahami ilmu jiwa serta perangkat ilmu lainnya. Sedangkan pekerja panggung di tuntut harus mampu membantu penata (seting,rias, busana, musik, gerak, dll), di saat pra-pertunjukan dan ketika pertunjukan sedang berlangsung. Memahami mekanisme kerja sebuah pertunjukan teater, serta memiliki pengalaman, disiplin, inisiatif, dan tanggung jawab. Terakhir, seorang pimpinan produksi memiliki tanggung jawab berkenaan dengan produksi teater, publikasi, desain produk dan marketing. Harus tegas dan luwes, mengerti prinsip manajemen seni, memiliki hubungan luas dengan berbagai lembaga terkait, dan lain-lain. Selain tugasnya sebagai pimpinan tim produksi. Kerja teater ini terasa mudah memang, namun tidak gampang jika tidak di kerjakan secara serius, telaten, dan disiplin. Inilah kerja ideal sebuah Komunilitas teater yang bermuara pada idiologi kekaryaan. Jadi kerja teater tidak dapat di raih dalam tempo sesingkat-singkatnya, tetapi harus ditekuni dalam rentang waktu berpuluh-puluh tahun agar menjadi mudah. Kerja teater butuh wawasan, kesabaran, ketekunan, kecerdasan, latihan terusmenerus dan tawakal. Ya begitulah teater. Aktor: Tubuh Spektakel Hidup Di Atas Pentas Mempelajari seni akting, tidaklah mungkin tanpa pembimbing yang mengetahui seluk-beluk seni berperan dan sekaligus terampil sebagai instruktur. Bila terpaksa dalam melakukan latihan ( bekerja ) sendiri, otomatis di paksa menghadapi resiko terhadap terbenturnya keinginan untuk memperoleh hasil yang maksimal. Prestasi seorang aktor tidak terlepas dari unsur-unsur kemanusiaan yang umum. Sejauh mana daya tarik atau kharisma yang bersangkutan bersifat pribadi dan tidak mungkin dibandingkan dengan angka-angka.

Modal utama seorang aktor adalah akting. hal ini dapat dicapai dengan kerja keras yang harus di lakukan secara kontinyu. Kemampuan atau bakat tidak mungkin di tingkatkan, namun dapat dikembangkan melalui proses latihan yang penuh kedisiplinan. Disiplin terhadap diri sendiri, kemudian terhadap perintah serta petunjuk instruktur. Disamping itu kepribadian merupakan dasar menuntun bakat dan disiplin. Seorang aktor dalam melakukan pemeranan harus terus belajar, berkarya, berdisiplin, bertanggung jawab, dan bereksplorasi. Maka sebagai seorang aktor harus melakukan formasi sebagai berikut dalam mengasah diri: Aktor dan Tubuhnya Seorang aktor benar-benar mempersiapkan diri baik mental maupun fisik. Mental harus disiapkan sehinga tidak mengalami keterkejutan ketika menjumpai sesuatu yang tidak ditemui dalam kehidupan sebelumnya (tidak pernah terpikirkan, ternyata latihan teater sangat berat). Bentrokan emosi kemauan yang mengamsalkan tubuh dan sukma sebagai tanah liat siap di olah dijadikan lebih padat atau lebih lentur. Fisik seorang aktor harus dipersiapkan kelengkapan peralatan pemeranan melalui latihan teknik dasar secara berkesinambungan. Pembentukan aktor terdapat dalam dirinya ketika berproses membawa peran. Ke dalam raga, seorang aktor ada sukma, sukma terdapat unsur emosi-kemauan-semangat-pikiran dan fantasi. Dalam raga ada tubuh-gerakpernafasan-kekuatan, maka latihan secara langsung terlaksananya tiga bentuk proses kreatif yaitu olah tubuh, vokal dan sukma secara bersamaan tanpa di sadari. Persiapan tubuh seorang aktor melalui latihan memerdekakan diri untuk ,mengapdi kepada akting. Hal yang harus diperhatikan; membuat/ menciptakan tubuh dalam keadaan pasif. Ini dilakukan pada tubuh atau sebelum tubuh memasuki tahap aktivitas. Tekanan diberikan pada gerak yang sifatnya menurun. Selanjutnya pada gerak menurun dan menaik. Berat atau ringan tergantung berapa banyak satuan berat jatuh pada titik pusat ini. Titik-titik puncak menaik dan menurunkan tubuh serta segalanya harus menyatu dalam bentuk yang utuh di dalam tubuh. Gerak dan suara harus diperhitungkan. Gerak reflek dengan aksi dan suara sering terjadi bersamaan. Perubahan terjadi pada kondisi badaniah, sikap tubuh dapat menumbuhkan suara yang berlainan. Ritme pernafasan, detak jantung, gerak-gerak kecil selalu berhubungan dalam tubuh. Kekuatan membebaskan tubuh kemudian maengintegrasikan setiap bagian yang telah

terbebaskan dan meleburkan diri ke dalam suatu fasilitas dengan mengalami berbagai ekstrinuitas yang membantu menyadari kondisi keseimbangan. Aktor dan Vokal nya. Suara andalan aktor sebagai kenderaan imajinasi, perangkat ekspresi manusia. Suara bertambah fungsi dan takarannya menjadi alat yang dibentuk dan dimainkan untuk mewujudkan sosok peran. Latihan pengucapan dan membaca naskah harus mendapat tempat yang khusus. Pembebasan suara, membebaskan munusia sebab tubuh dan pikiran yang dimiliki oleh setiap manusia, merupakan sumber vokal yang menerima rangsangan sensitif dari otak, bekerja menurut proses fisik dari otot tubuh menciptakan pengucapan. Suara akan terhambat dan rusak oleh ketegangan tubuh, gangguan emosional dan intelektual, gangguan peralatan suara serta spiritual yang membatasi keterbatasan bakat, imajinasi dan pengalaman. Suara andalan utama bagi aktor dalam pencapaian makna untuk melahirkan pengucapan yang sempurna, melalui: Pembebasan suara. Olah suara mengacu kepada kemampuan berbicara dengan emosi yang mendalam dan terpancar dari hati. Pembebasan suara terangkum dalam empat tahapan proses pembelajaran vokal. Proses pembebasan melatih tulang belakang sebagai pusat kekuatan tubuh dalam mengusung pernafasan. Proses pengembangan (tangga resonansi) melatih saluran resonator, ditambah latihan melepas suara dari tubuh. Melatih resonator hidung, jangkauan dan resonator tengkorak. Kepekaan dan tenaga, menggali kekuatan pernafasan, pusar dan artikulasi dalam berdialog melahirkan vokal. Secara keseluruhan latihan pembebasan suara yang paling penting untuk diperhatikan peralatan suara dari bagian anggota tubuh pernafasan, pemanfaatan suara, pengucapan, artikulasi dan diksi. Aktor dan Sukmanya Kosentrasi merupakan kesanggupan yang memungkinkan mengerahkan kekuatan rohani dan pikiran ke arah suatu sasaran yang jelas. Dasar dari ajaran ini menguasai diri sendiri melalui proses mencari-cari, menciptakan peran keseharian, proses penciptaan konstruktif peran pada saat pertunjukan di panggung.

Sasaran konsentrasi aktor adalah sukma, baik terhadap sukma sendiri, orang sekitarnya, atau sukma manusia secara menyeluruh (masyarakat penonton). Hal ini secara langsung memerlukan kosentrasi terhadap emosi. Melatih kosentrasi melalui panca indra terhadap hal yang fiktif dan semu. Melatih keadaan emosi dalam sukma bernama manusia kita menemui unsur emosi, kemauan, semangat, pikiran dan fantasi. Emosi. Laku mencerca, memfitnah atau membunuh merupakan laku yang mungkin tak teralami baik dalam pengalaman empirik seorang manusia. Namun sebagai aktor di atas pentas ketika sedang berlakon atau dalam latihan dialog, harus dilakukan dengan instens dan totalitas yang prima. Ada jarak antara sosok diri dengan takaran emosi yang harus diungkapkan. Ingatan emosi adalah perangkat seorang aktor untuk mengungkapkan halhal yang berada diluar dirinya. Caranya dengan imajinasi, pengandaian, serta mengembangkannya menjadi ingatan diri sendiri. Perihal emosi ini merujuk Stanislavsky dengan formula pengandaian yang ajaib. Seorang aktor dapat meyakini kemungkinan kejadian-kejadian itu, mencoba menjawab pertanyaan, apa yang harus saya lakukan andai aku berada pada posisi King Lear? Pengandaian yang ajaib ini mentransformasikan sasaran tokoh ke dalam sasaran sang aktor. Ini merupakan tenaga pendorong melahirkan tindakan fisik untuk melakukan tindakan rohani. Kualitas pengalaman di atas pentas akan berubah, perubahan itu disebut refleksi pengalaman hidup yang puitis, waktu adalah filter sekaligus alat pemurni memori, emosional yang dialami. Lebih dari itu, bukan hanya memurnikan emosi tetapi dapat mempuitiskan berbagai macam memori. Aktor harus hidup dengan pengalaman yang sebenarnya, agar mampu menghidupkan pengalaman pentas dalam takaran emosi pengandaian. Bagaimana jika aku berperan jadi orang gila? Bagaimana pula jika aku berperan dalam kegilaan. Aktor Mencari Ruang Proses penguasaan teknik pemeranan dalam mencari ruang, aktor harus menjalankan tugas, mahir dan terampil. Hal itu menciptakan watak yang dimengerti dan diterima oleh penonton. Sekaligus mendorong sikap yang diperlihatkan dipanggung, maka untuk itu perlu adanya: Teknik muncul. Aktor mampu membawakan kemunculan peran. Setelah muncul langsung mendapat perhatian penonton. Menampilkan gambaran watak dan memaparkan hubungan dengan jalan cerita. Melakukan

kerjasama sesama pemeran. Aktor mampu menginterpretasikan dan menyesuaikan diri dengan naskah didalam per-adegan serta konsepsi penyutradaran untuk menuju konsep artistik teater. Pemberian isi. Sebuah kalimat dalam dialog harus diberi isian pada pengucapan dengan dinamika, tekanan nada, tekanan tempo. Pegucapan kalimat menonjolkan emosi dan pikiran yang terkandung dari sebuah cerita. Naskah lakon odipus sang raja karya Sphokles yang maha dahsyat itu dialognya akan menjadi datar jika aktornya tak mampu memberi isian dalam dialog. Namun naskah lakon Jambo Inong Bale karya Wiko Antoni akan lebih hidup seandainya aktor mampu memberi isian dalam setiap dialog. Berdasarkan itulah teknik pengisian merupakan cara menyampaikan isi, perasaan dan pikiran dari sebuah kalimat dalam lakon. Membangun Klimaks. Klimaks puncak dari suatu pengembangan, ujung atau akhir pengembangan yang panjang terdiri dari pengembangan kecil. Seorang aktor harus mampu mengatur dan menahan pengembangannya sehingga tak terjadi penyamaan dengan klimaks. Penguasaan diri seorang aktor haruslah dicapai agar pencapaian klimaks benar-benar terjadi dalam bangunan yang utuh seperti struktur dramatik aristotelean; permulaankomplik-klimaks-resolusi. Waktu atau tempo dramatik. Aktor atau pemeran harus memperhatikan timing (jeda), irama, tempo serta jarak langkah dalam konsep waktu yang merupakan bagian vital dalam karya teater. Timing merupakan hubungan waktu antara kalimat yang diucapkan dengan suatu gerakan. Keseluruhan rasa ini dikembangkan dengan teknik penonjolan lagu dan diksi. Sementara irama merupakan ukuran kecepatan individual dalam alunan peristiwa teater, sedangkan jarak langkah sangat menentukan irama dan tempo. Penutup Aktor Membawakan Peran: Jadilah Aktor Aktor didukung staf produksi berusaha menghidupkan naskah lakon menjadi kenyataan teater yang disebut dengan performance art (Pertunjukan seni) di atas pentas. Latihan adalah proses dalam persiapan diri seorang aktor menuju naskah lakon. Sutradara, pemain, tim artistik dan produksi merupakan suatu proses kreatif yang terpadu. Proses kreatif seorang aktor berangkat dari sumber inspirasi sutradara yang dipelajari-dikuasaidianalisis-ditafsirkan baik ide lakonnya, bentuk, suasana, klimaks, serta perwatakan yang terbaru dalam proses latihan. Setelah itu, sutradara memprosesnya dalam beberapa tahap; tahap mencari-cari, tahap memberi isi, tahap pengembangan, tahap penghalusan, tahap pemantapan. Selanjutnya barulah dapat dikatakan menjadi paket pertunjukan teater.

Pertunjukan teater yang telah mengaplikasikan kenyataan teater dalam proses kreatif membutuhkan pikiran, tenaga dan waktu. Kemudian baru dapat dipertunjukkan kepada masyarakat penonton. Seorang calon aktor yang sekian waktu berproses baru dapat disebut aktor ketika ia telah benarbenar mampu berakting dengan sempurna di atas pentas. Ternyata perjalanan menjadi seorang aktor sangatlah sulit, apalagi menjadi sutradara. Namun begitulah teater, berteater itu rasanya mudah dan bahkan sangat mudah tapi tidaklah gampang. Rumah Kontrakan Padangpanjang 3 April 2008 Makalah ini disampaikan dalam DIKLAT teater se-Pekanbaru, 5-8 April 2008 di UKM. Teater Batra. Universitas Riau Pekanbaru. Pemakalah adalah Dosen di Jurusan Teater Istitut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, Dosen di Universitas Muhammadiyah (UMSB) Padangpanjang, Dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Imam Bonjol Padangpanjang dan Dosen STKIP PGRI Padang. Sumatera Barat. Penyair dan sutradara serta penasehat Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang Sumatera Barat. DAFTAR PUSTAKA Arthur s. Nalan. 1998. Mencipta Teater, Bandung: CV. Geger Sunten Anirun, Suyatna. 1998. Menjadi Aktor, Bandung: STB Arifin, Max. 1980. Teater Sebuah Perkenalan Dasar, Flores: Nusa Indah F. Awuy, Tommy. 1999. T

Anda mungkin juga menyukai