Anda di halaman 1dari 20

1

Konsep Dasar Teori Piaget Jean Piaget (1896-1980), pakar psikologi dari Swiss, mengatakan bahwa anak dapat membangun secara aktif dunia kognitif mereka sendiri. Dalam belajar, menurut Piaget, struktur kognitif yang dimiliki seseorang terjadi karena proses asimilasi dan akomodasi. Kunci utama teori Piaget yang harus diketahui guru matematika yaitu bahwasanya perkembangan kognitif seorang siswa bergantung kepada seberapa jauh si siswa dapat memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya, dalam arti bagaimana siswa mengaitkan antara pengetahuan yang telah dimiliki dengan pengalaman barunya. Proses perkembangan kognitif seseorang menurut Piaget harus melalui suatu proses yang disebut dengan adaptasi dan organisasi seperti ditunjukkan Piaget melalui diagram di bawah ini:
Ada schema yang sesuai, sehingga pengalaman baru itu dapat diasimilasi

Siswa dalam keadaan equilibri um

Siswa Dihadapkan dengan keadaan atau pengalaman baru

Siswa berusaha mengorganis asi pengalaman baru dengan mengaitkan pada yang ada di schema

Siswa dalam keadaan equilibri um

Ad apt asi

Tidak ada schema yang sesuai, sehingga pengalaman baru tidak dapat diasimilasi Siswa berusaha mengakomodasi melalui perubahan schema yang ada atau mengembangkannya dengan schema baru.

Anak tidak dapat menerima hal baru itu

Siswa tidak dalam keadaan equilibrium

Diagram tersebut menunjukkan bahwa tanpa adanya pengalaman baru, struktur kognitif para siswa akan berada dalam keadaan equilibrium (tenang dan stabil). Jadi, perkembangan kognitif seseorang ditentukan oleh seberapa besar interaksinya dengan
3

lingkungan (pengalaman baru) yang harus dikaitkan atau dihubungkan dengan struktur kognitif (schema) mereka, melalui proses organisasi dan adaptasi. Adaptasi sendiri terdiri atas dua proses yang dapat terjadi bersama-sama, yaitu: (1) asimilasi, suatu proses dimana suatu informasi atau pengalaman baru disesuaikan dengan kerangka kognitif yang sudah ada di benak siswa; dan (2) akomodasi, yaitu suatu proses perubahan atau pengembangan kerangka kognitif yang sudah ada di benak siswa agar sesuai dengan pengalaman yang baru dialami. Bodner (1986:873) menyatakan bahwa istilah asimilasi dan akomodasi hanya dapat dipahami melalui konsep Piaget tentang struktur kognitif (schema). Jika fungsi kognitif seperti adaptasi dan organisasi tetap konstan selama proses perkembangan kognitif maka struktur kognitifnya akan berubah baik secara kualitas maupun kuantitas sesuai perkembangan waktu dan pengalaman. Proses asimilasi dan akomodasi ini terjadi sejak bayi. Bodner (1986:873) menunjukkan pendapat Von Glasersfeld bahwa seorang bayi yang sedang lapar lalu pipinya disentuh dengan jari maka ia akan berusaha untuk menghisap jari itu. Von Glasersfeld menyatakakan bahwa bayi itu menganggap (mengasimilasi) bahwa jari itu adalah puting susu ibunya. Karena itu, Bodner (1986:873) menyatakan: Assimilation involves applying a preexisting schema or mental structure to interpret sensor data. Artinya, proses asimilasi melibatkan penggunaan struktur, skemata, atau skema untuk menginterpretasi. Karena itu, Bodner (1986:873) juga menyatakan: Piaget argued that knowledge is constructed as the learner strives to organize his or her experiences in terms of preexisting mental structure or schema. Artinya, Piaget berargumentasi bahwa pengetahuan terbangun disaat siswa berusaha untuk mengorganisasikan pengalamannya sesuai dengan struktur kognitif yang dimilikinya. A. Faktor-Faktor Perkembangan Intelektual 1. Tahap perkembangan kognitif Menurut Piaget, tahap perkembangan intelektual anak secara kronologis terjadi 4 tahap. Urutan tahap-tahap ini tetap bagi setiap orang, akan tetapi usia kronologis memasuki setiap tahap bervariasi pada setiap anak. Keempat tahap tersebut adalah sebagai berikut:
a. Tahap sensorimotor (umur 0 2 tahun)

Ciri pokok perkembangannya anak mengalami dunianya melalui gerak dan inderanya serta mempelajari permanensi obyek. Pada tahap sensorimotor, intelegensi anak lebih didasarkan pada tindakan inderawi anak terhadap
4

lingkungannya, seperti melihat, meraba, menjamak, mendengar, membau dan lainlain. Pada tahap sensorimotor, gagasan anak mengenai suatu benda berkembang dari periode belum mempunyai gagasan menjadi sudah mempunyai gagasan. Gagasan mengenai benda sangat berkaitan dengan konsep anak tentang ruang dan waktu yang juga belum terakomodasi dengan baik. Struktur ruang dan waktu belum jelas dan masih terpotong-potong, belum dapat disistematisir dan diurutkan dengan logis. Piaget membagi tahap sensorimotor dalam enam periode, yaitu: 1) Periode 1 : Refleks (umur 0 1 bulan) Periode paling awal tahap sensorimotor adalah periode refleks. Ini berkembang sejak bayi lahir sampai sekitar berumur 1 bulan. Pada periode ini, tingkah laku bayi kebanyak bersifat refleks, spontan, tidak disengaja, dan tidak terbedakan. Tindakan seorang bayi didasarkan pada adanya rangsangan dari luar yang ditanggapi secara refleks. 2) Periode 2 : Kebiasaan (umur 1 4 bulan) Pada periode perkembangan ini, bayi mulai membentuk kebiasankebiasaan pertama. Kebiasaan dibuat dengan mencoba-coba dan mengulangngulang suatu tindakan. Refleks-refleks yang dibuat diasimilasikan dengan skema yang telah dimiliki dan menjadi semacam kebiasaan, terlebih dari refleks tersebut menghasilkan sesuatu. Pada periode ini, seorang bayi mulai membedakan benda-benda di dekatnya. Ia mulai mengaakan diferensiasi akan macam-macam benda yang dipegangnya. Pada periode ini pula, koordinasi tindakan bayi mulai berkembang dengan penggunaan mata dan telinga. Bayi mulai mengikuti benda yang bergerak dengan matanya. Ia juga mulai menggerakkan kepala ke sumber suara yang ia dengar. Suara dan penglihatan bekerja bersama. Ini merupakan suatu tahap penting untuk menumbuhkan konsep benda. 3) Periode 3 : Reproduksi kejadian yang menarik (umur 4 8 bulan) Pada periode ini, seorang bayi mulai menjamah dan memanipulasi objek apapun yang ada di sekitarnya (Piaget dan Inhelder 1969). Tingkah laku bayi semakin berorientasi pada objek dan kejadian di luar tubuhnya sendiri. Ia menunjukkan koordinasi antara penglihatan dan rasa jamah. Pada periode ini,
5

seorang bayi juga menciptakan kembali kejadian-kejadian yang menarik baginya. Ia mencoba menghadirkan dan mengulang kembali peristiwa yang menyenangkan diri (reaksi sirkuler sekunder). Piaget mengamati bahwa bila seorang anak dihadapkan pada sebuah benda yang dikenal, seringkali hanya menunjukkan reaksi singkat dan tidak mau memperhatikan agak lama. Oleh Piaget, ini diartikan sebagai suatu pengiaan akan arti benda itu seakan ia mengetahuinya. 4) Periode 4 : Koordinasi Skemata (umur 8 12 bulan) Pada periode ini, seorang bayi mulai membedakan antara sarana dan hasil tindakannya. Ia sudah mulai menggunakan sarana untuk mencapai suatu hasil. Sarana-sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan atau hasil diperoleh dari koordinasi skema-skema yang telah ia ketahui. Bayi mulai mempunyai kemampuan untuk menyatukan tingkah laku yang sebelumnya telah diperoleh untuk mencapai tujuan tertentu. Pada periode ini, seorang bayi mulai membentuk konsep tentang tetapnya (permanensi) suatu benda. Dari kenyataan bahwa dari seorang bayi dapat mencari benda yang tersembunyi, tampak bahwa ini mulai mempunyaikonsep tentang ruang. 5) Periode 5 : Eksperimen (umur 12 18 bulan) Unsur pokok pada perode ini adalah mulainya anak memperkembangkan cara-cara baru untuk mencapai tujuan dengan cara mencoba-coba (eksperimen) bila dihadapkan pada suatu persoalan yang tidak dipecahkan dengan skema yang ada, anak akan mulai mecoba-coba dengan Trial and Error untuk menemukan cara yang baru guna memecahkan persoalan tersebut atau dengan kata lain ia mencoba mengembangkan skema yang baru. Pada periode ini, anak lebih mengamati benda-benda disekitarnya dan mengamati bagaimana benda-benda di sekitarnya bertingkah laku dalam situasi yang baru. Menurut Piaget, tingkah anak ini menjadi intelegensi sewaktu ia menemukan kemampuan untuk memecahkan persoalan yang baru. Pada periode ini pula, konsep anak akan benda mulai maju dan lengkap. Tentang keruangan anak mulai mempertimbangkan organisasi perpindahan benda-benda secara menyeluruh bila benda-benda itu dapat dilihat secara serentak.
6

6) Periode Refresentasi (umur 18 24 bulan) Periode ini adalah periode terakhir pada tahap intelegensi sensorimotor. Seorang anak sudah mulai dapat menemukan cara-cara baru yang tidak hanya berdasarkan rabaan fisis dan eksternal, tetap juga dengan koordinasi internal dalam gambarannya. Pada periode ini, anak berpindah dari periode intelegensi sensori motor ke intelegensi refresentatif. Secara mental, seorang anak mulai dapat menggambarkan suatu benda dan kejadian, dan dapat menyelesaikan suatu persoalan dengan gambaran tersebut. Konsep benda pada tahap ini sudah maju, refresentasi ini membiarkan anak untuk mencari dan menemukan objek-objek yang tersembunyi. Sedangkan konsep keruangan, anak mulai sadar akan gerakan suatu benda sehingga dapat mencarinya secara masuk akal bila benda itu tidak kelihatan lagi. Karakteristik anak yang berada pada tahap ini adalah sebagai berikut: a) Berfikir melalui perbuatan (gerak) b) Perkembangan fisik yang dapat diamati adalah gerak-gerak refleks sampai ia dapat berjalan dan bicara. c) Belajar mengkoordinasi akal dan geraknya. d) Cenderung intuitif egosentris, tidak rasional dan tidak logis.
b. Tahap Pra operasional : umur 2 -7 tahun.

Ciri pokok perkembangannya adalah penggunaan simbol/ bahasa tanda dan konsep intuitif. Istilah operasi di sini adalah suatu proses berfikir logik, dan merupakan aktivitas sensorimotor. Dalam tahap ini anak sangat egosentris, mereka sulit menerima pendapat orang lain. Anak percaya bahwa apa yang mereka pikirkan dan alami juga menjadi pikiran dan pengalaman orang lain. Mereka percaya bahwa benda yang tidak bernyawa mempunyai sifat bernyawa. Tahap pra operasional ini dapat dibedakan atas dua bagian. Pertama, tahap pra konseptual (2-4 tahun), dimana representasi suatu objek dinyatakan dengan bahasa, gambar dan permainan khayalan. Kedua, tahap intuitif (4-7 tahun). Pada tahap ini representasi suatu objek didasarkan pada persepsi pengalaman sendiri, tidak kepada penalaran. Karakteristik anak pada tahap ini adalah sebagai berikut:

1) Anak dapat mengaitkan pengalaman yang ada di lingkungan bermainnya dengan pengalaman pribadinya, dan karenanya ia menjadi egois. Anak tidak rela bila barang miliknya dipegang oleh orang lain. 2) Anak belum memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang membutuhkan pemikiran yang dapat dibalik (reversible). Pikiran mereka masih bersifat irreversible. 3) Anak belum mampu melihat dua aspek dari satu objek atau situasi sekaligus, dan belum mampu bernalar (reasoning) secara individu dan deduktif. 4) Anak bernalar secara transduktif (dari khusus ke khusus). Anak juga belum mampu membedakan antara fakta dan fantasi. Kadang-kadang anak seperti berbohong. Ini terjadi karena anak belum mampu memisahkan kejadian sebenarnya dengan imajinasi mereka. 5) Anak belum memiliki konsep kekekalan (kuantitas, materi, luas, berat dan isi).
6) Menjelang akhir tahap ini, anak mampu memberi alasan mengenai apa yang

mereka percayai. Anak dapat mengklasifikasikan objek ke dalam kelompok yang hanya mempunyai satu sifat tertentu dan telah mulai mengerti konsep yang konkret.
c.

Tahap operasional konkret (umur 7 11/12 tahun) Pada umumnya anak sekolah dasar berumur sekitar 6/7- 12 tahun.

Menurut Piaget, anak seumur ini berada pada periode operasi konkret. Ciri pokok perkembangannya anak mulai berpikir secara logis didasarkan pada manipulasi fisik objek-objek konkret. Untuk berpikir abstrak masih membutuhkan bantuan memanipulasi objek-objek konkret atau pengalamanpengalaman yang langsung dialaminya. Tahap operasi konkret (concrete operations) dicirikan dengan perkembangan sistem pemikiran yang didasarkan pada aturan-aturan tertentu yang logis. Anak sudah memperkembangkan operasi-operasi logis. Operasi itu bersifat reversible, artinya dapat dimengerti dalam dua arah, yaitu suatu pemikiran yang dapat dikembalikan kepada awalnya lagi. Tahap operasi konkret dapat ditandai dengan adanya sistem operasi berdasarkan apa-apa yang kelihatan nyata/ konkret. Ciri-ciri operasi konkret yang lain, yaitu: 1) Adaptasi dengan gambaran yang menyeluruh
8

Pada tahap ini, seorang anak mulai dapat menggambarkan secara menyeluruh ingatan, pengalaman dan objek yang dialami. Menurut Piaget, adaptasi dengan lingkungan disatukan dengan gambaran akan lingkungan itu. 2) Melihat dari berbagai macam segi Anak pada tahap ini mulai mulai dapat melihat suatu objek atau persoalan secara sediki menyeluruh dengan melihat apek-aspeknya. Ia tidak hanya memusatkan pada titik tertentu, tetapi dapat bersama-sama mengamati titik-titik yang lain dalam satu waktu yang bersamaan. 3) Seriasi Proses seriasi adalah proses mengatur unsur-unsur menurut semakin besar atau semakin kecilnya unsur-unsur tersebut. Menurut Piaget , bila seorang anak telah dapat membuat suatu seriasi maka ia tidak akan mengalami banyak kesulitaan untuk membuat seriasi selanjutnuya. 4) Klasifikasi Menurut Piaget, bila anak yang berumur 3 tahun dan 12 tahun diberi bermacam-macam objek dan disuruh membuat klasifikasi yang serupa menjadi satu, ada beberapa kemungkinan yang terjadi. 5) Bilangan Dalam percobaan Piaget, ternyata anak pada tahap praoperasi konkret belum dapat mengerti soal korespondensi satu-satu dan kekekalan, namun pada tahap tahap operasi konkret, anak sudah dapat mengerti soal karespondensi dan kekekalan dengan baik. Dengan perkembangan ini berarti konsep tentang bilangan bagi anak telah berkembang. 6) Ruang, waktu, dan kecepatan Pada umur 7 atau 8 tahun seorang anak sudah mengerti tentang urutan ruang dengan melihat interval jarak suatu benda. Pada umur 8 tahun anak sudah sudah sapat mengerti relasi urutan waktu dan jug akoordinasi dengamn waktu, dan pada umur 10 atau 11 tahun, anak sadar akan konsep waktu dan kecepatan. 7) Probabilitas Pada tahap ini, pengertian probabilitas sebagai suatu perbandingan antara hal yang terjadi dengan kasus-kasus yang mulai terbentuk. 8) Penalaran
9

Dalam pembicaraan sehari-hari, anak pada tahap ini jarang berbicara dengan suatu alasan,tetapi lebih mengatakan apa yang terjadi. Pada tahap ini, menurut Piaget masih ada kesulitan dalam melihat persoalan secara menyeluruh. 9) Egosentrisme dan Sosialisme Pada tahap ini, anak sudah tidak begitu egosentris dalam pemikirannya. Ia sadar bahwa orang lain dapat mempunyai pikiran lain. Piaget mengidentifikasi adanya enam tahap dalam perkembangan belajar anak yang disebut dengan hukum kekekalan, yaitu:
a. Hukum kekekalan bilangan (6 7 Tahun)

Anak yang telah memahami hukum kekekalan bilangan akan mengerti bahwa banyaknya suatu benda-benda akan tetap meskipun letaknya berbeda-beda atau diubah letaknya. Anak yang memahami hukum kekekalan bilangan sudah siap untuk menerima pelajaran konsep bilangan dan operasinya. Seorang anak sudah memahami hukum kekekalan bilangan atau belum dapat diketahui dengan memberikan kegiatan sebagai berikut: 1) Buatlah dua kelompok (batu atau kelereng) yang besar dan banyaknya sama, serta penataan letaknya sama. Tanyakan pada anakyang diselidiki, banyaknya batu pada dua kelompok sama atau tidak? Pastikan anak memahami benar bahwa anak memahami benar kalau banyaknya sama.

a) b)
2) Di depan anak yang diselidiki, salah satu dari kelompok batu/ kelereng itu

diserakkan atau diubah letaknya. Kemudian tanyakan pada anak lagi, sekarang banyaknya batu/ kelereng pada dua kelompok tetap sama atau tidak? Jika anak menjawab dengan pasti sama, maka anak tersebut sudah memahami hukum kekekalan bilangan. Jika anak tersebut ragu-ragu atau menjawab tidak sama maka anak tersebut belum memahami hukum kekekalan bilangan.
10

a) b) Kegiatan/ permainan pemasangan satu-satu dapat diberikan kepada anak yang belum memahami hukum kekekalan bulangan untuk mempercepat pemahamannya terhadap hukum kekekalan bilangan.
b. Hukum kekekalan materi ( 7 8 Tahun )

Pada usia ini anak yang sudah mampu memahami hukum kekekalan materi akan mengatakan bahwa materi akan tetap sama banyaknya meskipun diubah bentuknya atau dipindah tempatnya. Sedangkan anak yang belum memahami hukum kekekalan materi akan mengatakan bahwa air pada dua mangkok yang berbeda besarnya menjadi tidak sama, meskipun anak tahu air itu dituangkan dari dua bejana yang sama besar dan sama banyaknya. Anak yang belum memahami hukum kekekalan materi belum dapat melihat persamaan atau perbedaan dua karakteristik atau lebih. Anak baru dapat melihat perbedaan atau persamaan dari satu sudut pandang saja. Contohnya anak dapat membedakan bilangan genap dan ganjil, bilangan kelipatan 3 dan bukan kelipatan 3, dan sebagainya. Tetapi anak akan kesulitan jika diminta menentukan bilangan prima genap, atau bilangan genap kelipatan lima, dan sebagainya. Untuk mengetahui pemahaman hukum kekekalan materi seorang anak, dapat diberikan kegiatan sebagai berikut:
1) Sediakan dua bejana atau gelas yang sama bentuk dan ukurannya. Isi kedua gelas

dengan air atau sirup yang ama banyaknya. Tanyakan pada anak yang diselidiki, banyaknya air atau sirup pada kedua gelas sama atau tidak? a) b)

2) Kemudian di depan anak tersebut, tuangkan air dari salah satu gelas pada sebuah mangkok yang berbeda bentuk dan ukurannya dengan gelas sampai habis. a) b)
11

Tanyakan lagi pada anak tersebut, sekarang banyak air yang ada di gelas dengan yang ada di mangkok sama atau tidak? Jika anak menjawab dengan pasti bahwa air tetap sama, maka anak tersebut sudah memahami hukum kekekalan materi. a) b)

Kegiatan yang diberikan untuk dapat mempercepat pemahaman anak terhadap hukum kekekalan materi adalah menuangkannya kembali air dari mankok ke gelas dan sebaliknya berkali-kali, sampai anak memahami hukum kekekalan materi.

c. Hukum kekekalan panjang ( 7 8 Tahun )

Anak yang telah memahami hukum kekekalan panjang akan mengatakan bahwa panjang tali akan tetap meskipun tali itu dilengkungkan. Anak yang belum memahami hukum kekekalan panjang akan memperoleh kesulitan dalam mempelajari konsep pengukuran terutama pengukuran panjang benda-benda yang tidak lurus. Untuk dapat mengetajui seorang anak sudah memahami hukum kekekalan panjang atau belum, guru dapat emlakukan kegiatan berikut:
1) Sediakan dua utas tali (kawat) yang besar dan panjangnya sama. Rentangkan

kedua tali tersebut bersisihan. Kemudian tanyakan kepada anak yang diselidiki apakah kedua tali sama panjang? Pastikan anak memahami kalau kedua tali sama panjang. a) b) 2) Di hadapan anak tersebut, salah satu tali dilengkungkan atau dibengkokbengkokkan. Kemudian tanyakan ;agi pada anak tersebut, sekarang panjang
12

kedua tali tetap sama atau menjadi tidak sama? Jika anak menjawab tidak sama, maka anak tersebut belum memahami hukum kekekalan panjang. a) b) Untuk mempercepat pemahaman anak terhadap hukum kekekalan panjang dapat diberikan kegiatan/permainan merentangkan dua tali yang sama panjang kemudian membengkokkan salah satunya, kemudian merentangkannya lagi untuk dibandingkan berkali-kali sampai anak paham.
d. Hukum kekekalan luas ( 8 9 Tahun )

Hukum kekekalan luas biasanya dipahami anak bersamaan dengan hukum kekekalan panjang. Anak yang sudah memahami hukum kekekalan luas akan memahami bahwa luas daerah yang ditutupi suatu benda akan tetap ama meskipun letak benda diubah, sedangkan anak yang belum memahami hukum kekekalan luas cenderung mengatakan luas daerah yang ditutupi oleh 4 persegi kongruen yang diletakkkan terserak (tidak berimpit) lebih luas daripada daerah yang ditutupi oleh 4 persegi kongruen yang diletakkan berimpitan. Anak yang belum memahami hukum kekekalan luas akan kesulitan belajar luasan suatu daerah, misalnya dalam menemukan rumus luas jajar genjang yang diturunkan dari rumus luas persegi panjang. Untuk mengetahui pemahaman hukum kekekalan luas seorang anak, dapat diberi kegiatan sebagai berikut:
1) Siapakan 8 persegi yang kongruen, kemudian rangkaikan setiapa 4 persegi

menjadi suatu bangun persegi yang besar. Jadi ada 2 persegi besar. Tanyakan pada anak yang diselidiki, apakah daerah yang ditutupi 2 persegi besar itu luasnya sama? Pastikan anak memahami kalau luasnya sama. a) b)

2) Di hadapan anak, serakkan salah satu dari rangkaian 4 persegi sehingga saling renggang. Kemudian tanyakan lagi pada anak tersebut, apakah daerah yang
13

ditutupi persegi besar dengan daerah yang ditutupi 4 persegi kecil tetap sama luas? Jika anak menjawab tidak sama, maka anak tersebut belum memahami hukum kekekalan luas. a) b)

Permaianan Tangram atau Pancagram dapat memepercepat pemahaman anak terhadap hukum kekekalan luas.
e. Hukum kekekalan berat ( 9 10 Tahun )

Hukum kekekalan berat menyatakan bahwa berat suatu benda akan tetap maeskipun bentuk, tempat dan atau penimbangan benda tersebut berbeda. Untuk mengetahui pemahaman hukum kekekalan berat seorang anak, dapat diberikan kegiatan sebagai berikut:
1) Siapkan dua plastisin yang sama bentuk dan beratnya. Kemusian letakkan kedua

plastisin pada suatu timbangan amsing-masing di satu sisi. Tunjukkan pada anak yang sedang diselidiki kalau kedua plastisin tersebut seimbang, dan tanyakan: apakah kedua plastisin sama berat? Pastikan anak memahami kalau berat plastisin sama.

2) Di hadapan anak tersebut, salah satu platisin diubah bentuknya, misalnya

dipukul-pukul atau dibelah menjadi kecil-kecil. Kemudian tanyakan lagi kepada anak, apakah plastisin yang telah diubah bentuknya sama beratnya dengan plastisin semula? Jika anak menjawab tidak sama berat, maka anak tersebut belum memahami hukum kekekalan berat. Anak akan kesulitan mempelajari pengukuran berat, terutama mengubah satuan pengukuran berat.

14

f. Hukum kekekalan isi (14-15 tahun) Hukum kekekalan isi menyatakan bahwa jika pada suatu bak atau bejana yang penuh dengan air dimasukkan suatu benda, maka air yang ditumpahkan dari bak tersebut sama dengan isi benda yang dimasukkan. Untuk hukum kekekalan isi pada umumnya belum dipahami oleh anak SD/MI.
d. Tahap operasi formal: umur 11/12 ke atas

Ciri pokok perkembangannya adalah hipotesis, abstrak, dan logis. Tahap operasi formal (formal operations) merupakan tahap terakhir dalam perkembangan kognitif menurut Piaget. Pada tahap ini, seorang remaja sudah dapat berpikir logis, berpikir dengan pemikiran teoritis formal berdasarkan proposisi-proposisi dan hipotesis, dan dapat mengambil kesimpulan lepas dari apa yang dapat diamati saat itu. Cara berpikir yang abstrak mulai dimengerti. Sifat pokok tahap operasi formal adalah pemikiran deduktif hipotesis, induktif sintifik, dan abstrak reflektif. 1) Pemikiran Deduktif Hipotesis Pemikiran deduktif adalah pemikiran yang menarik kesimpulan yang spesifik dari sesuatu yang umum. Kesimpulan benar hanya jika premis-premis yang dipakai dalam pengambilan keputusan benar. Alasan deduktif hipotesis adalah alasan/ argumentasi yang berkaitan dengan kesimpulan yang ditarik dari premis-premis yang masih hipotetis. Jadi, seseorang yang mengambil kesimpulan dari suatu proposisi yang diasumsikan, tidak perlu berdasarkan dengan kenyataan yang real. Dalam pemikiran remaja, Piaget dapat mendeteksi adaanya pemikiran yang logis, meskipun para remaja sendiri pada kenyataannya tidak tahu atau belum menyadari bahwa cara berpikir mereka itu logis. Dengan kata lain, model logis itu lebih merupakan hasil kesimpulan Piaget dalam menafsirkan ungkapan remaja, terlepas dari apakah para remaja sendiri tahu atau tidak. 2) Pemikiran Induktif Sintifik
15

Pemikiran induktif adalah pengambilan kesimpulan yang lebih umum berdasarkan kejadian-kejadian yang khusus. Pemikiran ini disebut juga dengan metode ilmiah. Pada tahap pemikiran ini, anak sudah mulai dapat membuat hipotesis, menentukan eksperimen, menentukan variabel control, mencatat hasi, dan menarik kesimpulan. Disamping itu mereka sudah dapat memikirkan sejumlah variabel yang berbeda pada waktu yang sama. 3) Pemikiran Abstraksi Reflektif Menurut Piaget, pemikiran analogi dapat juga diklasifikasikan sebagai abstraksi reflektif karena pemikiran itu tidak dapat disimpulkan dari pengalaman.

2. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kognitif Piaget menjelaskan bahwa perkembangan kognitif seseorang dipengaruhi oleh empat hal berikut.
a) Kematangan (maturation) otak dan sistem syarafnya.

Kematangan otak dan sistem syaraf sangat penting dimiliki setiap siswa. Siswa yang memiliki ketidaksempurnaan yang berkait dengan kematangan ini, sedikit banyak akan mengurangi kemampuan dan perkembangan kognitifnya. Karena itu, penting sekali bagi orang tua untuk membesarkan putera-puterinya dengan makanan bergizi dan kasih sayang yang cukup, sehingga putera-puteri tersebut akan memiliki kematangan otak dan sistem syaraf yang sempurna.
b) Pengalaman (experience) yang terdiri atas: 1) Pengalaman fisik (physical experience), yaitu interaksi manusia dengan

lingkungannya.
2) Pengalaman

logika-matematis (logico-mathematical experience), yaitu

kegiatan-kegiatan pikiran yang dilakukan manusia. Contohnya, siswa menata kumpulan batu sambil belajar membilang.
c) Transmisi sosial (social transmission)

Yaitu interaksi dan kerjasama yang dilakukan oleh manusia dengan orang lain. Mengapa seorang anak Indonesia yang dilahirkan di lingkungan yang selalu berbahasa Inggris dan selalu berinteraksi dengan Bahasa Inggris akan menyebabkan ia mahir berbahasa Inggris? Jawabannya adalah adanya faktor
16

transmisi sosial tersebut. Seorang anak yang dilahirkan di suatu keluarga yang lebih mengutamakan penalaran (reasoning) akan menghasilkan anak-anak yang lebih mengutamakan kemampuan penalaran ketika memecahkan masalah.
d) Penyeimbangan (equilibration),

Merupakan suatu proses, sebagai akibat ditemuinya pengalaman (informasi) baru. Seorang anak yang sejatinya berbakat untuk mempelajari matematika, namun karena ia tidak mendapat tantangan yang cukup, maka perkembangan kognitifnya akan terhambat.

B. Teori dan Pengajaran dalam Matematika Perkembangan anak dalam belajar matematika menurut Piaget melalui 4 tahap yaitu: 1. Tahap konkret Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan anak adalah untuk mendapatkan pengalaman langsung atau memanipulasi objek-objek konkret. Misalnya, guru membawa pensil sebanyak 3 pensil dan ditunjukkan kepada siswa supaya siswa dapat memahami bilangan 3. 2. Tahap semi konkret Pada tahap ini sudah tidak perlu memanipulasi objek-objek konkret lagi seperti pada tahap konkret, tetapi cukup dengan gambaran dari objek yang dimaksud. Misalnya, siswa melihat 3 gambar pensil untuk dapat memahami bilangan 3.

3. Tahap semi abstrak Kegiatan yang dilakukan anak pada tahap ini yaitu memanipulasi/melihat tanda sebagai ganti gambar untuk dapat berpikir abstrak. Misalnya, dengan melihat 3 tanda (misalnya noktah), anak mampu memahami bilangan 3

17

4. Tahap abstrak Pada tahap abstrak, anak sudah mampu berpikir secara abstrak dengan melihat lambang/ simbol atau membaca/ mendengar secara verbal tanpa kaitan dengan objekobjek konkret. Misalnya, dengan melihat angka 3 atau mendengar tiga, anak sudah mampu memahami bilangan 3.
C. Contoh Pembelajaran Matematika dengan Teori Piaget

Kelas/ semester Standar Kompetensi

: II / 2 : Bilangan 3. Melakukan perkalian dan pembagian bilangan sampai dua angka.

Kompetensi Dasar

: 3.1. Melakuakan perkalian bilangan yang hasilnya bilangan dua angka

Siswa kelas II sudah belajar tentang penjumlahan di semester 1 dan sudah menguasai penjumlahan seperti 2 + 2 + 2 = 6. Pada pembelajaran tentang perkalian, guru dapat mengawali kegiatan dengan menunjukkan adanya tiga piring yang berisi dua kelereng pada setiap piringnya, seperti ditunjukkan gambar di bawah ini:

Ketika guru meminta siswanya untuk menentukan banyaknya kelereng yang ada, maka diharapkan para siswa akan dengan mudah menentukan jawabannya. Ada beberapa cara yang dapat digunakan siswa dan dapat diterima guru untuk menentukan hasilnya, yaitu: 1. dengan membilang dari 1 sampai 6 atau
2. dengan menjumlahkan 2 + 2 + 2 = 6.

Setelah itu guru lalu menginformasikan bahwa notasi lain yang dapat digunakan adalah 3 2. Contoh ini menunjukkan bahwa pengetahuan yang baru tentang perkalian sudah dikaitkan atau disesuaikan dengan pengetahuan tentang penjumlahan yang sudah dimiliki siswa. Kata lainnya, perkalian telah diasimilasi sebagai penjumlahan berulang. Selanjutnya, akan terjadi juga perubahan pada kerangka kognitif si siswa. Kerangka kognitifnya tidak hanya berkait dengan penjumlahan saja, akan tetapi sudah berkembang atau berubah dengan penjumlahan berulang yang dapat disebut juga dengan perkalian.
18

Dengan demikian jelaslah bahwa asimilasi terjadi jika pengalaman baru siswa sesuai atau memperkuat struktur kognitif yang sudah ada di benak siswa; sedangkan pada akomodasi, struktur kognitif yang sudah ada di benak siswa berubah akibat informasi atau pengalaman barunya. Berdasar contoh yang dikemukakan guru di atas, para siswa akan memahami bahwa untuk menentukan hasil 5 2 adalah sama dengan menentukan banyaknya semua kelereng yang ada pada lima piring yang berisi dua kue pada setiap piringnya. Diharapkan para siswa akan dengan mudah menentukan bahwa: 5 2 = 2 + 2 + 2 + 2 + 2 = 10, namun pada struktur kognitif siswa belum ada konsep tersebut, sehingga ia harus mengubahnya yakni perkalian menjadi penjumlahan berulang. Contoh lain, jika berdasar pengalaman yang sudah pernah dialami para siswa yaitu tentang notasi 3 1 tablet yang berarti bahwa pada pagi hari makan 1 tablet, pada siang hari makan 1 tablet, dan pada malam hari makan 1 tablet; sehingga akan ada 1 + 1 + 1 = 3 tablet yang harus dimakan. Maka para siswa diharapkan dapat dengan mudah mengasimilasi 3 2 = 2 + 2 + 2 = 6 dimana notasi 3 2 sebagai pengalaman baru sudah disesuaikan dengan kerangka kognitif yang sudah ada di benak siswa. Pada waktu itu juga akomodasi dapat terjadi karena sudah terjadi proses perubahan atau pengembangan kerangka kognitif pada benak si siswa.

19

Daftar Pustaka: Pitadjeng, S. Pd .2006. Pembelajaran Matematika yang Menyenangkan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Shadiq, Fajar dan Nur Amini Mustajab. 2011. Penerapan Teori Belajar dalam Pembelajaran Matematika di SD. Yogyakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika. http://aanchoto.com/2010/10/teori-piaget/ http://ilmuwanmuda.wordpress.com/piaget-dan-teorinya/ http://wirasaputra.wordpress.com/2012/01/06/teori-kognisi-piaget/

20

Anda mungkin juga menyukai