Bahasa Ch3
Bahasa Ch3
Bab III
Dalam bab ini, saya akan mendiskusikan konstitusionalisme, hak asasi manusia, dan kewarganegaraan dalam perspektif Islam. Kombinasi prinsipprinsip umum tersebut diharapkan mampu mengatur dan memediasi kerja praksis sekularisme sebagai sebuah proses untuk menyelesaikan
ketegangan antara netralitas negara terhadap agama, di satu pihak, dengan keterhubungan Islam dan kebijakan publik, dan di pihak politik lain. untuk
Konstitusionalisme
menyediakan
kerangka
hukum
merealisasikan dan melindungi persamaan status, hak asasi manusia, dan kesejahteraan seluruh warga negara. Standar hak asasi manusia,
sebagaimana yang telah didefinisikan dalam kesepakatan internasional dan regional serta tercantum dalam hukum adat internasional, hanya bisa dipraktikkan melalui institusi, sistem hukum dan konstitusi nasional. Tetapi, efektifitas sistem nasional dan internasional tersebut tergantung pada partisipasi aktif warga negara dalam melindungi hak-haknya sendiri. Pada saat yang sama, norma-norma hak asasi dan konstitusi membuat warga negara bisa bertukar informasi, mengorganisir dan melakukan aksi secara bersama-sama untuk mempromosikan visi mereka tentang kemaslahatan sosial dan melindungi hak-hak mereka. Dengan kata lain,
konstitusionalisme dan hak asasi manusia adalah alat yang penting untuk melindungi status dan hak warga negara, tetapi fungsi tersebut dapat efektif justru karena peran warga negara sendiri. Karena itulah, proses klarifikasi terhadap dasar dan implikasi konsep kewarganegaraan menjadi penting. Konsep-konsep tersebut dan institusi yang menyertainya
tergantung satu sama lain dan harus saling berinteraksi jika ingin merealisasikan tujuannya masing-masing.
Dengan berusaha mengklarifikasi prinsip-prinsip tersebut dari perspektif Islam, saya berharap bisa mendapatkan legitimasi dari kalangan muslim yang harus menerima prinsip-prinsip tersebut jika mereka ingin
menerapkannya secara efektif dalam masyarakatnya. Hubungan antara Islam dan prinsip-prinsip tersebut tidak terhindarkan, karena Islam mempengaruhi secara langsung legitimasi dan kekuatan prinsip-prinsip tersebut dan institusi yang menyertainya dalam masyarakat Islam
kontemporer. Pada saat yang sama, hubungan ini akan memusingkan dan kontraproduktif ketika Islam disamakan dengan pemahaman sejarah atas syariah. Padahal, pemahaman historis tersebut mengandung beberapa hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusionalisme, hak asasi manusia, dan kewarganegaraan. Namun saya tegaskan, saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa prinsip-prinsip umum hak asasi manusia tidak sesuai dengan prinsip-prinsip umum syariah. Malah, saya merujuk pada beberapa pemikiran syariah tradisional yang masih relevan untuk kehidupan publik masyarakat muslim saat ini, meskipun bukan pada hal-hal yang menyangkut akidah, ibadah atau aspek-aspek lain dalam muamalah.
Untuk menempatkan diskusi tentang konstitusionalisme, hak asasi manusia dan konsep kewarganegaraan dalam konteks buku ini secara keseluruhan, saya ingin mengingatkan pembaca bahwa tujuan utama buku ini adalah untuk meyakinkan bahwa pemisahan institusi negara dan Islam dengan tetap menjaga keterhubungan antara Islam dan politik merupakan hal yang perlu dan penting. Dengan kata lain, adalah penting untuk terus menjaga netralitas negara terhadap agama secara tepat karena manusia cenderung
I. Negara, Politik dan public reason 1. Karakter negara modern Semua muslim saat ini tinggal di sebuah teritori yang disebut sebagai the nation state (negara bangsa), yang berdasarkan model Eropa dan telah menjadi model yang dimapankan melalui penjajahan, bahkan di negara yang secara formal tidak pernah dijajah. Menurut sarjana Barat, model negara seperti ini ditandai dengan adanya administrasi dan tata hukum yang terpusat dan terorganisasi secara birokratis dan dijalankan oleh sekelompok administratur, serta mempunyai otoritas atas apapun yang terjadi di wilayah kekuasaannya, basis teritorial dan monopoli untuk
Negara modern adalah organisasi birokratis yang terpusat, hirarkis, dan dibagi-bagi menjadi institusi dan organ yang berbeda yang memiliki fungsi masing-masing. Namun, institusi-institusi itu
beroperasi sesuai dengan aturan formal dan struktur akuntabilitas yang hirarkis dan jelas pada otoritas pusat.
Institusi-institusi negara yang terpisah namun berhubungan ini, berbeda dengan organisasi sosial lain seperti partai politik, organisasi sipil, dan asosiasi bisnis. Meskipun pembedaan ini terasa jelas dalam tataran teoritis, namun dalam praktiknya, institusi-institusi negara sebetulnya tersebut. terhubung Hubungan dengan organisasi-organisasi agar non-negara negara
ini
penting
institusi-institusi
mendapatkan legitimasi dan dapat berfungsi efektif. Tapi tentu saja, cakupan dan fungsi institusi negara berbeda dengan organisasi nonnegara sebab institusi dan aparatur negara harus mengatur aktor non-negara dan harus menengahi perbedaan di antara mereka. Hubungan kompleks antara perbedaan teoritis dan keterhubungan praksis antara lembaga negara dan organisasi non negara ini adalah salah satu aspek penting dalam pembedaan antara negara dan
1
Graeme Gill, The Nature and Development of the Modern State (New York: Palgrave Macmilan, 2003), hlm. 2-3 2 Gill, The Nature and Development of the Modern State, hlm. 3-7
dari organisasi-
organisasi lain karena saat ini domainnya mencakup hampir seluruh aspek kehidupan manusia baik sosial, politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya. Fungsi lembaga negara yang komprehensif dan luas ini juga menandakan keunikan, otonomi, dan independensi negara dari organisasi-organisasi lain.
Untuk menunaikan fungsi dan perannya yang beragam ini, negara harus memiliki kedaulatan eksternal maupun internal. Lembaga negara harus menjadi pemilik otoritas tertinggi dalam wilayah kekuasaannya. Negara juga harus menjadi representasi otoritatif dari warga negara dan aktor-aktor yang berada dalam kawasan
Untuk alasan yang sama yang telah disebut diatas, negara juga harus memiliki monopoli untuk menggunakan kekuatan dan pemaksaan secara sah. Kemampuan ini sangat esensial bagi negara agar ia bisa memberdayakan otoritasnya untuk melindungi kedaulatannya,
menjaga keutuhan hukum dan tatanannya, serta mengatur dan menengahi perselisihan dan lain sebagainya
Namun demikian, kekuasaan negara terbatas pada wilayahnya. Suatu negara, biasanya, tidak mempunyai otoritas di luar wilayah kekuasaannya. Organisasi non-negara seperti komunitas keagamaan atau tarikat sufi dapat beroperasi dimanapun; lepas dari batas-batas
Rakyat
suatu
negara
sering
memiliki
ikatan
dan
identifikasi
sentimentil terhadap negaranya, namun itu bukan karakter negara yang penting. Konsep negara bangsa misalnya, memang
mengasumsikan adanya kesamaan identitas semacam etnik atau bahasa antara warga negara. Tapi asumsi ini bisa keliru, karena kawasan tidak selalu identik dengan etnik, agama atau ikatan-ikatan popular lain. Ikatan-ikatan semacam itu mungkin saja beraku bagi beberapa kelompok dalam satu wilayah negara, dan mungkin juga bisa sama dan berlaku bagi orang lain yang tinggal di wilayah lain. Memang, hampir semua negara berusaha untuk menumbuhkan perasaan kesamaan identitas nasional, namun kesamaan bukanlah ciri esensial sebuah negara modern.
Negara juga cenderung memiliki tipe pemerintahan yang berbeda. Bisa jadi pemerintahannya adalah partai demokrat liberal, satu partai, monarki dan lain sebagainya. Tapi juga harus dicatat, ciri ini juga bukan sebuah karakter definitif. Tak ada satupun dari rezim tersebut yang layak disebut negara jika ia tidak memiliki administrasi yang terpusat dan birokratis, kedaulatan, serta monopoli untuk menggunakan kekusaan dan pemaksaan.
Beberapa elemen negara modern mungkin dimiliki oleh organisasi non-negara, tapi tidak ada satu pun dari organisasi itu memiliki seluruh karakter negara. Secara khusus kedauatan atas wilayah
Ciri negara modern tersebut di atas biasanya didiskusikan dalam konteks pengalaman negeri-negeri Barat, meskipun modelnya juga diterapkan di beberapa negara Asia dan Afrika yang berpenduduk muslim. Elaborasi
seorang penulis mungkin akan membantu upaya kita untuk mengklarifikasi ciri-ciri negara yang kita maksud dalam perbincangan ini.3 Organisasi negara terdiri dari seperangkat aturan, peran dan sumber daya yang ditujukan untuk meraih seperangkat tujuan yang jelas. Meskipun semua negara dicirikan dengan pembedaan antara negara dan organisasi nonnegara, tingkat pembedaannya tidak selalu sama persis dan setara. Sebagai aturan utama, negaranya biasanya berwatak sekular dengan memisahkan dirinya dari ruang-ruang spiritual penganut atau organisasi agama. Penting pula untuk dicatat, bahwa meskipun negara dan
institusinya berbeda dengan masyarakat sipil dan organisasinya, bahkan relatif otonom satu sama lain, namun keduanya tetap saling memberikan dukungan.
Sebagai pemilik kekuasaaan dan otoritas atas wilayah dan hak monopoli pemaksaan, negara adalah otoritas terakhir. Otoritas terakhir
merupakan konsekuensi dari kepemilikan negara atas kedaulatan dan integritas wilayah. Namun otoritas ini pun akan melemah, jika kedaulatan dan integritasnya hilang. Kedaulatan wilayah berarti negara memiliki kontrol eksklusif atas warga yang tinggal di wilayahnya dan wilayah ini tidak bisa dibagi dengan pihak lain kecuali atas persetujuan dan kerjasama
3
Gianfranco Poggi, The State: Its Nature, Development and Prospects (Stanford, California: Stanford University Press, 1990), hlm. 19-33.
Pengecualian ini sah karena dengan menandatangi Piagam PBB, semua negara yang menjadi anggota PBB telah menyetujui otoritas yang dimiliki lembaga ini. Otoritas sentral negara berarti bahwa ia otonom. Hanya negara yang memiliki otoritas untuk membuat aturan yang mengatur cara kerjanya dan menjadi sumber bagi seluruh otoritas politik lain. Meskipun fungsi terakhir ini mungkin diserahkan pada organisasi atau pihak lain. Sentralitas negara juga berarti bahwa negara harus mengkoordinasikan fungsi dan aktifitas organ dan institusinya, karena merekalah yang memapankan kekuasaan negara. 4
Ciri negara yang lain dan relevan dengan pembicaraan kita saat ini adalah ia mendapatkan legitimasi demokratis atas kekuasaan dan otoritas yang dimilikinya. Ini berarti bahwa rakyatlah yang memiliki kekuasaan dan otoritas yang paling mutlak atas negara, yang memang berfungsi untuk melayani mereka. Namun, meski rakyat memiliki otoritas dan kekuasaan mutlak, ketaatan mereka terhadap negara juga merupakan hal mutlak agar negara mampu melaksanakan fungsinya. Dukungan rakyat ternyata juga penting bagi negara yang dikuasai oleh rezim diktator atau kerajaan yang cenderung menjustifikasi dan melegitimasi otoritas mereka dengan
kehendak kolektif dan kepentingan rakyat. Dari basis legitimasi inilah, konsep kewarganegaraan muncul untuk menjamin kesetaraan dan
kesamaan hak dan kewajiban mereka di hadapan negara.5 Kombinasi legitimasi demokratis dan kewarganegaraan ini juga harus tercermin dalam
4 5
Dari overview singkat di atas, negara modern bisa difahami sebagai representasi institusional sebuah kekuasaan politik, yang tidak lagi didapat dari otoritas personal seorang penguasa atau dari mereka yang
mendapatkan otoritas dari penguasa. Kekuasaan politik negara, yang terpusat dan terlembaga, direfleksikan melalui struktur birokrasi dan organisasinya. kekuasaannya Negara itu bahkan bisa memformalisasikan dan prosedur penggunaan serta
melalui
standar
hukum
mempromosikan integrasi kekuasaan politik melalui legitimasi demokratis dan peningkatan pentingnya konsep kewarganegaraan sebagai prinsip yang mengatur hubungan negara dan masyarakat.7
2. Pembedaan Negara dan Politik Ciri-ciri negara yang telah saya kemukakan diatas jelas mengindikasikan adanya pembedaan antara domain negara dan politik secara umum, dimana negaralah yang menentukan isu-isu yang akan diperdebatkan dan dinegosiasikan di ruang politik dengan beragam formalitas dan proses. Negara juga diharapkan dapat membuat dan menegakkan aturan negosiasi bagi pihak-pihak yang berharap idenya terwakili dan diformulasikan sebagai
6 7
Poggi, hlm. 29 poggi, hlm. 33 dengan penekanan khusus pada keaslian teks
dinamika relasi sosial di sekelilingnya. Karena strukturnya yang formal, tugasnya yang penting, dan karakternya sebagai entitas yang otonom, negara tidak dapat mengeksplorasi secara penuh domain politiknya dalam masyarakat secara umum. Namun dengan ciri-ciri ini, tidak berarti negara menjadi berada di atas praktik politik massa atau terputus sepenuhnya dari masyarakat yang diaturnya. Karena untuk disebut sah, sebuah negara harus bisa mengakar di masyarakat, seperti halnya ia bisa menjaga otonomi operasional dan fungsionalnya dari politik keseharian.
Relasi yang kompleks antara politik dan negara ini dapat difahami dari logika dan sikap negara yang harus otonom, namun mengakar dan terhubung dengan masyarakat. Sebagai institusi dan organ yang sangat kompleks, organisasi negara dapat dibagi secara vertikal berdasarkan fungsi dan secara horisontal berdasarkan geografi.8 Pembagian vertikal berhubungan dengan keberadaan ruang utama (major sphere) tempat berbagai aktor sosial bergabung dengan yang lainnya dan dengan negara: dalam negara, ruang ini difahami sebagai bidang kebijakan (dan konstituen), dan ditandai dengan adanya berbagai departemen pelayanan publik yang dibentuk untuk melaksanakan bidang kebijakan tertentu seperti kesehatan, transportasi, pendidikan, hukum, tatanan masyarakat dan urusan
8 9
konsumen.9
Sedangkan
pembagian
horisontal
berarti
berdasarkan
federal,
atau
berdasarkan
pemerintahan lokal atau regional.10 Pembagian vertikal berdasarkan fungsi juga dapat terbagi lagi secara horisontal melalui pembagian wilayah atau unit administratif.
Dalam pembagian vertikal, negara akan banyak berhubungan dengan berbagai aktor sosial dari kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan bidang kebijakan tertentu. Ia juga akan terlibat dalam hubungan-hubungan yang terus berkembang antara berbagai aktor negara dan politik dalam ruang sosial dan konstituen kebijakan yang lebih luas. Otonomi dan stabilitas negara tergantung pada kualitas hubungannya dengan berbagai segmen dalam masyarakat karena jika kualitas hubungan ini akan mempersulit kelompok tertentu untuk mengatur dan menguasai negara. Semakin normal politik negosiasi antar kelompok, semakin rendah pula kemungkinan kelompok-kelompok tersebut untuk tergoda dan mampu memaksakan kekuataannya untuk menguasai negara. Semakin banyak kelompok yang menyatakan klaimnya dan berpartisipasi dalam menekan negara, maka tidak akan ada satu kelompok pun yang mampu mengambil kontrol penuh atas institusi negara. Dengan cara seperti ini, otonomi negara akan lebih terjaga. Sebaliknya, bila sebagian kelompok tersisih dari percaturan politik praktis, mereka akan lebih termotivasi untuk
mengalami kerugian dengan menantang premis dan operasi negara. Hubungan dinamis antara negara dan aktor sosial ini bersifat saling
10
Gill, hlm. 17
mempengaruhi sebanyak mungkin konstituen. Untuk melaksanakan tugas, membuat dan mengimplementasikan kebijakan yang dibuatnya, serta untuk melaksanakan fungsinya sebagai pembuat aturan bagi masyaraktnya, negara membutuhkan kerjasama konstituen-konstituen dan organisasi yang relevan tersebut. Sebagai gantinya, negara harus mengizinkan penetrasi pihak-pihak tersebut pada institusinya.11
Mekanisme pertukaran kepentingan antar negara dan aktor sosial dan politik lain dapat berlangsung secara formal dan institusional seperti yang terjadi dalam proses tawar menawar negara dengan asosiasi dagang atau organisasi professional, kehadiran perwakilan NGO dalam institusinya, atau terlibatnya perwakilan NGO dalam merumuskan dan melaksanakan
kebijakannya. Mekanisme yang sama juga dapat ditempuh melalui cara informal seperti pengaruh atau hubungan perorangan. Apapun cara yang digunakan, itu tidak menjadikan negara sebagai satu-satunya perwakilan dari kelompok tertentu, bahkan negara tetap dapat menjaga otonominya karena ia mampu berinteraksi dengan berbagai kelompok. Dengan kata lain, kompetisi antar berbagai kelompok untuk mempengaruhi kebijakan negara, justru merupakan jaring pengaman bagi hadirnya kelompok yang ingin mengambil alih kekuasaan negara. Bahkan, kompleksitas dan
sentralitas negara justru berarti bahwa tidak ada kelompok atau kumpulan aktor-aktor sosial yang akan menantang otoritas negara atau
menghilangkan otoritasnya dengan menekan salah satu institusi.12 Karena institusi negara tergantung pada otoritas sentral dan tunduk pada ketentuan yang berlaku bagi seluruh aparatur negara, otonomi negara
11 12
Negara dapat menempuh jalur ekonomi, sosial maupun budaya untuk mengikatkan dirinya dengan kelompok-kelompok dalam masyarakat,
misalnya dengan mengangkat pegawai dari kelas sosial atau daerah tertentu dan menyediakan ruang bagi wakil rakyat terpilih untuk
berpartisipasi atas nama konstituennya dalam proses pembuatan kebijakan negara. Perbedaan antara pegawai negara yang mewakili kelas sosial atau etniknya dengan wakil rakyat yang dipilih melalui pemilihan adalah kebebasan kedua kelompok tersebut untuk mempertahankan ikatan identitasnya ketika mereka telah terpilih. Pegawai negara tidak boleh mempertahankan ikatan etnis dan sosialnya, tetapi wakil rakyat harus tetap mempertahankan ikatan tersebut karena ia terikat dengan konstituen yang memilihnya.14
Sebagai kesimpulan, legitimasi dan kekuatan negara tergantung pada keterhubungannya dengan aktor sosial dan politik lain dan juga pada otonominya dari pengaruh mereka. Semakin terhubung sebuah negara dengan masyarakatnya, akan semakin rendah resikonya untuk kehilangan otonomi. Banyaknya kelompok-kelompok kepentingan yang bersaing untuk mempengaruhi kebijakan negara malah akan menjaga keseimbangan pengaruh yang mereka miliki terhadap negara. Otonomi negara juga akan
13 14
3. Public reason untuk Memediasi Konflik Kebijakan Diskusi kita yang telah lalu mengindikasikan bahwa legitimasi negara dapat diukur dari seberapa dalam dan organiknya hubungan antara negara dengan berbagai aktor non-negara dalam wilayah politik. Otonomi negara akan hilang atau berkurang bila negara hanya mengizinkan satu kelompok untuk mempengaruhi dan memaksakan kepentingan pada salah satu institusinya atau bahkan negara secara keseluruhan. Dengan kata lain, pelaksanaan kombinasi legitimasi dan otonomi ini sangat tergantung pada dua persyaratan. Pertama, aktor non negara membutuhkan ruang yang aman untuk bersaing secara bebas dan sehat untuk mempengaruhi proses pengambilan kebijakan melalui peran negara. Kedua, ruang yang tersedia tersebut harus dapat menjamin terbukanya kesempatan bagi sebanyakbanyaknya kelompok untuk berkompetisi. Semakin banyak dan beragam kelompok yang dapat bersaing secara bebas dan sehat untuk
mengamankan kepentingan dan urusannya dalam sebuah kebijakan, semakin kecil pula kemungkinan mereka untuk mengontrol negara atau institusinya. Dua hal tersebut mengindikasikan apa yang saya istilahkan sebagai public reason dimana para aktor sosial dapat mempengaruhi
Dengan berpegang pada penjelasan mengenai ciri-ciri negara modern yang telah saya kemukakan diatas dan bagaimana ia harus dibedakan dengan politik, saya akan memberi penekananan pada beberapa point yang berkaitan dengan public reason sebagai berikut:
dikendalikan oleh pemerintahan atau rezim tertentu atau dikontrol oleh satu kelompok sosial tertentu. Agar dapat diterima oleh seluruh elemen masyarakat, ruang bagi public reason harus didentifikasi sebagai negara, bukan sebagai satu rezim atau masa pemerintahan tertentu.
negara
agama,
asasi
manusia
kewarganegaraan.
Prinsip-prinsip
tersebut
merupakan
elemen
organisasi politik dan tata hukum sebuah negara, yang tidak akan mudah dibatalkan oleh pemerintahan apapun. Namun, meski
berfungsi sebagai jaring pengaman, prinsip-prinsip tersebut bukanlah sesuatu yang absolut. Ia dapat berubah seperti Undang-Undang yang bisa diamandemen. Kadar netralitas negara terhadap agama bisa terus dinegosiasikan (hal ini akan secara khusus dijelaskan nanti
pengecualian ini. Tujuan prinsip-prinsip ini adalah agar aturan yang menjamin public reason itu tidak mudah diubah hanya untuk
3.
Selain
menyediakan
jaring
pengaman,
negara
tidak
boleh
mempengaruhi wacana public reason dengan membatasi jumlah pihak yang boleh terlibat dalam ruang public reason dengan mendiskriminasi kelompok agama, komunitas atau kelompok
minoritas tertentu. Sebaliknya, negara harus dapat menyediakan ruang bagi sebanyak mungkin warga negara, baik sebagai individu atau bagian dari kelompok tertentu, untuk mewakili dan berdebat mengenai kebijakan publik. Ini tentu saja bukan perkara mudah, karena banyak pemerintahan yang bertindak atas nama negara tergoda untuk memanipulasi public reason untuk kepentingannya sendiri.
Karena istilah public reason telah banyak digunakan oleh kalangan sarjana Barat, nampaknya disini saya perlu mengklarifikasi pengertian public reason yang saya gunakan dalam tulisan ini. Saya akan terlebih dahulu mengulas secara singkat istilah public reason seperti yang digunakan oleh Jhon Rawls dan beberapa komentar mengenainya.
Kemudian, saya akan menjelaskan bagaimana debat tentang istilah ini berkaitan dengan makna public reason yang saya gunakan dalam perbincangan Islam, Negara dan Politik.
Rawls berpendapat bahwa public reason adalah ciri utama relasi negara dan rakyat dalam tatanan negara yang demokratis dan konstitusional.15 Menurutnya, ide tentang public reason menetapkan bagian terdalam landasan moral dan nilai-nilai politik yang menentukan relasi antara pemerintahan yang demokratis dan konstitusional dengan rakyatnya.16 Ia mendefinisikan public reason sebagai:
reason ini disebut public karena tiga hal. Pertama, jika reason itu muncul dari warga negara yang bebas dan setara. Kedua, jika reason ini berisi tentang kemaslahatan publik yang berkaitan dengan masalah keadilan politik yang fundamental yang mempermasalahkan esensi undang-undang dasar dan soal keadilan dasar. Ketiga, watak dan isinya yang memang publik, diungkapkan dengan penalaran publik melalui sekumpulan konsep keadilan politik rasional yang telah difikirkan secara rasional pula, untuk memenuhi kriteria resiprositas.17
15
John Rawls, Political Liberalism, (expanded edition, New York: Columbia University Press, 2003), hlm. 212-254, hlm. 435-490. 16 Rawls, hlm. 441-442 17 Rawls, hlm.442
Dengan demikian, bagi Rawls ruang public reason menyinggung masalah esensi undang-undang dasar dan masalah keadilan dasar yaitu hak-hak dan kebebasan fundamental yang mungkin termasuk dalam undangundang dasar dan masalah keadilan dasar yang berkaitan dengan keadilan sosial dan ekonomi serta hal lainnya yang tidak terbahas dalam undangundang dasar. Fokus spesifik ini memperlihatkan bahwa Rawls memandang public reason tidak berlaku untuk semua diskusi politik tentang
pertanyaan-pertanyaan fundamental.18 Ia membedakan antara cakupan public reason dengan apa yang dia sebut sebagai latar belakang kultural (background culture) masyarakat sipil yang mewujud dalam bentuk asosiasi seperti gereja, universitas, dan lain sebagainya.19 Menurutnya, reason yang muncul dalam ruang-ruang tersebut, meskipun tidak sepenuhnya privat dan diungkapkan dalam ruang sosial, namun tetap saja bersifat nonpublic jika dibandingkan dengan masyarakat secara keseluruhan.20
Bahkan, reason yang diungkapkan dalam media pun tidak dianggap public reason oleh Rawls.21
Ruang yang tepat bagi public reason menurut Rawls adalah forum politik publik (public political forum) yang mungkin terjadi dalam tiga keadaan. Pertama, perdebatan pada hakim untuk menentukan keputusan, terutama hakim-hakim di Mahkamah agung. Kedua, perdebatan pegawai
pemerintahan, terutama mereka yang duduk di kursi eksekutif dan para pembuat undang-undang. Ketiga, perdebatan calon pejabat negara dan manajer kampanyenya, terutama, dalam orasi publik, platform partai dan
18 19
Rawls, hlm. 442 Rawls, hlm. 443 20 Rawls, hlm. 220 21 Rawls, hlm. 444
penerapan public reason mengambil bentuk yang khusus dan tertentu. Meskipun, justifikasi publik yang diperlukan untuk reason yang muncul dalam tiga keadaan itu sama dengan reason yang muncul dalam keadaan lain, namun, mungkin akan berlaku lebih ketat bagi para hakim, terutama yang berada di mahkamah agung.23
Pandangan
Rawls
mengenai
public
reason
menyaratkan
adanya
demokrasi konstitusional yang sudah mapan dan didukung oleh adanya tertib hukum. Warga negara memiliki hak untuk mendasarkan
pandangannya pada apa yang dia sebut sebagai doktrin-doktrin yang komprehensif atau pandangan dunia yang luas seperti agama, moralitas atau filsafat. Namun, doktrin-doktrin tersebut tidak boleh dikemukakan sebagai public reason.24 public reason juga tidak boleh mengkritisi atau menyerang doktrin-doktrin komprehensif manapun, baik doktrin itu doktrin keagamaan atau bukan. Public reason harus diartikulasikan dalam konsep dan nilai politik fundamental. Syarat utama doktrin yang dimunculkan
dalam domain public reason adalah doktrin tersebut dapat difahami dan menerima rezim demokratis konstitusional serta gagasan mengenai hukum yang sah.25
Meskipun demikian, Rawls nampaknya masih menerima kemungkinan pengungkapan doktrin-doktrin komprehensif dalam public reason pada situasi tertentu, tergantung pada tingkat ekslusivitas dan inklusivitas pandangan terhadap doktrin yang digunakan. Jika sifatnya ekslusif, doktrin
22 23
Rawls, hlm. 442-443 Rawls, hlm. 231-240 24 Rawls, hlm. 441 25 Rawls, hlm. 441
perbudakan berdasarkan nilai-nilai agama pada abad 19 di Amerika Serikat. Saat itu non-public akhir reason dari gereja-gereja Contoh tertentu mendukung gerakan
kesimpulan
public
reason.28
lainnya
adalah
perjuangan hak-hak sipil, Meskipun Martin Luther King Jr. memperoleh rujukan perjuangannya dari nilai-nilai politik dalam konstitusi, ia tetap menggunakan non-public reason untuk melegitimasi perjuangannya. Dalam dua kasus di atas, para pemimpin gerakan penghapusan perbudakan dan
26 27
Saya tidak mungkin mereview semua debat yang berlangsung di kalangan sarjana barat tentang ide Rawls ini, tapi saya akan menjelaskan secara singkat 2 kritik yang akan sangat berguna untuk menjelaskan istilah public reason yang saya gunakan dalam buku ini. Pertama, kritik Habermas terhadap ide Rawls terutama mengenai pembedaan antara istilah doktrin komprehensif dengan nilai-nilai politik (political values).30 Habermas juga mempertanyakan pengertian Rawls mengenai istilah political dalam istilah nilai-nilai politik dan pembedaan domain privat dan domain publik dalam kehidupan sosial. Menurut Habermas, Rawls memperlakukan ruang nilai-nilai politik (political value sphere), yang dalam masyarakat modern ruang ini dibedakan dari ruang nilai-nilai kultural (cultural value sphere), sebagai sesuatu yang sudah begitu adanya. Rawls juga telah membagi identitas seseorang menjadi identitas politik publik dan identitas pra politik yang non publik di luar pencapaian swa legislasi yang demokratis.31 Bagi Habermas, ide Rawls ini bertentangan dengan fakta sejarah mengenai pergeseran batas-batas ruang publik dan privat. Kedua, penekanan
29
Rawls, hlm. 251 Jurgen Habermas, Reconciliation Through the Public Use of Reason: Remarks on Jhon Rawls Political Liberalism, in The Journal of Philosophy, 92: 3 (March 1995): 109-131, pada hlm.118-119 31 Habermas, hlm.129
30
berkembangnya public reason. McCarthy menyimpulkan pandangan Habermas ini sebagai berikut: bagi Habermas, forum publik independen yang terpisah dari sistem ekonomi dan administrasi kenegaraan dan lebih memiliki tempat di dalam asosiasi-asosiasi sukarela, gerakan-gerakan sosial termasuk media massa merupakan sumber utama kedaulatan rakyat. Idealnya, public reason yang diungkapkan dalam ruang non-pemerintah bisa diterjemahkan menjadi kekuasaan administratif negara yang sah, melalui prosedur pembuatan keputusan yang sah dan terlembagakan seperti prosedur pemilihan dan legislatif. Dalam bahasa Habermas, kekuasaan yang tersedia bagi administrasi ini muncul dari public reason Opini publik yang bekerja melalui prosedur-prosedur demokratis memang tidak bisa memerintah secara langsung, tetapi bisa mengarahkan kekuatan administratif tersebut pada tujuan-tujuan tertentu.32
Untuk menyimpulkan bagian ini, saya akan mengungkapkan pengertian public reason yang saya gunakan dalam buku ini dan bagaimana pengertian ini berkaitan dengan ide-ide yang telah dikemukakan oleh sarjana-sarjana Barat. Saya mendefinisikan public reason dalam bab 1 sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh alasan dan tujuan sebuah
kebijakan publik atau undang-undang dalam bentuk penalaran yang menyediakan kemungkinan bagi seluruh warga negara untuk menerima, menolak bahkan membuat ajuan tandingan melalui mekanisme debat publik tanpa berresiko dikenakan tuduhan makar, membangkang atau
32
Thomas McCarthy, Kantian Constructivism and Reconstructivism: Rawls and Habermas in Dialogue. Dalam Ethics 105: 1 (Oktober 1994): 44-63 pada hlm. 49
pembedaan ini mengasumsikan adanya sebuah tatanan undang-undang dan masyarakat yang stabil yang memiliki kondisi kondusif bagi tumbuhnya debat mengenai isu-isu public reason. Sebuah keadaan yang sulit ditemui di dunia Islam. Karena itu, saya lebih suka mengambil pendapat-pendapat tersebut untuk memperkuat argumen yang saya buat tanpa
mengidentifikasi diri secara khusus pada salah seorang di antara mereka atau berpartisipasi dalam debat kalangan Barat.
Saya mengajukan sebuah pandangan mengenai public reason yang berakar pada tradisi civil society dan ditandai dengan adanya persaingan sehat antara berbagai aktor sosial untuk mempengaruhi kebijakan publik melalui peran negara. Dengan merujuk pada ciri-ciri negara yang telah disebutkan diatas, pelaksanaan public reason di ruang non-negara justru akan semakin melebarkan legitimasi dan otonomi negara. Ruang public reason
menyediakan tempat bagi warga negara sebuah forum dan mekanisme untuk menuntut hak-hak mereka atas negara. Keberadaan sebuah forum yang egaliter dan inklusif, tempat dimana warga negara memiliki hak untuk berpastisipasi, menguatkan fakta bahwa negara bukan merupakan bagian dari satu kelompok atau beberapa kelompok tertentu. Meskipun ruang public reason harus dilindungi dan diatur berdasarkan prinsip-prinsip konstitusionalisme, hak asasi manusia dan kewarganegaraan, ketiga prinsip
II. Konstitusionalisme dalam Perspektif Islam Tata pemerintahan yang konstitusional merujuk pada adanya seperangkat prinsip yang membatasi dan mengontrol kekuasaan pemerintah sesuai dengan hak-hak fundamental warga negara dan komunitas, serta sesuai dengan tata hukum yang menjamin hubungan antara individu dan negara diatur oleh prinsip-prinsip hukum yang jelas, bukan oleh kehendak elit penguasa yang despotik.33 Saya menggunakan istilah konstitusionalisme untuk memayungi jaringan sejumlah lembaga, proses dan budaya yang lebih luas, yang diperlukan untuk menjalankan tata pemerintahan yang konstitusional secara efektif dan berkelanjutan.34 Saya sendiri lebih tertarik pada seperangkat nilai, lembaga serta proses politik dan sosial yang
dinamis dan komprehensif, daripada penerapan formal prinsip-prinsip umum yang abstrak atau aturan-aturan hukum yang spesifik. Prinsip-prinsip hukum dan undang-undang memang relevan dan penting, tetapi
implementasi prinsip-prinsip tersebut secara efektif dan berkelanjutan hanya dapat dicapai melalui konsep konstitusionalisme yang lebih luas dan dinamis.
33 34
J.T McHugh, Comparative Constitutional Traditions (New York: Peter Lang, 2002, hlm. 2-3 Alan S. Rosenbaum, Introduction to Constitutionalism the Philosophical Dimension, ed. Alan S. Rosenbaum (Westport, Connecticut: Greenwood Press, 1988), hlm. 4-5; Louis Henkin, A New Birth of Constitutionalism: Genetic Influences and Genetic Defects dalam Constitutionalism, Identity, Differences and Legitimacy, ed. Michel Rosenfeld (Durham, North Carolina: Duke University Press, 1994), hlm. 39-53; dan Constitutionalism, eds. J. Roland Pennock and John W. Chapman (New York: New York University Press, 1979).
implementasi konsep ini dan mengenyampingkan pendekatan lain, menjadi tidak masuk akal dan tidak penting. Baik berdasarkan dokumen tertulis atau tidak, konsep ini bertujuan untuk menegakkan tatanan hukum, menjalankan pembatasan yang efektif terhadap kekuasaan pemerintah, dan melindungi hak asasi manusia. Pemahaman yang lebih universal terhadap
konstitusionalisme mungkin akan berkembang dari waktu ke waktu, tapi pemahaman ini harus merupakan hasil analisis komparatif terhadap pengalaman praksis, bukan hasil usaha pemaksaan satu definisi ekslusif yang berdasarkan satu ideologi atau tradisi filsafat tertentu.
Kedua, saya sangat percaya bahwa prinsip-prinsip tersebut hanya bisa direalisasikan dan dikembangkan melalui praktik dan pengalaman.
Karenanya, kedaulatan rakyat dan keadilan sosial, misalnya, hanya bisa dicapai melalui praktik aktual yang kondusif bagi adanya koreksi teori dan modifikasi praktik, bukan dengan menunda sampai sebuah kondisi ideal bagi pelaksanaan konsep itu dicapai oleh penguasa. Usaha-usaha untuk mencapai kedaulatan rakyat dan keadilan sosial itulah yang justru menyediakan kesempatan bagi munculnya keadaan yang lebih kondusif
Praktik Lokal dan Prinsip-Prinsip Universal Secara umum, konstitusionalisme merupakan respon tertentu terhadap paradoks dasar pengalaman praksis sebuah masyarakat. Di satu sisi, sudah jelas bahwa seluruh anggota masyarakat tidak mungkin dapat berpartisipasi secara sejajar dalam pelaksanaan urusan-urusan publiknya. Namun di sisi lain, jelas pula bahwa orang cenderung untuk memiliki pandangan dan kepentingan yang berbeda berkaitan dengan hal-hal seperti kekuasaan politik, alokasi dan pengembangan sumber daya ekonomi, serta pelayanan dan kebijakan sosial. Disinilah negara menjadi pihak yang berperan untuk menyelesaikan perbedaan pendapat dan konflik kepentingan itu. Namun dalam praktiknya, fungsi tersebut juga dijalankan oleh aparatur negara (manusia), dan bukan oleh badan resmi yang abstrak dan lembaga yang netral. Konstitusionalisme, dengan demikian, berfungsi memberikan ruang bagi pihak-pihak yang memiliki kontrol langsung terhadap aparatur negara untuk memastikan bahwa pandangan dan kepentingan mereka dipenuhi oleh mereka yang bertugas untuk mengatur negara itu. Realitas inilah yang menjadi dasar bagi semua aspek konstitusionalisme, baik yang berkaitan dengan struktur dan lembaga negara maupun aktivitasnya dalam membuat dan menjalankan kebijakan publik dan administrasi keadilan.
Dengan demikian, tata pemerintahan konstitusional mengharuskan adanya penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak indidividu dan
masyarakat karena makna dan implementasi kedua hak ini berkaitan satu sama lain. Contohnya, menghormati kebebasan individu untuk
mengutarakan pendapat, keyakinan dan berorganisasi adalah satu-satunya cara untuk melindungi hak kebebasan kelompok etnik dan agama tertentu. Tapi, kebebasan individual itu akan bermakna dan bisa dijalankan secara efektif dalam konteks kelompok yang relevan. Selain itu, karena hak merupakan alat untuk merealisasikan tujuan keadilan sosial, stabilitas politik dan perkembangan ekonomi untuk seluruh lapisan masyarakat, hak harus difahami sebagai sebuah proses dinamis daripada aturan-aturan hukum yang abstrak.
Namun, hak-hak seperti kebebasan untuk berekspresi dan berorganisasi tidak akan berguna tanpa adanya lembaga-lembaga untuk menjalankannya termasuk adanya kemampuan untuk mengajukan dan menindak perbuatan pegawai pemerintahan dan menjaga mereka agar tetap akuntabel. Karena itu, pegawai pemerintahan seharusnya tidak boleh menyembunyikan kegiatannya, menutup-nutupi praktik penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukannya. Yang secara umum berarti transparansi kegiatan pegawai negara adalah sebuah kebutuhan. Transparansi ini dapat dicapai melalui perundang-undangan, aturan administratif dan juga kebebasan pers, serta kemungkinan adanya tuntutan atas pegawai negara yang
menyalahgunakan kekuasaannya atau menghindari tanggung jawabnya. Transparansi administratif dan finansial tidak mungkin menghasilkan akuntabilitas politik dan hukum, bila tidak disertai adanya lembaga yang
Aspek konstitusionalisme yang terpenting berkaitan dengan motivasi psikologis dan kemampuan sosiologis warga negara untuk berpartisipasi dalam kegiatan kolektif mempromosikan semua prinsip, dan melindungi dan hak dan
kebebasan.
Penegakan
lembaga
proses
konstitusionalisme tergantung pada kerelaan dan kemampuan warga negara untuk berbuat demi kemaslahatan bersama, bukan hanya untuk kepentingan sekelompok golongan dan lapisan masyarakat tertentu. Tentu saja aspek-apek motivasi dan kemampuan itu sulit untuk dihitung dan diverifikasi, tetapi semuanya melibatkan motivasi warga negara untuk selalu mengetahui urusan-urusan kemasyarakatan dan selalu bertindak secara kolektif. Agen dan lembaga publik yang dioperasikan oleh warga negara tidak saja harus mendapatkan kepercayaan dari masyarakat lokal, tetapi juga harus ramah, responsif dan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Inilah makna yang paling mendasar dan praksis dari kedaulatan rakyat, dimana rakyat dapat mengatur dirinya sendiri melalui pegawai publik dan wakilnya yang sudah terpilih. Jadi, konstitusionalisme pada intinya adalah bagaimana merealisasikan dan mengelola ide ideal ini dengan cara yang dinamis dan berkelanjutan, dengan menyeimbangkan stabilitas yang diperlukan sekarang dengan kebutuhan akan adaptasi dan pengembangan di masa yang akan datang.
Prinsip konstitusionalisme kadang-kadang diekspresikan dalam istilah hak untuk menentukan nasib sendiri (self-determination) dimana rakyat berhak menentukan secara bebas status politik mereka dan meraih kemajuan ekonomi, sosial dan kultural mereka. Hak ini kadang-kadang disalahfahami sebagai hak untuk memisahkan diri dari negara yang sudah ada. Adalah lebih baik untuk melihat pemenuhan hak untuk menentukan nasib sendiri sebagai sebuah proses yang berkelanjutan, daripada melihatnya sebagai sesuatu yang harus dipenuhi sekaligus setelah meraih kemerdekaan politik dari kekuasaan kolonial luar. Benar bahwa kedaulatan negara merupakan kondisi awal untuk pemenuhan hak untuk menentukan nasib diri. Tapi kedaulatan negara saja tidak selalu penting dan cukup dalam segala situasi. Negara terpisah tidak selalu penting bagi mereka yang ingin merealisasikan hak menentukan nasib sendiri, karena hak itu bisa dicapai dalam kerangka negara yang sudah ada, asal pemerintahannya akuntabel dan representatif. Negara terpisah mungkin juga tidak akan cukup, karena rakyat juga bisa ditindas lagi oleh hegemoni internal kelompok penguasa dan ideologi eksklusif atau kekuatan kolonial luar.35 Karena kekuasaan kolonial biasanya lebih mudah dihadapi daripada hegemoni internal, saya akan secara khusus membahas bahayanya melegitimasi hegemoni dan penindasan semacam itu dalam masyarakat Islam saat ini, dengan mengungkapkan pentingnya agama dalam upaya menekan kekuatan oposisi politik dan akuntabilitas pemerintah.
Konstitusionalisme selalu berkaitan dengan kemampuan rakyat untuk mempengaruhi kejadian-kejadian yang membentuk kehidupan mereka baik
35
Lihat misalnya Abdullahi A. An-Naim dan Francis M. Deng, Self-Determination and Unity: The Case of Sudan, dalam Law and Policy, Vol. 18 (1996), hlm.199-223
Prinsip
konstitusionalisme
berisi
beberapa
prinsip
umum
seperti
pemerintahan yang representatif, transparansi, akuntabilitas, pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta independensi lembaga kehakiman. Tapi, ini bukan berarti bahwa semua prinsip-prinsip ini harus ada agar konstitusionalisme dapat diimplementasikan dengan sukses di sebuah negara. Kenyataannya, prinsip-prinsip dan kondisi itu hanya bisa muncul dan berkembang dalam berbagai model melalui proses trial and error yang terus menerus.36 Pemerintahan yang representatif, transparansi, akuntabilitas bisa direalisasikan dalam berbagai model seperti sistem parlementer Inggris atau Sistem presidensial Perancis dan Amerika. Modelmodel tersebut bukan merupakan satu-satunya sistem sebuah negara,
36
D. Franklin dan M. Baun (ed.), Political Culture and Constitusionalism: A Comparative Approach (New York: M. E. Sharpe), hlm. 184-217
terus bertransformasi dan menyesuaikan diri dengan caranya sendiri dalam situasi krisis. Ini dapat dilihat dengan jelas dalam kasus Perancis dan Jerman pada Abad ke -20.38
Pemisahan kekuasaan dan independensi lembaga kehakiman, misalnya, bisa diamankan baik melalui penataan struktural dan institusional seperti yang terjadi di Amerika,39 atau dengan cara politik konvensi dan praktik tradisi dalam kultur politik negara seperti Inggris.40 Pembedaan yang ketat antara cara konvensi dan tradisi, di satu pihak, dengan cara struktural dan institusional, di pihak lain, bisa jadi salah, karena masing-masing model mungkin membutuhkan atau mengandaikan adanya model lain agar dapat berfungsi dengan baik. Perbedaan seperti ini lebih merupakan produk pengalaman sejarah dan konteks masing-masing negara, daripada hasil pilihan yang sengaja dibuat pada titik waktu tertentu.41 Yang paling penting dari semua itu adalah kemampuan sistem tersebut untuk mencapai tujuantujuan konstitusionalnya meskipun praktiknya berbeda-beda.
37 38
McHugh, Comparative Constitutional Traditions, hlm. 50-54, 57-58, 147, 149-150. William Safran, The Influence of American Constitutionalism in Postwar Europe: the Bonn Republic Basic Law and the Constitution of the Fifth French Republic, dalam American Constitutionalism Abroad, ed. George Athan Billias (Westport, Connecticut: Greenwood Press, 1990), hlm. 91-109. 39 McHugh, Comparative Constitutional Traditions, hlm. 35-36 40 McHugh, Comparative Constitutional Traditions, hlm. 47-63 41 lihat secara umum, McHugh, Comparative Constitutional Traditions; Michel Rosenfeld, Modern Constitutionalism as Interplay Between Identity and Diversity, in Constitutionalism, Identity, Differences, and Legitimacy, ed. Michel Rosenfeld (Durham, North Carolina, Duke University Press, 1994), hlm. 3-38.
konstitusionalisme seperti pemisahan kekuasaan lembaga-lembaga negara dan independensi lembaga kehakiman. Meskipun ini hanya persoalan tingkat kecocokan, namun beberapa metode terbukti tidak cukup kuat karena mereka memang tidak menerapkan prinsip pokoknya. Contohnya, meskipun kekuasaan eksekutif untuk
menunjuk dan mempekerjakan hakim merupakan satu hal yang tak terhindarkan, namun dengan memberikan kepercayaan sepenuhnya pada mereka untuk melakukan penunjukkan tanpa melakukan cek atau pengawasan merupakan satu bentuk penyimpangan dari prinsip independensi lembaga kehakiman. Sebuah sistem yang menolak hakhak dasar masyarakat tertentu seperti kesetaraan di hadapan hukum atau kesamaan akses terhadap fasilitas publik karena sentimen gender atau agama berarti menolak prinsip konstitusionalisme itu sendiri.
Meskipun demikian, ini juga tidak berarti bahwa sistem yang tidak dapat diterima, bisa dengan mudah dan cepat digantikan oleh model lain yang lebih baik. Pengalaman paska kemerdekaan negara-negara Asia Afrika42 menunjukkan bahwa transplantasi struktur, lembaga dan proses yang dapat dengan mudah dilakukan di beberapa negara, ternyata membutuhkan adaptasi dan pengembangan yang cukup hati-hati di beberapa negara lain.
42
Lihat sebagai contoh, Okon Akiba, Constitutional Government and the Future of Constitutionalism in Africa, Constitutionalism and Society in Africa, ed. Okon Akiba (Burlington, Vermont: Ashgate Publishing Company, 2004), hlm. 7-16.
merefleksikan pengalaman lokal dan global negara tersebut. Dengan kata lain, makna dan implikasi konstitusionalisme untuk sebuah negara adalah hasil interaksi prinsip-prinsip universal yang luas dengan proses dan faktor lokal yang spesifik. Namun perlu di catat, prinsip-prinsip universal sendiripun sebetulnya merupakan perluasan dari pengalaman-pengalaman berbagai negara yang dihasilkan dari pengalaman interaksi antara nilai-nilai universal dan lokal negaranya.
Islam, Syariah dan Konstitusionalisme Saya tertarik dengan hubungan antara Islam, Syariah dan
Konstitusionalisme karena interaksi antara ketiga hal tersebut ada dalam hati dan pikiran ummat Islam.43 Ini bukan berarti bahwa Islam benar-benar secara ekslusif menentukan perilaku konstitusional penganutnya, karena perilaku konstitusional dan bahkan pemahaman dan praktik berIslam-nya ummat Islam juga dipengaruhi oleh faktor politik, ekonomi dan faktor lainnya. Ketertarikan saya lebih karena muslim tidak mungkin untuk mempertimbangkan konstitusionalisme secara serius jika mereka menilai konsep atau beberapa prinsipnya secara negatif; sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan kewajiban agama mereka untuk melaksanakan syariah. Tapi sebagaimana yang sudah saya tekankan sebelumnya, pengetahuan dan praktik syariah apapun adalah selalu merupakan produk pemahaman dan pengalaman muslim, yang tidak mungkin mencakup
43
Lihat sebagai contoh, Ausaf Ali, Contrast Between Western and Islamic Political Theory in Modern Muslim Thought, Vol. 1, Modern Muslim Thought, Vol. 1 (Karachi, Pakistan: Royal Book Company), hlm. 181; Muhammad Asad, Principles of State and Government in Islam (Gibraltar: Dar al-Andalus, 1985), hlm. 1-17, 22-23; Saba Habacy, Introduction to J.N.D. Anderson, Islamic Law in the Modern World (Westport, Connecticut: Greenwood Press, 1975), hlm. ix.
Sumber atau kerangka undang-undang tradisional Islam biasanya diambil dari pengalaman komunitas awal muslim yang dibangun Nabi di Madinah setelah hijrah dari Mekah di tahun 622 H dan kemudian diteruskan oleh generasi pertama pengikutnya.44 Pola perilaku individu dan masyarakat, serta model hubungan dan lembaga sosial politik, umumnya selalu disandarkan dan dikaitkan dengan periode yang selalu dianggap sebagai model ideal bagi Muslim sunni itu.
45
pulalah, model tersebut tidak pernah bisa direplikasi secara utuh setelah Nabi dan sahabat-sahabatnya meninggal.
Terlebih lagi, tidak ada kesepakatan di antara ummat Islam mengenai apa yang dimaksud dengan model Madinah itu dan bagaimana model itu diaplikasikan dalam konteks hari ini. Bagi mayoritas muslim sunni, masa Nabi dan Khulafa al-Rasyidun (sampai terbunuhnya Ali pada tahun 660 M), merepresentasikan model ideal teori undang-undang dasar Islam yang paling otoritatif.46 Sementara itu, kalangan Islam syiah memiliki model ideal mereka sendiri yaitu imam-Imam Maksum sejak masa pemerintahan Ali. Jumlah imam-imam maksum ini tergantung pada sekte-sekte tertentu dalam syiah (apakah Jafari, Ismaili, Zaydi dan lain sebagainya).47 Dengan demikian, baik sunni maupun syiah menganggap model yang tumbuh pada
44
Lihat secara umum Kemal Faruki, The Evolution of Islamic Constitutional Theory and Practice from 610 to 1926 (Karachi, Pakistan: National Publication House, 1971). 45 Lihat Asad, State and Government in Islam, hlm. 24-29; Maimul Ahsan Khan, Human Rights in the Muslim World (Durham, North Carolina: Carolina Academic Press, 2003), hlm. 143-240. 46 Lihat al-Nabhani, the Islamic State; lihat juga Asad, State and Government in Islam, hlm. 24-29; A. Rahman I. Doi, Non-Muslims Under the Shriah (Islamic Law), (Lahore, Pakistan: Kazi Publication, 1981), hlm. 122 47 Lihat sebagai contoh Said Amir Arjomand, The Shadow of God and the Hidden Imam (Chicago: University of Chicago Press, 1984; and Farhad Daftary, The Ismailis: Their History and Doctrines (Cambridge: Cambridge University Press, 1990).
Karena itulah, saya mencoba untuk mempromosikan pemahaman syariah sebagai sesuatu yang dapat terus dipraktikkan oleh Muslim, daripada terus menerus memelihara harapan-harapan yang tidak realistis yang
menghargai syariah hanya sebatas teori, bukan praktik. Dengan demikian, masalahnya adalah bagaimana menerjemahkan esensi keadilan dan implikasi praksis model historis tersebut, bukan berusaha mengulangnya dalam keadaan yang sangat berbeda ini. Contohnya, ajaran tentang syura. Ajaran ini tidak mengikat dan tidak pernah pula dipraktikkan dengan cara yang sistematik dan inklusif.49 Qs. 3: 159 menginstruksikan nabi untuk bermusyawarah (syawirhum) dengan pengikutnya, tapi jika ia telah menemukan jawabannya sendiri, ayat tersebut mengatakan bahwa ia harus melaksanakan keputusannya itu. Ayat lain yang sering dikutip berkaitan dengan syura adalah Qs 42: 38 yang menggambarkan orang-orang mumin sebagai sebuah komunitas yang memutuskan masalah dengan
48 49
Norman Anderson, Law Reform in the Muslim World (London: Athlone Press 1976), hlm. 36. Tapi lihat Asad, State and Governmnet in Islam, hlm. 54-55
Namun demikian, dengan pemahaman syura yang seperti ini tidak berarti bahwa konsep tersebut tidak bisa dipakai sebagai dasar prinsip-prinsip undang-undang dasar yang terlembagakan dan melibatkan seluruh
penduduk. Justru inilah bentuk evolusi dan pengembangan prinsip-prinsip Islam yang saya ajukan. Namun segalanya harus kita mulai dengan pemahaman yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan syura dan bagaimana ia pernah dipraktikkan. Menganggap syura sebagai sebuah prinsip yang sudah difahami dan dipraktikkan sebagai pemerintahan yang berdasarkan undang-undang dalam konteks modern, justru akan menjadi kontra-produktif, karena syura hanya akan digunakan untuk membenarkan praktik-praktik inkonstitusional. Lagipula, klaim tersebut masih
dipertanyakan karena tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa syura pernah diimplementasikan dalam bentuk lembaga politik yang bisa mengelola pertikaian politik dan peralihan kekuasaan secara damai dan baik sepanjang sejarah Islam. Ini tentu saja berlaku dimanapun, karena konsep dan lembaga-lembaga tersebut berkembang secara gradual dan tak pasti selama kurang lebih 2 abad. Namun ini tidak dimaksudkan untuk
50
Noel J. Coulson, The State and the Individual in Islamic Law, International and Comparative Law Quarterly 1957, hlm. 49-60, pada hlm. 55-56.
Pendekatan yang sama juga harus diterapkan untuk mengembangkan interpretasi syariah tradisional mengenai kesetaraan perempuan dan nonmuslim serta kebebasan beragama. Fakta bahwa pembatasan itu memang terjadi pada beberapa masyarakat di masa lalu, tidak bisa menjustifikasi penerapannya secara terus menerus oleh masyarakat muslim sekarang. Malah, kita harus mengerti terlebih dahulu alasan justifikasi praktik-praktik tersebut itu dalam berbagai budaya lokal masyarakat Islam masa lalu, dan bagaimana praktik-praktik itu dilegitimasi sebagai interpretasi otoritatif syariah. Baru kemudian, kita mencari interpretasi alternatif yang lebih konsisten dengan budaya yang berkembang dan konteks masyarakat Islam sekarang.
Perlu saya tekankan disini bahwa aturan umum syariah menjamin kebebasan ummat Islam untuk melakukan dan meninggalkan syariah kecuali bila bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Secara teoritis, tidak ada pembatasan hak-hak konstitusional dalam syariah, kecuali dalam keadaan tertentu. Tapi dalam praktiknya, aturan ini menjadi sangat
kompleks karena syariah difahami berbeda oleh beragam mazhab dan para fuqaha berbeda pendapat hampir dalam semua masalah.51 Akibatnya, ummat Islam seringkali merasa tidak yakin, apakah, menurut syariah, mereka memiliki hak untuk melakukan dan meninggalkan kewajiban atau
51
Lihat secara umum, Wael B. Hallaq, Can Shariah Be Restored, Islamic Law and the Challenges of Modernity, eds. Yvonne Yazbeck Haddad and Barbara Freyer Stowasser (Walnut Creek, California: AltaMira Press, 2004), hlm. 26-36.
mengganggu kebebasan personal dan kemampuan partisipasi mereka dalam kehidupan publik.
Apapun pandangan orang tentang masalah ini, ternyata aturan mengenai hak-hak konstitusional perempuan dan non-muslim yang harus tunduk pada batasan-batasan tertentu, tidak pernah diperdebatkan. Misalnya, Qs. 4: 34 yang sering digunakan untuk menekankan prinsip otoritas laki-laki sebagai qawwam atas perempuan dan dengan demikian, menolak hak perempuan untuk memegang jabatan pubik apapun.52 Meskipun para fuqaha berbeda pendapat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan prinsip ini, tapi tidak ada seorang pun perempuan. dari mereka yang memberikan posisi setara kepada Bahkan, prinsip ini kemudian diterapkan untuk
menginterpretasi ayat lain dan bahkan diperkuat oleh berbagai ayat yang jelas-jelas memberikan hak yang tidak sama kepada perempuan dalam pernikahan, perceraian, warisan, dan lain-lain.53 Prinsip ini juga diterapkan pada ayat-ayat seperti QS. 24: 31, Qs. 33: 33, 53, 59 untuk membatasi hak perempuan berbicara dalam ruang publik atau untuk berkumpul dengan laki-laki. Akhirnya, kemampuan perempuan untuk berpartisipasi dalam
52
Ausaf Ali, Role of Muslim Women Today, Modern Muslim Thought, Vol. 1, hlm. 226-227; The Development and Integration of Muslim Women as a Human Resource in the Islamic Economy in the Modern World, Modern Muslim Thought, Vol. 1, hlm. 256-263. 53 Lihat sebagai contoh Abul Ala al-Maududi, Purdah and the Status of Women in Islam, diterjemahkan dan diedit oleh al-Ashari (Lahore, Pakistan: Islamic Publication Ltd., 1979), hlm. 141158
Kombinasi ayat-ayat umum dan khusus semacam tadi juga digunakan untuk membatasi hak-hak non-muslim baik ahlul kitab maupun orang-orang kafir.55 Saya akan menjelaskan hal ini secara lebih luas dalam bagian mengenai kewarganegaraan. Sekarang saya hanya ingin menekankan bahwa meskipun terdapat banyak perbedaan teoritis di kalangan sarjana muslim dan terdapat pula beragam variasi antara teori dan praktik, namun dalam khazanah interperetasi syariah tradisional, prinsip bahwa non-muslim tidak setara dengan muslim tidak pernah menjadi bagian dalam perdebatan tersebut. Interpretasi alternatif sangat mungkin dimunculkan, namun bukan dengan mengklaim bahwa pembatasan semacam itu bukan bagian dari syariah yang pernah diinterpretasikan oleh muslim di masa lalu.
Justifikasi
sosiologis
maupun
poilitik
apapun
yang
diajukan
untuk
menguatkan aspek-aspek syariah tersebut, aspek-aspek tersebut tidak lagi valid untuk konteks masyarakat islam modern. Larangan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin atau agama telah ada dalam undang-undang dasar negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Negara-negara tersebut juga mengakui kovenan hak asasi manusia
54
Fatima Mernissi, Women in Islam: an Historical and Theological Enquiry, Mary Jo Lackland (pen.), (Oxford, England: Basil Blackwell Ltd., 1991), hlm. 49-81; Maududi, Purdah and the Status of Woman, hlm. 152-153. 55 Sebagai contoh lihat artikel Dhimma dalam Shorther Encyclopedia of Islam, (Leiden: EJ Brill, 1991), hlm. 76
diskriminasi. Benar bahwa pemerintahan negara-negara tersebut jarang yang sudah melaksanakan semua aturan yang tertera dalam undangundang dasar mereka, tetapi problem ini dimiliki oleh hampir semua negara. Sambil menekankan perlunya memahami dan meniadakan sebabsebab masalah ini, menurut saya penting bagi seluruh muslim untuk mengungkapkan komitmen mereka pada nilai-nilai konstitusionalisme, hak asasi manusia dan kewarganegaraan.56 Namun itu saja tidak cukup, kita harus maju satu langkah lagi menuju apa yang saya sebut sebagai reformasi Islami. Gerakan ini bertujuan untuk mendorong dan mendukung usaha-usaha untuk memberikan hak yang sama bagi perempuan dan nonmuslim dari sudut pandang syariah dan bukan sekedar untuk kepentingankepentingan politik sesaat. Gerakan ini juga akan memberikan kontribusi bagi proses legitimasi nilai-nilai partisipasi politik, akuntabilitas dan kesetaraan di hadapan hukum. Pada akhirnya gerakan ini diharapkan dapat meningkatkan prospek konstitusionalisme dalam masyarakat Islam.
Dalam menerapkan konsep undang-undang dasar dan kelembagaan yang telah berkembang selama 2 abad masyarakat islam di masa lalu, dan untuk menganalisa pengalaman saya akan menekankan tersebut bahwa tidak
perkembangan
konsep-konsep
lembaga-lembaga
membuat mereka menjadi tidak islami. Sebaliknya harus disadari bahwa perubahan drastis yang terjadi pada masyarakat Islam dalam konteks lokal dan global, menyebabkan model-model yang pernah berlaku di masa lalu tidak akan mampu untuk diterapkan secara langsung begitu saja.
56
Lihat Brems, Human Rights, hlm. 194-206; contoh diskursus muslim mengenai hal tersebut lihat juga, Khan, Human Rights in the Muslim World; Ausaf Ali, Modern Muslim Thought; Islamic Law and the Challenges of Modernity, eds. Yvonne Yazbeck Haddad and Barbara Freyer Stowassesr; Asad, State and Government in Islam.
Konsep baiah57 contohnya. Saat ini konsep itu harus dilihat sebagai dasar yang otoritatif bagi perjanjian yang saling menguntungkan antara
pemerintah dan rakyat secara keseluruhan, dimana pemerintah harus bertanggung jawab untuk melindungi hak-hak warga negara sebagai imbalan atas penerimaan pihak kedua atas kekuasaan pihak pertama dan kepatuhan pihak kedua terhadap aturan dan kebijakan yang dibuat oleh
57
Baya berarti proses ratifikasi Imam atau khalifah pada periode awal masyarakat muslim. Ann K.S. Lambton, State and Government in Medieval Islam (Oxford, England: Oxford University Press, 1985), hlm. 18; Asad, State and Government in Islam, hlm. 69-70; al-Nabhani, The Islamic State, hlm. 278.
Untuk menyimpulkan diskusi kita tentang konstitusionalisme dari perspektif Islam, saya akan mengulang kembali apa yang saya tekankan mengenai pentingnya peran umat muslim dalam melakukan proses mendamaikan ketegangan yang timbul dari konsep netralitas negara terhadap agama di satu pihak sambil menyadari peran positif Islam dalam mempengaruhi kebijakan publik dan undang-undang di pihak lain. Proses-proses tersebut haruslah dilakukan secara kontekstual dan hanya bisa difahami dalam konteks pengalaman masing-masing sederhana masyarakat. akan (dan Saya sebetulnya agak
menghargai
kebutuhan
mungkin
menyederhanakan) solusi kategoris, apakah dalam bentuk sebuh negara Islam yang berusaha menerapkan syariah atau dalam bentuk pemisahan ketat antara negara dan Islam, dengan asumsi bahwa pemisahan ini akan
III. Islam dan Hak Asasi Manusia Sebagaimana yang sudah saya tekankan di beberapa bagian dalam buku ini, berbicara mengenai Islam adalah betul-betul mengenai bagaimana muslim memahami dan mempraktikkan agama mereka, bukan sebagai agama dalam arti yang sangat abstrak. Lagipula, diskusi mengenai hubungan antara agama dan hak asasi manusia bukan berarti bahwa Islam, atau agama lain, bagi pemeluknya hanya satu-satunya hal yang bisa menjelaskan sikap dan perilaku mereka. Muslim bisa menerima atau menolak ide mengenai hak asasi manusia atau salah satu norma yang terdapat di dalamnya tidak karena pemahaman ortodoks mereka terhadap agama. bahkan, beragamnya tingkat penerimaan atau kepatuhan mereka terhadap norma-norma hak asasi manusia lebih mungkin terkait dengan kondisi politik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Islam saat ini, daripada dengan Islam itu sendiri. Dengan demikian, apapun peran Islam, ia tidak dapat difahami secara terpisah dari faktor-faktor lain yang
mempengaruhi bagaimana muslim menginterpretasi dan berusaha untuk mematuhi tradisi mereka sendiri. Karenanya menjadi salah, bila kita berusaha memprediksi atau menjelaskan tingkat kepatuhan ummat Islam
Hal kedua yang penting saya tekankan disini adalah bahwa prinsip-prinsip syariah pada dasarnya sesuai dengan hampir seluruh norma-norma hak asasi manusia, kecuali pada beberapa point yang berkaitan dengan hak-hak perempuan dan non-muslim seperti yang akan saya diskusikan nanti. Point lain yang juga cukup serius dan akan kita diskusikan juga adalah yang berkaitan dengan kebebasan beragama. Meskipun saya menganggap masalah-masalah tersebut sangat serius dan berusaha untuk
menyelesaikannya melalui reformasi islami, saya lebih suka mengajukan sebuah proses mediasi daripada konfrontasi. Jika saya, sebagai muslim, diminta untuk memilih salah satu antara Islam dan hak asasi manusia, saya pasti akan memilih Islam. Daripada harus menghadapkan pilihan sulit ini kepada ummat Islam, saya kira lebih baik kita sebagai muslim mulai mempertimbangkan untuk mentransformasikan pemahaman kita terhadap syariah dalam konteks masyarakat muslim saat ini. Saya percaya bahwa pendekatan ini bisa digunakan sebagai prinsip, sekaligus solusi pragmatis.
Dengan demikian, menurut saya, masalah ini lebih baik difahami dengan
Universalitas Hak Asasi Manusia Ide revolusioner hak asasi manusia tetap merupakan tantangan ummat manusia hari ini, seperti pertama kali diproklamirkan pada tahun 1948. Ide ini sangat penting bagi ummat manusia, dan dengan demikian harus diakui, agar kita bisa mengklaim hak kita atas hak-hak tersebut. Untuk
merealisasikan tujuan-tujuan saya dalam buku ini, Muslim tidak harus mengabaikan agamanya hanya untuk mengakui hak-hak manusia tetapi mereka juga tidak boleh mendiskriminasi orang lain berdasarkan jenis kelamin, ras, kebangsaan, maupun agama. Karena untuk bisa menjustifikasi secara moral dan menyadari klaim hak asasi manusia kita tanpa melakukan diskriminasi kepada orang lain, ummat Islam harus menyadari bahwa yang lain pun memiliki hak sama dengan kita. Hal yang sama berlaku bagi seluruh ummat manusia, dan bukan hanya bagi muslim. Namun dalam kesempatan saya akan memposisikan diri sebagai muslim yang berusaha mempromosikan pentingnya hak asasi manusia di kalangan muslim sendiri.
58
Ini premis yang saya bangun dalam buku saya, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and International Law (Syracuse University Press, 1990); dan didiskusikan secara lebih luas dalam berbagai buku saya edit seperti Human Rights in Cross-Cultural Perspectives: Quest for Consensus (University of Pennsylvania Press, 1992); The Cultural Dimensions of Human Rights in the Arab World (Arabic) (Cairo, Egypt: Ibn Khaldoun Center, 1993); and Human Rights Under African Constitutions: Realizing the Promise for Ourselves (University of Pennsylvania Press, 2003).
Deklarasi hak asasi manusia telah berusaha tidak menggunakan agama apapun untuk menjustifikasi ide-ide dasarnya agar ia bisa menemukan dasar yang sama bagi mereka yang beragama maupun tidak. Tapi ini tidak berarti bahwa hak asasi manusa hanya bisa didasarkan pada justifikasi sekuler, karena cara seperti itu tidak bisa menjawab persoalan bagaimana melegitimasi dan mengesahkan hak asasi manusia berdasarkan perspektif yang sangat beragam di dunia ini. Logika yang dibangun dalam deklarasi itu justru memberikan kesempatan kepada para penganut agama atau kepercayaan tertentu untuk membangun komitmen mereka pada deklarasi itu, dengan menggunakan norma yang terdapat dalam kepercayaan atau agama yang mereka yakini. Begitupula dengan mereka yang membangun komitmennya atas dasar filfasat sekuler yang mereka pelajari. Semua orang berhak mendapatkan pengakuan hak asasi yang sama dari orang lain, tapi tidak dapat menentukan alasan yang digunakan orang lain untuk memberikan pengakuan tersebut.
Ide hak asasi manusia muncul setelah Perang Dunia II sebagai sebuah usaha untuk mendapatkan perlindungan hak-hak dasar di tengah berbagai kemungkinan dalam pentas politik nasional. Pandangan tersebut dibangun diatas kesadaran bahwa hak-hak tersebut amat fundamental hingga harus dilindungi dengan konsensus dan kerjasama internasional agar
keberadaannya diakui oleh undang-undang dasar dan sistem hukum nasional.59 Dengan kata lain, tujuan membuat kewajiban hukum
internasional untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia baik melalui prinsip-prinsip hukum adat atau perjanjian adalah untuk melengkapi
59
Eva Brems, Human rights: Universality and Diversity (the Hague, The Netherlands: Kluwer Law International, 2001), hlm. 5-7
Tujuan utama hak asasi manusia adalah untuk meyakinkan perlindungan yang efektif terhadap beberapa hal penting yang merupakan hak semua manusia dimanapun mereka berada, termasuk di negara yang tidak menjamin keberadaan hak itu dalam undang-undang dasar mereka. Ini
tidak berarti bahwa deklarasi hak asasi manusia berbeda atau lebih tinggi kedudukannya daripada hak-hak yang terdapat dalam undang-undang dasar. Malah, perhormatan dan perlindungan hak asasi manusia yang terdapat dalam DUHAM dilakukan melalui pencantumannya dalam undangundang dasar, anggaran dasar dan rumah tangga lembaga Negara. Tujuan Gagasan DUHAM, sebagaimana tujuan Undang-Undang Dasar, adalah untuk melindungi hak-hak tersebut dari ketidakjelasan proses-proses politik dan administratif. Dengan kata lain, hak asasi manusia dalam DUHAM, seperti halnya hak yang terdapat dalam undang-undang dasar, harus tunduk pada kehendak mayoritas, meskipun bukan sekedar pilihan mayoritas. Namun bukan berarti hak-hak tersebut absolut, karena banyak di antaranya yang layak dipilih karena berbagai alasan dan beberapa lainnya bisa ditunda karena alasan darurat. Gagasan DUHAM dengan demikian adalah agar hak asasi manusia, sebagaimana hak-hak yang tercantum dalam undangundang dasar, tidak mudah dilanggar kecuali dalam kondisi dan keadaan tertentu.60
Dengan mempertimbangkan ketegangan yang terjadi antara gagasan dan prinsip HAM dengan kedaulatan nasional, mengakui HAM sebagai produk
60
berkesinambungan tidak akan terrealisasikan melalui intervensi militer atau pemaksaan dari pihak luar, karena cara-cara seperti itu hanya dapat berlaku efektif dalam waktu yang temporer dan tidak menentu. Dengan kata lain, praktik perlindungan HAM hanya dapat dilakukan melalui peran negara, yang sebetulnya menjadi aktor yang sangat potensial untuk melanggar hak-hak tersebut.
Hemat saya, DUHAM bisa menjadi instrumen yang kuat untuk melindungi kemuliaan manusia dan untuk meningkatkan kesejahteraan setiap orang dimanapun mereka berada berkat universalitas kekuatan moral dan politik yang dimilikinya. Bahwa DUHAM menyediakan standar yang sama yang harus dicapai oleh seluruh manusia dan negara seperti yang tercantum dalam pembukaan DUHAM, berarti bahwa setiap kekuasaan hukum dan undang-undang di sebuah negara harus berusaha keras melindungi hak-hak tersebut. Prinsip hukum adat dan perjanjian internasional juga
61
Namun, pengakuan DUHAM sebagai norma hak asasi manusia universal lebih merupakan hasil proses konsensus global daripada sekedar sebuah hasil pemaksaan. Karena setiap masyarakat berpegang pada sistem normatif yang membentuk konteks dan pengalamannya, maka sebuah konsep universal tidak bisa begitu saja diproklamirkan dan diterapkan sama rata. Dengan kata lain, manusia baik laki-laki atau perempuan, kaya atau miskin, Afrika atau eropa, beragama maupun tidak, sama-sama mengetahui dan menjalani kehidupan di dunia sebagai dirinya sendiri. Dimanapun kita berada, kesadaran, nilai dan perilaku kita sebagai manusia dibentuk oleh tradisi agama dan kultural kita. Pertanyaannya dengan demikian adalah bagaimana mendapatkan, meningkatkan dan menjaga keberlangsungan konsensus terhadap norma HAM universal dalam konteks seperti ini? Apa karakter dan implikasi perbedaan relasi kuasa antara sejumlah partisipan dan budayanya dalam proses pembentukan konsensus itu?
Ide mengenai universalitas hak asasi manusia sebagai produk pembentukan konsensus tidak boleh menjadi alat untuk mempertahankan atau
Asbjrn Eide, Economic and Social Rights, in Human Rights: Concepts and Standards, ed. Janusz Symonides (Burlington, Vermont: Ashgate Publishing Company, 2000), hlm. 124-128.
masyarakat Barat yang mencangkokkan nilai-nilai tersebut pada kelompok masyarakat lain. Untuk mendukung preposisi ini, saya akan menekankan dua hal.
Pertama,
jelas
bahwa
formulasi
standar
HAM
internasional
sangat
merefleksikan pengalaman dan filsafat politik barat. Bahkan banyak artikel dalam DUHAM yang jelas-jelas menyalin bahasa The Bill of Rights-nya Amerika.64 Namun bukan berarti bahwa norma-norma hak asasi manusia dalam DUHAM merupakan hal yang asing dan tidak sesuai dengan
63
Sebagai contoh lihat, Joanne Bauer and Daniel Bell (eds.), Human Rights in East Asia, (New York: Cambridge University Press, 1999). 64 Lihat Brems, Human Rights, hlm. 17
Point kedua yang ingin saya tekankan disini juga bahwa aktivis has asasi manusia dan hukum internasional juga harus mendesakkan DUHAM sebagai dasar esensial bagi masyarakat yang beradab, bukan malah
meninggalkannya hanya karena kegagalan beberapa pemerintah untuk menegakkan prinsip-prinsip tersebut. Jika tidak, umat Islam dengan demikian harus mengakui bahwa masyarakat dan pemerintahan Baratlah,
65
Peter Baehr, Cees Flintermand and Mignon Sender, Pengantar untuk Innovation and Inspiration: Fifty Years of The Unievrsal Declaration of Human Rights, eds. Baehr, Flintermadn and Senders (Amsterdam. The Netherlands: Royal Netherlands Academy of Arts and Sciences, 1999), hlm. 2
Namun kesulitan menjalankan proses ini sudah muncul sejak akhir era Perang Dingin karena Negara-Negara yang tergabung dalam Blok Barat dan Blok Timur bekerjasama untuk mencapai kepentingan sesaat kebijakan luar negerinya tanpa menghiraukan norma-norma hak asasi manusia. Contoh sementara bisa ditemukan sepanjang tahun 90an, sejak dari Somalia hingga Rwanda, Bosnia hingga Chechnya, bahkan Irak di tahun 2003. tentu saja beberapa kebijakan luar negeri hak asasi manusia yang lama masih berlaku, karena perubahan fundamental dalam kebijakan luar negeri tidak mungikn terjadi secara menyeluruh dan terjadi pada satu waktu. Tapi juga jelas bagi saya, bahwa ada penurunan kualitas yang terus menerus terjadi
menyaksikan dengan seksama seberapa besar kemungkinan mereka untuk lari dari pertanggung jawaban dan mereka yang termotivasi untuk memasukkan DUHAM ke dalam kebijaan luar negerinya juga
mempertimbangkan seberapa besar kerugian yang mereka dapatkan jika mereka melindungi hak asasi manusia rakyatnya.66 Karena gerakan hak asasi manusia berhenti mendesakkan kepentingannya akibat lemahnya posisi tawar yang mereka miliki dalam politik nasional dan regional, pemerintah menjadi semakin berani untuk mencapai kepentingan
nasionalnya yang sesaat tanpa mempertimbangkan norma-norma hak asasi manusia. Penurunan tingkat urgensi HAM dalam kebijakan luar negeri sebuah negara, juga dilegitimasi melalui proses-proses demokratis seperti fenomena terpilihnya kembali George W. Bush dalam Pemilu Amerika kemarin. Padahal, Bush jelas-jelas tidak begitu konsen dengan HAM dan hukum internasional.
Dengan
mengatakan ide
seperti HAM
ini, itu
saya sendiri,
tidak atau
bermaksud
untuk
mendiskreditkan
memprediksikan
ketidakberdayaannya dalam menghadapi kondisi domestik dan hubungan internasional. Saya hanya ingin mengalihkan fokus advokasi HAM kepada masyarakat agar HAM tidak lagi tergantung pada ketidakjelasan hubungan antar pemerintahan. Namun juga tidak berarti bahwa peralihan fokus ini akan menghentikan strategi advokasi HAM internasional, karena strategi itu juga masih penting untuk melindungi HAM pada saat ini.67 Yang saya ingin
66
Sebagai contoh lihat, David P. Forsythe, Comparative Foreign Policy and Human Rights: the United States and Other Democracies, dalam Innovation and Inspiration: Fifty Years of The Universal Declaration of Human Rights, eds. Baehr, Flinterman and Senders, hlm. 161-167 67 Sebagai contoh lihat, Robert F. Drinan, The Mobilization of Shame: a World View of Human Rights, (New Haven, Connecticut: Yale University Press, 2001); dan Claude E. Welch, Jr, (ed.), NGOs and Human Rights: Promise and Performance, (Philadelphia, Pennsylvania: University of Pennsylvania
mengimplementasikan hak asasi manusia. Saya menyadari bahwa hak sasi manusia bukanlah obat yang manjur dan universal bagi semua masalah yang muncul dalam masyarakat. Tapi norma dan lembaga-lembaga hak asasi manusia bisa memberdayakan orang untuk ikut serta dalam upaya politik dan hukum untuk menegakkan kemanusiaan dan keadilan sosial.
Islam, Syariah dan Kebebasan Beragama Diskusi mengenai konflik antara syariah dan konstitusionalisme dan kemungkinan memediasi konflik tersebut dengan merujuk pada Islam secara lebih luas dapat diterapkan juga dalam kasus Hak Asasi Manusia. Dengan demikian, kita akan mulai dengan mengklarifikasi ketegangan yang mungkin timbul antara Syariah dan cara-cara untuk Hak Asasi Manusia kemudian
mengeksplorasi
melalui reformasi Islami. Mengakui adanya konflik dan memahami sifatnya sangat penting untuk melakukan proses mediasi dan penyelesaian konflik.
Press), 2001. 68 Penjelasan mengenai usulan saya ini lihat Introduction: Expanding Legal Protection of Human Rights in African Context, dalam Abdullahi Ahmed An-Naim, ed., Human Rights under African Constitutions: Realizing the Promise for Ourselves, Philadelphia, PA: University of Pennsylvania Press, hlm. 1-28; dan Abdullahi Ahmed an-Naim, Human Rights in the Arab World: A Regional Perspective Human Rights Quarterly, vol 23: 3, 2001 hlm. 701-32
kebingungan, saya nyatakan bahwa saya percaya terhadap adanya kemungkinan, bahkan keharusan, untuk menginterpretasi ulang sumbersumber Islam untuk menegaskan dan melindungi kebebasan beragama dan memeluk kepercayaan. Disini saya berbicara sebagai seorang muslim yang menggunakan perspektif Islam, dan bukan sekedar berbicara sebagai orang yang mengakui kebebasan beragama hanya karena kebebasan beragama itu merupakan prinsip yang terdapat dalam DUHAM dan mengikat muslim menurut prinsip hukum internasional.
Ada dua asalan mengapa diskusi mengenai hal ini menjadi penting. Pertama, konflik antara aturan agama dengan hak kebebasan beragama tidak hanya terjadi pada Islam tapi juga terjadi dalam tradisi agama dan ideologi lain. Contohnya, pemahaman tradisional terhadap teks Yahudi dan Kristen mengharuskan hukuman mati dan konsekuensi-konsekuensi lain bagi orang-orang yang murtad.69 Pelaksanaan ketentuan agama dengan menggunakan tindakan-tindakan seperti itu hampir sama dengan konsep pemberontakan (treason) yang tetap menjadi kejahatan besar dalam sistem hukum Negara modern saat ini. Larangan murtad dalam tradisi syariah
69
Argumen kitab suci untuk hukuman mati bagi pelaku murtad dan penghinaan ada dalam Deuteronomy 13: 6-9 dan Letivicus 24: 16; lihat juga Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 35
Satu hal penting yang juga perlu dicatat adalah bahwa prinsip-prinsip syariah jarang diaplikasikan secara sitematis dan ketat di masa lalu, bahkan lebih jarang pada masa sekarang. Meskipun demikian, keberadaan prinsip-prinsip tersebut menimbulkan konflik yang fundamental dengan ide dasar hak asasi manusia universal dan menjadi sumber pelanggaran terhadap praktik kebebasan beragama. Dengan demikian, sebagai seorang muslim, saya merasa perlu untuk menghadapi isu ini untuk menegakkan integritas moral terhadap kepercayaan yang saya anut sekaligus menolak praktik pelanggaran hak asasi manusia ini meskipun hal ini mungkin jarang terjadi pada saat sekarang ini.
Saya akan mendiskusikan konsep murtad dan konsep-konsep yang berkaitan dengannya dalam syariah untuk menjelaskan ketidakcocokkan prinsipprinsip tersebut dengan kebebasan beragama dari perspektif Islam, bahkan tanpa harus merujuk pada norma hak asasi manusia modern. Penerapan prinsip netralitas Negara terhadap agama secara tepat akan mampu mengelimininasi kemungkinan konsekuensi negatif hukum murtad dan konsep lainnya. implikasi Namun tidak akan mungkin mampu untuk syariah
mengeliminasi
sosial
negatif
dari
prinsip-prinsip
tradisional tersebut. Aspek tersebut harus diselesaikan melalui langkahlangkah pendidikan secara terus menerus untuk mempromosikan
Istilah arab riddah biasa diterjemahkan sebagai kemurtadan. Namun secara bahasa berarti kembali pemahaman dan murtad berarti tradisional, orang riddah yang berarti
kembali.70
Dalam
syariah
berpalingnya kembalinya seseorang yang sudah menganut Islam menjadi kufur karena sengaja atau implikasi tertentu.71 Dengan kata lainm sekali seseorang memilih menjadi muslim, tak ada alasan baginya untuk mengubah agamanya. Menurut para fuqaha, riddah dapat terjadi dalam berbagai bentuk seperti menolak keberadaan tuhan atau sifat-sifat tuhan, menolak salah satu rasul Tuhan atau menolak status kenabian salah satu Nabi, menolak salah satu prinsip keagmaan seperti sholat lima waktu atau berpuasa di bulan ramadlan, menghalakan yang haram atau
mengharamkan yang halal. Status murtad secara tradisional diberikan kepada muslim yang dianggap sudah beralih dari Islam, baik secara sengaja atau hanya sekedar ucapan, baik itu diungkapkan sebagai guyonan, out of stubborness, or out of conviction.72
Keberatan terhadap pendapat bahwa kemurtadan adalah sebuah kejahatan atau dianggap salah menurut aturan hukum syariah sehingga orang murtad harus mendapatkan hukuman atau konsekuensi-konsekuensi hukum
70
The following review of classical Islamic jurisprudence of apostasy is based on Ibn Rushd, Bidayat al-Mugjtahid, vol. 2, (Cairo: Dar al-Fikr al-Arabic, not dated); and Nu`man Abd al-Razid al-Samar`i, Ahkam al-Murtad fi al-Shari`a al-Islamyia (Beirut: al-Dar al-Arabiya, 1968). In English see Shaikh Abdur Rahman, Punishment of Apostasy in Islam (Lahore, Pakistan: Institute of Islamic Culture, 1972). 71 Saeed and Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 36, 42 72 Saeed and Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 36-37
Selain ketidakcocokkan dengan prinsip kebebasan beragama yang berulang kali ditekankan dalam al-Quran, ada dua aspek problematis yang terdapat dalam konsep murtad dalam tradisi hukum Islam tradisional yaitu ketidakjelasan dan kelemahan konsepnya dan ketidakjelasan dasar hukum untuk konsekuensi-konsekuensi hukum yang harus diterima seorang yang murtad karena ia dianggap melakukan kejahatan besar. Sumber
ketidakjelasan dan kelemahan konsep murtad sebetulnya terkait dengan definisi dan hukumannya serta kedekatan konsepnya dengan konsep kufr, sabb ar-rasul, zindiq, dan munafiq (nifaq).
73 74
Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 57 Artikel Murtad dalam Shorter Encyclopedia of Islam, hlm. 413-414
Fuqoha empat mazhab sunni mengklasifikasi kemurtadan pada tiga kategori: keyakinan, perbuatan dan ucapan. 3 kategori ini kemudian terbagi-bagi lagi kedalam beberapa bagian. Namun masing-masing kategori tersebut sebetulnya kontroversial. Contohnya kategori pertama dapat berbentuk keraguan terhadap eksistensi atau keabadian tuhan, keraguan terhadap pesan-pesan kenabian Muhammad atau Nabi lain, ragu terhadap quran, hari pembalasan, keberadaan surga dan neraka, atau ragu terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan yang sudah menjadi konsensus (ijma) di kalangan muslim seperti sifat-sifat tuhan. Maka, dengan demikian, konsep murtad tidak berlaku pada persoalan yang tidak menjadi konsensus ummat. Padahal sebetulnya, tidak banyak konsensus yang terjadi di antara muslim termasuk mereka yang terdapat dalam daftar para fuqoha atau mazhab mengenai banyak hal. Misalnya karena ada kesamaan pendapat yang signifikan di kalangan muslim mengenai sifat-sifat Tuhan75, maka orang yang menolak atau menerima salah satu sifat tuhan yang ditetapkan atau ditolak oleh seorang ulama, dapat disebut murtad. Padahal, para ulama tidak membedakan konsep-konsep tersebut dan cenderung
menggunakan kategori yang luas mengenai konsep murtad sehingga bisa mencakup seluruh aspeknya.76 Cara seperti ini justru membuat istilah murtad menjadi sangat luas dan samar, serta mengacaukan dasar hukum kejahatan dan hukumannya. Saya akan memberikan ilustrasi singkat mengenai hal ini.
Karena murtad berarti kembali tidak mempercayai Islam setelah secara rela pernah memeluknya, berari murtad berkaitan erat dengan konsep kufur
75 76
Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 37 (catatan kaki no. 13), hlm. 189 Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 37
Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai utusan Allah. Al-Quran misalnya berulang kali menghubungkan konsep iman dengan mendirikan shalat, mengerjakan puasa atau beramal saleh, tapi tidak pernah
mengungkapkan apa yang harus dilakukan pada mereka yang gagal mematuhi kewajiban tersebut kecuali hukuman pada hari kemudian.
Al-Quran juga tidak dengan jelas menyatakan konsekuensi-konsekuensi yang akan didapatkan jika ummatnya mempertanyakan pengakuan iman itu sendiri. Contohnya, apakah makna menyatakan tiada Tuhan selain Allah? apa yang orang beriman ketahui dan harus mereka ketahui tentang Tuhan? Apa konsekuensi langsung dari beriman kepada Allah pada kehidupan personal dan perilaku muslim baik dalam level individual maupun dalam hubungannya dengan lembaga dan proses social, ekonomi dan politik di sekellingnya? Siapa yang memiliki otoritas untuk menghakimi perbedaan pendapat mengenai hal tersebut atau mengenai hal-hal lainnya setelah wafatnya Nabi Muhammad dan bagaimana caranya?
Al-Quran membiarkan ummat Islam dengan sendirinya bergulat dengan persoalan-persoalan tersebut. Benar bahwa ummat Islam memiliki sunnah, teladan kehidupan Nabi sebagai sumber pedoman lain, namun sunnah juga memiliki ketidakjelasan yang sama. Dengan demikian, tidaklah heran jika perbedaan pendapat mengenai peran perbuatan (amal) dalam konsep
77
mengharuskan pengakuan lisan ini dibuktikan dengan melakukan perbuatan dan praktik tertentu. Bagi mereka yang mengharuskan adanya perbuatan sebagai bukti keimanan, pertanyaannya kemudian adalah bagaimana status orang yang sudah mengaku muslim namun tidak melaksanakan
kewajibannya sebagai muslim. Persoalan lain timbul, siapa yang menilai bahwa seseorang sudah melaksanakan kewajiban agama atau belum dan konsekuensi apa yang harus diterima karena penilaian tersebut? Debat mengenai hal tersebut muncul dalam beragam bentuk; sejak dari pendapat dan perilaku kalangan Khawarij selama perang sipil pada abad ke-7, status Ahmadiyah di Pakistan sejak tahun 1950, bahkan hingga keberadaan sejumlah sekte-sekte pembunuhan dan terorisme.78 Ketidakjelasan ini kemudian diperparah dengan kesamaran dan ketidaksepakatan mengenai konsep-konsep lain.
Kesamaran dan ketidakjelasan seperti ini juga terjadi pada larangan sabb al-naby. Sabb al-naby adalah penggunaan kata-kata hinaan yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW, Tuhan, atau para Malaikat. Orang yang melakukan pelanggaran ini menurut tradisi ulama fiqih tradisional harus dihukum mati.79 Pada tahap selanjutnya, bentuk pelanggaran ini kemudian diperluas mencakup segala bentuk pelarangan dan mengungkapkan katakata hinaan kepada para Sahabat nabi. Sebagian Ulama tetap menganggap orang yang melakukan tindakan ini sebagai muslim, tapi ia harus menerima hukuman tertentu. Tetapi ada pula yang berpendapat bahwa tindakan
78
Sebagai contoh lihat, Khaled Abou el-Fadl, Rebellion and Violence in Islamic Law (New York: Cambridge University Press, 2001) 79 Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 37-38
mengungkapkan keberadaan pelanggaran yang bernama sabb al-naby ataupun hukuman khusus terhadap pelakunya.80
Terdapat masalah
zindiq digunakan dalam sumber-sumber syariah untuk menyebut orang zindiq yang ajarannya berbahaya bagi komunitas muslim dan menurut aturan syariah mereka layak untuk dihukum mati. Namun istilah zindiq dan kata turunannya tidak pernah muncul dalam al-Quran sama sekali, bahkan nampaknya merupakan istilah yang diserap Bahasa Arab dari Bahasa Persia. Istilah ini nampaknya pertama kali digunakan dalam kaitannya dengan eksekusi Jad bin dirham pada tahun 742 Msetelah lebih dari satu abad wafatnya nabi. pada praktiknya apa yang difahami oleh kalangan konservatif sebagai zindiq adalah orang yang pengakuan Islamnya, menurut
80
Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 38-39
kesamaan pendapat tentang definisi istilah yang mereka maksud. Bahkan terdapat perbedaan pendapat mengenai tipe-tipe perilaku yang dianggap sebagai perilaku zindiq atau membuat seseorang dihukumi zindiq. Misalnya orang yang mengaku muslim, tapi masih mengikuti ajaran agama lamanya. Namun bagaimana definisi ini dapat diketahui dan digunakan dalam kasuskasus spesifik? Karena tiadanya definisi istilah yang jelas dan spesifik, tak heran bila beberapa ulama menganggap seseorang zindiq jika ia melakukan hal-hal terlarang dalam Islam seperti zina atau meminum arak.82 Pentingnya definisi yang jelas ini juga berkaitan dengan sikap sebagian ulama khususnya dari mazhab Hanafi dan Maliki menolak kemungkinan pelaku zindiq untuk mendapatkan pengampunan jika mereka menyesal, padahal orang murtad bisa mendapatkan kesempatan itu.83
Review singkat ini bisa dengan jelas memperlihatkan bahwa selalu ada kebingungan dan kesamaran dalam konsep-konsep tersebut dan
bagaimana konsep tersebut didefinisikan. Bahkan ada juga ketidakjelasan mengenai dasar hukum bagi jenis hukuman yang ditetapkan bagi pelaku pelanggaran tersebut. Karena al-Quran tidak mendefinisikan konsepkonsep tersebut dengan jelas dan juga tidak menentukan hukuman tertentu yang harus ditimpakan pada pelaku pelanggaran tersebut saat mereka hidup, masyarakat Islam saat ini nampaknya bisa dan bahkan mungkin
mempertimbangkan kembali aspek-aspek syariah tersebut dalam kerangka kebebasan beragama. Bahkan, nampaknya jumlah ayat-ayat al-Quran yang mendukung pandangan terakhir ini lebih banyak daripada ayat yang
81 82
Article Zindiq Shorter Encyclopedia of Islam, hlm. 659 Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 40 83 Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 41, 54-55
Ketidakjelasan dan kemenduaan prinsip-prinsip syariah tersebut memicu lahirnya manipulasi dan pelanggaran terhadapnya demi tujuan-tujuan politik atau polemik. Banyak ulama besar yang dihormati dan diakui otoritasnya seperti Abu Hanifah, Ibn Hanbal, al-Ghazaly, Ibnu Hazm,dan Ibnu Taimiyyah pernah didakwa murtad semasa mereka hidup.85 Resiko semacam ini cenderung meniadakan kemungkinan terjadinya proses refleksi hukum dan teologi serta proses perkembangan dalam masyarakat muslim sendiri atau ummat secara umum. Mengemukakan alasan-alasan meyakinkan mengenai pentingnya penghapusan doktrin murtad dan konsep-konsep lainnya untuk kepentingan Islam (sebagai suatu agama) dan masyarakat muslim secara keseluruhan, tanpa mengambil rujukan kepada norma-norma Hak asasi manusia, adalah untuk menunjukkan bahwa dalam Islam sendiri terdapat argumen dan pendekatan untuk untuk melindungi
sangat tepat
menunjukkan
84 85
Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 69-87 Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 30-31
Dilema yang dirasakan oleh mereka yang mendukung reformasi semacam itu dalam masyarakat kita adalah apakah mereka harus mencapai tujuan mereka dengan mempergunakan korpus dan metodologi syariah yang sudah ada atau berusaha menghindari keterbatasan pendekatan tersebut dengan menerapkan pemisahan yang ketat antara agama dan negara. Menurut pendapat saya, kedua pendekatan tersebut memiliki keterbatasan. Di satu sisi, reformasi terhadap kerangka syariah tradisional tidak mungkin bisa menghapus semua gagasan mengenai murtad dan konsep lainnya, karena hal semacam itu tentu saja tidak mungkin dibenarkan oleh metodologi ushul fiqih yang sudah diformulasikan oleh para ulama seperti al-Syafii 1200 tahun yang lalu. Ushul fiqih tradisional pasti mendukung penetapan hukuman mati atau ketentuan hukum lainnya pada orang murtad karena hukuman tersebut didasarkan pada aturan yang terdapat dalam sunnah, meskipun bukan al-Quran. Pada saat yang sama, konsep murtad dan konsep lainnya tidak bisa begitu saja dihapus dari ketentuan syariah tanpa justifikasi yang cukup, karena otoritas moral dan sosial syariah di tengah-tengah ummat muslim. Upaya penghapusan yang efektif dan berkelanjutan terhadap konsep-konsep tersebut sebagai upaya untuk menginterpretasi ulang syariah harus menggunakan logika Islam
tradisional daripada sekedar menggantungkan diri pada otoritas negara sekular untuk menolak menerapkan aturan-aturan hukum yang berkaitan dengannya.
86
Argumentasi Islam dan Hak Asasi Manusia mengenai pentingnya memerangi kejahatan-kejahatan ini lihat tulisan saya Islamic Foundation of Religious Human Rihts, dalam John Witte, Jr., dan Johan D. Van der Vyver, (ed.), Religious Human Rights in Global Perspectives: Religious Perspective. (The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 1996), hlm. 337-359.
Reformasi Islam juga mengharuskan adanya reformasi ushul fiqih karena baik interpretasi tradisional maupun alternatif terhadap al-Quran dan sunnah adalah produk sebuah konteks historis tempat masyarakat muslim tinggal dan hidup. Dengan demikian untuk menghadapi transformasi politik, sosial dan ekonomi yang terjadi dalam masyarakat muslim saat ini, sebagaimana yang ternah terjadi di masa perkembangan pemahaman syariah tradisional, metodologi interpretasi harus merefleksikan kondisi tersebut agar bisa menghasilkan formulasi syariah yang tepat. Ini bisa dilakukan dengan cara misalnya dengan menguji ulang logika penerapan sejumlah ayat Quran dan sunnah ke dalam prinsip-prinsip syariah dan menekankan ketidak cocokkan rujukan keagamaan lain untuk konteks masyarakat Islam saat ini. Dengan memahami pilihan-pilihan tersebut dibuat oleh manusia dan bukan merupakan perintah tuhan secara langsung, maka mempertimbangkan kembali relevansi teks tersebut untuk diterapkan dalam konteks sekarang dan perlunya menekankan ulang konsep-konsep tersebut menjadi hal yang mungkin. Meskipun saya mengikuti model pendekatan yang sudah dikembangkan oleh ulama Sudan, Mahmoud Muhammad Toha,87 bukan berarti pendekatan lain tidak berlaku.
Penting untuk dicatat, debat teologis ini mungkin memiliki dimensi politik dan kontekstual. Kemampuan seorang reformer untuk mendapatkan kepercayaan tergantung dari pada komunitas dan otoritas di kalangan anggotanya sejarah
pemahamannya
terhadap
kompleksitas
komunitasnya serta konteks, kepentingan dan aspirasi mereka. Kita bisa melihat contoh Mahmud Muhammad Toha yang mengadvokasikan
87
Mahmoud Muhammad Toha, The Second Message of Islam, (Syracuse University press, 1987).
Negara, sebetulnya, berperan besar dalam prose-proses tersebut bukan saja dengan menghentikan usaha-usaha menerapkan syariah sebagai hukum positif, tapi juga melalui sistem pendidikan, upaya mempromosikan pemikiran kritis dalam media dan mengamankan ruang politik sosial dan politik agar debat publik dapat terlaksana dengan baik dan bebas. Namun negara dan komunitas international secara luas, sebetulnya juga bisa menjadi bagian dari masalah. Proses liberalisasi politik dan sosial yang diinginkan bisa mengancam posisi elite yang mengontrol negara, bahkan sekalipun mereka mengklaim sebagai elit yang memiliki orientasi politik sekular. Selain itu, negara-negara lain juga mungkin saja mendukung rezim opresif yang ada di negara-negara Islam atau menerapkan politik luar negeri yang keras dan malah menimbulkan konservatisme dan pembelaan membabi buta dalam masyarakat Islam, bukannya melahirkan kepercayaan dan tingkat keamanan yang justru lebih diperlukan untuk mendorong proses liberalisasi politik dan sosial internal. Meskipun tanggung jawab untuk mengamankan kebebasan beragama dalam masyarakat islam tergantung pada diri mereka sendiri, komunitas interrnasional juga mempunyai peran penting dalam menumbuhkan kondisi yang kondusif
88
Abdullahi Ahmed an-Naim, The Islamic Law of Apostasy and its Modern Applicability: A Case from the Sudan, Religion, vol. 16, 1986, hlm. 197-223.
IV. Kewarganegaraan Apapun argumennya, adalah sebuah fakta bahwa kolonialisme Eropalah yang mentransformasikan secara drastis dasar dan asal-ususl organizasi politik dan sosial dalam negara tempat muslim tinggal.89 Transformasi ini begitu mendasar dan sangat mendalam; menyebar pada seluruh aspek aktivitas ekonomi, proses politik, kehidupan sosial dan relasi komunal, pemenuhan pendidikan, kesehatan dan pelayanan lainnya sehingga membuat ide untuk mengembalikan semuanya pada sistem dan ide prakolonial menjadi tidak mungkin. Perubahan dan adaptasi apapun yang dilakukan pada sistem yang sekarang berlaku, hanya bisa dilakukan melalui konsep dan institusi post kolonial domestik dan global saat ini. Namun banyak muslim, bahkan mungkin mayoritas dari mereka di berbagai negara, belum bisa menerima beberapa aspek dalam proses transformasi ini termasuk berbagai konsekuensinya. Untuk mengklarifikasi dan memahami ketimpangan ini, saya akan memfokuskan bahasan ini pada persoalan kewarganegaraan yang ternyata mempunyai implikasi jangka panjang terhadap stabilitas politik, pemerintahan dan pengembangan yang
konstitusional di dalam negeri serta hubungan internasional. Secara khusus, saya akan mengajukan hak asasi manusia sebagai kerangka untuk menggaris bawahi dan menyelesaikan ketegangan yang ada dalam ketimpangan pemahaman masyarakat Islam saat ini terhadap konsep kewarganegaraan.
89
Lihat James Piscatori, Islam in a Wold of Nation States (Cambridge: Cambridge University Press, 1986).
Manusia cenderung mencari dan mengalami tipe dan bentuk keanggotaan yang beragam dan saling bersinggungan dalam kelompok yang berbeda yang berdasarkan etnik, agama atau identitas kultural, afiliasi politik, sosial atau profesional atau kepentingan ekonomi. Motivasi untuk menjadi anggota sebuah kelompok cenderung terkait dengan alasan dan tujuan kelompok tersebut, tanpa membatasi atau mengurangi pentingnya bentuk keanggotaan yang lain. Nah, bentuk keanggotaan yang beragam dan bersinggungan ini tidak selalu ekslusif, karena keragaman tersebut justru bisa memenuhi tujuan masing-masing individu dan komunitas yang berbeda. Ini mungkin hanya sekedar sebuah model yang terlalu sederhana, karena dasar keanggotaan dalam sebuah kelompok tidak mungkin bisa didefinisikan dengan jelas. Interaksi yang terjadi mungkin akan menjadi kompleks dan tergantung pada faktor-faktor lain dan orang juga tidak selalu sadar dengan dasar-dasar tersebut atau secara konsisten berbuat dan berlaku sesuai dengannya. Namun hal penting yang ingin saya tekankan di sini adalah bahwa orang cenderung secara sadar atau setengah sadar untuk menjadi atau mengidentifikasi diri sebagai bagian dari sebuah kelompok karena tujuan-tujuan yang berbeda. Dan harus pula dicatat bahwa keanggotaan itu bukan hanya pada satu kelompok.
Istilah kewarganegaraan yang saya gunakan disini berarti sebagai sebuah bentuk keanggotaan dalam komunitas politik sebuah wilayah negara dalam konteks globalnya dan dengan demikian terkait dengan alasan dan tujuan tertentu, namun dengan tanpa membatasi kemungkinan bentuk
keanggotaan lain. Ini bukan berarti bahwa setiap orang akan sadar sepenuhnya dengan bentuk atau tipe keanggotaan ini atau mereka akan
Penting untuk dicatat bahwa kebingungan seperti ini tidak hanya terjadi pada masyarakat muslim atau terjadi karena mereka memeluk Islam. Contohnya ada kecenderungan umum di kalangan masyarakat utuk menghilangkan beberapa bentuk keanggotaan seperti keanggotaan
berdasarkan etnis atau agama yang luntur karena afiliasi politik atau sosial. Dengan demikian, perkembangan negara bangsa model Eropa yang berbasis wilayah sejak abad 18 tidak hanya cenderung menyamakan konsep kewarganegaraan dengan kebangsaan, tapi juga terus menekankan pentingnya praktik konsep warga negara yang setara.90 Menyamakan konsep kewarganeganegaraan dengan kebangsaan adalah keliru karena keanggotaan seseorang dalam sebuah komunitas politik sebuah negara tidak selalu bersamaan dengan adanya perasaan memiliki. Pun tidak pula memperlihatkan hubungan apapun dengan cara orang merasa menjadi bagian dari sebuah negara atau lainnya. Lagipula, dalam teorinya hak-hak warga negara tunduk pada berbagai pembatasan hukum dan dalam praktiknya pada pembatasan tertentu, sebagaimana yang akan kita lihat dalam kasus kerudung yang terjadi di Perancis dalam bab 4 nanti.
90
Derek Heater, A Brief History of Citizenship (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004).
Konsepsi-konsepsi
kewarganegaraan,
kedaulatan
dan
hak
untuk
menentukan diri sendiri yang sedang berkembang ini adalah konsep-konsep yang saya tawarkan kepada masyarakat muslim untuk diterima dan dipergunakan sebagai prinsip, dan bukan hanya sebagai konsesi pragmatis untuk menghadapi realitas pasca kolonial. Benar bahwa umat Islam di manapun sudah menerima konsep dasar kewarganegaraan sebagai dasar sistem politik dan undang-undang domestik mereka bahkan juga menjadi dasar bagi hubungan internasional mereka dengan negara-negara lain. Kewarganegaraan memang sudah menjadi dasar hubungan antar muslim, maka saya kemudian membutuhkan visa yang dikeluarkan oleh Pemerintah Saudi Arabia agar saya bisa melaksanakan ibadah haji atau umrah disana dan tidak bisa berharap akan diterima bagitu saja di sana hanya karena saya seorang muslim yang akan melaksanakan kewajiban agama saya. Meskipun dasar konsep kewarganegaraan sudah diterima, namun kita perlu melangkah satu tindak ke depan. Yaitu mengembangkan dan
mempromosikan prinsip-prinsip kewarganegaraan di kalangan muslim agar mereka dapat memegang prinsip tersebut dan berusaha untuk
kesetaraan warga negara untuk semua orang tanpa membedakan agama, jenis kelamin, etnis, harus bahasa atau opini politik apapun. Konsep bersama
kewarganegaraan
menandakan
adanya
pemahaman
tentang kesetaraan posisi semua manusia dan partisipasi politik yang inklusif dan efektif untuk menjamin akuntabilitas pemerintah dalam menghargai dan melindungi hak asasi manusia semua pihak.
Keinginan
untuk
menyebarkan
pemahaman
mengenai
konsep
kewarganegaraan ini ke seluruh dunia tentu saja bisa didasarkan pada berbagai macam pertimbangan, termasuk realitas pragmatis hubungan kekuasaan dalam sebuah masyarakat sebagaimana yang sudah saya sebutkan tadi. Namun, keinginan itu juga membutuhkan asas keagamaan, filosofis dan moral agar pengertian kewarganegaraan konsisten dengan norma-norma hak asasi manusia universal. Kombinasi dasar moral dan pragmatis ini bisa dilihat dalam apa yang disebut sebagai the golden rule prinsip resiprokal (muawada) dalam diskursus keislaman. Memperlakukan orang lain dengan penuh rasa hormat dan empati adalah hal yang diperlukan dalam membangun sensibilitas moral di antara tradisi agama dan filasafat tertentu. Dan tentu saja menjadi syarat bagi adanya perlakuan yang sama dari orang lain. Dengan demikian, baik individu maupun komunitas dimanapun berada harus mengakui adanya kesamaan status warga negara, jika mereka ingin diperlakukan sama di negeri sendiri maupun di negeri lain. Karena itulah, memahami konsep kewarganegaraan berdasarkan hak asasi manusia universal adalah merupakan dasar politik, hukum dan moral untuk menikmatinya.
kerjasama
mendefinisikan
mengimplementasikan hak-hak asasi manusia universal dalam proses yang lebih luas. Standar dan proses internasional itu memang memberikan kontribusi untuk memahami dan melindungi hak-hak warga negara dalam level domestik. Dengan demikian, hubungan antara hak asasi manusia dan kewarganegaraan merupakan sesuatu yang inheren dan saling mendukung dalam hubungan antar keduanya. Jika kewarganegaraan difahami dari sudut pandang hak asasi manusia, maka sebagai seorang warga negara, muslim bisa berpartisipasi secara lebih efektif dalam mendefinisikan dan
mengimplementasikan hak asasi manusia. Dan ia bisa menikmati status kewarganegaraannya. Keterhubungan antara dua konsep tersebut
mengasumsikan bahwa negara yang terikat oleh hukum internasional dan piagam-piagam hak asasi manusia lain adalah representasi warga
negaranya. Namun realitasnya, ini tidak selalu sama di semua negara apalagi di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti di Asia dan Afrika.
Dengan
demikian
tantangannya
adalah
bagaimana
menerapkan
pendekatan hak asasi manusia ini dalam konsep kewarganegaraan sehingga proses ini pada akhirnya bisa memberikan kontribusi dalam merealisasikan prinsip akuntabilitas dan pemerintah yang demokratis. Masalahnya adalah bagaimana mempergunakan sumber daya yang ada, termasuk konsep kewarganegaraan dan hak asasi manusia yang sudah diterima, untuk mempromosikan sumber daya yang sama. Proses
Dengan pemahaman yang jelas terhadap kompleksitas proses dan hasil yang sulit diperkirakan, saya akan memfokuskan diskusi tentang konsep dzimmihood dalam syariah tradisional sesuai dengan tujuan buku ini. Sebagaimana yang akan dijelaskan nanti, konsep dzimmi menandakan adanya perlindungan negara terhadap hak-hak dasar dan otonomi komunal yang terbatas masyarakat non-muslim (ahl-dzimmah) sebagai konsesi atas pengakuan mereka atas kedaulatan muslim.91 Meskipun konsep ini lemah untuk digunakan sebagai dasar bagi konsep kewarganegaraan dalam konteks negara muslim saat ini, namun ia terus memiliki pengaruh pada perilaku dan sikap ummat Islam.
Konsep Dzimmi dalam Perspektif Sejarah Untuk membahas konsep dzimmi dalam syariah tradisional, perlu kiranya untuk mengklarifikasi dua elemen kebingungan metodologis yang
atau
memberlakukan
prinsip-prinsipnya
secara
langsung.92
Lihat artikel Dhimma dalam Shorter Encyclopaedia of Islam, Leiden: EJ.Brill, 1991, hlm. 75-76; Mahmoud Ayoub, Dhimmah in the Quran and Hadits, Muslims and Others in Early Muslim Society, ed. Robert Hoyland (Trowbridge,Wiltshire, England: Ashgate Publishing Ltd., 2004), hlm. 25-26. 92 Kebingungan metodologis terlihat pada misalnya A. Rahman I. Doi, Non-Muslims under Shariah
pemilihan arbitrer berbagai sumber atau hanya sekedar merujuk sumber yang bertentangan, karena cara seperti itu pasti akan ditolak. Pun tidak ada gunanya mengutip ayat-ayat al-Quran atau sabda Nabi yang mendukung kesetaraan non-muslim tanpa menyebutkan ayat-ayat yang dapat dirujuk untuk mendukung pandangan yang menentangnya.
Sistem dzimmi tradisional sebetulnya dikembangkan oleh para ulama sebagai bagian dari sebuah pandangan yang menentukan afiliasi politik berdasarkan afiliasi keagamaan dan bukan berdasarkan wilayah negara seperti yang terjadi pada saat ini.93 Dengan cara seperti itu, ide ini bertujuan untuk menggeser loyalitas politik dari ikatan kesukuan ke Islam sehingga keanggotaan dalam komunitas politik dapat diakses oleh siapapun yang menerima kepercayaan ini. Karena generasi awal ummat Islam percaya bahwa mereka adalah penerima agama wahyu terakhir, mereka berasumsi bahwa mereka mempunyai kewaiban untuk menyebarkan Islam melalu jihad yang bisa dilakukan, namun bukan satu-satunya, melalui penaklukan militer.94
(Islamic Law), (Lahore: Kazi publications, 1981); dan Maimul Ahsan Khan, Human Rights in the Muslim World: Fundamentalism, Constitutionalism, and International Politics, (Durham: Caroline Academic Press, 2003). 93 Michael G. Morony, Religious Communities in Late Sassanian and Early Muslim Iraq, Muslims and Others in Early Islamic Societies, ed. Robert Hoyland (Trowbridge, Wiltshire, England: Ashgate Publishing Ltd.,2004), hlm. 1-23 94 al-Nabhani, The Islamic State, hlm. 147
Senada dengan keyakinan tersebut, para ulama menyarankan ummat Islam untuk mendakwahkan Islam dengan cara damai terlebih dahulu. Namun jika seruan tersebut ditolak, mereka boleh memaksa orang-orang kafir untuk menyerah dan memberlakukan ketentuan yang dipercayai oleh umat Islam sebagai wajib.95 Sistem ini, dengan demikian, mengandaikan adanya
pembedaan tegas antara wilayah Islam (dar al-Islam) tempat muslim berkuasa dan syariah berlaku, dengan wilayah yang penduduknya
memerangi Muslim (dar al-harb).96 Visi yang dibangun oleh sistem ini adalah bahwa kewajiban untuk menyebarkan islam dengan cara damai maupun perang tetap berlaku sampai seluruh dunia menjadi dar al-Islam. Pandangan ini, tak salah lagi, didukung oleh kesuksesan ummat Islam menaklukkan berbagai daerah sejak dari Afrika Selatan sampai Spanyol bagian selatan di Barat, Persia, Asia Tengah, dan Indian bagian utara di Timur setelah Rasulullah meninggal. Namun keterbatasan praktik karena ketidakpastian ekspansi yang dilakukan semakin jelas dari waktu ke waktu. Penguasa muslim kemudian harus menanda tangani kesepakatan damai (sulh) dengan orang-orang kafir yang sah sehingga wilayah tempat mereka tinggal dianggap wilayah yang mempunyai kesepakatan damai dengan ummat Islam (dar al-sulh).97
lihat Lambton, State and Government itun Medieval Islam, hlm. 201; al-Nabhani, The Islamic State, hlm. 147-150 96 Ali, Role of Muslim Women Today, dalam Modern Muslim Thought, Vol. 1, hlm. 236; Doi, NonMuslim under shariah, hlm. 22-23; Lambton, State and Government in Medieval Islam, hlm. 201. 97 Muhammad Hamidullah, Muslim conduct of state, revised 5th edition (Lahore: Sh. M. Ashraf, 1968); Majid Khadduri, Islamic Law of Nations: Shaybanis Siyar (Baltimore: Johns Hopkins Press, 1966), hlm. 158-79; Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam (Baltimore: The Johns Hopkins Press, 1955), hlm. 162-69, 245-46, 243-44; dan H.A. Gibb dan J. H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam (Leiden: E. J. Brill, 1953), s.v. Ahl al-Kitab, hlm.16-17, Dhimma, hlm. 75-76, Dizya, hlm. 91-92, Kafir, hlm. 205-06, and Shirk, hlm. 542-44.
(aman)
karena
alasan-alasan
Istilah dhimma merujuk pada perjanjian yang dibuat antara negara yang dipimpin oleh muslim dan komunitas ahl a-kitab agar mereka mendapatkan jaminan keamanan atas diri dan hartanya, kebebasan untuk melakukan kewajiban agamanya dengan otonomi komunal dan privat untuk mengelola urusan-urusan internalnya. Sebagai balasan, komunitas ahl al-kitab harus membayar pajak yang disebut jizyah dan mematuhi perjanjian yang mereka buat dengan negara.100 Mereka yang mendapat status dzimma didorong untuk memeluk Islam, tapi tidak diperbolehkan untuk menyebarkan keyakinannya. Ciri umum perjanjian dhimma biasanya berisi klausul yang melarang ahl-dzimmah untuk berpartisipasi dalam urusan-urusan publik
98
Muhammad Abu Yusuf, Kitab al-kharaj (Cairo: al-Matba`a al-Salafiyya, 1963), hlm.128-30; Saeed and Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 13. 99 Shorter Encyclopaedia of Islam, Kafir, hlm. 206. 100 Article, Djizya, Shorter Encyclopaedia of Islam, p. 91; Ali, Contrast Between Western and Islamic Political Theories, Modern Muslim Thought, Vol. 1, hlm. 192; Doi, Non-Muslims Under Shariah, hlm. 22-23.
Sistem dzimmi jelas sudah tidak bisa dipertahankan lagi sekarang. Kegagalan Sudan untuk memahami keterbatasan konsep ini, misalnya, berujung pada meledaknya perang sipil di bagian selatan negeri ini.104 jika saja kita menilik lebih hati-hati konteks sejarah konsep ini, jelaslah bahwa ia merefleskikan standar yang berlaku dalam pemerintah dan hubungan antar komunitas saat itu. Konsep ini juga cukup disukai jika dibandingkan sistem lain pada saat itu.
Namun, tidak ada sistem hukum internasional lain yang lebih efektif untuk
101 102
Doi, Non-Muslims Under the Shariah, hlm. 115-116. Ausaf Ali, Role of Muslim Women Today, Modern Muslim Thought, Vol. 1 (Karachi, Pakistan: Royal Book Co., 2000), hlm. 236. 103 Gordon D. Newby, A Concise Encyclopaedia of Islam (Oxford, England: Oneworld Publications, 2002), hlm. 51. 104 Abdullahi Ahmed An-Na`im and Francis Deng, Self -determination and Unity: the Case of Sudan, Law and Society, vol. 18 (1997), hlm. 199-223; Francis M. Deng, War of visions (Washington, DC: The Brookings Institution, 1995).
menginternalisasi dan mengimplementasikan konsep kewarganegaraan modern yang sudah dijelaskan tadi. Trend ini sudah dimulai pada beberapa komunitas muslim, tugas kita sekarang adalah bagaimana mengembangkan dan mengamankan trend ini dari kemunduran.
Dari Konsep Dzimmi menuju Kewarganegaraan Berbasis Hak Asasi Manusia Konsep warga negara berbasis hak asasi manusia berarti bahwa norma substantif, prosedur dan proses status ini, harus lahir dari, atau paling tidak sesuai dengan, standar HAM yang berlaku universal saat ini. Sebagaimana yang sudah kita diskusikan, tujuan utama HAM adalah untuk menjamin adanya perlindungan yang efektif terhadap sejumlah hak-hak dasar manusia dimanapun mereka berada, baik melalui sistem perundanganundangan negara atau tidak.
Piagam HAM internasional tidak mendefinisikan konsep warga negara secara rigid, namun ia berisi beberapa prinsip yang mungkin relevan atau bisa diaplikasikan di sebuah negara. Piagam HAM berisi beberapa prinsip
determination), persamaan, anti diskriminasi yang disebutkan dalam pasal 1, 2 dan 3 Piagam PBB 1945, yang dianggap sebagai perjanjian yang mengikat semua negara, termasuk negara-negara tempat komunitas muslim tinggal. Prinsip-prinsip tersebut juga terdapat dalam perjanjian HAM lain seperti pasal 1 dan 2 Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dan Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik yang disepakati tahun 1966. Dua kovenan tersebut dan juga perjanjian lainnya menyebutkan Hak Asasi Manusia tertentu, seperti hak untuk diperlakukan setara di hadapan hukum dan kebebasan beragama, berlaku baik bagi negara Islam maupun nonMuslim.105
Realisasi konsep warga negara berbasis HAM di kalangan muslim ini hanya bisa dicapai melalui kombinasi tiga elemen. Pertama, transisi aktual dari konsep dzimmi menuju konsep warga negara dalam era post-kolonial. Kedua, bagaimana menjaga dan mengembangkan transisi ini melalui reformasi Islam yang kuat secara metodologis dan berkelanjutan secara politik agar nilai-nilai HAM berakar kuat dalam doktrin Islam. Ketiga, konsolidasi dua elemen pertama agar konsep ini menjadi diskursus lokal yang mampu menyelesaikan persoalan keterbatasan dan kelemahan konsep ini sekarang dan praktiknya dalam masyarakat Islam. Kombinasi elemen-elemen tadi bisa dilihat dalam pengalaman transisi India dan Turki sebagai Kerajaan Islam terakhir menjadi Negara Modern bermodel Eropa di awal abad 20. Namun sampai hari ini, seperti yang akan saya jelaskan dalam bab 5 dan 6, transformasi konsep warga negara yang terjadi di dua
105
United Nations, Human rights: a Compilation of International Instruments (New York: United Nations, 1994) volume 1; and Antonio Cassese, Self-determination of Peoples: a Legal Reappraisal (Cambridge: Cambridge University Press, 1995).
Mari kita lihat proses pengembangan konsep warga negara di India terlebih dahulu. Islam disebarkan di daerah India beberapa dekade setelah Rasulullah meninggal, namun umat Islam membutuhkan waktu berabadabad untuk menjadi kelompok minoritas yang berkuasa di beberapa bagian negeri ini.106 Meskipun berasal dari etnis dan kelompok budaya yang berbeda (sebagian dari berasal Turki, Afganistan, Persia, Arab dan juga pribumi yang pindah agama), ummat Islam di India pelan-pelan
mengembangkan tradisi toleransi dan koeksistensi yang membuat mereka bisa berinteraksi dan berasimilasi dengan komunitas agama lain yang tinggal di sana. Namun tradisi ini baru dalam kerangka menjaga mutualisme simbiosis dengan tuan-tuan tanah beragama Hindu dan kelompok-kelompok elite lainnya, daripada sebuah tradisi yang mengakui konsep warga negara yang secara luas berlaku bagi seluruh masyarakat.107 Saya mengatakan ini bukan sebagai kritik, saya memahami bahwa konsep warga negara berbasis HAM memang belum diketahui komunitas manapun di dunia saat itu.
Sistem kepegawaian dan administrasi negara yang dikembangkan oleh Akbar (1542-1605) telah memadukan semua kepentingan dan kelompok ke dalam hirarki yang sama. Namun stagnasi teknologi dan administrasi, perang sipil, dan invasi regional, lambat laun menyebabkan terjadinya perpecahan dalam tubuh kerajaan Mughal selama abad 18.108 Bahkan
106
I. H. Qureshi, Muslim India Before the Mughals, in The Cambridge History of Islam, P.M. Holt, Ann K.S. Lambton, and Bernard Lewis (eds.) (New York: Cambridge University Press, 1996), hlm. 334. 107 S.A.A. Rizvi, The Breakdown of Traditional Society, in The Cambridge History of Islam, hlm. 67. 108 I.H. Qureshi, India Under the Mughals, in The Cambridge History of Islam, hlm. 52-57.
diperkenalkan Inggris pada akhir abad 18, menyebabkan menurunnya kekuasaan dan otoritas ummat Islam di India.110
Melalui strategi politik, militer dan ekonomi yang direncanakan untuk meluaskan pengaruhnya di India, kerajaan Inggris akhirnya bisa mengambil alih kontrol pemerintahan di seluruh India pada pertengahan abad 19. Beberapa pemimpin muslim seperti Sayyid Ahmad Khan (1817-98) mempunyai sikap positif terhadap Inggris dan pengaruh Barat secara umum, tapi ia juga masih ambivalen dengan konsep warga negara dan jangkauan penerapannya di India. Ia nampaknya mengkombinasikan komitmen untuk melakukan modernisasi India sebagai negara kesatuan dengan tetap memelihara kecurigaan pada institusi-institusi populer yang demokratis. Usahanya memobilisasi ummat Islam India untuk beroposisi pada Indian National Congress merupakan tanda ambivalensinya terhadap usaha-usaha kemerdekaan, yang berakhir dengan pemisahan Pakistan pada 1947.111 Nampaknya kita tidak mungkin India dan membahas
perkembangan peristiwa-peristiwa tersebut saat ini, tapi saya ingin mencatat bahwa peristiwa-peristiwa tersebut merefleksikan baik
109 110
Rizvi, The Breakdown of Traditional Society, in The Cambridge History of Islam, hlm. 71-74. Rizvi, The Breakdown of Traditional Society, in The Cambridge History of Islam, hlm. 77. 111 Rizvi, The Breakdown of Traditional Society, in The Cambridge History of Islam, hlm. 67-96.
Pemahaman konsep warga negara berkembang dengan cara yang berbeda pada zaman Dinasti Ottoman dan Republik Turki. Fleksibilitas dan elastisitas sistem Millet dinasti Ottoman di Asia Barat dan Afrika Utara sudah merepresentasikan ketidaktergantungan dinasti ini pada konsep dzimmi sebagai bentuk respon mereka terhadap realitas ekonomis sosial dan militer yang mereka hadapi. Realitas-realitas tersebut mungkin difasilitasi dan terus didukung oleh proses penetrasi Barat dan keterbukaan Ottoman, yang akhirnya mentransformasi kerajaan ini dan membukakan jalan untuk proses transisi menuju terbentuknya Negara Turki sekuler pada tahun 1920. Selain faktor tersebut, ada pula faktor yang tak kalah pentingnya dalam pembentukan negara modern berbasis prinsip kewarganegaraan modern Turki, yaitu kemunculan gerakan-gerakan nasionalis di kalangan ummat muslim, yang berasal dari Arab dan Albania misalnya, dan juga kehadiran minoritas Kristen.
Meskipun dilakukan perlahan dan bertahap, perubahan kebijakan dan praktik dinasti Ottoman dimulai pada saat dideklarasikannya Keputusan Tanzimat tahun 1839, yang menandai dimulainya proses formal pengakuan
112
Aziz Ahmad, India and Pakistan, in P.M. Holt, Ann K.S. Lambton and Bernard Lewis (eds.), The Cambridge History of Islam, (Cambridge: Cambridge University Press1970), volume 2A, hlm. 97-119.
Proses yang terjadi di India dan Turki, juga terjadi di negara muslim lain selama abad ke-20 dan secara formal terus berkembang selama proses dekolonisasi pasca perang dunia II. Dengan demikian, konsep dzimmi tidak lagi dipraktikkan dan dianjurkan di negara muslim manapun yang telah
mengintegrasikan diri dengan sistem negara yang berlaku sekarang.114 Walaupun transformasi tersebut secara formal dilaksanakan oleh kolonial Eropa, namun semua masyarakat Islam telah secara sukarela meneruskan sistem tersebut setelah mereka merdeka. Ummat Islam bahkan tidak menolak atau berusaha untuk memodifikasi sistem tersebut baik di tingkat lokal maupun internasional, malah penguasa di negara-negara Muslim justru aktif berpartisipasi untuk mengoperasikan sistem ini di dalam maupun luar negaranya.115 Namun ketegangan yang ditimbulkan oleh konsep dzimmi dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya masih tetap saja ada, seperti yang terjadi dalam kasus kontroversi mengenai kebolehan
113
Cevdet Kk, Ottoman Millet System and Tanzimat, in Tanzimattan Cumhuriyete Trkiye Ansiklopedisi, vol. 4, (Istanbul: letiim, 1986), hlm. 1007-24. 114 Saeed and Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 13-14. 115 James Piscatori, Islam in a World of Nation-states.
peralihan ke konsep warga negara melalui reformasi Islami yang kuat secara metodologis dan berkelanjutan secara politis.
Sekedar mengulang diskusi yang telah lalu, premis utama pentingnya proses reformasi Islami adalah meskipun Quran dan Sunnah adalah sumber ketuhanan dalam Islam, tidak berarti bahwa makna dan implementasi keduanya dalam kehidupan sehari-hari lepas dari interpretasi dan perilaku manusia dalam konteks sejarahnya yang spesifik. Bahkan, rasanya tidak mungkin kita mengetahui dan menerapkan syariah dalam kehidupan ini tanpa adanya faktor manusia, karena Quran sendiri diungkapkan dalam Bahasa Arab (bahasa manusia) dan terkait dengan pengalaman sejarah masyarakat tertentu saat itu. Pendapat apapun yang diterima muslim sebagai bagian dari syariah sekarang atau kapanpun, bahkan jikapun disepakati secara anonim, pasti muncul sebagai pendapat manusia mengenai makna al-Quran dan sunnah atau merupakan praktik komunitas Islam. Pendapat dan praktik tersebut menjadi bagian dari Syariah melalui konsensus ummat Islam berabad-abad lamanya, dan bukan hasil dari keputusan spontan seorang penguasa atau kehendak sekelompok ulama. Dengan demikian, di samping pendapat yang telah disepakati, tentu ada
116
Darul Aqsha, Islam in Indonesia: a survey of events and developments from 1998 to March 1993 (Jakarta: INIS, 1995), hlm. 470-73; Greg Barton, Gagasan Islam Liberal (Jakarta: Paramadina,1999); and Munim A. Sirry, Fiqh Lintas Agama: membangun masyarakat inklusif-pluralis (Jakarta: Paramadina, 2004). 117 Jok Madut Jok, War and Slavery in Sudan (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2001). 118 Simeon O. Ilesanmi, Constitutional Treatment of Religion and the Politics of Human Rights in Nigeria, African Affairs (2001), hlm. 529-54.
Metodologi reformasi yang berdasarkan premis diatas dan memenuhi persyaratan yang sudah disebutkan nampaknya adalah metodologi yang diajukan Ustadz Mahmud Muhammed Toha. Metodologinya mendukung adanya peralihan dari penggunaan ayat-ayat Madaniyah ke ayat-ayat Makiyah sebagai dasar bagi aspek sosial dan politik syariah. Alasan pentingnya peralihan ini adalah karena ayat-ayat yang diturunkan pada masa awal pewahyuan lebih merepresentasikan pesan-pesan universal Islam, sedangkan ayat-ayat sesudahnya lebih merupakan respon spesifik terhadap konteks historis ummat manusia saat itu. Melalui metodologi ini, Ustaz Mahmud juga menunjukkan bahwa alasan yang digunakan dalam sistem dzimmi untuk melegitimasi konsep jihad yang agresif dan
diskriminasi terhadap non-muslim berupa ayat-ayat madinah itu, sifatnya temporer. Point utama dalam perbincangannya adalah Islam disebarkan pertama kali melalui cara-cara damai dengan menggunakan pesan-pesan universal yang diturunkan dalam periode Mekkah. Namun, setelah pesanpesan tersebut tampak tidak realistis bagi konteks negeri Arab abad ke-7,
Dengan cara seperti ini, Metodologi Taha ini mampu secara eksplisit mengenyampingkan ayat-ayat yang mendasari konsep dzimmi sebagai bagian dari syariah, walaupun mereka tetap menjadi bagian dari al-Quran. Karena proses pemilihan ayat-ayat al-Quran yang sesuai atau tidak, selalu menjadi tugas para fuqaha, maka jika pilihan-pilihan dulu diganti dengan yang baru maka hendaknya itu difahami sebagai sebuah revisi terhadap apa yang pernah dilakukan ummat Islam di masa lalu, bukan revisi terhadap al-Quran atau sunnah itu sendiri. Kerangka yang ditawarkan Taha mampu menyediakan metodologi interpretasi Quran dan Sunnah yang sistematis dan koheren, daripada sekedar sebuah proses pemilihan serampangan terhadap sejumlah ayat al-Quran seperti yang dilakukan oleh ulama modern lain yang ternyata gagal untuk menjelaskan apa yang terjadi pada ayat-ayat yang tidak mereka pilih. Dengan metodologi Taha, beberapa ayat relevan yang turun pada periode Makkah dapat mendukung
pengembangan konsep warga negara modern dari sudut pandang Islam.119 Meskipun saya menganggap pendekatan Taha ini sangat meyakinkan, saya tetap membuka diri pada metodologi lain yang bisa mencapai tingkat
119
Taha, the Second message of Islam; and An-Na`im, Toward an Islamic Reformation
Tapi bagaimana caranya kita menetapkan bahwa metodologi ini atau itu kuat dan bisa diaplikasikan dalam perspektif Islam, layak dipilih untuk digunakan menghapus sistem dzimmi tradisional? Pertama, alasan yang sudah saya tekankah sejak semula, Aturan Emas (Golden Rule) atau doktrin Islam tentang resiprositas bahwa seorang muslim harus mengakui
kesetaraan derajat orang lain jika mereka ingin diberi pengakuan yang sama. Kedua, adalah sebuah kemunafikan jika kita tetap memegang sistem dzimmi secara teoritis, padahal kita menyadari bahwa konsep itu tidak pernah diterapkan di masa lalu dan juga tidak relevan untuk diterapkan di masa yang akan datang. Dengan tetap mempertahankan interpretasi yang tidak realistis terhadap syariah yang seperti itu dalam tingkat teoritis, sambil mengabaikannya dalam tingkat praktis, justru akan merusak kredibilitas dan koherensi Islam sebagai agama. jika ada orang yang khawatir bahwa konsep ini sulit diterima oleh kalangan muslim, saya hanya akan meminta kesempatan untuk mempresentasikan ini secara bebas dan terbuka kepada mereka, agar mereka bisa menentukan sendiri
keputusannya.
masalah-masalah seperti ini bisa terjadi, maka penting bagi masyarakat muslim untuk menjaga penuh kebebasan mereka untuk berpendapat, berekspresi dan memiliki keyakinan tertentu. Manusia tidak bertanggung jawab atas keputusan atau perbuatan yang dilakukannya, jika ia tidak memiliki kebebasan untuk memilih, dan kebebasan memilih itu tidak bisa didapatkan jika ia tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan dan mengevaluasi semua informasi yang relevan, agar ia bisa mendebat dan menilai argumen yang berbeda.
Karena itulah, mengapa saya selalu menekankan pentingnya peran konstitusionalisme dan hak asasi manusia sebagai kerangka fikir dan jaring pengaman yang berguna untuk menegosisasikan hubungan antara Islam, negara, dan masyarakat dalam konteks masyarakat Islam saat ini. Kesemuanya itu menuntut adanya otoritas publik yang bisa menjaga tatanan dan hukum, mengatur debat dan refleksi, dan memutus pertikaian sesuai dengan prinsip-prinsip yang adil dan masuk akal. Keberadaan otoritas itu diimplementasikan dengan kehadiran institusi-institusi yang transparan dan akuntabel. Dengan demikian, mengamankan pemerintahan yang konstitusional dan perlindungan HAM tidak saja penting bagi kebebasan beragama ummat Islam dan non-muslim yang hidup di sebuah negara, tetapi juga untuk ketahanan dan pengembangan Islam itu sendiri. Kebebasan untuk memiliki pendapat yang berbeda dan berdebat selalu esensial untuk pengembangan syariah, karena itu memungkinkan
munculnya ide-ide baru, yang bila diterima, akan menjadi sebagai konsensus yang berkembang di sekeliling mereka, sampai ide-ide itu matang dan menjadi prinsip-prinsip yang mapan melalui penerimaan dan praktik beberapa generasi ummat Islam di berbagai tempat dan waktu. Daripada melakukan sensor terhadap pemikiran-pemikiran baru yang justru sebetulnya kontra-poduktif untuk pengembangan doktrin-doktrin Islam, adalah lebih penting untuk menjaga berlangsungnya kemungkinan
munculnya inovasi dan perbedaan pendapat karena itulah cara agama merespon kebutuhan penganutnya.
Kesimpulan Sepanjang buku ini saya sudah menekankan pentingnya perspektif Islam
Penerapan prinsip-prinsip tersebut di tengah masyarakat muslim menjadi penting karena mereka terus hidup dalam model negara Eropa setelah merdeka dari penjajahan. Model Negara Eropa ini nampaknya akan terus berlanjut sebagai kerangka dominan politik domestik dan hubungan internasional di masa yang akan datang. Bahkan trend globalisasi dan integrasi regional seperti Uni-Eropa, Uni-Afrika yang beroperasi melalui peran negara sering menghadapi resistensi yang kuat dari pendukung konsep tradisional kedaulatan nasional atau teritorial. Realitas-realitas tersebut menuntut implementasi prinsip-prinsip konstitusionalisme, hak asasi manusia, dan kewarganegaraan yang ternyata penting untuk mengatur kekuasaan negara dan mengorganisasi relasi antara individu dan komunitas di bawah model negara Eropa ini. Dengan demikian, pentinglah kiranya untuk mengembangkan prinsip-prinsip tersebut dalam masyarakat muslim sebagai parameter yang mengatur politik domestik dan hubungan
Walaupun jelas dalam level teoritis, konsep seperti konstitusionalisme, HAM, dan kewarganegaraan masih perlu dispesifikasi dan diadaptasikan bila ingin diaplikasikan dalam konteks lokal. Agar relevan dan berguna, prinsipprinsip teoritis tersebut harus bisa menjawab pertanyaan dan masalah yang muncul dari konteks sosio-ekonomi, politik dan tradisi budaya masingmasing masyarakat. Logis jika kemudian proses adaptasi prinsip universal dalam konteks lokal ini mungkin saja tidak bekerja di tempat atau waktu tertentu. Kegagalan proses ini mungkin terjadi dalam berbagai bentuk, baik pada level minor menyangkut susunan praktis seperti pemisahan
kekuasaan atau judicial review, sampai pada ketidakcocokkan mengenai aspek-aspek fundamental atau substansiaal dalam konsep
Dengan demikian, saya merekomendasikan agar kita lebih memfokuskan diri pada dinamika dan proses internal untuk membangun dan
mengkonsolidasikan konstitusionalisme, HAM dan kewarganegaraan di tengah masyarakat muslim dengan menggunakan istilah mereka sendiri dan bukan menyebutnya sebagai pemaksaan Barat. Kegagalan atau kemunduran yang kita lihat dalam masyarakat Islam saat ini, merupakan sebuah kepastian dari proses evolusi dan pemapanan konsep-konsep tersebut, sekaligus dasar bagi kesuksesan di masa yang akan datang. Saya mengajukan pendekatan berbasis proses dan praktik yang memungkinkan kita untuk sampai pada analisis yang lebih dalam dan kaya. Pendekatan ini mengharuskan seseorang untuk mempertimbangkan dinamika sosial,
kelemahan dalam konsep itu sendiri atau kelemahan pada tingkat adaptasinya di masyarakat tertentu. Alangkah sombong dan picik, jika kita mengasumsikan bahwa kegagalan menerapkan konsep atau kerangka yang sudah definitif itu, terjadi karena ada hal yang salah dengan faktanya.
Sebagaimana sudah saya tekankan di bagian awal bab ini, relevansi penerapan prinsip ini dalam masyarakat Islam adalah karena peran penting yang diembannya sebagai kerangka untuk menegosiasikan hubungan antara Islam dan negara, di satu pihak, dengan Islam dan politik di sisi lain. Review terhadap ciri-ciri negara modern di bagian awal bab ini menjadi
relevan karena model negara tersebut masih terus dipraktikkan di negaranegara yang berpenduduk mayoritas atau minoritas muslim. Kemudian saya memperjelas pembedaan antara politik dan negara untuk mendukung ide saya untuk memisahkan Islam dari negara sambil tetap memelihara hubungan antara Islam dan politik. Sebagaimana sudah dijelaskan pada bab I, pemisahan antara negara dan Islam tidak berarti bahwa Islam
menurunkan Islam ke level privat karena prinsip-prinsip Islam sebetulnya masih bisa diajukan untuk diadopsi oleh negara menjadi kebijakan atau undang-undang negara. Namun pengajuan ini harus didukung oleh public reason yang berarti bahwa berbagai argumen bisa diperdebatkan oleh semua warga negara tanpa harus merujuk pada keyakinan agama. Namun
didiskusikan dalam bab ini. Bab berikutnya akan membahas pengalaman sekularisme negara-negara Barat, dan ini diharapkan akan memperjelas beberapa elemen dalam proposal saya.