Anda di halaman 1dari 16

Hubungan antara penyedia layanan Power Motivation, Pemberdayaan dan Burnout Pada Kepuasan Pelanggan

Dana Yagil Department of Human Services, University of Haifa, Haifa, Israel Abstrak Tujuan -- Burnout (rasa lelah yang luar biasa), yang disebabkan oleh tekanan atau stress secara terus menerus, merupakan hal yang umum dijumpai terjadi terhadap orang-orang yang berkecimpung dengan industri jasa pelayanan; dan hal ini bisa membawa efek negatif, baik terhadap performa kerja orang-orang yang terlibat dalam industri jasa tersebut maupun terhadap kepuasan konsumennya. Pemberdayaan merupakan salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah timbulnya stress (karena tanggungjawab pekerjaan) dalam diri para pekerja penyedia jasa pelayanan ini, namun seberapa besar manfaat pemberdayaan itu tergantung pada seberapa besar kemauan para pekerja penyedia jasa pelayanan itu untuk diberdayakan. Penelitian ini membahas tentang beberapa efek interaktif yang ditimbulkan oleh kegiatan pemberdayaan dan pemulihan karena burnout. Selain itu, penelitian ini juga membahas hubungan antara faktor burnout yang dialami oleh pekerja penyedia jasa pelayanan dengan tingkat kepuasan para pelanggan terhadap layanan yang diterima. Desain/metodologi/pendekatan -- Kuesioner dibagikan kepada 198 partisipan penelitian yang terdiri atas 99 pasang pekerja penyedia jasa pelayanan dan konsumen yang dilayaninya. Pekerja penyedia jasa pelayanan ini berasal dari organisasi-organisasi penyedia jasa pelayanan publik, yaitu kantor-kantor pemerintahan, layanan kesehatan, layanan kesejahteraan masyarakat, dan layanan pendidikan, dan juga sektor swasta, yaitu bank swasta dan perusahaan penyedia jasa komunikasi. 99 pasang pekerja penyedia jasa pelayanan dan konsumennya yang terlibat dalam penelitian ini terlibat dalam hubungan jasa pelayanan, yaitu suatu kondisi dimana kedua belah pihak terlibat dalam hubungan professional secara berulang-ulang dan berkesinambungan.
1

Temuan Pekerja penyedia jasa pelayanan yang memiliki power motivation tinggi mengalami tingkat burnout yang lebih tinggi sebagai akibat dari tekanan hubungan yang memang lebih tinggi dengan para konsumennya. Kondisi yang berkebalikan ditemukan pada pekerja penyedia jasa pelayanan dengan tingkat power motivation rendah. Meskipun demikian, kondisi ini justru akan berbalik ketika para pekerja penyedia jasa pelayanan ini diberdayakan. Lebih jauh lagi, hubungan negatif antara faktor burnout dengan kepuasan pelanggan juga tampak semakin kuat dalam level pemberdayaan yang tinggi dibandingkan dengan level pemberdayaan yang rendah. Implikasi Nyata -- Dalam program-program yang dilakukan oleh bagian sumber daya manusia, semisal program seleksi dan pelatihan, sebaiknya dipertimbangkan juga efek dari adanya tingkat pemberdayaan yang tinggi terhadap kemauan dan kemampuan para pekerja penyedia jasa pelayanan dalam menjalankan tanggungjawab pekerjaannya dengan baik. Keaslian/Nilai Guna -- Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan negatif antara faktor burnout yang dialami oleh para pekerja penyedia jasa pelayanan dengan kepuasan konsumen. Penelitian ini memberikan kontribusi terhadap pemahaman akan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam rangka memberdayakan para pekerja penyedia jasa pelayanan, sehingga bisa meminimalkan burnout yang mereka alami dan menghindari efek negatif burnout tersebut terhadap kepuasan pelanggan. Kata kunci: Industri jasa, kepuasan pelanggan, pemberdayaan. Jenis artikel: Artikel penelitian Kerangka Berpikir Burnout merupakan suatu kondisi yang lebih sering ditemui dalam profesi penyedia jasa pelayanan dibandingkan profesi-profesi dalam bidang lainnya. Adanya hubungan yang konstan dengan para pelanggan, dan juga sifat dasar dari suatu hubungan interpersonal, merupakan dua penyebab utama terjadinya burnout yang rupanya membawa dampak terhadap kualitas pelayanan yang diberikan dan juga

kepuasan pelanggan. Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah hal ini adalah dengan melakukan pemberdayaan terhadap para pekerja penyedia jasa pelayanan. Pemberdayaan ini bisa meningkatkan kemampuan para pekerja penyedia jasa pelayanan dalam mengontrol situasi yang dihadapi sehingga mereka bisa meningkatkan kemampuannya dalam memberikan pelayanan prima. Meskipun demikian, efek positif dari kegiatan pemberdayaan ini, dan juga efek negatif dari hubungan yang tidak harmonis dengan pelanggan sangat dipengaruhi oleh kebutuhan pekerja penyedia jasa pelayanan akan power motivation. Penelitian ini mempelajari tentang hubungan burnout dengan pemberdayaan pekerja penyedia jasa pelayanan, power motivation, dan hubungan yang tidak harmonis dengan pelanggan. Selain itu, penelitian ini juga membahas hubungan antara faktor burnout yang dialami oleh pekerja penyedia jasa pelayanan dengan tingkat kepuasan para pelanggan terhadap layanan yang diterima. Burnout yang Dialami oleh Penyedia Jasa Layanan Burnout yang dialami oleh pekerja penyedia jasa pelayanan ini terwujud dalam suatu bentuk sindrom dengan gejala kelelahan psikis (kelelahan emosional), depersonalisasi, dan berkurangnya rasa percaya diri akan kemampuan diri sendiri untuk menyelesaikan pekerjaan (Maslach dan Jackson, 1981; Maslach dkk, 2001). Para pekerja yang berada di bagian depan (front-line employees), semisal resepsionis, selalu dihadapkan dengan kontak interpersonal yang cukup sering dengan para pelanggan, sehingga besar kemungkinan bagi mereka untuk mengalami stress dan burnout. Perwakilan pelayanan pelanggan (customer service representatives) seringkali memiliki tanggungjawab kerja yang berlebihan, konflik tanggunggjawab kerja, dan bahkan ambiguitas dalam tanggungjawab kerja (Singh dkk, 1994; Witt dkk, 2004). Burnout yang dialami para personil di bidang ini ditandai dengan adanya penurunan perhatian terhadap pelanggan dan rekan kerja secara terus menerus; kelelahan emosional; menurunnya komitmen kerja; hilangnya perasaan dan pemikiran positif, simpati, dan rasa hormat terhadap klien; dan berkembangnya filosofi salahkan-pelanggan-saja (Hock, 1988). Burnout membawa efek yang buruk terhadap kualitas layanan yang diberikan (Singh, 2000); kualitas layanan ini dianggap sebagai faktor yang berkorelasi positif dengan kepuasan

pelanggan dalam banyak penelitian (Burton dkk, 2003; Grifth, 2001; Oliver, 1997; Tsai dan Huang, 2002; Parasuraman dkk, 1988). Hal ini, tentu saja, berarti bahwa pelanggan yang dilayani oleh petugas/pegawai yang mengalami burnout akan merasa tidak puas dengan pelayanan yang diterimanya, dibandingkan dengan pelanggan yang dilayani oleh petugas/pegawaai yang tidak mengalami burnout. H1. Burnout yang dialami oleh pekerja penyedia jasa pelayanan terwujud dalam bentuk depersonalisasi dan kelelahan emosional yang berkorelasi negatif dengan kepuasan konsumen. Pemberdayaan Suatu upaya yang bisa dilakukan untuk mengurangi stress yang ditimbulkan karena hubungan penyedia jasa dengan pelanggan adalah pemberdayaan yang didefinisikan sebagai suatu proses memenangkan kontrol terhadap suatu situasi atau hasil dari suatu situasi yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang (Fawcett dkk, 1994, halaman 471). Jadi, pemberdayaan secara fundamental merupakan suatu proses motivasi dimana pada akhirnya seseorang akan memiliki perasaan sanggup dan mampu melakukan apa yang seharusnya dia lalukan. Pemberdayaan ini dianggap sebagai suatu upaya yang efektif untuk menangkal stress, karena melalui proses pemberdayaan ini seseorang akan mengenal sumber-sumber tertentu (semisal otonomi, partisipasi dalam pembuatan keputusan, dan perasaan memiliki kompetensi yang dibutuhkan) yang bisa membantunya mengatasi rasa tidak mampu maupun stress yang diakibatkan oleh tekanan pekerjaan (Hobfoll, 1989; Spreitzer, 1995; Spreitzer dkk, 1997). Mishra dan Spreitzer (1998) menyatakan bahwa pemberdayaan mempengaruhi sudut pandang seorang pekerja penyedia jasa pelayanan terhadap situasi yang dirasa menekan, dan hal ini berkorelasi positif dengan kemampuan mereka untuk menghadapi masalah; karena dalam proses pemberdayaan dilakukan upaya peingkatan kemampuan evaluasi mandiri (oleh pekerja penyedia jasa pelayanan itu sendiri) terhadap kecakapan mereka dalam menghadapi tekanan. Grandey dkk (2004) menemukan bahwa otonomi dalam bekerja memiliki korelasi negatif terhadap sudut pandang para pekerja penyedia jasa pelayanan terkait stress yang mereka alami ketika menghadapi serangan dari pelanggannya, dan karenanya dianggap sebagai faktor yang secara tidak langsung berhubungan dengan kelelahan emosional. Karena pemberdayaan membantu

seseorang terhindar dari stress, pemberdayaan diharapkan memiliki korelasi negatif dengan burnout yang dialami oleh penyedia jasa layanan, dan juga meningkatkan hubungan antara burnout dengan tingkat layanan yang diberikan. Lebih jauh lagi, pemberdayaan ternyata juga membawa dampak positif terhadap performa kerja penyedia jasa layanan baik secara langsung (Bradley dan Sparks, 2000; Liden dkk, 2000) dan tidak langsung melalui efek yang ditimbulkan pemberdayaan tersebut terhadap peningkatan kontrol para pekerja penyedia jasa pelayanan terhadap segala hal yang berhubungan dengan pekerjaannya (Yagil, 2002), dan sehingga diharapkan bahwa pemberdayaan ini bisa dihubungkan dengan kepuasan konsumen. H2. Ketika pemberdayaan berada di level yang rendah, hubungan negatif antara depersonalisasi dengan kelelahan emosional terhadap kepuasan konsumen akan menjadi lebih kuat dibandingkan dengan kondisi dimana pemberdayaan berada pasa level yang tinggi. H3. Pemberdayaan akan memiliki hubungan korelasi positif dengan kepuasan pelanggan. H4. Pemberdayaan akan memiliki hubungan korelasi negatif dengan depersonalisasi dan kelelahan emosional. Meskipun pemberdayaan membawa dampak positif bagi para pekerja penyedia jasa pelayanan, penelitian-penelitian yang ada menunjukkan bahwa efek dari pemberdayaan ini bergantung pada interaksi yang terjadi di lingkungan dan antarindividu. Bowen and Lawler (1995) memberikan argumen dengan pendekatan kontingensi terhadap pemberdayaan yang menyatakan bahwa efektivitas pemberdayaan tergantung pada pertumbuhan kebutuhan para pekerja, kebutuhan sosial, dan kecakapan interpersonal. Hampir serupa, Foster-Fishman dan Keys (1997) menyatakan bahwa pemberdayaan hanya akan efektif jika pelaksanannya sesuai dengan harapan para pekerja penyedia jasa pelayanan akan kemampuan mengontrol situasi. Berdasarkan studi-studi yang mereka lakukan terhadap proyek pemberdayaan dalam organisasi, Foster-Fishman dan Keys (1997) menemukan bahwa sebagian upaya pemberdayaan gagal karena para pekerja penyedia jasa pelayanan tidak memiliki ketertarikan untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam mengontrol situasi. Power Motivation

McClelland (1987) menyatakan bahwa sebagian besar perilaku sosial bisa dipahami sebagai suatu bentuk interaksi antara motif dan faktor-faktor lingkungan. Dia menyatakan bahwa ada tiga jenis motif paling dasar yaitu: (1) motivasi untuk mencapai sesuatu, yang menjadi penentu pendekatan apa yang akan dipakai seseorang dalam melakukan tugas-tugas konkrit; (2) motivasi untuk berafiliasi, yang menjadi dasar bagi keinginan seseorang untuk bersama orang lain; dan (3) motivasi untuk memperoleh kontrol atau power motivation, yang merupakan dasar bagi seseorang untuk mempengaruhi orang lain (McClelland, 1973; 1975). Seseorang yang memiliki power motivation yang kuat akan mengekspresikan motif ini dalam bentuk-bentuk perilaku sosial yang bisa diterima yaitu melalui tindakan mengontrol dan mempengaruhi orang lain, semisal memberikan jasa pelayanan dan menolong orang lain (Frieze dan Boneva, 2001; Winter, 1993). Karenanya, pemberdayaan yang dilakukan terhadap pekerja penyedia jasa pelayanan yang memiliki keinginan kuat akan power motivation ini kemungkinan besar akan menghasilkan keluaran yang bersifat positif dibandingkan dengan pemberdayaan yang dilakukan terhadap para pekerja penyedia jasa pelayanan dengan power motivation yang rendah. H5. Hubungan negatif antara pemberdayaan, dan depersonalisasi serta kelelahan emosional, akan tampak lebih kuat pada pekerja penyedia jasa pelayanan yang memiliki power motivation tinggi dibandingkan para pekerja penyedia jasa pelayanan yang memiliki power motivation rendah. Ketidakseimbangan Seseorang yang memiliki power motivation yang kuat tidak selamanya memiliki power atau kekuatan yang diharapkannya itu, dan juga tidak selamanya sukses menggunakan kekuatannya itu (McClelland, 1987). Keinginan dan upaya untuk menolong orang lain dalam rangka memperoleh pengaruh terhadap orang tersebut tidak selamanya selalu sukses dilakukan (Frieze dan Boneva, 2001). Kegagalan dalam upaya menolong tersebut bisa mengakibatkan rasa frustrasi, yang pada akhirnya menyebabkan burnout (Frieze and Boneva, 2001). Dalam konteks industri penyedia jasa pelayanan, salah satu indikator yang mungkin bisa dijadikan penanda akan adanya kegagalan dalam mempengaruhi orang lain ini direfleksikan dalam

bentuk reaksi negatif pelanggan atau juga kurangnya harmoni dalam hubungan timbal balik antara konsumen dengan pekerja penyedia jasa pelayanan. Beberapa penelitian (Bakker dkk, 2000; Buunk dan Schaufeli, 1999; Truchot dan Deregard, 2001; Van Horn dkk, 1999) menunjukkan efek dari burnout terhadap proses interaksi sosial dalam industri jasa pelayanan. Secara lebih spesifik, burnout mungkin disebabkan oleh perasaan para pekerja penyedia jasa pelayanan ini yang merasa bahwa konsumen mereka tidak menghargai upaya yang mereka lakukan atau konsumen mereka tidak memberikan timbal balik yang layak dan rasa terimakasih terhadap apa yang dilakukan oleh para pekerja penyedia jasa pelayanan ini (Bakker dkk, 2000). Dengan demikian, power motivation yang kuat justru meningkatkan kemungkinan bagi para pekerja penyedia jasa pelayanan ini untuk merasa gagal dan tertekan jika mereka menghadapi interaksi sosial yang tidak seimbang atau tidak sesuai harapan dengan para pelanggannya. H6. Perasaan akan adanya ketidakseimbangan dalam hubungan sosial dengan pelanggan akan berkorelasi positif dengan depersonalisasi dan kelelahan emosional. H7. Hubungan yang positif antara perasaan akan adanya ketidakseimbangan, dan depersonalisasi dan kelelahan emosional, akan menjadi lebih kuat pada pekerja penyedia jasa pelayanan yang memiliki power motivation yang kuat dibandingkan dengan para pekerja penyedia jasa pelayanan yang memiliki power motivation yang lemah. Secara singkat, penelitian ini membahas tentang dua aspek kekuatan (power) dalam konteks industri jasa layanan: (1) pemberdayaan para pekerja di bidang penyedia jasa pelayanan, dan (2) kebutuhan para pekerja di bidang penyedia jasa pelayanan akan power. Efek terpisah dan juga efek interaktif dari variabel-variable terkait dengan burnout dan kepuasan pelanggan ini juga akan dikaji. Model kajian yang diajukan dalam penelitian ini bisa dilihat dalam Gambar 1. Variabel-variabel yang dimasukkan dalam model ini diukur dengan menggunakan dua sumber yang berbeda: laporan pemberdayaan dari para pekerja penyedia jasa pelayanan, power motivation, ketidakseimbangan, dan burnout. Sedangkan untuk para pelanggan melaporkan tingkat kepuasannya terhadap jasa layanan yang

diterima. Metode ini didesain untuk mengatasi keterbatasan yang ada semisal kesalahan dalam sumber yang paling umum dan harapan sosial yang muncul ketika semua data, termasuk data kepuasan pelanggan, dilaporkan oleh penyedia jasa layanan. Sejauh yang kami tahu, penelitian ini merupakan penelitian yang pertama kali menggunakan metode ini untuk meneliti dampak dari burnout yang dialami oleh pekerja di bidang jasa pelayanan. Metode Sampel dan Prosedur Penelitian ini dilakukan dengan convenience sample yang terdiri dari 198 orang yang terdiri atas 99 pasang pekerja di bidang jasa pelayanan dan pelanggan yang berasal dari penyedia jasa layanan publik (yaitu kantor-kantor pemerintahan, layanan kesehatan, layanan kesejahteraan masyarakat, dan layanan pendidikan) dan juga sektor swasta (yaitu bank swasta dan perusahaan penyedia jasa komunikasi). Alasan utama dalam pemilihan sampel penelitian ini adalah kenyataan bahwa pasangan pekerja jasa pelayanan-pelanggan terlibat dalam hubungan pelayanan, yaitu bahwa pelanggan melakukan kontak yang berkesinambungan dan berulang dengan pekerja penyedia jasa pelayanan yang sama dari waktu ke waktu, dan cenderung tidak berubah (Gutek dkk, 1999). Jadi, pemilihan tenaga jasa pelayanan ini didasarkan pada tanggungjawab pekerjaan mereka yaitu bahwa mereka melakukan kontak personal secara berkesinambungan dan berulang dengan para kliennya, contohnya adalah para pekerja sosial, guru, dan pegawai toko. Selain itu, sebelum kuesioner dibagikan, para pekerja penyedia jasa pelayanan dan juga pelanggan ditanya secara terpisah apakah mereka saling kenal satu sama lain dengan baik. Rata-rata lama waktu kedua belah pihak mengenal satu sama lain adalah 2.37 tahun (SD 3.94). Dari keseluruhan pekerja penyedia jasa pelayanan ini, 26 persennya adalah laki-laki, dengan rata-rata usia 36.36 (SD 11.23), rata-rata pendidikan 14.63 tahun (SD 2.88, dengan range 12-23), dan rata-rata lama bekerja dalam bidangnya selama 12.89 tahun (SD 11.39). Dari kelompok pelanggan, 50.5 persennya adalah laki-laki, dengan rata-rata usia 31.29 (SD 19.27), rata-rata pendidikan 11.5 tahun

(SD 4.29, dengan range 1-20). Kuesioner diberikan kepada pelanggan dan pekerja penyedia jasa pelayanan di kantor penyedia jasa pelayanan. Para pekerja memberikan respon terkait dengan burnout, power motivation, dan skala keseimbangan. Pelanggan memberikan respon terhadap skala kepuasan terkait layanan yang mereka terima dari seorang pekerja penyedia jasa layanan tertentu. Kedua belah pihak ini mengisi kuesioner secara terpisah dan keduanya tidak diizinkan untuk berkomunikasi satu sama lain. Para responden ini diyakinkan bahwa jawaban mereka akan dirahasiakan dan tidak akan diberitahukan kepada pihak lain atau bahkan terhadap managemen kantor pelayanan tersebut. Pengukuran
Burnout diukur dengan menggunakan skala Singh (2000) yang terdiri atas

empat item yang digunakan untuk mengukur kecenderungan burnout dalam hubungan antara pekerja penyedia jasa pelayanan-konsumennya. Pengukuran yang dilakukan ini hanya mengukur dimensi kelelahan emosional dan depersonalisasi, karena dimensi prestasi/kecakapan personal telah diketahui memiliki korelasi yang tidak signifikan dengan dimensidimensi lain burnout (Singh, 2000). Analisis faktor eksploratori dengan menggunakan rotasi Varimax menghasilkan dua faktor. Faktor yang pertama, menjelaskan 55.32 persen dari varians yang ada, yang terdiri dari dua item pernyataan untuk mengukur depersonalisasi (Saya merasa cuek terhadap beberapa orang pelanggan saya; Saya merasa bahwa saya memperlakukan beberapa pelanggan saya seolah-olah mereka itu hanyalah benda mati). Hasil pengukuran dari kedua item ini dengan menggunakan analisis faktor adalah 0.90 dan 0.89. Faktor kedua, menjelaskan 26.84 persen dari varians yang ada, yang terdiri dari dua item pernyataan untuk mengukur kelelahan emosional (Saya bekerja terlalu keras untuk para pelanggan saya; Melayani para pelanggan saya benar-benar merupakan suatu ketegangan tersendiri bagi saya). Hasil pengukuran dari kedua item ini dengan menggunakan analisis faktor adalah 0.92 dan 0.84. Reliabilitas internal dari skala yang digunakan dinyatakan dengan nilai Cronbach adalah 0.73.

Power motivation diukur dengan menggunakan skala 12 item berdasarkan

Frieze and Boneva (2001) dengan nilai Cronbach adalah 0.91. Perasaan akan adanya ketidakseimbangan diukur dengan menggunakan item yang dikembangkan oleh Bakker dkk (2000) dengan dengan nilai Cronbach adalah 0.83.
Kepuasan pelanggan diukur dengan menggunakan 12 item berdasarkan

skala SERVQUAL (Parasuraman dkk, 1988). Karena tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kepuasan pelanggan dengan variabel-variable yang berhubungan dengan industri jasa pelayanan, itemitem yang mengukur kepuasan dengan pembuktian nyata, dan juga itemitem yang berhubungan dengan prosedur organisasi jasa pelayanan tidak dimasukkan dalam kuesioner. Item-item SERVQUAL yang dipakai dalam penelitian ini mirip dengan item-item yang digunakan oleh Witkowski dan Wolnbarger (2002). Para pelanggan diminta untuk mengevaluasi persepsi mereka terkait kualitas dari dimensi-dimensi pelayanan berikut ini: reliabilitas layanan, tanggungjawab, kepastian/jaminan pelayanan, dan empati. Nilai Cronbach adalah 0.97. Jawaban yang diberikan terhadap semua item pengukuran ini diberikan dalam skala tujuh-poin. Item-item tersebut bisa dilihat dalam Lampiran. Hasil Analisis yang dilakukan mencakup korelasi dengan menggunakan analisis korelasi Pearson Product Moment dan analisis regresi ganda untuk menguji hipotesis yang diajukan. Efek yang ditemukan kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis regresi ganda seperti prosedur yang disarankan oleh Baron dan Kenny (1986). Tabel I berisi matriks inter-korelasi, rataan hitung, dan simpangan baku (Standard Deviation) dari kesemua variabel penelitan. Seperti yang terlihat dalam Tabel I ini, kelelahan emosional berkorelasi positif baik terhadap ketidakseimbangan dan power motivation, sedangkan depersonlaisasi berkorelasi positif terhadap ketidakseimbangan dan berkorelasi negatif terhadap pemberdayaan. Kepuasan pelanggan memiliki korelasi positif terhadap pemberdayaan dalan industri penyedia jasa pelayanan dan berkorelasi negatif terhadap dimensi-dimensi burnout. Pengujian Hubungan Langsung

10

Hipotesis H1. dan H3. diuji dengan meregresi kepuasan pelanggan terhadap faktor kelelahan emosional (H1.) dan terhadap pemberdayaan (H3.). Hipotesis H4. and H6. diuji dengan meregresi faktor kelelahan emosional dan depersonalisasi terhadap pemberdayaan (H4.) dan terhadap ketidakseimbangan (H6.). Hasil analisis, disajikan dalam Tabel II dan III, menunjukkan bahwa kepuasan pelanggan memiliki korelasi negatif terhadap dimensi-dimensi burnout (H1.) dan korelasi positif terhadap pemberdayaan (H3.) Pemberdayaan memiliki korelasi negatif hanya terhadap depersonalisasi, karenanya memberikan sebagian dukungan bagi H4, sedangkan ketidakseimbangan dalam hubungan antara pekerja penyedia jasa layanan dengan pelanggan berkorelasi positif terhadap kedua dimensi burnout (H6.).
Tabel 1 Rataan Hitung, Simpangan Baku dan Korelasi Antar-variabel Rataan Simpangan 1 2 Hitung Baku Pemberdayaan 5.85 0.94 Power motivation 5.23 0.80 0.19 Ketidakseimbangan 4.90 1.43 -0.01 0.11 Kelelahan emosional 4.38 1.78 0.04 0.20 * Deperssonalisasi 2.52 1.64 -0.23 * 0.19 Kepuasan pelanggan 6.09 1.06 0.29 ** 0.03 Notes: *p < 0.05; **p < 0.01 Tabel 2 Regresi dari Kepuasan Pelanggan terhadap Ketidakseimbangan, Pemberdayaan, Power Motivation, dan Kelelahan Emosional serta Depersonalisasi Pekerja Penyedia Jasa Pelayanan B Ketidakseimbangan 0.00 0.01 Pemberdayaan 0.25 0.22 * Power motivation 0.10 0.09 Kelelahan emosional -0.15 -0.25* Deperssonalisasi -0.17 -0.26* R2 0.24 Notes: *p < 0.05; **p < 0.01

0.49 ** 0.31 ** -0.18

0.33** -0.30 **

-0.36 **

Pengujian Hubungan Moderat Hipotesis moderat H2., H5., and H7. (yaitu bahwa pemberdayaan akan mengurangi tingkat hubungan antara burnout dengan kepuasan pelanggan, power motivation

11

akan mengurangi tingkat hubungan dari burnout dengan pemberdayaan dan juga ketidakseimbangan) diuji dengan analisis regresi (Baron dan Kenny, 1986) dimana:

Kepuasan pelanggan diregresikan terhadap pemberdayaan, dimensi-dimensi burnout, dan pola interaksi antara pemberdayaan dan burnout (H2.); Dimensi-dimensi burnout masing-masing diregresikan terhadap pemberdayaan, power motivation, pola interaksi antara pemberdayaan dan power motivation (H5.); dan

Dimensi-dimensi burnout diregresikan terhadap ketidakseimbangan, power motivation, dan pola pola interaksi antara pemberdayaan dan ketidakseimbangan (H7.)

Hasil analisis menunjukkan efek yang signifikan terhadap depersonalisasi (b 20.32, p < 0.05) dan pemberdayaan (b 0.21, p < 0.05) dan juga efek interaksi yang signifikan antara depersonalisasi dan pemberdayaan terhadap kepuasan pelanggan (b 0.58, p < 0.05). Bertentangan dengan apa yang diharapkan sebelumnya, hasil analisis menunjukkan bahwa korelasi negatif antara depersonalisasi dan kepuasan pelanggan tampak lebih tinggi ketika pemberdayaan berada pada level yang tinggi dibandingkan ketika pemberdayaan berada di level rendah (r 20.51, p < 0.01 and r 20.25, dan p . 0.05). Efek signifikan juga ditemukan terhadap pemberdayaan (b 20.19, p < 0.05), power motivation (b 0.21, p < 0.05) dan efek interaktif antara pemberdayaan dan power motivation terhadap depersonalisasi (b 1.66, p < 0.05). Seperti yang diperkirakan sebelumnya, hubungan korelasi negatif antara depersonalisasi dengan pemberdayaan tampak lebih kuat ketika level power motivation tinggi dibandingkan dengan power motivation dalam level rendah (r 20.43, p < 0.01 and r 20.08, dan p . 0.05). Yang terakhir, ditemukan pula efek signifikan untuk power motivation (b 0.17, p < 0.05), ketidakseimbanga (b 0.28, p < 0.05), dan efek interaktif antara power motivation dan ketidakseimbangan terhadap depersonalisasi (b 0.99, p < 0.05). Hubungan korelasi positif antara ketidakseimbangan dan depersonalisasi tampak lebih kuat ketika power motivation berada di level yang tinggi dibandingkan dengan level rendah (r 0.43, p < 0.01 and r 0.08, dan p .> 0.05). Tidak ditemukan efek interaksi signifikan terkait dengan kelelahan

12

emosional. Jadi H2. Ditolak, sementara H5. dan H7. hanya diterima sebagian saja. Hubungan antarvariabel ini bisa dilihat dalam Gambar 2. Pembahasan Penelitian ini menyelidiki tentang hubungan antara burnout yang dialami oleh pekerja penyedia jasa pelayanan terhadap kepuasan pelanggan dengan menggunakan data yang diperoleh dari pasangan penyedia jasa pelayananpelanggan yang melakukan interaksi secara berkesinambungan dan berulang. Hasil analisis menunjukkan bahwa dalam hubungan seperti itu, tingginya level burnout yang dialami oleh pekerja penyedia jasa pelayanan memiliki pengaruh terhadap tingkat kepuasan konsumen terhadap pelayanan yang diberikan. Meskipun demikian, pemberdayaan yang dilakukan terhadap pekerja penyedia jasa pelayanan justru memiliki korelasi negatif dengan dimensi depersonalisasi dari burnout. Dengan adanya rasa percaya akan kemampuan yang dimilikinya, pemberdayaan kelihatannya mampu menangkal kurangnya kontrol yang sering dialami oleh pekerja penyedia jasa pelayanan, sehingga pemberdayaan ini bisa dijadikan salah satu penangkal terhadap stress dan pada akhirnya juga bisa membantu mengurangi burnout. Selain itu, pemberdayaan juga meningkatkan kemandirian para pekerja penyedia jasa pelayanan ini sehingga mereka bisa melayani dan memandang setiap pelanggannya sebagai individu yang berbeda, dan bukannya menerapkan aturan baku pelayanan terhadap semua pelanggan tanpa pandang bulu. Rasa depersonalisasi dari sudut pandang konsumen juga akan dicegah untuk muncul ke permukaan, dan pandangan bahwa tiap konsumen itu adalah individu yang memiliki kebutuhannya masing-masing juga akan semakin berkembang. Seperti yang telah diperkirakan sebelumnya, pemberdayaan merupakan suatu sarana yang efektif untuk mencegah munculnya stress bagi para pekerja penyedia jasa pelayanan yang memiliki power motivation yang tinggi. Untuk para pekerja seperti ini, power yang mereka miliki merupakan suatu hadiah yang diberikan perusahaan agar mereka bisa melakukan tanggungjawab pekerjaannya dengan baik dan pada akhirnya membawa efek yang kuat bagi peningkatan kemampuan mereka untuk menangani situasisituasi dalam pekerjaan mereka dan melayani konsumen dengan baik. Sebaliknya, para pekerja penyedia jasa pelayanan yang memiliki power motivation yang rendah mungkin justru menganggap pemberdayaan sebagai suatu hal yang mengganggu

13

karena mereka diharapkan untuk memegang lebih banyak tanggungjawab; para pekerja ini kurang menghargai keuntungan yang mereka peroleh dari segi ekstra power yang mereka miliki dari proses pemberdayaan itu (Foster-Fishman dan Keys, 1997). Implikasi Dari hasil penelitian ini disarankan bahwa burnout yang dialami oleh para pekerja penyedia jasa pelayanan haruslah dimasukkan sebagai salah satu faktor penentu kesuksesan perusahaan, karena hal ini berhubungan secara langsung denga salah satu hal terpenting bagi perusahaan yaitu kepuasan pelanggan. Jadi, perusahaan sebaiknya juga mempertimbangkan efek potensial yang dihasilkan dari prosesproses usaha yang terjadi dalam perusahaan dan pandangan para pekerja penyedia jasa pelayanan terhadap burnout. Karenanya, pengukuran power motivation dan kemampuan lain yang mungkin berpengaruh terhadaap performa kerja merupakan suatu hal yang amat penting untuk dilakukan pada saat melakukan seleksi calon pegawai bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang jasa pelayanan. Selain itu, penempatan karyawan dalam bidang kerja juga harus memperhatikan kecocokan antara kemauan pekerja untuk diberdayakan dengan tanggungjawab pekerjaan yang diembannya. Sebagai tambahan, program-program pelatihan juga sebaiknya diarahkan untuk memberikan informasi tentang kerumitan yang akan dihadapi para pekerja pada saat mereka berada pada kondisi tingkat pemberdayaan yang tinggi; pelatihan-pelatihan ni juga sebaiknya memberikan bekal informasi dan kecakapan yang dibutuhkan agar seorang pegawai bisa menunjukkan performa kerja individu yang sukses. Lebih jauh lagi, hasil penelitian ini membawa beberapa implikasi spesifik dari segi pencegahan dan penanggulangan. Sebelum melaksanakan program pemberdayaan, sebaiknya dicari tahu dulu keinginan para pegawai akan power dan tanggungjawab kerja. Untuk para pekerja penyedia jasa pelayanan yang tidk tertarik terhadap power, program pemberdayaan sebagian mungkin jauh lebih coco, misalnya saja dengan mendorong mereka untuk menyumbangkan ide-ide tanpa harus memegang lebih banyak tanggungjawab dalam kegiatan kerja sehari-harinya (Bowen dan Lawler, 1992). Sebaliknya, untuk para pekerja penyedia jasa pelayanan yang memiliki power motivation yang kuat, program pemberdayaan akan menjadi hal

14

yang sangat penting baik sebagai suatu alat untuk menangkal stress karena hubungan yang kurang harmonis dengan pelanggan, maupun sebagai suatu jalan untuk meningkatkan motivasi kerja. Namun tetap harus diingat bahwa para pekerja penyedia jasa pelayanan yang memiliki power motivation yang kuat seperti ini cenderung lebih mudah putus asa jika dihadapkan dengan konsumen yang kurang bisa menunjukkan penghargaan terhadap upaya mereka, dan oleh karena itu ada baiknya jika para pekerja penyedia jasa pelayanan yang memiliki power motivation yang kuat ini diberikan program-program pelatihan yang membantu mereka agar siap menghadapi perilaku konsumen yang mengecewakan dan agar bisa menghadapi perilaku-perilaku seperti itu. Pembatasan dan Penelitian di Masa Mendatang Penelitian ini terkait dengan pasangan penyedia jasa-konsumen yang melakukan interaksi secara terus menerus dan berkesinambungan. Hasil penelitian ini tentu saja tidak bisa digeneralisasikan terhadap suatu prose interaksi penyedia jas-konsumen yang terjadi hanya dalam satu waktu tertentu saja, karena intensitas hubungan antara penyedia jasa pelayanan dengan konsumennya bisa jadi mempengaruhi bentuk-bentuk burnout yang terjadi dalam interaksi satu-waktu itu. Karena itu, kami menyarankan pada para peneliti di masa mendatang untuk meneliti hubungan penyedia jasa-konsumen yang terjadi hanya dalam satu waktu tertentu saja. Analisis regresi yang dilakukan bertujuan untuk menguji hubungan langsung antarvariabel dan menunjukkan level yang rendah atas varian (yang bisa dijelaskan) yang muncul dari faktor kepuasan konsumen. Hal ini mungkin terjadi karena kepuasaan dilaporkan oleh konsumen sedangkan variabel-variabel lainnya dilaporkan oleh penyedia jasa pelayanan. Desain penelitian ini memang memiliki keunggulan yaitu bisa mencegah kesalahan dari sumber-sumber yang sifatnya umum, namun hubungan antarvariabel dari sumber-sumber yang berbeda kadang-kadang lebih lemah jika dibandingkan dengan hubungan antarvariabel dari satu sumber saja. Lebih jauh lagi, kepuasan konsumen bisa jadi dipengaruhi oleh banyak faktor, yang berhubungan tidak hanya dengan segi pelayanan saja tetapi juga dengan konteks perusahaan secara keseluruhan dan juga karakter konsumen itu sendiri. Hal yang hampir sama juga ditemukan dari segi para pekerja penyedia jasa pelayanan dimana dalam penelitian ini burnout yang mereka alami memiliki hubungan dengan

15

pemberdayaan dan power motivation, beberapa literatur menyatakan adanya banyak faktor lain yang berhubungan dengan burnout, semisal kelebihan beban kerja dan konflik yang terkait dengan peran dalam bekerja (Maslach dkk, 2001). Penelitian di masa mendatang sebaiknya melibatkan lebih banyak variabel yang bisa mempengaruhi burnout dan kepuasan pelanggan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberdayaan dalam perusahaan penyedia jasa pelayanan memiliki korelasi dengan kepuasan pelanggan. Dengan demikian, pemberdayaan mempengaruhi karakteristik-karakteristik tertentu, semisal anggapan para penyedia jasa pelayanan terhadap layanan yang mereka berikan, kemampuan kontrol mereka, dan pengulangan akan pilihan layanan yang boleh mereka lakukan. Akan menjadi sangat menarik untuk meneliti anggapan dan sikap yang bagaimana yang secara signifikan meningkatkan hubungan antara pemberdayaan dengan kepuasan pelanggan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan convenience sample, dan bukan merupakan suatu sampel yang representatif baik bagi sector jasa pelayanan maupun konsumennya. Sebagai contoh, sampel dari pekerja penyedia jasa pelayanan sebagian besar terdiri atas perempuan. Karena perbedaan gender juga mempengaruhi power motivation (Frieze dan Boneva, 2001), keadaan ini bisa jadi mempengaruhi hasil penelitian ini. Penelitian terkait hubungan antar variabel yang memiliki sampel berimbang dari segi gender tentu saja akan sangat bermanfaat. Secara singkat, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pemberian jasa pelayanan yang sifatnya tersu menerus dan berkesinambungan, burnout yang dialami oleh pekerja penyedia jasa pelayanan ini memiliki korelasi dengan kepuasan pelanggan. Sebagai tambahan, hasil penelitian ini juga mendukung pendekatan kontingensi terhadap pemberdayaan, yang menyatakan bahwa efek dari pemberdayaan tergantung pada harapan para pekerja penyedia jasa pelayanan akan power.

16

Anda mungkin juga menyukai