Anda di halaman 1dari 5

KEANEKARAGAMAN HAYATI DALAM BIDANG KESEHATAN (MIKROBA)

Sebagai salah satu negara yang memiliki biodiversitas sangat besar, Indonesia menyediakan banyak sumberdaya alam hayati yang tak ternilai harganya, dari bakteri hingga jamur, tumbuhan, dan hewan. Pencarian isolat dan jenis organisme yang potensial untuk digunakan dalam bidang industri, pertanian, dan kesehatan merupakan pekerjaan yang harus terus dilakukan. Potensi yang tersimpan ini dapat diangkat untuk tujuan pengembangan industri dalam negeri. Sesuai dengan bidang yang saya tekuni, saya memilih bekerja dengan strain-strain bakteri yang diisolasi terutama dari daerah Sumatera Utara untuk melihat pemanfaatannya sebagai sel atau produk sel seperti protein dan enzim. Telaah-telaah yang dilakukan pada gilirannya diharapkan memberikan informasi tentang potensi (bioprospecting) sumberdaya hayati yang ada di Indonesia, khususnya Sumatera sebagai model bagi upaya pengelolaan dan pelestarian sumberdaya hayati. Disebabkan oleh karena tidak glamour dan kesulitan mengakses, orang awam tidak mengetahui nilai penting keanekaragaman mikroba. Banyak dari kita menyangka bahwa semua bakteri menyebabkan penyakit. Sesungguhnya hanya sebagian kecil saja yang memiliki potensi patogen, selebihnya dapat dimanfaatkan untuk tujuan kesejahteraan manusia. Pengetahuan tentang keanekaragaman biologi mikroba berhubunga dengan kekayaan jenis, distribusi lokal dan global, dan fungsi dalam ekosistem terlihat belum lengkap (Bull et al 2000). Berapa sesungguhnya jumlah jenis mikroba sampai saat ini belum diketahui. Dalam forum-forum resmi keanekaragaman mikroba sering terabaikan (Bull & Hardman 1991), padahal mikroba mengkatalisis transformasi unik dan murah dalam siklus biogeokimia dalam biosfer, memproduksi komponen-komponen penting dalam atmosfer bumi, dan mewakili bagian yang besar dari keanekaragaman genetik organisme (Whitman et al 1998). Disamping itu secara khusus mikroba telah digunakan untuk tujuan lain misalnya sebagai agen pengendali hama dan penyakit, agen bioremediasi dan biodegaradasi bahan pencemar, agen penghasil protein dan enzim-enzim penting yang telah dimanfaatkan dunia, agen-agen dalam bioteknologi modern, dan digunakan untuk menguak rahasia kehidupan bumi dan jagad raya. Karena nilai penting yang berhubungan langsung sebagai sumber utama dalam pengembangan bioteknologi, pelestarian microbial gene pools merupakan hal yang sangat mendesak untuk dikerjakan (Bull & Hardman 1991). Pemanfaatan mikroba untuk mengendalikan penyakit tanaman merupakan bidang yang relatif belum lama berkembang. Pengendalian

hayati jamur penyakit tanaman acap dilakukan dengan menggunakan mikroba seperti jamur dan bakteri. Sekitar 40 produk pengendalian hayati penyakit tanaman kini beredar di dunia (Fravel et al 1998), tidak dikenal merek komersial sejenis yang asli dari Indonesia. Sumber biologi untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman tetap merupakan alternatif potensial yang penting sebagai pengganti pestisida, dan sering dianjurkan untuk mengganti pengendalian berbasis kimia terhadap penyakit atau untuk mengendalikan penyakit yang jika dikendalikan dengan bahan kimia tidak ekonomis. Salah satu pertimbangan dalam memilih agen pengendali hayati berupa kemampuan biopestisida bertahan dalam waktu lama dan tidak memerlukan tempat penyimpanan khusus (Powell & Faull 1989). Strategi untuk seleksi strain mikroba berdasarkan kepada kriteria kemampuan kolonisasi, kemampuan kompetisi, dan kemampuan menyesuaikan diri di lingkungan (McQuilken et al 1998). Kepentingan lain dari mikroba misalnya dalam bioremediasi senyawa toksik. Secara umum, proses biodegradasi dan bioremediasi bahan pencemar di alam dilakukan oleh mikroba seperti bakteri, jamur dan ganggang (Suryanto & Suwanto 2000 Semple & Cain 1996; Spadaro et al 1992) meski beberapa proses juga dilakukan oleh tumbuhan. Penelitian yang telah dilakukan yang berhubungan dengan biodegradasi dan bioremediasi telah membuktikan bahwa isolat bakteri dan jamur indigenous mampu mendegradasi senyawa hidrokarbon aromatik monosiklik (Suryanto & Suwanto 2000) dan senyawa campuran yang terdapat dalam minyak solar (Fachrian 2006). Biopestisida Berbasis Bacillus thuringiensis Bacillus thuringiensis, satu bakteri aerob, pembentuk spora, gram positif, merupakan bakteri di tanah, air, permukaan tumbuhan, serangga mati, dan biji-bijian (Kawalek et al 1995; Bravo et al 1998). Beragam isolat dan subjenis B. thuringiensis diketahui sebagai sumber penting biopestisida komersial (Lopez-Meza & Ibarra 1996). Bakteri ini memenuhi syarat sebagai agen pengendali mikrobiologi terhadap hama dan vektor penyakit pertanian (BenDov et al 1999). Untuk mengendalikan serangga hama, isolat-isolat dari Bacillus thuringiensis atau bakteri lain telah pula digunakan orang sebagai agen pengendalian. B. thuringiensis dikenal dapat memproduksi senyawa toksik terhadap berbagai organisme hama target, artropoda dan nematoda. Strainstrain bakteri ini menunjukkan kisaran spesifisitas yang luas pada berbagai ordo serangga (Lepidoptera, Diptera, Coleoptera, Hymenoptera, Homoptera, dan Mallophaga) dan Acari (Bravo et al 1998). Protein kristal toksin (Cry) yang diproduksi oleh bakteri ini sangat spesifik dan sangat berguna dalam mengendalikan organisme hama target (Baum et al 1996). Sejauh ini protein Cry tidak memperlihatkan toksisitas terhadap mammalia, burung, amfibia, atau reptilia. Kebanyakan gen toksin bakteri ini berada di dalam plasmid

(Itoua-Apoyolo et al 1995). Beberapa pertimbangan lingkungan dan keselamatan telah menguntungkan pengembangan biopestisida seperti B. thuringiensis (Baum et al 1996). Menurut Agaisse & Lereclus (1995), semua sub-jenis B. thuringiensis dikenal dapat memproduksi sejumlah besar protein kristal insektisida yang bersegregasi dalam tubuh paraspora (-endotoksin) selama masa sporulasi. B. thuringiensis saat ini merupakan agen pengendali yang diproduksi secara biologi yang paling luas digunakan (Schnepf et al 1998). Tahun 1995 saja, penjualan biopestisida ini merupakan sekitar 2% total penjualan insektisida dunia (Lambert & Peferoen 1992). Secara umum pestisida Cry-based membutuhkan biaya yang rendah dalam pengembangan dan registrasinya, sebagai contoh B. thuringiensis subsp. sraelensis membutuhkan biaya 1/40 dibandingkan dengan pestisida kimia sintetik (Becker & Margalit 199). Karena tingginya keanekaragaman dan adanya potensi pematahan resistensi menggunakan isolat baru dan manipulasi genetika menyebabkan penelitian tentang bioinsektida seperti kristal protein B. thuringensis harus tetap dilakukan. Penyediaan isolatisolat baru yang mampu menghasilkan beragam kristal toksin merupakan salah satu alternatif mengurangi kemungkinan resistensi organisme target terhadap toksin B. thuringiensis (Masson et al 1998; Schnepf et al 1998; Thomas et al 2000). Untuk mendapatkan strain B. thuringiensis baru yang menghasilkan protein Cry, isolasi sejumlah besar strain B. thuringiensis baru saat ini menjadi aktivitas rutin pada banyak industri (Kuo & Chak 1996). Isolasi B. thuringiensis asal Sumatera Utara yang telah dilakukan menemukan 9 isolat yang relatif mirip secara morfologi dan biokimia. Pengamatan morfologi dan hasil uji biokimia menunjukkan bahwa isolat TU1 dan isolat bioinsektisida komersial, memiliki sifat morfologi dan biokimia relatif sama. Kemungkinan kedua isolat ini secara genetik mirip. Variasi yang tidak terlalu besar dari sifat morfologi dan biokimia antar isolat bakteri ini menunjukkan keanekaragaman morfologi dan biokimia yang relatif tidak besar dari isolat B. thruringiensis asal daerah Sumatera Utara (Suryanto et al 2007a). Bioasai spectrum isolat terhadap larva beberapa jenis serangga menunjukkan adanya spektrum yang berbeda. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa isolat TU1 dapat membunuh larva, dengan variasi kemampuan dalam mematikan. Meski secara umum harus diakui bahwa bioinsektisida komersial yang diuji menunjukkan performa yang lebih baik dalam mengendalikan larva serangga, namun kelihatannya kemampuan isolat TU1 memiliki kecenderungan yang mirip dengan bioinsektisida komersial tersebut (Suryanto et al 2007b). Kemiripan ini boleh jadi disebabkan oleh adanya gen penyandi kristal protein yang sejenis pada kedua isolat. Kemiripan ini dapat

diketahui jika kedua isolat dianalisis genomnya. Ben-Dov et al (1997) melihat bahwa strain B. thuringiensi subsp. thuringiensis HD-2 setidak-tidaknya memiliki satu gen cry1 dan juga gen cry2Ab, yang masing-masing toksik terhadap Lepidoptera dan Diptera. Kemampuan spesifik strain B. thuringiensis semacam ini juga dilaporkan oleh Lambert et al (1996). Mikroba Kitinolitik dan Pengendalian Jamur Patogen Tanaman Dalam penelitian kami, telah dilakukan kajian kemungkinan penggunaan isolat bakteri indigenous untuk dikembangkan sebagai biopestisida dengan cara mengisolasi, menseleksi, dan menguji daya bunuh atau daya hambat pertumbuhan organisme pengganggu. Satu kelompok organisme yang memiliki potensi sebagai agen pengendali hayati jamur berasal dari kelompok mikroba penghasil kitinase. Pengendalian hayati jamur dengan menggunakan mikroba kitinolitik didasarkan pada kemampuan mikroba menghasilkan kitinase dan -1,3-glucanase yang dapat melisis sel jamur (El-Katatny et al 2000). Disamping sebagai agen pengendali hayati, bakteri kitinolitik digunakan untuk menghasilkan derivat kitin yang banyak dimanfaatkan dalam berbagai bidang seperti dalam bidang biokimia, bioteknologi, farmakologi, medis dan industri, misalnya sebagai bahan kosmetik, kapsul obat dan makanan hewan (Muzzarelli 1985). Banyak organisme seperti bakteri, jamur, tumbuhan tingkat tinggi, dan hewan menghasilkan kitinase yang mengkonversi kitin menjadi monomer atau oligomernya (Fujii & Miyashita 1993; Ohno et al 1996; Wen et al 2002; Tsujibo et al 2003). Organisme ini biasanya memiliki beragam gen kitinase yang ekspresinya diinduksi oleh kitin ekstraseluler atau derivatnya. Bakteri memanfaatkan kitinase untuk asimilasi kitin sebagai sumber karbon dan nitrogen. Pada tumbuhan, kitinase digunakan sebagai pertahanan melawan serangan organisme patogen yang mengandung kitin (Fujii & Miyashita 1993; Wu et al,2001). Jamur dan serangga menggunakan enzim ini untuk morfogenesis dinding sel dan pembangun eksoskeleton (Shaikh & Desphande 1993). Hal ini mungkin berhubungan dengan tersebarnya bahan kitin di alam seperti pada jamur, alga, nematoda, kelompok artropoda dan krustacea, molluska, coelenterata, protozoa, dan fungi (Folders et al 2001; Orikoshi et al 2003). Meski demikian gen-gen penyandi kitinase bagi organisme merupakan gen non esensial (Cottrell et al 2000). Melihat kenyataan ini eksplorasi kitinase dapat dilakukan dimana saja mulai dari tanah, rizosfer, air tawar, air laut, dan tumbuhan. Kemampuan kitinolitik bakteri Aeromonas caviae telah digunakan untuk mengendalikan beberapa jamur patogen tanaman (Inbar & Chet 1995). Lebih lanjut, Gohel et al (2003) melihat bakteri kitinolitik seperti A. hydrophila, A. caviae, Pseudomonas maltophila, Bacillus licheniformis, B. circulans, Vibrio furnissii, Xanthomonas spp., dan Serratia marcescens memainkan peranan penting dalam pengendalian

hayati jamur pathogen tanaman. Galur S. marcescens dimanfaatkan untuk mengendalikan jamur patogen seperti Sclerotium rolfsii (Ordentlich et al 1988). Gen chiA dari S. marcescens telah pula dimanfaatkan melalui kloning pada P. fluorescens (Downing & Thomson 2000). Bakteri lain yang juga digunakan sebagai pengendali hayati komersial seperti P. syringae, Burkholderia cepacia, B. subtilis, Agrobacterium radiobacter, Enterobacter cloacae, dan Streptomyces griseoviridis (Fravel et al 1998; McQuilken et al 1998).

Anda mungkin juga menyukai