Anda di halaman 1dari 29

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Diabetes Mellitus 2.1.1 Pengertian DM Diabetes mellitus adalah sindrom yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai insulin. Sindrom ini ditandai oleh adanya hiperglikemia dan berkaitan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein (Waspadji, 2007). 2.1.2 Jenis DM Istilah diabetes mellitus sebenarnya mencakup 4 kategori yaitu tipe I (insulin dependent diabetes mellitus atau IDDM), tipe II (non insulin dependent diabetes mellitus atau NIDDM), diabetes mellitus sekunder dan diabetes mellitus yang berhubungan dengan nutrisi. Selain itu terdapat dua kategori lain tentang abnormalitas metabolisme glukosa yaitu kerusakan toleransi glukosa (KTG) dan diabetes mellitus gestasional (DMG) (Waspadji, 2007) . 2.1.3 Gejala DM Penderita DM dengan diabetes mellitus tipe II mengalami penurunan sensitivitas terhadap kadar glukosa, yang berakibat pada pembentukan kadar glukosa yang tinggi. Keadaan ini disertai dengan ketidakmampuan otot dan jaringan lemak untuk meningkatkan ambilan glukosa, sehingga mekanisme ini menyebabkan meningkatnya resistensi insulin perifer (Adnyana, dkk, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Gejala klasik diabetes adalah adanya rasa haus yang berlebihan, sering buang air kecil terutama malam hari, dan berat badan turun cepat, kadang-kadang ada keluhan lemah, kesemutan pada jari tangan dan kaki, cepat lapar, gatal-gatal, penglihatan kabur, gairah seks menurun dan luka sukar sembuh (Waspadji, 2007).

2.1.4

Penatalaksanaan DM Tujuan penatalaksanaan diet secara umum pada penderita DM diabetes

mellitus adalah mencapai dan mempertahankan kadar glukosa darah mendekati kadar normal, mencapai dan mempertahankan lemak mendekati kadar yang optimal, mencegah komplikasi akut/kronik dan meningkatkan kualitas hidup (Waspadji, 2007). Menurut Waspadji (2007) mengutip pendapat Joslin (1952) dari Medical Centre Institute, dalam penatalaksanaan diet diabetes mellitus ada 3 (tiga) J yang harus diketahui dan dilaksanakan oleh penderita DM diabetes mellitus, yaitu jumlah makanan, jenis makanan dan jadwal makanan. Berikut ini uraian mengenai ketiga hal tersebut: 1) Jumlah makanan Jumlah makanan yang diberikan disesuaikan dengan status gizi penderita DM, bukan berdasarkan tinggi rendahnya gula darah. Jumlah kalori yang disarankan berkisar antara 1100-2900 KKal.

Universitas Sumatera Utara

Sebelum menghitung berapa kalori yang dibutuhkan seorang pasien diabetes, terlebih dahulu harus diketahui berapa berat badan ideal (idaman) seseorang. Yang paling mudah adalah dengan rumus Brocca : Berat Badan Idaman : 90% X (tinggi badan dalam cm = 100) X 1 kg. Tabel 2.1. Tingkat Kegiatan Sehari-hari untuk Perhitungan Kalori Ringan Mengendarai mobil Memancing Kerja Lab Kerja sekretaris Mengajar Sumber : Waspadji, 2007 Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan seorang pasien diabetes : 1. Menghitung kebutuhan basal dahulu dengan cara mengalikan berat badan idaman dengan sejumlah kalori : - Berat badan idaman dalam kg x 30 Kkal untuk laki-laki - Berat badan idaman dalam kg x 25 Kkal ntuk perempuan Kemudian ditambah dengan jumlah kalori yang diperlukan untuk kegiatan sehari-hari (lihat tabel 1). Tampak pada tabel itu ada tiga jenis kegiatan, dari yang ringan sampai yang berat. - Kerja ringan : tambah 10 % dari kalori basal - Kerja sedang : tambah 20 % dari kalori basal Sedang Kerja rumah tangga Bersepeda Bowling Jalan cepat Berkebun Berat Aerobik Bersepeda Memanjat Menari Lari

Universitas Sumatera Utara

- Kerja berat

: tambah 40-100% dari kalori basal

- Tambahkan kalori sekitar 20-30% pada keadaan sbb: a. Pasien kurus b. Pasien masih tumbuh kembang c. Ada stres misalnya infeksi, hamil atau menyusui - Kurangi kalori bila gemuk sekitar 20-30% tergantung tingkat kegemukannya.

2. Cara lain tertera pada tabel 2.2 yang tampaknya lebih mudah. Tampak pada tabel itu bahwa seseorang dengan dengan berat badan normal yang bekerja santai memerlukan 30 Kkal/kg BB idaman. Bagi orang yang kurus dan bekerja berat memerlukan 40-50 Kkal/kg BB idaman. Dengan cara ini tidak perlu ditambahtambahkan lagi.

3. Untuk gampangnya, secara kasar dapat dibuat suatu pegangan sbb : - Pasien kurus - Pasien berat normal - Pasien gemuk : 2300-2500 Kkal : 1700-2100 Kkal : 1300-1500 Kkal

Tabel 2.2. Kebutuhan Kalori pada Pasien Diabetes Mellitus

Universitas Sumatera Utara

Dewasa Kkal/kg BB kerja satai Gemuk 20-25 Normal 30 kurus 35 Sumber : Waspadji, 2007

Kerja sedang 30 35 40

Kerja berat 35 40 40-50

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PARKENI) telah menetapkan standar jumlah gizi pada diet diabetes mellitus, dimana telah ditetapkan proporsi yang ideal untuk zat makanan seperti karbohidrat, protein, lemak, kolesterol, serat, garam dan pemanis dalam satu porsi makanan utama. Menurut Moehyi (1996) ketentuan mengenai pengaturan jumlah zat makanan yang harus dikonsumsi oleh penderita DM diabetes mellitus adalah sebagai berikut: a. Karbohidrat Sampai saat ini sebagian orang berpendapat bahwa pasien diabetes mellitus harus mengkonsumsi makanan rendah karbohidrat. Namun belakangan banyak dilakukan penelitian dan ditemukan bahwa justru diet tinggi karbohidrat dan rendah lemak lebih unggul daripada diet rendah karbohidrat. Didapatkan pula bahwa diet tinggi karbohidrat menimbulkan perbaikan glukosa terutama pada pasien diabetes mellitus yang tidak terlalu berat, apalagi pada pasien yang gemuk. Tetapi harus diingat, walaupun pasien dianjurkan diet tinggi karbohidrat, pasien tersebut harus menghindari karbohidrat yang mudah diserap tubuh seperti sirup, gula, sari buah dan makanan lain yang manis atau mengandung gula. Selain itu penderita DM harus mengetahui bahwa jumlah karbohidrat dalam makanan untuk setiap kali makan harus

Universitas Sumatera Utara

diatur sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan tubuh akan hidrat arang sepanjang hari. b. Protein Protein merupakan bahan dasar untuk zat pembangun, pertumbuhan, hormon dan antibodi. Pada penderita diabetes mellitus, kebutuhan protein akan meningkat akibat digunakannya protein sebagai energi. Sedangkan karbohidrat sendiri tidak dapat diserap oleh tubuh sehingga penderita merasa lemas. Berdasarkan hal tersebut, maka seorang penderita DM diabetes mellitus memerlukan protein sebanyak 10-15% untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya. c. Lemak Pada penderita diabetes mellitus penggunaan lemak dibatasi, terutama lemak jenuh yang secara tidak langsung dengan mekanisme tertentu dapat mempengaruhi kenaikan kadar gula darah. Makanan yang mengandung lemak jenuh antara lain minyak kelapa, margarin, santan, keju dan lemak hewan. Sedangkan lemak tidak jenuh efeknya jauh lebih kecil terhadap kadar gula darah daripada lemak jenuh. d. Kolesterol Kadar kolesterol yang tinggi dalam tubuh dapat menimbulkan

hiperkolesterolemia yang berkaitan dengan terjadinya aterosklerosis. Pada penderita diabetes mellitus, kadar kolesterol yang tinggi dapat memperberat penyakitnya. Oleh karena itu konsumsi makanan yang berkolesterol harus dibatasi, dengan perkiraan jumlah yang dibutuhkan <300 mg per hari. e. Serat

Universitas Sumatera Utara

Serat yang dikonsumsi sebanyak 25 gram per hari akan mempercepat pergerakan makanan di saluran pencernaan dan pembentuk massa sehingga absorbsi glukosa dan lemak di usus akan berkurang. f. Garam Penggunaan garam yang tinggi dalam makanan dapat meningkatkan kerja jantung. Oleh karena itu pada penderita diabetes mellitus dengan hipertensi, pemakaian garam dibatasi. g. Pemanis Selama ini pemanis yang ada di pasaran adalah sukrosa, fruktosa, sorbitol, manitol, xylol, sakkarin, siklamat dan aspartam. Pemanis yang mengandung kalori adalah sukrosa dan fruktosa. Berikut ini tabel perbandingan jumlah total zat makanan yang terdapat dalam satu porsi makanan utama penderita DM Tabel 2.3. Jumlah Total Zat Makanan yang Dikonsumsi Jenis Zat makanan Karbohidrat Protein Lemak Kolesterol Serat Garam Pemanis Jumlah 60-70% 10-15% 20-25% <300 mg/hari 25 g/hari Dibatasi terutama bila ada hipertensi Gunakan secukupnya

2) Jenis makanan Penderita diabetes mellitus harus mengetahui dan memahami jenis makanan apa yang boleh dimakan secara bebas, makanan yang mana harus dibatasi dan

Universitas Sumatera Utara

makanan apa yang harus dibatasi secara ketat. Makanan yang mengandung karbohidrat mudah diserap seperti sirup, gula, sari buah harus dihindari. Sayuran dengan kandungan karbohidrat tinggi seperti buncis, kacang panjang, wortel, kacang kapri, daun singkong, bit dan bayam harus dibatasi. Buah-buahan berkalori tinggi seperti pisang, pepaya, mangga, sawo, rambutan, apel, duku, durian, jeruk dan nanas juga dibatasi. Sayuran yang boleh dikonsumsi adalah sayuran dengan kandungan kalori rendah seperti oyong, ketimun, kol, labu air, labu siam, lobak, sawi, rebung, selada, toge, terong dan tomat (Waspadji, 2007). Cukup banyak pasien DM mengeluh karena makanan yang tercantum dalam daftar menu diet kurang bervariasi sehingga sering terasa membosankan. Untuk itu agar ada variasi dan tidak menimbulkan kebosanan, dapat diganti dengan makanan penukar lain. Perlu diingat dalam penggunaan makanan penukar, kandungan zat gizinya harus sama dengan makanan yang digantikannya (Suyono, 1996). Contohcontoh bahan makanan penukar adalah sebagai berikut: (1) Golongan I: Sumber Karbohidrat Sumber bahan makanan penukar karbohidrat mempunyai takaran 1 satuan penukar = 175 Kal, 4 gr protein, 40 gr karbohidrat. Adapun daftar bahan makanan penukar tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.3 Tabel 2.4. Bahan Makanan Penukar Karbohidrat

Universitas Sumatera Utara

Bahan makanan 1. Bihun 2. Havermount 3. Kentang 4. Krekers 5. Mi kering 6. Nasi 7. Roti putih Sumber : Suyono, 1996

URT gelas 6 sendok makan 2 biji sedang 5 buah besar bungkus gelas 2 potong sedang

Berat (gr) 50 50 200 50 50 100 80

(2) Gol. II: Sumber Protein Hewani Sumber protein hewani ini dapat diperoleh dari bahan makanan yang lazim dikonsumsi sehari-hari dengan takaran 1 satuan penukar = 95 Kal, 10 gr protein, 6 gr lemak. Adapun jenis makanan penukar protein hewani dapat dilihat pada Tabel 2.5 Tabel 2.5. Bahan Makanan Penukar Protein Hewani Bahan makanan 1. Ayam 2. Daging sapi 3. Hati sapi 4. Ikan segar 5. Ikan asin 6. Telur ayam 7. Telur bebek 8. Udang segar 9. Keju Sumber : Suyono, 1996 URT 1 potong sedang 1 potong sedang 1 potong sedang 1 potong sedang/1 ekor 1 potong kecil 1 butir 1 butir gelas 1 potong kecil Berat (gr) 50 50 50 50 25 50 60 50 30

(3) Gol. III: Sumber Protein Nabati

Universitas Sumatera Utara

Sumber protein nabati mempunyai takaran 1 satuan penukar = 80 Kal, 6 gr protein, 3 gr lemak, 8 gr karbohidrat. Adapun jenis bahan makanan penukar protein hewani dapat dilihat pada Tabel 2.6. Tabel 2.6. Bahan Makanan Penukar Protein Nabati Bahan makanan 1. Kacang hijau 2. Kacang merah segar 3. Kacang tanah 4. Keju kacang tanah 5. Tahu 6. Tempe 7. Susu kedelai Sumber : Suyono, 1996 (4) Gol. IV: Sayuran Jenis sayuran yang dapat dijadikan sebagai bahan makanan penukar adalah sayuran A dan sayuran B, bebas dimakan, seperti pada Tabel 2.7. Tabel 2.7. Bahan Makanan Penukar Sayuran A dan B Bahan Makanan Penukar Sayuran A Kangkung Tomat Toge Terong Jamur segar Sumber : Suyono, 1996 Ketimun Kol Rebung Sawi Oyong Sayuran B Bayam Nangka muda Buncis Jagung putren Daun singkong Kacang panjang Jagung muda Labu siam URT 2 sendok makan 2 sendok makan 2 sendok makan 2 sendok makan 1 biji besar 2 potong sedang 1 gelas Berat (gr) 20 25 20 20 100 50 100

(5) Gol. V: Buah

Universitas Sumatera Utara

Sumber bahan makanan bersumber buah-buahan mempunyai takaran 1 satuan penukar = 40 Kal, 40 g karbohidrat, seperti pada Tabel 2.8.

Tabel 2.8. Bahan Makanan Penukar Buah


Bahan makanan Pisang Pepaya Apel Jeruk Duku URT 1 buah 1 potong buah 2 buah 15 buah Berat (gr) 50 100 75 100 75

Sumber : Suyono, 1996 (6) Bahan Makanan Golongan Susu Sumber bahan makanan golongan susu mempunyai takaran 1 satuan penukar= 130 Kal, 7 gr protein, 7 g lemak, 9 gr karbohidrat, seperti pada Tabel 2.9. Tabel 2.9. Bahan Makanan Penukar Susu Bahan makanan Susu sapi Tepung susu whole Yogurt Sumber : Suyono, 1996 (7) Gol. VII: Minyak Bahan makanan penukar minyak mempunyai takaran 1 satuan penukar = 45 Kal, 5gr lemak, seperti pada Tabel 2.10. URT 1 gelas 5 sendok makan 1 gelas Berat (gr) 200 25 200

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.10. Bahan Makanan Penukar Minyak Bahan makanan Minyak kelapa Margarin Minyak kacang / kedelai/ Jagung Kelapa parut Santan Sumber : Suyono, 1996 URT sendok makan sendok makan sendok makan 5 sendok makan gelas Berat (gr) 5 5 5 30 50

3) Jadwal makan Penderita diabetes mellitus harus membiasakan diri untuk makan tepat pada waktu yang telah ditentukan. Penderita diabetes mellitus makan sesuai jadwal, yaitu 3 kali makan utama, 3 kali makan selingan dengan interval waktu 3 jam. Ini dimaksudkan agar terjadi perubahan pada kandungan glukosa darah penderita DM, sehingga diharapkan dengan perbandingan jumlah makanan dan jadwal yang tepat maka kadar glukosa darah akan tetap stabil dan penderita DM tidak merasa lemas akibat kekurangan zat gizi. Jadwal makan standar yang digunakan oleh penderita DM diabetes mellitus (Waspadji, 2007) disajikan dalam tabel berikut: Tabel 2.11. Jadwal Makan Penderita DM Waktu Pukul 7.00 Pukul 10.00 Pukul 13.00 Pukul 16.00 Pukul 19.00 Pukul 21.00 Sumber : Suyono, 1996 Jadwal Makan pagi Selingan Makan siang Selingan Makan malam Selingan Total kalori 20% 10% 30% 10% 20% 10%

Universitas Sumatera Utara

2.2 Psikososial Menurut Smet (1994) Psikososial didefinisikan sebagai hubungan yang dinamis antara psikologis dan pengaruh sosial dan di antara keduanya saling mempengaruhi. Kedua komponen tersebut merupakan hal yang penting untuk proses perkembangan individu. Gangguan psikososial terjadi apabila terdapat ketidak seimbangan antara kedua komponen di atas yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan, sehingga penderita DM harus beradaptasi untuk menghadapi perubahan tersebut. Menurut WHO (2002), Psikososial didefinisikan sebagai hubungan yang dinamis antara psikologis dan pengaruh sosial dan di antara keduanya saling mempengaruhi. Kedua komponen tersebut merupakan hal yang penting untuk proses perkembangan, hal tersebut akan beriringan dengan proses pertumbuhan dan maturasi, sehingga psikososial akan berubah sesuai dengan perubahan pertumbuhan dan perkembangan individu. Menurut Sarwono (2002) beberapa faktor yang termasuk dalam Psikososial antara lain persepsi, motivasi (motif), kepercayaan dan adanya interaksi sosial. Ke empat faktor tersebut merupakan unsur-unsur yang tidak terlepas dalam diri individu selama proses perkembangan dan perilakunya, termasuk dalam perilaku kesehatan yaitu dalam mengatur pola makan seimbang dan sehat. Menurut Rachmat (2002), unsur-unsur yang termasuk dalam psikososial (psikologi sosial) adalah unsur persepsi, motif atau motivasi diri, kepercayaan diri dan dukungan keluarga dan dukungan sosial serta norma-norma yang berlaku dalam

Universitas Sumatera Utara

masyarakat. Unsur-unsur psikososial secara umum dapat dimodifikasikan dari teori Model Kepercayaan yang dikemukakan oleh Rosenstock (1982), maka unsur psikososial merupakan faktor yang berhubungan dengan perilaku kesehatan dan kepercayaan individu terhadap perilaku kesehatan dan salah satu bentuk perilaku kesehatan tersebut adalah pola makan seimbang bagi penderita DM. Secara terperinci dapat dijelaskan sebagai berikut: 2.2.1. Motivasi Diri Menurut Sherif, dkk (1956) dalam Gerungan (2002) motif adalah bagian integral dari motivasi diri adalah istilah generik yang meliputi semua faktor internal yang mengarah ke berbagai jenis perilaku yang bertujuan, semua pengaruh internal seperti kebutuhan (needs) yang berasal dari fungsi-fungsi organisme, dorongan dan keinginan, aspirasi, dan selera sosial yang bersumber dari fungsi-fungsi tersebut. Menurut Rachmat (2005), motivasi diri adalah dorongan, baik dari dalam maupun dari luar diri manusia untuk menggerakkan dan mendorong sikap dan perubahan perilakunya. Motivasi ini didasarkan dari faktor internal individu yang bersifat psikologis dan sebagai akibat dari internalisasi dari informasi dan hasil pengamatan suatu objek yang melahirkan persepsi sehingga individu dapat terdorong untuk berbuat atau melakukan sesuatu. Perilaku kesehatan individu juga dipengaruhi oleh motivasi diri individu untuk berperilaku yang sehat dan menjaga kesehatannya. Menurut Wahjosumido (1985) dalam Sarwono (2004) bahwa motivasi merupakan suatu proses psikologis yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi, dan keputusan yang

Universitas Sumatera Utara

terjadi pada diri seseorang, dan motivasi sebagai proses psikologis timbul diakibatkan oleh faktor di dalam diri seseorang itu sendiri yang disebut dengan faktor intrinsik atau faktor di luar dirinya disebut faktor ekstrinsik. Faktor di dalam diri seseorang dapat berupa kepribadian, sikap, pengalaman dan pendidikan atau bebagai harapan, cita-cita yang menjangkau kemasa depan. Sedangkan faktor di luar diri, dapat ditimbulkan oleh berbagai sumber dari lingkungannya atau faktor-faktor lain yang sangat kompleks. Menurut Hordget (2000) motivasi adalah psikologis yang mendorong sekaligus mengendalikan seseorang secara langsung. Makna yang terkandung didalamnya yaitu dorongan dan motif dimana motif ini yang memegang peranan penting karena motif berisikan perilaku, artinya dalam konteks perubahan pola makan bagi penderita DM didasarkan pada keinginan penderita untuk sembuh dan mengurangi kecatatan akibat menderita DM sehingga mereka termotivasi untuk mengikuti program diet yang dianjurkan oleh dokter.

2.3.1. Persepsi Menurut Rachmat (1998), persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Menurut Ruch (1967) dalam Rachmat (1998) persepsi adalah suatu proses tentang petunjuk-petunjuk inderawi (sensory) dan pengalaman masa lampau yang relevan diorganisasikan untuk memberikan kepada kita gambaran yang terstruktur dan bermakna pada suatu situasi tertentu.

Universitas Sumatera Utara

Senada dengan hal tersebut Atkinson dan Hilgard (1991) dalam Sarwono (2004) bahwa persepsi adalah proses dimana kita menafsirkan dan

mengorganisasikan pola stimulus dalam lingkungan. Dikarenakan persepsi bertautan dengan cara mendapatkan pengetahuan khusus tentang kejadian pada saat tertentu, maka persepsi terjadi kapan saja stimulus menggerakkan indera. Dalam hal ini persepsi diartikan sebagai proses mengetahui atau mengenali obyek dan kejadian obyektif dengan bantuan indera. Sebagai cara pandang, persepsi timbul karena adanya respon terhadap stimulus. Stimulus yang diterima seseorang sangat komplek, stimulus masuk ke dalam otak, kernudian diartikan, ditafsirkan serta diberi makna melalui proses yang rumit baru kemudian dihasilkan persepsi. Dalam hal ini, persepsi mencakup penerimaan stimulus (inputs), pengorganisasian stimulus dan penerjemahan atau penafsiran stimulus yang telah diorganisasi dengan cara yang dapat mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap, sehingga orang dapat cenderung menafsirkan perilaku orang lain sesuai dengan keadaannya sendiri (Gibson, 1986). Proses pembentukan persepsi dijelaskan oleh Feigi dalam Gibson (1986) sebagai pemaknaan hasil pengamatan yang diawali dengan adanya stimuli. Setelah mendapat stimuli, pada tahap selanjutnya terjadi seleksi yang berinteraksi dengan "interpretation", begitu juga berinteraksi dengan "closure". Proses seleksi terjadi pada saat seseorang memperoleh informasi, maka akan berlangsung proses penyeleksian pesan tentang mana pesan yang dianggap penting dan tidak penting. Proses closure terjadi ketika hasil seleksi tersebut akan disusun menjadi satu kesatuan

Universitas Sumatera Utara

yang berurutan dan bermakna, sedangkan interpretasi berlangsung ketika yang bersangkutan memberi tafsiran atau makna terhadap informasi tersebut secara menyeluruh. Faktor-faktor fungsional yang menentukan persepsi seseorang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain termasuk yang kita sebut sebagai faktor-faktor personal (Rachmat 1998). Selanjutnya Rakhmat menjelaskan yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberi respon terhadap stimuli. Persepsi meliputi juga kognisi (pengetahuan), yang mencakup penafsiran objek, tanda dan orang dari sudut pengalaman yang bersangkutan (Gibson, 1986). Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubunganhubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Menurut Rachmat (2005), persepsi adalah suatu proses tentang petunjuk-petunjuk inderawi (sensory) dan pengalaman masa lampau yang relevan diorganisasikan untuk memberikan kepada kita gambaran yang terstruktur dan bermakna pada suatu situasi tertentu. Kaitannya dengan pola makan penderita DM, perbedaan penderita maka perbedaan terhadap persepsi mereka terhadap pencegahan penyakit DM dalam konteks konsumsi makanan. Menurut Ismael (2001), bahwa penderita DM mempunyai perbedaan persepsi terhadap dirinya dan kehidupannya termasuk dalam pola makan karena adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh, seperti sering kencing, perubahan pola tidur, dan stres.

Universitas Sumatera Utara

2.3.2. Kepercayaan Diri Kepercayaaan merupakan suatu keyakinan yang diyakini oleh individu terhadap sesuatu fenomena. Kepercayaan tersebut didasarkan pada pengalaman sebelumnya dan kebiasaan-kebiasaan yang ada di masyarakat. Kepercayaan tersebut secara tidak langsung berimplikasi terhadap keseluruhan tata cara kehidupan masyarakat, dan erat kaitannya dengan kebudayaan suatu kelompok masyarakat. Menurut GM Foster (1973) aspek kepercayaan mempengaruhi status kesehatan dan perilaku kesehatan seseorang. Kepercayaan tersebut secara psikologis bersumber dari dalam diri individu terhadap suatu objek atau informasi yang diyakininya bermanfaat dan dapat diadopsi. Menurut G.M.Foster, (1973) untuk mempelajari dinamika dari proses proses perubahan dari sudut individu, maka perlu sekali mengetahui kondisi dasar dari individu agar mau mengubah tingkah lakunya, yaitu : (1) individu harus menyadari adanya kebutuhan untuk berubah, (2) harus mendapat informasi bagaimana kebutuhan ini dapat dipenuhi, (3) mengetahui bentuk pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhannya dan biayanya, (4) tidak mendapat sanksi yang negatif terhadap individu yang akan menerima inovasi. Selanjutnya Foster (19873) menyatakan bahwa untuk membantu individu mau mengubah perilakunya, maka yang perlu diperhatiakan adalah : 1) mengidentifikasi individu, masyarakat yang menajadi sasaran perubahan, 2) mengetahui motif yang mendorong perubahan, antara lain adalah motif ekonomi, religi, persahabatan, prestise, 3) mengetahui faktor-faktor lain misalnya : kekuatan sosial dan nilai-nilai

Universitas Sumatera Utara

yang ada dalam masyarakat, kebutuhan masyarakat, waktu yang tepat, golongan dalam masyarakat yang mudah diterima ide baru, serta golongan yang berkuasa. 2.3.3. Dukungan Keluarga Variabel psikososial yang erat kaitannya dengan perilaku kesehatan adalah adanya interaksi sosial dalam bentuk dukungan baik dukungan kelompok maupun dukungan secara sosial. Interaksi sosial adalah keterlibatan secara individu penderita DM dalam suatu kelompok masyarakat dan keluarga, artinya adanya dukungan sosial atau dukungan keluarga dalam memperhatikan pola makan penderita DM merupakan suatu interaksi sosial. Menurut Departemen Kesehatan RI (1998) keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala Keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat dibawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Secara prinsip keluarga adalah unit terkecil masyarakat,terdiri atas dua orang atau lebih, adanya ikatan perkawinan dan pertalian darah, hidup dalam satu rumah tangga, di bawah asuhan seorang kepala rumah tangga, berinteraksi di antara sesama anggota keluarga, setiap anggota keluarga mempunyai peran masing-masing, menciptakan, mempertahankan suatu kebudayaan. Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan pendapat Rusli (2007), dukungan keluarga terhadap pemberian ASI Eksklusif pada ibu bekerja sangat diperlukan, menyusui merupakan aktifitas keluarga. Setiap anggota keluarga mempunyai struktur peran formal dan informal. Misalnya, ayah mempunyai peran formal sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah. Peran informal ayah adalah sebagai panutan dan pelindung keluarga. Struktur kekuatan keluarga meliputi kemampuan berkomunikasi, kemampuan keluarga untuk saling berbagi, kemampuan sistem pendukung diantara anggota keluarga, kemampuan perawatan diri, dan kemampuan menyelesaikan masalah (Sudiharto, 2007). Friedman dalam Sudiharto (2007), menyatakan bahwa fungsi dasar keluarga antara lain adalah fungsi efektif, yaitu fungsi internal keluarga untuk pemenuhan kebutuhan psikososial, saling mengasuh dan memberikan cinta kasih, serta saling menerima dan mendukung.

2.3. Pengaruh Psikososial terhadap Pola Makan Penderita DM Secara epidemiologi faktor risiko terhadap terjadinya penyakit DM antara lain karakteristik individu dan perilaku yang berkaitan dengan pola makan dan gaya hidup karakteristik adalah segala sesuatu yang merupakan ciri-ciri biologis dan sosial yang terdapat pada penderita DM. Perbedaan ciri-ciri dapat menyebabkan perbedaan prevalensi DM dan perbedaan pola makan. Karakteristik tersebut seperti karakteristik sosiodemografi misalnya tempat/daerah, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, sosial ekonomi, dan perilaku (pengetahuan dan sikap) serta sosial budaya dan pola

Universitas Sumatera Utara

makan. Penelitian Suryono (2004) prevalensi DM di Jakarta berkisar 2,8%, dan umumnya terjadi pada penduduk dewasa. Menurut Marimis (2006). Perubahan psikologis seseorang dalam dilakukan dengan memperhatikan masalah emosional dengan maksud menghilangkan, mengubah gejala yang ada dan mengembangkan pertumbuhan kepribadian yang positif. Kaitannya dengan kepatuhan perubahan pola makan, maka dapat dilakukan dengan memberikan stimulan secara terpadu terhadap manfaat dari pola makan yang dianjurkan yang berhubungan dengan penanganan penyakit DM. Unsur psikososial adalah salah satu unsur yang terdapat dalam diri individu yang berdampak terhadap perubahan metabolisme tubuh yang menyebabkan terjadinya sakit. Mengutip teori determinan derajat kesehatan masyarakat yang dikemukakan oleh H.L Blum (1974) bahwa derajat kesehatan dipengaruhi oleh faktor agent yaitu segala sesuatu penyebab terjadinya suatu penyakit, dalam hal ini berhubungan dengan ketidak seimbangan asupan makanan penderita DM, faktor host, yaitu faktor yang bersumber dari individu seperti karakteristik individu dan perilaku individu serta faktor environment yaitu faktor yang bersumber dari lingkungan, seperti lingkungan fisik dan sosial. Berkaitan dengan konsep psikososial, dapat diketahui bahwa terdapat pengaruh persepsi penderita DM terhadap pola makan seimbang seperti penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Heilbronn, dkk (2002) bahwa pemberian diet rendah lemak dan tinggi karbohidrat dengan indeks glikemik rendah

Universitas Sumatera Utara

dapat menurunkan kadar glukosa darah pada pengidap DM tipe 2 yang memiliki kadar glukosa darah tidak terkendali. Faktor penyebab utama terjadinya kegagalan pengobatan diabetes mellitus adalah ketidak-disiplinan atau ketidak-tahuan klien diabetes mellitus tentang penyakit, program pengobatan dan perawatan. Informasi mengenai program diet yang diberikan pada klien diabetes mellitus adalah intervensi penting dalam meningkatkan kepatuhan klien pada program diet (Travis, 1997). Menurut model kepercayaan kesehatan (Health Belief Model) yang dikembangkan oleh Rosenstock (1982) dalam Sarwono (2004) bahwa perilaku individu ditentukan oleh motif dan kepercayaannya. Tanpa mempedulikan apakah motif dan kepercayaan tersebut sesuai atau tidak dengan realitas atau dengan pandangan orang lain tentang apa yang baik untuk individu tersebut. Model kepercayaan kesehatan ini mencakup 5 unsur utama, sebagai berikut: a. Persepsi individu tentang kemungkinannya terkena suatu penyakit (perceived susceptibility). Mereka yang merasa dapat terkena penyakit tersebut akan lebih cepat merasa terancam. b. Pandangan individu tentang beratnya penyakit tersebut (perceived seriousness), yaitu risiko dan kesulitan apa saja yang akan dialaminya dari penyakit itu. c. Makin berat risiko suatu penyakit dan makin besar kemungkinannya bahwa individu tersebut terserang penyakit tersebut, makin dirasakan besar ancamannya (perceived threats). Ancaman ini mendorong individu untuk melakukan tindakan pencegahan atau penyembuhan penyakit. Namun ancaman yang terlalu besar

Universitas Sumatera Utara

malah menimbulkan rasa takut dalam diri individu yang justru malah menghambatnya untuk melakukan tindakan karena individu tersebut merasa tidak berdaya melawan ancaman tersebut. Guna mengurangi rasa terancam tersebut, ditawarkanlah suatu alternatif tindakan oleh petugas kesehatan. Apakah individu akan menyetujui alternatif yang diajukan petugas tergantung pada pandangannya tentang manfaat dan hambatan dari pelaksanaan alternatif tersebut. Individu akan mempertimbangkan apakah alternatif tersebut memang dapat mengurangi ancaman penyakit dan akibatnya yang merugikan. d. Namun sebaliknya, konsekuensi negatif dari tindakan yang dianjurkan tersebut (biaya yang mahal, rasa malu, takut akan rasa sakit, dan sebagainya) seringkali menimbulkan keinginan individu untuk justru menghindari alternatif yang dianjurkan petugas kesehatan. Ini merupakan perceived benefits and barriers dari tindakan yang dianjurkan. Untuk akhirnya memutuskan menerima atau menolak alternatif tindakan tersebut. e. Faktor pencetus (cues to action) bisa datang dari dalam diri individu (munculnya gejala-gejala penyakit itu) ataupun dari luar (nasihat orang lain, kampanye kesehatan, seorang teman atau anggota keluarga terserang oleh penyakit yang sama, dan sebagainya). Bagi mereka yang memiliki motivasi yang rendah untuk bertindak (misalnya yang tidak percaya bahwa dirinya akan terserang penyakit tersebut, yang menganggap remeh akibat penyakit tersebut atau yang takut menerima pengobatan) diperlukan rangsangan yang lebih intensif untuk mencetuskan respon yang diinginkan, sebab bagi kelompok semacam ini

Universitas Sumatera Utara

penghayatan subjektif terhadap hambatan/risiko negatif dari pengobatan penyakitnya jauh lebih kuat dari pada gejala objektif dari penyakit tersebut ataupun pandangan/saran profesional petugas kesehatan. Tetapi bagi mereka yang sudah termotivasi untuk bertindak, maka rangsangan sedikit saja sudah cukup untuk menimbulkan respon tersebut (Sarwono, 2004).

2.4. Kepatuhan Penderita DM Mengikuti Anjuran Pogram Diet Kepatuhan yaitu tingkat/derajat dimana penderita DM mampu melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokter atau tim kesehatan lainnya (Smet, 1994). Kepatuhan merupakan tingkat dimana perilaku seseorang sesuai dengan saran praktisi kesehatan. Shillinger (1983) yang dikutip Travis (1997) bahwa kepatuhan mengacu pada proses dimana seorang penderita DM mampu mengasumsikan dan melaksanakan beberapa tugas yang merupakan bagian dari sebuah regimen terapeutik. Kepatuhan seseorang terhadap suatu regimen terapi bergantung pada berbagai variabel seperti umur, pendidikan, tingkat ekonomi, kompleksitas terapi dan kesesuaian penderita DM dengan program tersebut serta nilai-nilai penderita DM mengenai kesehatan. Trekas (1984) dalam Ratanasuwan, dkk (2005) bahwa kemampuan penderita DM untuk mengontrol kehidupannya dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan. Seseorang yang berorientasi pada kesehatan cenderung mengadopsi semua kebiasaan yang dapat meningkatkan kesehatan dan menerima regimen yang akan memulihkan kesehatannya. Orang yang melihat

Universitas Sumatera Utara

penyakit sebagai kelemahan akan menyangkal penyakit atau hadirnya penyakit itu. Pengingkaran ini dapat mempengaruhi terjadinya ketidakpatuhan. Taylor (1990) dalam Sarwono (2004), bahwa ketidakpatuhan merupakan salah satu masalah yang berat dalam dunia medis, dan oleh karena itu sejak tahun 1960-an sudah mulai diteliti di negara-negara industri. Secara umum, ketidakpatuhan meningkatkan risiko berkembangnya masalah kesehatan dan dapat berakibat memperpanjang atau memperburuk penyakit yang sedang diderita (Smet, 1994). Mematuhi program diet/pola makan adalah hasil dari proses perubahan perilaku. Perilaku yang menetap memerlukan motivasi dan keyakinan yang kuat (Marimis, 2006). Penderita DM mungkin saja memiliki pengetahuan mengenai suatu prosedur pengobatan, tetapi tidak berkemauan dan tidak mampu melaksanakannya karena adanya reaksi negatif terhadap kondisi/cara perawatan penyakit (Rowley, 1999). Upaya yang dapat dilakukan oleh petugas kesehatan dalam meningkatkan kepatuhan penderita DM diabetes mellitus untuk melaksanakan program diet diantaranya dengan membimbing penderita DM dalam menerapkan program diet tersebut dalam kehidupan sehari-hari dengan cara mengidentifikasi pengetahuan dan kepercayaan penderita DM terhadap program diet secara mendalam terlebih dahulu. Ciptakan juga komunikasi yang terbuka dengan penderita DM dan berikan suatu perhatian dalam komunikasi tersebut. Tenaga kesehatan mungkin akan membutuhkan waktu yang lama ketika menghadapi penderita DM yang lanjut usia, penderita DM dengan pengetahuan yang kurang atau penderita DM dengan latar belakang budaya

Universitas Sumatera Utara

yang berbeda, sehingga tercipta rasa percaya di dalam diri penderita DM untuk melaksanakan program diet dan tetap melakukan kontrol. Tenaga kesehatan juga perlu untuk memonitor perkembangan kepatuhan penderita DM misalnya melalui pesawat telepon bila penderita DM sulit untuk mendatanginya. Tenaga kesehatan juga harus lebih terfokus pada perkembangan motivasi penderita DM dan berupaya

mengintegrasikan penyakit ke dalam konsep diri penderita DM untuk meningkatkan kepatuhan secara jangka panjang, serta membantu penderita DM melakukan

perubahan gaya hidup yang sesuai dengan anjuran kesehatan (Rowley, 1999). Hasil penelitian Soebadri, dkk (2003), bahwa 75% penderita DM tidak mentaati diet yang dianjurkannya dan 50% mempunyai control glukosa darah yang buruk. Selain itu dilihat dari faktor individu, menurut PARKENI (1998), bahwa kepatuhan penderita DM terhadap pengobatan terkait dengan pengetahuan dan manfaat yang diperolehnya dari pengobatan. Kepatuhan penderita DM tipe 2 pada terapi diet merupakan masalah yang sulit dikendalikan. Beberapa penelitian menunjukkan 75% penderita tidak mentaati diet yang dianjurkan (Basuki, 2000) dan 53% mempunyai kontrol glukosa darah yang buruk. Ketidakpatuhan ini mengakibatkan penderita memperoleh pengobatan yang sebenarnya tidak diperlukan, sehingga biaya perawatan menjadi semakin mahal. Setiap peningkatan 1% HbA1c akan meningkatkan ongkos perawatan medik di atas 7%. Kepatuhan penderita terhadap pengobatan terkait dengan beberapa faktor, salah satunya adalah pengetahuan terhadap penyakit dan manfaat yang diperoleh dari pengobatan. Menurut PARKENI (1998) melaporkan bahwa lebih dari 50% penderita

Universitas Sumatera Utara

DM tipe 2 tidak mengetahui penyakit dan komplikasi lanjut, sehingga datang ke rumah sakit dengan glukosa darah yang tinggi disertai berbagai komplikasi. Telah diketahui bahwa konseling dapat mengatasi ketidakpatuhan penderita DM. Edukasi yang baik dan tepat akan menggugah kesadaran penderita untuk mau mengubah dan menjalankan diet yang dianjurkan, sehingga kadar glukosa darah terkendali dengan baik dan mencegah timbulnya komplikasi. Nicolucci et al (1996) melaporkan bahwa penderita DM yang tidak mendapatkan edukasi memiliki risiko 4 kali lebih tinggi terkena komplikasi dibandingkan yang mendapatkan edukasi. Untuk upaya pencegahan primer, materi yang disampaikan saat konseling ditekankan pada faktor penyebab timbulnya DM dan usaha mengurangi faktor risiko, tujuan utama menjalankan diet, perencanaan makan, serta komplikasi DM (Waspadji, 2007).

2.5. Landasan Teori DM merupakan salah satu penyakit degeneratif yang disebabkan

ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai insulin. Beberapa faktor risiko terjadinya penyakit DM adalah sosiodemografi meliputi umur, jenis kelamin, pekerjaan, perilaku kesehatan serta sosio budaya masyarakat khususnya dalam perubahan pola makan mereka (Waspadji, 2007). Menurut Smet (1994), psikososial adalah hubungan yang dinamis antara psikologis dan pengaruh sosial dan di antara keduanya saling mempengaruhi. Gangguan psikososial terjadi apabila terdapat ketidakseimbangan antara kedua komponen di atas yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan, sehingga

Universitas Sumatera Utara

penderita DM harus beradaptasi untuk menghadapi perubahan tersebut. Menurut Sarwono (2002) beberapa faktor yang termasuk dalam Psikososial antara lain persepsi, motivasi (motif), kepercayaan dan adanya interaksi sosial. Ke empat faktor tersebut merupakan unsur-unsur yang tidak terlepas dalam diri individu selama proses perkembangan dan perilakunya, termasuk dalam perilaku kesehatan yaitu dalam mengatur pola makan seimbang dan sehat. H.L Blum (1974) bahwa derajat kesehatan dipengaruhi oleh faktor agent yaitu segala sesuatu penyebab terjadinya suatu penyakit, dalam hal ini berhubungan dengan ketidakseimbang asupan makanan penderita DM, faktor host, yaitu faktor yang bersumber dari individu seperti karakteristik individu dan perilaku individu serta faktor environment yaitu faktor yang bersumber dari lingkungan, seperti lingkungan fisik dan sosial.

2.6. Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan rumusan teori tersebut, maka peneliti dapat merumuskan kerangka konsep penelitian serta variabel-variabel yang diteliti berikut ini:

Faktor Psikososial 1. Motivasi Diri 2. Persepsi 3. Kepercayaan Diri 4. Dukungan Keluarga

Pola Makan Penderita DM

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan Gambar 2.1, diketahui bahwa variabel independen dalam penelitian ini adalah variabel psikososial yang terdiri dari variabel motivasi diri, persepsi, kepercayan diri dan dukungan keluarga. Sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah variabel pola makan penderita DM yang dilihat dari jumlah asupan energi,jadwal makan dan jenis makanan yang dikonsum

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai