Anda di halaman 1dari 3

PELUANG AGROINDUSTRI SERAT ABAKA

Posted on 13/02/2012 Pada krisis ekonomi akhir 1990an, masyarakat dilanda euforia pisang abaka. Bersama dengan cacing, dan jangkrik, abaka dianggap sebagai komoditas ajaib, yang akan membebaskan masyarakat dari keterpurukan. Konon, permintaan serat abaka sebagai bahan kertas uang tanpa batas. Harganya juga tinggi. Ketika itu, kredit untuk budidaya pisang abaka dikucurkan di mana-mana. Baik dalam bentuk Kredit Usaha Tani (KUT), Jaring Pengaman Sosial (JPS), maupun bentuk-bentuk lain. Buku tentang pisang abaka dicetak, kursus diselenggarakan, dan benih menjadi rebutan. Ternyata, komoditas jangkrik, cacing, dan pisang abaka, tidak sehebat yang diisukan. Satu per satu komoditas itu dilupakan. Termasuk pisang abaka. Padahal, kebutuhan serat nabati, jelas sangat riil. Beda dengan kebutuhan cacing, jangkrik, ikan louhan, dan belakangan ini anthurium Gelombang Cinta. Abaka (Abaca, Musa textilis), memang jenis pisang asli Filipina. Abaka juga disebut manila hemp, Cebu hemp, dan Davao hemp. Istilah hemp sendiri, berasal dari bahasa Inggris kuno hnep, hingga di sekolah kita sering diberi tahu pak guru tentang pohon pisang penghasil manila henep. Hemp adalah istilah untuk komoditas serat dari tanaman ganja (Cannabis sativa L. subsp. sativa var. sativa). Hingga serat abaca pun diberi sebutan manila hemp, untuk membedakannya dengan hemp asli yang berasal dari tanaman Canabis. Abaka adalah komoditas penghasil serat nabati yang cukup penting. Itulah sebabnya tahun 1925, pemerintah Kolonial Belanda pernah mengembangkan abaka secara besar-besaran di Sumatera Utara. Tahun 1930, pemerintah Inggris juga menanam komoditas ini di Sabah dan Serawak, Kalimantan Utara. Pada tahun-tahun itu, Departemen Pertanian AS (USDA), juga menyeponsori usaha pengembangan abaka di Amerika Tengah. Di Filipina sendiri, abaka sudah dikebunkan secara komersial sejak tahun 1800an. ### Sosok tanaman abaka, sama dengan pisang biasa. Yang membedakannya adalah, abaka lebih ramping. Tingginya bisa sampai enam meter. Ciri khas abaka adalah batang, dan pelepahnya berwarna kecokelatan. Helai daunnya variegata hijau dengan cokelat, mirip dengan seragam Korps Pasukan Khusus (Kopasus) TNI AD. Abaka juga tidak menghasilkan pisang, sebab buahnya tidak pernah tumbuh sempurna. Seperti halnya pisang lainnya, abaka tumbuh merumpun dengan satu induk dan beberapa anakan tanaman. Anakan inilah yang digunakan sebagai benih dalam budidaya abaka. Abaka ditanam dengan jarak rapat, agar pertumbuhannya meninggi. Dengan tumbuh meninggi, akan diperoleh batang yang cukup panjang, hingga serat yang dihasilkan juga panjang. Umur

abaka sejak tanam sampai panen antara 18 sd. 24 bulan (1,5 2 tahun). Panen bisa dilakukan terus-menerus selang 3 sampai 8 bulan, selama sekitar 20 tahun. Abaka dipanen dengan menebang batangnya. Pada pisang buah, penebangan dilakukan di bagian tengah batang. Dalam memanen abaka, penebangan dilakukan pada bagian pangkal batang. Serat abaka diambil terutama dari bagian batang. Batang pisang, sebenarnya merupakan batang semu, yang terdiri dari lembaran pelepah daun yang menyatu. Batang aslinya pisang beruba bonggol yang berada dalam tanah. Lembaran-lembaran pelepah daun inilah yang selanjutnya akan diproses untuk diambil seratya. Dalam satu batang abaka berdimeter 30 40 cm, bisa diperoleh antara 12 sd. 25 lembar pelepah daun. Selain terdiri dari serat selulosa, pelepah abaka juga mengandung lignin, dan pektin. Setelah lignin dan pektin, dihilangkan, serat abaka disebut sebagai manila, atau manila hemp. Kelebihan manila hemp adalah awet, lentur, dan tahan salinitas. Itulah sebabnya serat abaka populer sebagai tali kapal, serta jaring nelayan. Nilon memang lebih tahan terhadap air laut, tetapi kelemahannya tidak tahan panas, dan mudah kusut. Selain untuk tali, manila hemp juga polpuler sebagai bahan kertas (manila papers), termasuk untuk amplop manila, dan juga sebagai bahan kain. Serat manila hemp bisa dipintal tunggal, bisa dicampur kapas, rami, hemp, rayon, dan polyester. Kain dari bahan manila hemp juga sangat kuat, meskipun kualitasnya tidak sebaik rami. ### Selama ini, kebutuhan kapas untuk industri tekstil kita, 95% tergantung dari impor. Jadi baju yang kita pakai ini, termasuk celana jeans, kapasnya berasal dari AS. Kapas memang tidak mungkin dibudidayakan di kawasan tropis, dengan hasil sebaik di kawasan temperate. Alternatifnya adalah kita menggenjot buidaya rami (Boehmeria nivea), jute (Corchorus capsularis, dan Corchorus olitorius); kenaf (Hibiscus cannabinus), serta Canabis dan abaka. Masing-masing tentu punya kelebihan, dan kekurangan. Yang jelas, tanaman-tanaman itu asli dari kawasan tropis. Abaka punya kelebihan karena budidayanya relatif sederhana, dibanding dengan rami, jute, kenaf, dan canabis. Rami yang budidaya sekali bisa untuk lebih dari 10 tahun, hanya cocok pada ketinggian di atas 500 m. dpl. Jute, kenaf, dan canabis merupakan tanaman semusim, yang sekali tanam harus dibongkar. Abaka cocok dibudidayakan mulai dari dataran rendah, sampai ketinggian 1500 m. dpl. di kawasan basah. Sekali tanam, abaka kan bisa terus menerus dipanen selama 20 tahun. Abaka juga akan banyak menyerap tenaga kerja, baik untuk budidaya maupun prosesingnya. Pada salah satu dari lima bidang perisai Garuda Pancasila, lambang negara kita, ada gambar padi dan kapas. Padi kita memang cukup, meskipun kadangkala masih harus impor. Pola makan kita juga berubah dari nasi ke mi dan roti. Impor gandum mencapai 5 juta ton per tahun. Dan kapas yang ada pada lambang negara itu, 95% harus diimpor dari Texas, AS. Kapas memang jangan dibudidayakan, kecuali di NTB, NTT, dan Sultra. Untuk itu, kita masih punya alternatif membudidayakan banyak komoditas penghasil serat nabati. Salah satunya adalah abaka. (R) # # #

Anda mungkin juga menyukai