Anda di halaman 1dari 5

TUGAS HEGEMONI DAN PERTANYAAN

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sejarah Indonesia Modern (SIM)

Oleh : Nofiyantri Maghfiroh

UNIVERSITAS MATHLAUL ANWAR 2011-2012

Konsep Hegemoni
Istilah hegemoni berasal dari istilah yunani, hegeisthai (to lead ?). Konsep hegemoni

mempertahankan kekuasaan oleh pihak penguasa. Penguasa disini memiliki arti luas, tidak hanya terbatas pada penguasa negara (pemerintah). Hegemoni bisa didefinisikan sebagai: dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, dengan atau tanpa ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan terhadap kelompok yang didominasi diterima sebagai sesuatu yang wajar (common sense). Lihat juga definisi dibawah ini: Hegemony is the dominance of one group over other groups, with or without the threat of force, to the extent that, for instance, the dominant party can dictate the terms of trade to its advantage; more broadly, cultural perspectives become skewed to favor the dominant group. Hegemony controls the ways that ideas become naturalized in a process that informs notions of common sense (http://en.wikipedia.org/wiki/Hegemony) Dominant groups in society, including fundamentally but not exclusively the ruling class, maintain their dominance by securing the spontaneous consent of subordinate groups, including the working class, through the negotiated construction of a political and ideological consensus which incorporates both dominant and dominated groups. (Strinati, 1995: 165)

Dapat kita simpulkan bahwa: Dalam hegemoni, kelompok yang mendominasi berhasil mempengaruhi kelompok yang didominasi untuk menerima nilai-nilai moral, politik, dan budaya dari kelompok dominan (the ruling party, kelompok yang berkuasa). Hegemoni diterima sebagai sesuatu yang wajar, sehingga ideologi kelompok dominan dapat menyebar dan dipraktekkan. Nilai-nilai dan ideologi hegemoni ini diperjuangkan dan dipertahankan oleh pihak dominan sedemikian sehingga pihak yang didominasi tetap diam dan taat terhadap kepemimpinan kelompok penguasa. Hegemoni bisa dilihat sebagai strategi untuk mempertahankan kekuasaan the practices of a capitalist class or its representatives to gain state power and maintain it later. (Simon, 1982: 23) Jika dilihat sebagai strategi, maka konsep hegemoni bukanlah strategi eksklusif milik penguasa. Maksudnya, kelompok manapun bisa menerapkan konsep hegemoni dan menjadi penguasa. Sebagai contoh hegemoni, adalah kekuasaan dolar amerika terhadap ekonomi global. Kebanyakan transaksi internasional dilakukan dengan dolar amerika

Pembentukan Hegemoni
Gramsci (1891-1937) merupakan tokoh yang terkenal dengan analisa hegemoninya. Analisa Gramsci merupakan usaha perbaikan terhadap konsep determinisme ekonomi dan dialektika sejarah Karl Marx (lihat Das Capital Marx). Dalam dialektika sejarah Marx, sistem kapitalisme akan menghasilkan kelas buruh dalam jumlah yang besar dan terjadi resesi ekonomi. Pada akhirnya, akan terjadi revolusi kaum buruh (proletar) yang akan melahirkan sistem sosialisme. Dengan kata lain, kapitalisme akan melahirkan sosialisme. Namun, hal ini tidak terjadi. Gramsci mengeluarkan argumen bahwa kegagalan tersebut disebabkan oleh ideologi, nilai, kesadaran diri, dan organisasi kaum buruh tenggelam oleh hegemoni kaum penguasa (borjuis). Hegemoni ini terjadi melalui media massa, sekolah-sekolah, bahkan

melalui khotbah atau dakwah kaum religius, yang melakukan indoktrinasi sehingga menimbulkan kesadaran baru bagi kaum buruh. Daripada melakukan revolusi, kaum buruh malah berpikir untuk meningkatkan statusnya ke kelas menengah, mampu mengikuti budaya populer, dan meniru perilaku atau gaya hidup kelas borjuis. Ini semua adalah ilusi yang diciptakan kaum penguasa agar kaum yang didominasi kehilangan ideologi serta jatidiri sebagai manusia merdeka. Agar kaum buruh dapat menciptakan hegemoninya, Gramsci memberikan 2 cara (Strinati, 1995), yaitu melalui war of position ?(perang posisi) dan war of movement ?(perang

pergerakan). Perang posisi dilakukan dengan cara memperoleh dukungan melalui propaganda media massa, membangun aliansi strategis dengan barisan sakit hati, pendidikan pembebasan melalui sekolah-sekolah yang meningkatkan kesadaran diri dan sosial. Karakteristiknya: Perjuangan panjang Mengutamakan perjuangan dalam sistem Perjuangan diarahkan kepada dominasi budaya dan ideologi Perang pergerakan dilakukan dengan serangan langsung(frontal), tentunya dengan dukungan massa. Perang pergerakan bisa dilakukan setelah perang posisi dilakukan, bisa juga tidak. Meskipun analisa Gramsci berkisar pada perang kelas ekonomi, konsep hegemoni dapat diperluas ke wilayah sosial dan regional. Misalnya, undang-undang subversif pada zaman orba. Di kampus, kita bisa lihat hegemoni KM ITB, hegemoni rektorat. Pada tulisan berikutnya, kita akan analisa hegemoni di kampus ITB.

Hegemoni dan Sekelumit Sejarahnya


Antonio Gramsci (1891-1937) disepakati oleh banyak ilmuwan sebagai Bapak Hegemoni. Ilmuwan yang menghabiskan masa kanak-kanaknya di Sardinia, Italia, menyelesaikan studinya di Turin, dan kemudian menghabiskan akhir hidupnya di penjara, meluncurkan konsep hegemoni pada tahun 1926. Konsep yang dikenal sangat tajam ini ditujukan untuk mengkritik pandangan Marxisme, yang oleh banyak pengamat pada waktu itu dianggap sedang berubah menjadi sesuatu yang bersifat dogmatik.

Melalui konsep hegemoni, Gramsci berargumentasi bahwa kekuasaan agar dapat abadi dan langgeng membutuhkan paling tidak dua perangkat kerja. Yang pertama adalah perangkat kerja yang mampu melakukan tindak kekerasan yang bersifat memaksa, atau dalam bahasa yang lunaknya dapat dikatakan bahwa kekuasaan membutuhkan perangkat kerja yang bernuansa law enforcement. Perangkat kerja yang pertama ini biasanya dilakukan oleh dan/atau atas nama lembaga hukum, militer, polisi dan bahkan juga penjara. Sedangkan perangkat kerja yang kedua adalah perangkat kerja yang mampu membujuk masyarakat banyak beserta dengan pranata-pranatanya untuk taat pada mereka yang berkuasa melalui kehidupan beragama, pendidikan, kesenian, dan bahkan juga keluarga. Karena perangkat kerja yang pertama biasanya dilakukan oleh pranata negara atau State dan perangkat kerja yang kedua dilakukan oleh masyarakat sipil atau Civil Society, maka tidak mengherankan jika kedua istilah ini, State dan Civil Society, ikut-ikutan menjadi populer bersamaan dengan semakin melambungnya popularitas konsep hegemoni itu sendiri. Lebih jauh dikatakan oleh Gramsci bahwa bila kekuasaan hanya dicapai dengan mengandalkan kekuatan memaksa, maka hasil nyata yang berhasil dicapai dinamakan dominasi. Stabilitas dan Keamanan memang tercipta, sementara gejolak perlawanan tidak terlihat karena rakyat memang tidak berdaya. Yang membangkang dihajar, yang tidak setuju dengan pemerintah dikucilkan, diasingkan, dipenjarakan atau bahkan dibungkam. Modus pembungkaman, jika apa yang dilakukan oleh rezim Orde Baru boleh dijadikan contoh, dapat berupa penganiayaan, pengamanan oleh pihak yang berwajib, penculikan, dan seribu satu macam tuduhan lainnya seperti tuduhan subversif, umpamanya! Tindakan memaksa semacam ini mutlak diperlukan oleh penguasa, dalam artian memang harus dan perlu dilakukan, cuma sayangnya hal ini tidak dapat dilakukan terus menerus. Karenanya, para penguasa yang benar-benar sangat ingin melestarikan kekuasaannya dan menyadari keadaan ini, akan melengkapi dominasi (bahkan secara perlahan-lahan kalau perlu menggantikannya) dengan perangkat kerja yang kedua yang hasil akhirnya lebih dikenal dengan sebutan hegemoni. Fungsi utama hegemoni adalah mengabsahkan penguasa dan segala ketimpangan sosial (yang mungkin muncul) yang diakibatkan oleh kekuasaan itu sendiri. Bila hegemoni berhasil dicapai, maka penguasa tidak perlu terus menerus menindas dengan tindakan kekerasan, karena masyarakat mulai bersikap pasrah pada status quo. Mereka terbujuk untuk tidak lagi

melihat adanya ketimpangan yang merugikan diri mereka, atau mereka melihat bahwa ketimpangan yang ada sebagai sesuatu yang wajar, alamiah, bahkan adil karena sesuai dengan kehendak Yang Diatas Sana. Lebih jauh Gramsci mengatakan bahwa meskipun seperti itu, hegemoni ternyata juga memberi toleransi bagi perbedaan dan bahkan perlawanan, sejauh perlawanan tersebut dalam batas tertentu dan tetap berada dalam kendali sang penguasa. Pada masyarakat yang sudah mapan, hegemoni bahkan dapat sedemikian hebatnya, sampai-sampai rakyat tunduk pada penguasa tanpa penguasa perlu melakukan tindakan sensor, memperkuat pasukan anti huru-hara, maupun tindakan-tindakan represif lainnya. (Ingat masa-masa jaya Orde Baru!) Atau dengan kata lain, yang tertindas merasa bahagia dalam ketertindasannya sehingga mereka merasa tidak lagi perlu melakukan bantahan apalagi perlawanan. Keadaan ini jika dikaitkan dengan tipologi posisi kecendekiawanan, tentu saja masih menurut Gramsci, akan tampak seperti berikut. Gramsci membagi cendekiawan menjadi empat tipologi, yaitu (1) Cendekiawan Tradisional, yang menjadi penyebar ide dan mediator antara massa rakyat dengan kelas atasnya; (2) Cendekiawan Organik, yang dengan badan penelitian dan kajian yang dimilikinya berusaha memberi refleksi atas keadaan, tetapi biasanya terbatas hanya untuk kepentingan kelompoknya sendiri; (3) Cendekiawan Kritis, adalah kelompok yang mampu melepaskan diri dari

hegemoni penguasaan elit penguasa yang sedang memerintah dan mampu memberikan pendidikan alternatif bagi proses pemerdekaan; dan (4) Cendekiawan Universal yang selalu memperjuangkan proses peradaban dan struktur budaya dalam rangka pemanusiawian manusia agar harkat dan martabatnya dihormati.

PERTANYAAN :
TIPE CENDEKIAWAN MANA YANG HENDAK LEBIH DIKEMBANGKAN?

Anda mungkin juga menyukai