Anda di halaman 1dari 8

Bentor, Revitalisasi Kelembagaan dan Social Security

Funco Tanipu

ABSTRAK
Fenomena pertumbuhan ekonomi di Gorontalo terasa memprihatinkan. Pencitraan yang menggelembung meninggalkan banyak persoalan, diantaranya kenaikan angka pengangguran dan tingginya angka kemiskinan. Kondisi ini memaksa warga untuk mencari lapangan kerja di sektor informal, salah satunya adalah bentor. Namun, kehadiran bentor selain sebagai meluasnya sektor informal publi, juga menambah deretan problem yang serius, antaranya tata kelola, kelembagaan, regulasi, ekologi, dan ledakan sosial. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui relasi gelembung pencitraan keberhasilan dan menumpuknya masalah di sektor informal Gorontalo, juga menguraikan tawaran solutif bagi ruwetnya pengelolaan sektor informal di Gorontalo Keywords: bentor, sektor informal, revitalisasi kelembagaan, social security

Sepuluh tahun terakhir pertumbuhan penduduk Gorontalo sangat mencengangkan. Pada tahun 2000, penduduk Gorontalo berjumlah 830.184 jiwa, kini di tahun 2011 jumlah penduduk mencapai 1,2 juta jiwa. Dalam laporan Badan Pusat Statistik, tingkat pertumbuhan penduduk berkisar pada nilai 2,10, walaupun dengan angka fertilitas yang menurun. Pertumbuhan penduduk ini diakibatkan oleh adanya migrasi dari luar Gorontalo yang bertujuan untuk mencari kerja di Gorontalo.1 Selama sepuluh tahun terakhir, citra Provinsi Gorontalo yang disimbolkan dengan kesejahteraan, keberhasilan dan deretan prestasi telah menjadi magnet ekonomi bagi masyarakat di kawasan Teluk Tomini dan daerah lain untuk masuk dan mencari kerja di Gorontalo. Hal ini adalah kebanggaan, tetapi jika tidak diantisipasi sedari awal, akan menimbulkan ledakan sosial di masa akan datang. Sebab, mengingat angka kemiskinan Gorontalo yang berkisar di angka 25 persen

Periksa laporan Badan Pusat Statistik, Gorontalo Dalam Angka 2008, Badan Pusat Statistik Gorontalo, Gorontalo, 2008, hal 48.

dengan jumlah pengangguran sebesar 20 persen, potensi krisis sosial-ekonomi lokal masih terbuka.2 Walaupun kemudian angka pengangguran terbuka tidak meningkat secara tajam, tetapi dari tahun ke tahun mengalami kenaikan dan telah melampaui angka dua digit. Di tahun-tahun mendatang diperkirakan angka itu akan terus mengalami kenaikan karena prospek pertumbuhan ekonomi masih belum menunjukkan tandatanda perbaikan kearah yang dapat menciptakan peluang kerja. Pertumbuhan ekonomi yang diklaim telah menghampiri angka 7 persen seakan-akan telah menjadi doktrin keberhasilan mantra pembangunan. Provinsi Gorontalo yang telah memasuki usia kesepuluh kini memiliki deretan bangunan yang mulai menjulang, jalan raya yang mulai macet, sesaknya bentor dan kenderaan lain simpang siur di jalanan, atau orang-orang yang bergegas. Macet lalu diasosiakan dengan nilai-nilai kemajuan dan prestasi, padahal itu hanyalah semacam ketidakbecusan dalam manajemen transportasi. Perkembangan terakhir, Gorontalo tak ubahnya kumpulan sejarah, nostalgia, kenangan, identitas dan utopia. Itulah mengapa banyak khalayak mencoba memberi stempel pada Kota Gorontalo sebagai bandar, serambi madinah hingga yang terbaru adalah kota bentor. Penamaan ini sepadan dengan pendapat Manuel Castells mengenai sebuah teritori yang menurutnya adalah produk sejarah, tidak hanya pada materialitas fisiknya tetapi juga budayanya. Sebuah teritori adalah apa yang akan diputuskan masyarakat secara historis terhadap teritori itu. Dengan analisis Marxian, Manuel Castells dengan gamblang memaparkan sebuah teritori yang terbentuk atas landasan sistem ekonomi. Menurutnya, awal mula teritori tersebut, katakanlah Gorontalo, terbentuk akibat dari adanya teknologi dan jaringan transportasi. Transformasi perkembangan kota terpola atas dorongan industri. Hal tersebut bisa menjelaskan konsentrasi teritorial maupun kultural karena dua hal penting dari sistem industri: tenaga kerja dan produksi.3

2 3

Ibid Funco Tanipu, Politik Pascakolonial dan Postur Modernitas Kota Gorontalo, dalam Energi Peradaban, UNG Press, 2010, Gorontalo, hal 32

Dalam hal tersebut diatas, penulis mencoba mendedah postur Gorontalo dan perangkat sektor informalnya ; bentor. Lalu dari situ beroleh hal-hal prediktif dan analitis untuk kemudian fenomena tersebut dibaca sebagai teks yang berisi jaringan rumit tanda-tanda yang senantiasa terbuka untuk ditafsirkan oleh siapa pun. Sektor informal menjadi seksi untuk diuraikan karena berada pada titik kritis, yakni pada unsur political will Negara dalam mengelolanya. Selain diatas, tulisan ini berusaha mendeskripsikan situasi sektor informal Gorontalo dalam hal ini usaha bentor, dengan fokus pada implikasi berbagai peristiwa terhadap peluang kerja, pengangguran terbuka dan alternatif pemikiran pemecahan. Tanpa ada terobosan dalam upaya penciptaan peluang kerja lain, tidak tertutup kemungkinan akan munculnya ledakan sosial karena kebanyakan yang terlempar dari pasar kerja adalah golongan menengah bawah.

Memotret Bentor, Meneropong Gorontalo Sebagai sebuah kota yang beranjak dewasa, Gorontalo berkembang menjadi sebuah jazirah yang memiliki tingkat mobilitas yang sangat tinggi. Dengan bentangan jalan sepanjang 616 kilometer, dan dengan luas 12.215,44 km serta 1,2 juta jiwa penduduk telah menjadikan alat timbang sektor usaha bentor menjadi primadona bagi para pencari kerja di Gorontalo. Kondisi geografis dan demokrafis ini lalu ditambah dengan kebutuhan yang tinggi untuk berpindah tempat dari satu lokasi ke lokasi yang lain dalam hari yang sama, sehingga berdampak pada tingginya dinamika arus lalu lintas jalan-jalan di seluruh jalan di Gorontalo4. Menurut data terakhir yang diramu dari berbagai pihak, jumlah bentor di Gorontalo tercatat hampir berjumlah 25 ribu unit5. Jumlah bentor ini semakin tahun semakin meningkat akibat beberapa faktor. Tetapi faktor yang paling utama

4 5

BPS, op,cit Angka 25 ribu ini adalah prediksi dari berbagai sumber baik di Bappeda dan BPS. Sebab, di Gorontalo Dalam Angka terbita BPS tidak mencantumkan secara terbuka berapa jumlah bentor di Gorontalo. Identifikasi ini sangatlah sulit sebab kategori bentor sebagai angkutan umum tidak ada. Karena rata-rata masih menggunakan plat hitam sebagai tanda nomor kenderaan.

adalah keengganan masyarakat untuk menggunakan transportasi publik yang legal. Bentor tidak bisa dikatakan legal karena belum ada regulasi yang memayunginya. Keengganan masyarakat untuk menggunakan transportasi publik seperti angkotan kota dan bis Tran Hulonthalangi karena aspek efisiensi, karena kedua jenis transportasi tersebut tidak bisa menembus pelosok-pelosok Gorontalo. Pertumbuhan bentor yang semakin tinggi ini selain menandakan tingginya jumlah pencari kerja di Gorontalo. Pilihan menjadikan bentor sebagai potensi kerja disebabkan karena mudahnya menjadi tukang bentor itu sendiri. Menjadi tukang bentor tidak memerlukan jenjang pendidikan yang tinggi, keahlian khusus, hingga persyaratan ketat seperti di dunia kerja lainnya. Menjadi tukang bentor hanya dapat mengandalkan kesehatan fisik dan integritas. Faktor integritas disini jika berhubungan dengan majikan atau pemilik bentor. Bentor jika bukan milik sendiri maka harus menyetorkan 20 ribu rupiah per hari. Bisa pula menjadi milik sendiri dengan menjadikan motor pribadi menjadi bentor. Di sisi lain, menjadi tukang bentor tidak memerlukan perizinan yang rumit, karena masih menggunakan pelat hitam atau seperti motor pribadi. Pendapatan rutin tukang bentor biasanya berkisar di angka 500 750 ribu per bulan. Pendapatan ini dianggap lumayan oleh mereka yang berprofesi sebagai tukang bentor. Kondisi gampang inilah yang menjadikan pertumbuhan bentor meningkat secara signifikan. Kondisi ini agak berbeda dengan sektor utama lain yang tidak terlalu menyerap pasar tenaga kerja yang besar. Padahal, sektor utama Gorontalo berada pada tiga bidang; pertanian, perikanan dan kelautan. Kondisi inilah yang cukup mengherankan di tengah gencarnya promosi keberhasilan Gorontalo di tingkat nasional secara over dosis. Pertumbuhan bentor yang semakin luar biasa ini lalu ditandai dengan deretan masalah yang berada di sektor ini, yakni buruknya kemampuan dan kualitas pelayanan publik di bidang ini. Indikator makin buruknya pelayanan publik tersebut bisa dilihat dari efisiensi pergerakan warga dan barang dalam satuan jarak perjalanan, keamanan dan kenyamanan warga di perjalanan, serta resiko lingkungan yang semakin tinggi yang dihadapi warga di jalanan akibat tingkat polusi udara yang semakin meninggi.

Ketidakberesan ini selain menggangu stabilitas ekonomi lokal, juga menggangu psikologi publik, dan kerugian ekologis. Perekonomian lokal lambat laun sangat bergantung pada lancar tidaknya transportasi bentor beroperasi. Belum lagi tidak stabilnya ongkos transportasi ini. Misalnya, untuk ke Terminal Telaga Pasar Sentral biasanya dikenai 5 ribu rupiah, biasanya pula dikenai 10 ribu rupiah. Psikologi publik pun lambat laun semakin tergantung dengan sektor ini karena mampu menyediakan layanan antar jemput hingga tempat tersempit di Gorontalo. Kondisi ini memprihatinkan jika ketergantungan ini berlangsung lama dan meningkat yang otomatis berimplikasi pada meledaknya produksi bentor itu sendiri. Selain itu, bisa kita saksikan di setiap ruas jalan pada waktu pagi hari, hampir semua bentor tumpah ruah di jalanan, dengan begitu menghasilkan gas buangan yang mengotori udara Gorontalo. Menyelesaikan masalah transportasi bentor di Gorontalo sebenarnya bisa dilakukan dengn pendekatan secara simultan. Pertama, pemerintah harus menyediakan transportasi publik yang layak dan legal. Konteks layak adalah ketika bentor harus menjadi moda transportasi alternatif yang menyediakan layanan nyaman dan aman. Konteks legal yakni mesti ada regulasi yang memayungi sektor ini, sehingga memiliki konsekuensi retribusi pada pendapatan pajak daerah. Kedua, pemerintah mengendalikan produksi bentor semenjak sekarang. Pengendalian ini mesti dilakukan dari hulu ke hilir. Pemerintah mesti mengindentifikasi pabrik-pabrik bentor dan mengatur produksi bentor. Penulis berpandangan bahwa yang harus dilalukan terlebih dahulu adalah tahap pertama lalu kemudian secara bertahap pendekatan kedua. Pendekatan ini dilakukan dengan logika bahwa tidak mungkin mengurangi jumlah pengggunaan bentor tanpa terlebih dahulu menyediakan alternatif transportasi yang nyaman dan aman serta sektor usaha ekonomi lain. Jalan keluar lain adalah dengan menaktifkan moda transportasi publik, yang sudah ada sejak dahulu di Gorontalo yakni bis dan angkutan kota yang lebih nyaman dan murah. Untuk kota yang modern manapun yang menggunakan moda transportasi yang paling canggih, bis adalah sarana urgen dalam hal mobilitas publik. Masalahnya berada pada tidak terintegrasinya seluruh sistem transportasi

publik alternatif bentor yang dapat menembus jalan dan gang yang tidak dilalui bis/angkot umum. Hal ini terjadi karena dikte pasar yang menghendaki pemilik angkot atau bis bukannya memberikan layanan transportasi publik yang layak, yang terjadi justru mereka saling berlomba mendapatkan penumpang tanpa memberi perhatian pada kenyamaan dan keselamatan penumpang. Kondisi inilah yang memaksa warga memilih menggunakan bentor yang bisa diatur secara privat.

Logika Negara Mengikuti logika Negara dalam hal ini pemerintah daerah dalam mengelola sektor informal Gorontalo adalah melihatnya dari kebijakan yang ditelorkan. Namun, usaha pemenrintah daerah ini tidak pernah dilaksanakan secara serius, misalnya dengan memformalisasikan sektor informal. Kebijakan formalisasi ialah usaha untuk merevitalisasi sektor informal menjadi sektor formal, usaha ini dilakukan dengan menerapkan regulasi seperti yang diterapkan pada sektor formal. Agenda formalisasi ada yang melalui kebijakan peraturan dan ada dengan bantuan kredit dan teknis. Kebijakan ini diharapkan dapat menumbuhkembangkan sektor informal menjadi sektor formal. Tetapi, political will itu tanpa disadari memiliki implikasi tidak komprehensif dalam aplikasinya. Pada beberapa kasus, malah sektor informal justru menjadi kerdil dan mengecil tidak berkembang atau mengalami informalisasi. Van Dijk mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang dapat berpengaruh pada formalisasi dan informalisasi sektor informal, yakni kebijakan pemerintah mengenai ; 1) Aturan dan regulasi (perizinan, lisensi, registrasi, standarisasi kualitas). 2). Penerapan pajak atau retribusi. 3). Kesediaan memanfaatkan bantuan teknis dari pemerintah seperti program kredit usaha kecil. 4). Kebijakan pengembangan kegiatan usaha skala besar dalam hal kemudahan dalam impor barang dan jasa yang dapat dihasilkan secara lokal.6
6

Chris Manning dan Tadjuddin Noer Efendi, Urbanisasi, Pengangguran dan Sektor Informal di Kota. Gramedia Pustaka Utama. 1991, Jakarta.

Institusi Sosial dan Social Security Pada akhir tulisan ini, penulis akan menawarkan beberapa gagasan untuk pengelolaan sektor informal ini, utamanya bentor. Berikutnya, hal yang perlu dibenahi adalah regulasi yang ketat dari sektor usaha bentor. Dalam dokumen regulasi yang hendak disusun nanti semestinya memasukkan beberapa unsur ; batas produksi bentor, jalur dan rute, perizinan formal, lembaga yang menaungi bentor, dan social security. Pada aspek kelembagaan, sudah mesti dipikirkan bagaimana mengatur informalitas sektor ini menjadi formal, dalam artian bisa memberi dampak penambahan retribusi pada daerah (yang selama ini belum dperketat). Selain itu, pengelolaan social security (jaminan sosial) dapat diatur dengan lebih baik. Pengelolaan jaminan sosial bisa dengan mengorganisasi keanggotaan secara partisipatif dengan mendaftarkan anggota lembaga tersebut ke dalam jejaring asuransi yang lebih pro poor. Misalnya, setiap tukang bentor yang masuk dalam keanggotaan lembaga tersebut wajib menyetorkan uang beberapa ribu rupiah per hari atau per minggu (sesuai kesepakatan) untuk kemudian menjadi premi dalam asuransi yang pro poor diatas. Dengan dana tersebut, setiap anggota dapat menikmati layanan kesehatan atau layanan pendidikan bagi anaknya secara murah atau gratis jika dimungkinkan. Dana tersebut jika dikelola dengan baik bisa menjadi modal bagi terbentuknya koperasi para tukang bentor yang bisa dialihkan menjadi usaha-usaha kreatif yang dikelola secara profesional. Pentingnya lembaga sosial yang menaungi tukang bentor ini akan lebih memperkuat posisi tawar bagi tukang bentor di hadapan dikte pasar dan Negara. Pasar dan negara tidak dapat seenaknya memperlakukan sektor informal ini, karena dengan lembaga ini mereka memperoleh apa yang dinamakan voices. Dengan penguatan kapasitas kelembagaan secara komprehensif ini, tukang bentor akan lebih mandiri dalam menentukan nasib mereka yang kini belumlah pasti dan jelas.

Akhir Bentor sebagai bagian dari sektor informal Gorontalo merupakan kegiatan ekonomi skala kecil yang pengoperasiannya berlangsung secara informal, pengelolaannya secara informal, pokoknya semua adalah informal. Agenda perbaikan menuju formalitas yang informal diatas bisa dilakukan dengan metode yang partisipatif, sehingga lebih memberikan alternatif penyelesaian yang komprehensif dan representatif. Pada konteks lokal, bisa pula mengeksplorasi social capital (modal sosial) melalui revitalisasi institusi informal. Metode ini kemudian akan memposisikan Negara dalam konteks fasilitator sehingga warga lebih partisipatif dalam pengelolaan, dan juga akan meminimalisir potensi konflik sebagaimana memori kolektif mengenai penataan sektor informal di Indonesia selama ini.

Biodata : Funco Tanipu, ia adalah seorang pendidik di Jurusan Sosiologi, Universitas Negeri Gorontalo. Pernah mendalami poskolonial, semiotika dan politik ingatan di Program Non Reguler Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta selama tahun 2005. Pernah pula mengikuti Sekolah Kritik Ideologi di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada pada tahun 2006. Juga pernah mencicipi pendidikan di Departemen Sosiologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta selama tahun 2006 hingga tahun 2008. Selain itu, banyak mengecap pendidikan jarak jauh Gabriel Garcia Marquez dan Jean Paul Sartre melalui buku-bukunya. Kini, sehari-hari lebih banyak menghabiskan waktu dengan bersepeda dan bercengkrama bersama mahasiswanya di dunia nyata, dan juga followers nya di Twitter serta Google+.

Anda mungkin juga menyukai