Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI LINGKUNGAN ESTIMASI DENSITAS SPORA Bacillus sp.

oleh: Putri Firza Andrianti (0810910062) Bintan Rhiana (0810913023) Hamdani Prasetyo (0910913039)

LABORATORIUM MIKROBIOLOGI JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2011

HALAMAN PERNYATAAN DAN DESKRIPSI TUGAS Kami yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa laporan yang berjudul Estimasi Densitas Spora Bacillus sp. ini adalah asli hasil kerja kelompok 3 dan tidak mengandung sedikitpun unsur plagiarism (menyalin dari kelompok lain ). Dengan pembagian tugas sebagai berikut : Putri Firza A : Pendahuluan, Tinjauan Pustaka Bintan Rhiana : Hamdani Prasetyo : Pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya, dengan kesadaran kelompok dan bukan atas paksaan.

Malang, 7 Desember 2011

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Adanya kekhawatiran akan pengaruh negatif tentang pemakaian pestisida telah meningkatkan perhatian masyarakat kepada bioinsektisida sebagai alternatif teknologi untuk menurunkan populasi hama. Penggunaan bahan tersebut memberikan dampak negatif terhadap kelestarian alam, yaitu matinya organisme nontarget, timbulnya hama resisten, serta penumpukan residu pada hasil panen dan di dalam tanah (Oka & Soehardjan 1997). Oleh karena itu, diperlukan cara lain selain hanya dengan pestisida; cara tersebut antara lain dengan mempergunakan biopestisida. Biopestisida yang paling popular dan digunakan secara komersil sejak tahun 1950-an adalah Bacillus thuringiensis (Bahagiawati, 2001), selanjutnya disebut dengan Bt. Bakteri ini dapat diisolasi dari berbagai bahan, seperti dari tanah, permukaan daun, bubuk biji-bijian, dan berbagai bangkai serangga (Carozzi et al. 1991). Bacillus thuringiensis (Bt), merupakan famili bakteri yang memproduksi kristal protein di inclusion body-nya pada saat ia bersporulasi. Dengan kemajuan teknologi, gen insektisida Bt ini telah dapat diisolasi dan diklon sehingga membuka ke-mungkinan untuk diintroduksikan ke dalam tanaman. Tanaman yang mengekspresikan gen Bt ini dikenal dengan sebutan tanaman transgenik Bt. Tanaman transgenik Bt pertama kali dikomersialkan pada tahun 1995/96 dan sejak itu luas pertanaman. Adanya potensi dari Bt sebagai agen pengendali hayati dapat dikembangkan secara berkala agar mikroorganisme ini dapat dimaksimalkan penggunaannya sebagai bioinsektisida. Setiap daerah pasti memiliki potensi strain spesies Bacillus thuringiensis dengan infeksi terhadap hama yang berbedabeda (Bent et al., 1999). Oleh karena itu pada praktikum ini dilakukan isolasi Bacillus thuringiensis dari sampel tanah pertanian dan sampel air yang terdapat jentik-jentik nyamuk di daerah malang (UB) untuk memperoleh densitas bakteri ini yang diisolasi dari tempat tersebut. Sampel yang diisolasi berasal dari tanah pertanian dikarenakan, terdapat hama ulat yang kemungkinan mati terinfeksi Bacillus thuringiensis, sedangkan sampel yang diambil dari air yang terdapat jentik-jentik nyamuk dikarenakan Bacillus thuringiensis menginfeksi hama dari Ordo Lepidoptera. Hasil dari praktikum isolasi Bacillus thuringiensis ini tidak menutup kemungkinan

didapatkan isolast Bt yang tersebut mempunyai efikasi tinggi dalam mengendalikan hama. 1.2 Rumusan Masalah Bagaimanakah densitas spora Bacillus sp. yang diisolasi dari tanah pertanian dan dari air yang terdapat jentik-jentik nyamuk ? 1.3 Tujuan Mengetahui densitas spora Bacillus sp. yang diisolasi dari tanah pertanian dan dari air yang terdapat jentik-jentik nyamuk 1.4 Manfaat Salah satu jenis bakteri pembentuk spora yaitu Bacillus thuringiensis merupakan pilihan utama dalam pemanfaatan mikroba sebagai agensia pengendalian serangga hama. Bacillus thuringiensis dalam proses pertumbuhannya menghasilkan badan inklusi parasporal berupa kristal protein. Badan inklusi ini dikenal pula sebagai endotoksin yang bersifat toksik terhadap beberapa serangga ordo Lepidoptera, Diptera dan Coleoptera. Bakteri ini memiliki potensi besar untuk dujdikan bioinsektisida yang ramah lingkungan dan bisa menjadi komponen pengendalian hama terpadu.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bacillus thuringiensis Bakteri Bacillus thuringiensis (Bt) sudah sejak lama dikenal sebagai bahan aktif paling umum yang digunakan dalam pembuatan pestisida hayati maupun sebagai sumber gen dalam proses rekayasa tanaman transgenik tahan hama. B. thuringiensis memiliki keistimewaan karena dapat mensintesis protein -endotoksin yang spesifik terhadap serangga dan nematoda. Jenis bakteri ini memiliki lebih dari 70 subspesies atau varietas yang berbeda, yang dibedakan oleh perbedaan sifat serologi dari antigen flagelanya, dan menghasilkan lebih dari 300 tipe protein Cry (Bent et al., 1999).. Seorang ahli biologi dari Jepang, Shigetane Ishiwatari pertama kali mengisolasi bakteri Bacillus thuringiensis (Bt) pada tahun 1901 ketika menyelidiki penyebab penyakit sotto yang membunuh sebagian besar populasi ulat sutra. Sepuluh tahun kemudian, Ernst Berliner mengisolasi bakteri yang telah membunuh larva Mediterranean flour moth pada tahun 1911 dan menemukan tipe bakteri yang sama dengan sebelumnya kemudian dinamakannya B. thuringiensis (Gambar 1), mengambil nama sebuah kota Jerman Thuringia tempat seranggan tersebut ditemukan. Ishiwatari telah menamakan bakteri ini B. sotto pada tahun 1901 namun nama itu kemudian dinyatakan tidak sah lagi (Bent et al., 1999). Pada tahun 1915, Berliner melaporkan keberadaan kristal di dalam Bt, namun aktivitas kristal ini belum diketahui hingga beberapa tahun berikutnya. Tahun 1956, beberapa peneliti, Hannay, Fitz-James dan Angus menemukan bahwa aktivitas antiserangga terhadap serangga dari jenis Lepidoptera (ngengat) yang paling besar adalah pada saat pembentukan parasporal kristal yang mengandung -endotoksin. Penemuan ini menyebabkan munculnya ketertarikan terhadap struktur kristal, reaksi biokimia dan aktivitas kristal dari Bt. Penelitian-penelitian baru mengenai bakteri Bt dimulai dengan cepat dan pesat sehingga penggunaan bakteri sebagai pestisida hayati mengalami peningkatan (Santoso et al., 2000).

Gambar 1. Visualisasi Bacillus thuringiensis melalui mikroskop fase kontras 2.1 Ciri-ciri Morfologi Bacillus thuringiensis Bacillus thuringiensis merupakan salah satu bakteri patogen pada serangga. Ciri-ciri Morfologi B. thuringiesis antara lain: mempunyai sel vegetatif berbentuk batang dengan ukuran panjang 3 5 mm dan lebar 1,0 1,2 mm, mempunyai flagella, membentuk spora berbentuk oval, letaknya suBterminal, berwarna hijau kebiruan dan berukuran 1,0 1,3 m, spora relatif tahan terhadap pengaruh fisik dan kimia,pembentukan spora terjadi dengan cepat pada suhu 35 37C, spora mengandung asam dipikolinik (DPA), 10-15% dari berat kering spora, sel-sel vegetatif dapat membentuk suatu rantai yang terdiri dari 5 - 6 sel, bersifat Gram positif, aerob tetapi umumnya anaerob fakultatif, dapat tumbuh pada media buatan, suhu untuk pertumbuhan berkisar antara 15- 40C (Dent, 1993). Salah satu karakteristik dan B. thuringiensis adalah dapat memproduksi kristal protein dalam sel selama fase sporuIasi Kristal toksin memegang peranan penting karena aktivitasnya sebagai insektisida. Untuk menumbuhkan dan memperbanyak kristal dan spora B. thuringiensis telah digunakan berbagai media kimia seperti agar nutrien, media NYSMA, NYPC dan Tryptose Phosphate Broth. Beberapa peneliti tidak menggunakan media kimiawi untuk menumbuhkan B. thuringiensis, melainkan menggunakan media alami seperti berbagai media kelapa (air dan endospermnya). Media

kelapa relatif murah, dapat diperoleh setiap saat dan terdapat di mana-mana, sedangkan media kimia harganya mahal dan tidak mudah diperoleh. Air kelapa dan endosperm kelapa (santan) kaya akan asam amino, gula dan garam serta merupakan media yang cocok untuk pertumbuhan B. thuringiensis (Feitelson et al., 1992). 2.2 Fisiologi Bacillus thuringiensis Bakteri Bt tergolong dalam bakteri Gram positif yang terdapat di permukaan tanah. B. thuringiensis adalah bakteri berbentuk batang berspora, bersifat anaerob, dan menghasilkan protein kristal selama masa sporulasi yang bersifat toksik terhadap larva serangga serta mempunyai suhu pertumbuhan minimum 10-15 oC, suhu maksimum 40-45 oC dan suhu optimum 28-30 oC. Ciri khas yang terdapat pada B. thuringiesis adalah kemampuannya membentuk kristal (tubuh paraspora) bersamaan dengan pembentukan spora, yaitu pada waktu sel mengalami sporulasi. Kristal tersebut merupakan komplek protein yang mengandung toksin ( - endotoksin ) yang terbentuk di dalam sel 2-3 jam setelah akhir fase eksponesial dan baru keluar dari sel pada waktu sel mengalami autolisis setelah sporulasi sempurna (Smith & Couche, 1991). Sembilan puluh lima persen kristal terdiri dari protein dengan asam amino terbanyak terdiri dari asam glutamat, asam aspartat dan arginin, sedangkan lima persen terdiri dari karbohidrat yaitu mannosa dan glukosa. Kristal protein tersusun dari subunit-subunit protein yang berbentuk batang atau halter, mempunyai berat molekul 130 140 kDa yang berupa protoksin. Protoksin akan menjadi toksin setelah mengalami hidrolisis dalam kondisi alkalin di dalam saluran pencernaan serangga. Hidrolisis ini melepaskan protein kecil dengan berat molekul sekitar 60 kDa dan bersifat toksik (Ausubel, 1992) Kristal protein mempunyai beberapa bentuk. Ada hubungan nyata antara bentuk kristal dengan kisaran daya bunuhnya. Varietas yang memiliki daya bunuh terhadap serangga ordo Lepidoptera, memiliki kristal toksin yang berbentuk bipiramida dan jumlahnya hanya satu tiap sel, sedangkan yang berbentuk kubus, oval dan amorf umumnya toksik terhadap serangga ordo Diptera dan jumlahnya dapat lebih dari satu tiap sel. Kristal yang mempunyai daya bunuh terhadap serangga ordo Coleoptera berbentuk empat persegi panjang dan datar atau pipih. Toksisitas B. thuringiensis terhadap serangga dipengaruhi oleh strain bakteri dan spesies

serangga yang terinfeksi. Faktor pada bakteri yang mempengaruhi toksisitasnya adalah struktur kristalnya, yang pada salah satu strain mungkin mempunyai ikatan yang lebih mudah dipecah oleh enzim yang dihasilkan serangga dan ukuran molekul protein yang menyusun kristal, serta susunan molekul asam amino dan kandungan karbohidrat dalam kristal (Schnepf et al., 1998). 2.3 Mekanisme Infeksi Bacillus thuringiensis terhadap Serangga Secara umum reaksi kekebalan serangga terdiri atas dua macam yaitu yang bersifatseluler maupun humoral. Reaksi seluler terutama melibatkan sel darah serangga atau hemocytes yang merupakan reaksi adesip hemocytes terhadap mikrobia atau parasit. Pada reaksi tersebut terjadi perubahan-perubahan secara morfologi, tingkah laku dan jenis sel yang terlibat selama terjadinya infeksi yang secara luas telah diteliti menggunakan teknik mikroskopik, lectin dan monoclonal antibody markers. Hemocytes mempagositos bakteri, memperangkap mikrobia dalam nodul dan. Hemocytes juga terlibat dalam treaksi imun lainnya seperti koagulasi hemolim Sedangkan reaksi imun yang bersifat humoral secara prinsip terdiri atas sejumlah antibactericidal protein dan peptida dalam hemolim (Cheron et al., 1994) Beberapa penemuan mengungkapkan bahwa reaksi kekebalan ditingkatkan oleh infeksi bakteri dengan cara meproduksi molekul antibakteria dimana secara fungsional belum difahami secara lengkap. Hasil penelitian terkini dengan menggunakan hemolim serangga telah mendeteksi keberadaan berbagai protein yang terbentuk sebagai respon terhadap elisito yang dapat di kategorikan sebagai inducible bacreial proteins dan inducible nonbactericidal proteins. Kristal protein yang termakan oleh serangga akan larut dalam lingkungan basa pada usus serangga (Gambar 2). Pada serangga target, protein tersebut akan teraktifkan oleh enzim pencerna protein serangga. Protein yang teraktifkan akan me-nempel pada protein receptor yang berada pada permukaan sel epitel usus. Penempelan tersebut mengakibatkan terbentuknya pori atau lubang pada sel sehingga sel mengalami lysis. Pada akhirnya serangga akan mengalami gangguan pencernaan dan mati (Bent et al., 1999).

Gambar 2. Mekanisme Bacillus thuringiensis menginfeksi serangga (larva)

Anda mungkin juga menyukai