Anda di halaman 1dari 29

HAK Hak adalah kuasa untuk menerima atau melakukan suatu yang semestinya diterima atau dilakukan melulu

oleh pihak tertentu dan tidak dapat oleh pihak lain manapun juga yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa olehnya. HAK ASASI

Hak asasi manusia adalah hak-hak yang telah dimiliki seseorang sejak ia lahir dan merupakan pemberian dari Tuhan. Dasar-dasar HAM tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence of USA) dan tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1 Contoh hak asasi manusia (HAM):

Hak untuk hidup. Hak untuk memperoleh pendidikan. Hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama. Hak untuk mendapatkan pekerjaan.

KEWAJIBAN Wajib adalah beban untuk memberikan sesuatu yang semestinya dibiarkan atau diberikan melulu oleh pihak tertentu tidak dapat oleh pihak lain manapun yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa oleh yang berkepentingan. Kewajiban adalah sesuatu yang harus dilakukan.

WARGA NEGARA adalah warga suatu Negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. (penjelasan UUD 1945 Pasal 26), tidak sama dengan kawula negara, anggota sebuah negara. WARGA NEGARA INDONESIA berdasar UU no 12 tahun 2006 Pasal 4

1. orang orang bangsa indonesia dan orang orang bangsa lain yang disahkan dengan undang undang sebagai warga negara. 2. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang sudah menjadi warga negara Indonesia. 3. Anak yang lahir dari perkawinan sah dari ayah warga negara indonesia dan ibu warga negara indonesia 4. Anak yang lahir dari perkawinan sah dari ayah warga negara indonesia dan ibu asing 5. Anak yang lahir dari perkawinan sah dari ayah asing indonesia 6. Anak yang lahir di luar perkawinan sah dari seorang ibu warga negara indonesia dan ayah tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum warga negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak itu. 7. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya warga negara indonesia 8. Anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari ibu seorang warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah warganegara indonesia sebagai anaknya tidak kawin. 9. Anak yang lahir di wilayah negara Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya dan pengakuan tersebut dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun dan atau dan ibu warga negara undangan dan atau berdasarkan perjanjian pemerintah RI dengan negara lain sebelum UU ini berlaku

10. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara RI selama ayah dan ibunya tidak diketahui 11. Anak yang lahir di wilayah negara RI dari seorang warga negara Indonesia yang karena ketentuan 12. Anak dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan yang telah dikabulkan permohonan sebelum kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan dari seseorang ayah atau ibu kewarganegaraannya, kemudian ayah dan ibu meninggal dunia mengucapkan atau menyatakan janji setia. KEWARGANEGARAAN

Kewarganegaraan adalah anggota dalam sebuah komunitas politik (negara), dan dengannya membawa hak untuk berpartisipasi dalam politik. Seseorang dengan keanggotaan tersebut disebut warga negara. Istilah ini secara umum mirip dengan kebangsaan, walaupun dimungkinkan untuk memiliki kebangsaan tanpa menjadi seorang warga negara (contoh, secara hukum merupakan subyek suatu negara dan berhak atas perlindungan tanpa memiliki hak berpartisipasi dalam politik). Juga dimungkinkan untuk memiliki hak politik tanpa menjadi bangsa dari suatu negara.

KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA


WARGANEGARA DAN KEWARGANEGARAAN

Salah satu persyaratan diterimanya status sebuah negara adalah adanya unsur warganegara yang diatur menurut ketentuan hukum tertentu, sehingga warga negara yang bersangkutan dapat dibedakan dari warga dari negara lain. Pengaturan mengenai kewarganegaraan ini biasanya ditentukan berdasarkan salah satu dari dua prinsip, yaitu prinsip ius soli atau prinsip ius sanguinis. Yang dimaksud dengan ius soli adalah prinsip yang mendasarkan diri pada pengertian hukum mengenai tanah kelahiran, sedangkan ius sanguinis mendasarkan diri pada prinsip hubungan darah.

Berdasarkan prinsip ius soli, seseorang yang dilahirkan di dalam wilayah hukum suatu negara, secara hukum dianggap memiliki status kewarganegaraan dari negara tempat kelahirannya itu. Negara Amerika Serikat dan kebanyakan negara di Eropah termasuk menganut prinsip kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini, sehingga siapa saja yang dilahirkan di negara-negara tersebut, secara otomatis diakui sebagai warga negara. Oleh karena itu, sering terjadi warganegara Indonesia yang sedang bermukim di negara-negara di luar negeri, misalnya karena sedang mengikuti pendidikan dan sebagainya, melahirkan anak, maka status anaknya diakui oleh Pemerintah Amerika Serikat sebagai warga negara Amerika Serikat. Padahal kedua orangtuanya berkewarganegaraan Indonesia. Dalam zaman keterbukaan seperti sekarang ini, kita menyaksikan banyak sekali penduduk suatu negara yang berpergian keluar negeri, baik karena direncanakan dengan sengaja ataupun tidak, dapat saja melahirkan anak-anak di luar negeri. Bahkan dapat pula terjadi, karena alasan pelayanan medis yang lebih baik, orang sengaja melahirkan anak di rumah sakit di luar negeri yang dapat lebih menjamin kesehatan dalam proses persalinan. Dalam hal, negara tempat asal sesorang dengan negara tempat ia melahirkan atau dilahirkan menganut sistem kewarganegaraan yang sama, tentu tidak akan menimbulkan persoalan. Akan tetapi, apabila kedua negara yang bersangkutan memiliki sistem yang berbeda, maka dapat terjadi keadaan yang menyebabkan seseorang menyandang status dwikewarganegaraan (double citizenship) atau sebaliknya malah menjadi tidak berkewarganegaraan sama sekali (stateless). Berbeda dengan prinsip kelahiran itu, di beberapa negara, dianut prinsip ius sanguinis yang mendasarkan diri pada faktor pertalian seseorang dengan status orangtua yang berhubungan darah dengannya. Apabila orangtuanya berkewarganegaraan suatu negara, maka otomatis kewarganegaraan anak-anaknya dianggap sama dengan kewarganegaraan orangtuanya itu. Akan tetapi, sekali lagi, dalam dinamika pergaulan antar bangsa yang makin terbuka dewasa ini, kita tidak dapat lagi membatasi pergaulan antar penduduk yang berbeda status kewarganegaraannya. Sering terjadi perkawinan campuran yang melibatkan status kewarganegaraan yang berbeda-beda antara pasangan suami dan isteri. Terlepas dari perbedaan sistem kewarganegaraan yang dianut oleh masing-masing negara asal pasangan suami-isteri itu, hubungan hukum antara suami-isteri yang melangsungkan perkawinan 4

campuran seperti

itu selalu

menimbulkan persoalan berkenaan

dengan

status

kewarganegaraan dari putera-puteri mereka. Oleh karena itulah diadakan pengaturan bahwa status kewarganegaraan itu ditentukan atas dasar kelahiran atau melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan. Dengan cara pertama, status kewarganegaraan seseorang ditentukan karena kelahirannya. Siapa saja yang lahir dalam wilayah hukum suatu negara, terutama yang menganut prinsip ius soli sebagaimana dikemukakan di atas, maka yang bersangkutan secara langsung mendapatkan status kewarganegaraan, kecuali apabila yang bersangkutan ternyata menolak atau mengajukan permohonan sebaliknya. Cara kedua untuk memperoleh status kewarganegaraan itu ditentukan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi). Melalui proses pewarganegaraan itu, seseorang dapat mengajukan permohonan kepada instansi yang berwenang, dan kemudian pejabat yang bersangkutan dapat mengabulkan permohonan tersebut dan selanjutnya menetapkan status yang bersangkutan menjadi warganegara yang sah. Selain kedua cara tersebut, dalam berbagai literature mengenai kewarganegaraan, juga dikenal adanya cara ketiga, yaitu melalui registrasi. Cara ketiga ini dapat disebut tersendiri, karena dalam pengalaman seperti yang terjadi di Perancis yang pernah menjadi bangsa penjajah di berbagai penjuru dunia, banyak warganya yang bermukim di daerah-daerah koloni dan melahirkan anak dengan status kewarganegaraan yang cukup ditentukan dengan cara registrasi saja. Dari segi tempat kelahiran, anak-anak mereka itu jelas lahir di luar wilayah hukum negara mereka secara resmi. Akan tetapi, karena Perancis, misalnya, menganut prinsip ius soli, maka menurut ketentuan yang normal, status kewarganegaraan anak-anak warga Perancis di daerah jajahan ataupun daerah pendudukan tersebut tidak sepenuhnya dapat langsung begitu saja diperlakukan sebagai warga negara Perancis. Akan tetapi, untuk menentukan status kewarganegaraan mereka itu melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan juga tidak dapat diterima. Karena itu, status kewarganegaraan mereka ditentukan melalui proses registrasi biasa. Misalnya, keluarga Indonesia yang berada di Amerika Serikat yang menganut prinsi ius soli, melahirkan anak, maka menurut hukum Amerika Serikat anak tersebut memperoleh status sebagai warga negara AS. Akan

tetapi, jika orangtuanya menghendaki anaknya tetap berkewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya cukup melalui registrasi saja. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proses kewarganegaraan itu dapat diperoleh melalui tiga cara, yaitu: (i) kewarganegaraan karena kelahiran atau citizenship by birth, (ii) kewarganegaraan melalui pewarganegaraan atau citizenship by naturalization, dan (iii) kewarganegaraan melalui registrasi biasa atau citizenship by registration. Ketiga cara ini seyogyanya dapat sama-sama dipertimbangkan dalam rangka pengaturan mengenai kewarganegaraan ini dalam sistem hukum Indonesia, sehingga kita tidak membatasi pengertian mengenai cara memperoleh status kewarganegaraan itu hanya dengan cara pertama dan kedua saja sebagaimana lazim dipahami selama ini. Kasus-kasus kewarganegaraan di Indonesia juga banyak yang tidak sepenuhnya dapat diselesaikan melalui cara pertama dan kedua saja. Sebagai contoh, banyak warganegara Indonesia yang karena sesuatu, bermukim di Belanda, di Republik Rakyat Cina, ataupun di Australia dan negara-negara lainnya dalam waktu yang lama sampai melahirkan keturunan, tetapi tetap mempertahankan status kewarganegaraan Republik Indonesia. Keturunan mereka ini dapat memperoleh status kewarganegaraan Indonesia dengan cara registrasi biasa yang prosesnya tentu jauh lebih sederhana daripada proses naturalisasi. Dapat pula terjadi, apabila yang bersangkutan, karena sesuatu sebab, kehilangan kewarganegaraan Indonesia, baik karena kelalaian ataupun sebab-sebab lain, lalu kemudian berkeinginan untuk kembali mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya seyogyanya tidak disamakan dengan seorang warganegara asing yang ingin memperoleh status kewarganegaraan Indonesia. Lagi pula sebab-sebab hilangnya status kewarganegaraan itu bisa saja terjadi karena kelalaian, karena alasan politik, karena alasan teknis yang tidak prinsipil, ataupun karena alasan bahwa yang bersangkutan memang secara sadar ingin melepaskan status kewarganegaraannya sebagai warganegara Indonesia. Sebab atau alasan hilangnya kewarganegaraan itu hendaknya dijadikan pertimbangan yang penting, apabila yang bersangkutan ingin kembali mendapatkan status kewarganegaraan Indonesia. Proses yang harus dilakukan untuk masing-masing alasan tersebut sudah semestinya berbeda-beda satu

sama lain. Yang pokok adalah bahwa setiap orang haruslah terjamin haknya untuk mendapatkan status kewarganegaraan, sehingga terhindar dari kemungkinan menjadi stateless atau tidak berkewarganegaraan. Tetapi pada saat yang bersamaan, setiap negara tidak boleh membiarkan seseorang memilki dua status kewarganegaraan sekaligus. Itulah sebabnya diperlukan perjanjian kewarganegaraan antara negara-negara modern untuk menghindari status dwi-kewarganegaraan tersebut. Oleh karena itu, di samping pengaturan kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi) tersebut, juga diperlukan mekanisme lain yang lebih sederhana, yaitu melalui registrasi biasa. Di samping itu, dalam proses perjanjian antar negara, perlu diharmonisasikan adanya prinsip-prinsip yang secara diametral bertentangan, yaitu prinsip ius soli dan prinsip ius sanguinis sebagaimana diuraikan di atas. Kita memang tidak dapat memaksakan pemberlakuan satu prinsip kepada suatu negara yang menganut prinsip yang berbeda. Akan tetapi, terdapat kecenderungan internasional untuk mengatur agar terjadi harmonisasi dalam pengaturan perbedaan itu, sehingga di satu pihak dapat dihindari terjadinya dwikewarganegaraan, tetapi di pihak lain tidak akan ada orang yang berstatus stateless tanpa kehendak sadarnya sendiri. Karena itu, sebagai jalan tengah terhadap kemungkinan perbedaan tersebut, banyak negara yang berusaha menerapkan sistem campuran dengan tetap berpatokan utama pada prinsip dasar yang dianut dalam sistem hukum masingmasing. Indonesia sebagai negara yang pada dasarnya menganut prinsip ius sanguinis, mengatur kemungkinan warganya untuk mendapatkan status kewarganegaraan melalui prinsip kelahiran. Sebagai contoh banyak warga keturunan Cina yang masih berkewarganegaraan Cina ataupun yang memiliki dwi-kewarganegaraan antara Indonesia dan Cina, tetapi bermukim di Indonesia dan memiliki keturunan di Indonesia. Terhadap anak-anak mereka ini sepanjang yang bersangkutan tidak berusaha untuk mendapatkan status kewarganegaraan dari negara asal orangtuanya, dapat saja diterima sebagai warganegara Indonesia karena kelahiran. Kalaupun hal ini dianggap tidak sesuai dengan prinsip dasar yang dianut, sekurang-kurangnya terhadap mereka itu dapat dikenakan ketentuan mengenai

kewarganegaraan melalui proses registrasi biasa, bukan melalui proses naturalisasi yang mempersamakan kedudukan mereka sebagai orang asing sama sekali. KEWARGANEGARAAN ORANG CINA PERANAKAN Orang-orang Cina peranakan yang tinggal menetap turun temurun di Indonesia, sejak masa reformasi sekarang ini, telah berhasil memperjuangkan agar tidak lagi disebut sebagai orang Cina, melainkan disebut sebagai orang Tionghoa. Di samping itu, karena alasan hak asasi manusia dan sikap non-diskriminasi, sejak masa pemerintahan B.J. Habibie melalui Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi, seluruh aparatur pemerintahan telah pula diperintahkan untuk tidak lagi menggunakan istilah pribumi dan non-pribumi untuk membedakan penduduk keturunan Cina dengan warga negara Indonesia pada umumnya. Kalaupun ada perbedaan, maka perbedaan itu hanyalah menunjuk pada adanya keragaman etinisitas saja, seperti etnis Jawa, Sunda, Batak, Arab, Manado, Cina, dan lain sebagainya. Karena itu, status hukum dan status sosiologis golongan keturunan Tionghoa di tengah masyarakat Indonesia sudah tidak perlu lagi dipersoalkan. Akan tetapi, saya sendiri tidak begitu sreg dengan sebutan Tionghoa itu untuk dinisbatkan kepada kelompok masyarakat Indonesia keturunan Cina. Secara psikologis, bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, istilah Tionghoa itu malah lebih distingtif atau lebih memperlebar jarak antara masyarakat keturunan Cina dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Apalagi, pengertian dasar istilah Tionghoa itu sendiri terdengar lebih tinggi posisi dasarnya atau bahkan terlalu tinggi posisinya dalam berhadapan dengan kelompok masyarakat di luar keturunan Cina. Tiongkok atau Tionghoa itu sendiri mempunyai arti sebagai negara pusat yang di dalamnya terkandung pengertian memperlakukan negara-negara di luarnya sebagai negara pinggiran. Karena itu, penggantian istilah Cina yang dianggap cenderung merendahkan dengan perkataan Tionghoa yang bernuansa kebanggaan bagi orang Cina justru akan berdampak buruk, karena dapat menimbulkan dampak psikologi bandul jam yang bergerak ekstrim dari satu sisi ekstrim ke sisi ekstrim yang lain. Di pihak lain, penggunaan istilah Tionghoa itu sendiri juga dapat direspons sebagai kejumawaan dan mencerminkan arogansi cultural atau superiority complex dari kalangan masyarakat

Cina peranakan di mata masyarakat Indonesia pada umumnya. Anggapan mengenai adanya superiority complex penduduk keturunan Cina dipersubur pula oleh kenyataan masih diterapkannya sistem penggajian yang double standard di kalangan perusahaanperusahaan keturunan Cina yang mempekerjakan mereka yang bukan berasal dari etnis Cina. Karena itu, penggunaan kata Tionghoa dapat pula memperkuat kecenderungan ekslusivisme yang menghambat upaya pembauran tersebut. Oleh karena itu, mestinya, reformasi perlakuan terhadap masyarakat keturunan Cina dan warga keturunan lainnya tidak perlu diwujudkan dalam bentuk penggantian istilah semacam itu. Yang lebih penting untuk dikembangkan adalah pemberlakuan sistem hukum yang bersifat non-diskriminatif berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia, diiringi dengan upaya penegakan hukum yang tegas dan tanpa pandang bulu, dan didukung pula oleh ketulusan semua pihak untuk secara sungguh-sungguh memperdekat jarak atau gap social, ekonomi dan politik yang terbuka lebar selama ini. Bahkan, jika mungkin, warga keturunanpun tidak perlu lagi menyebut dirinya dengan etnisitas yang tersendiri. Misalnya, siapa saja warga keturunan yang lahir di Bandung, cukup menyebut dirinya sebagai orang Bandung saja, atau lebih ideal lagi jika mereka dapat mengidentifikasikan diri sebagai orang Sunda, yang lahir di Madura sebut saja sebagai orang Madura. Orang-orang keturunan Arab yang lahir dan hidup di Pekalongan juga banyak yang mengidentifikasikan diri sebagai orang Pekalongan saja, bukan Arab Pekalongan. Proses pembauran itu secara alamiah akan terjadi dengan sendirinya apabila medan pergaulan antar etnis makin luas dan terbuka. Wahana pergaulan itu perlu dikembangkan dengan cara asimiliasi, misalnya, melalui medium lembaga pendidikan, medium pemukiman, medium perkantoran, dan medium pergaulan social pada umumnya. Karena itu, di lingkungan-lingkungan pendidikan dan perkantoran tersebut jangan sampai hanya diisi oleh kalangan etnis yang sejenis. Lembaga lain yang juga efektif untuk menyelesaikan agenda pembauran alamiah ini adalah keluarga. Karena itu, perlu dikembangkan anjurananjuran dan dorongan-dorongan bagi berkembangnya praktek perkawinan campuran antar etnis, terutama yang melibatkan pihak etnis keturunan Cina dengan etnis lainnya. Jika seandainya semua orang melakukan perkawinan bersilang etnis, maka dapat dipastikan

bahwa setelah satu generasi atau setelah setengah abad, isu etnis ini dan apalagi isu rasial, akan hilang dengan sendirinya dari wacana kehidupan kita di persada nusantara ini. PEMBARUAN UNDANG-UNDANG KEWARGANEGARAAN Dalam rangka pembaruan Undang-Undang Kewarganegaraan, berbagai ketentuan yang bersifat diskriminatif sudah selayaknya disempurnakan. Warga keturunan yang lahir dan dibesarkan di Indonesia sudah tidak selayaknya lagi diperlakukan sebagai orang asing. Dalam kaitan ini, kita tidak perlu lagi menggunakan istilah penduduk asli ataupun bangsa Indonesia asli seperti yang masih tercantum dalam penjelasan UUD 1945 tentang kewarganegaraan. Dalam hukum Indonesia di masa datang, termasuk dalam rangka amandemen UUD 1945 dan pembaruan UU tentang Kewarganegaraan, atribut keaslian itu, kalaupun masih akan dipergunakan, cukup dikaitkan dengan kewarganegaraan, sehingga kita dapat membedakan antara warganegara asli dalam arti sebagai orang yang dilahirkan sebagai warganegara (natural born citizen), dan orang yang dilahirkan bukan sebagai warganegara Indonesia. Orang yang dilahirkan dalam status sebagai warganegara Republik Indonesia itu di kemudian hari dapat saja berpindah menjadi warganegara asing. Tetapi, jika yang bersangkutan tetap sebagai warganegara Indonesia, maka yang bersangkutan dapat disebut sebagai Warga Negara Asli. Sebaliknya, orang yang dilahirkan sebagai warganegara asing juga dapat berubah di kemudian hari menjadi warganegara Indonesia, tetapi yang kedua ini tidak dapat disebut sebagai Warga Negara Asli. Dengan sendirinya, apabila hal ini dikaitkan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) tentang calon Presiden yang disyaratkan orang Indonesia asli haruslah dipahami dalam konteks pengertian Warga Negara Indonesia asli tersebut, sehingga elemen diskriminatif dalam hukum dasar itu dapat hilang dengan sendirinya. Artinya, orang yang pernah menyandang status sebagai warganegara asing sudah sepantasnya dianggap tidak memenuhi syarat untuk dicalonkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Dengan demikian, dalam rangka amandemen UUD 1945 dan pembaruan UU tentang Kewarganegaraan konsep hukum mengenai kewarganegaraan asli dan konsep tentang tata

10

cara memperoleh status kewarganegaraan yang meliputi juga mekanisme registrasi seperti tersebut di atas, dapat dijadikan bahan pertimbangan yang pokok. Dengan begitu asumsiasumsi dasar yang bersifat diskriminatif berdasarkan rasa dan etnisitas sama sekali dihilangkan dalam penyusunan rumusan hukum di masa-masa yang akan datang sesuai dengan semangat untuk memajukan hak asasi manusia di era reformasi dewasa ini.

CARA MEMPEROLEH KEWARGANEGARAAN INDONESIA karena kelahiran karena pengangkatan karena dikabulkannya permohonan karena pewarganegaraan karena perkawinan karena turut ayah dan atau ibu karena pernyataan BUKTI MEMPEROLEH KEWARGANEGARAAN Akta kelahiran Surat bukti kewarganegaraan (kutipan pernyataan sah buku catatan pengangkatan anak asing) Surat bukti kewarganegaraan (petikan keputusan Presiden) karena permohonan atau pewarganegaraan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia atau biasa disingkat SBKRI adalah kartu identitas yang menyatakan bahwa pemiliknya adalah warganegara Republik Indonesia. Walaupun demikian, SBKRI hanya diberikan kepada warganegara Indonesia keturunan, terutama keturunan Tionghoa. Kepemilikan SBKRI adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk mengurus berbagai keperluan, seperti kartu tanda penduduk (KTP), memasuki dunia

11

pendidikan, permohonan paspor, pendaftaran Pemilihan Umum, sampai menikah dan meninggal dunia dan lain-lain. Hal ini dianggap oleh banyak pihak sebagai perlakuan diskriminatif dan sejak Orde Reformasi telah dihapuskan, walaupun dalam praktiknya masih diterapkan di berbagai daerah. Sejarah Dasar hukum SBKRI adalah Undang-Undang no. 62 tahun 1958 tentang "Kewarganegaraan Republik Indonesia" yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman G.A. Maengkom dan disahkan oleh Presiden Soekarno. Salah satu alasan utama yang selalu dikemukakan adalah bahwa kebijakan SBKRI merupakan konsekuensi dari klaim politik pemerintahan Mao Zedong bahwa semua orang Tionghoa di seluruh dunia termasuk Indonesia adalah warga negara Republik Rakyat Cina karena asas ius sanguinis (keturunan darah). Kebijaksanaan itu kemudian ditindaklanjuti dengan Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan RI-RRT antara Chou En Lai dan Mr. Soenario pada 1955. Dalam Pasal 12 Bab II Peraturan Pemerintah No 20/1959 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Persetujuan Antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok disebutkan bahwa ada berbagai kelompok WNI yang dikelompokkan sebagai WNI tunggal atau mereka yang tidak diperkenankan untuk memilih kewarganegaraan RI-RRT dan tetap menjadi WNI, yaitu untuk mereka yang berstatus misalnya tentara, veteran, pegawai pemerintah, yang pernah membela nama Republik Indonesia di dunia Internasional, petani atau bahkan secara implisit mereka yang sudah pernah ikut Pemilu 1955. Tapi peraturan ini tidak dilaksanakan dan tetap saja perjanjian dwikewarganegaraan dengan kewajiban memilih kewarganegaraan RI atau RRT diterapkan kepada mereka. Perjanjian Dwikewarganegaraan RI-RRT ini yang dituangkan dalam UU No 2/1958 pada tanggal 11 Januari 1958 dan diimplementasikan dengan PP No 20/1959 dengan masa opsi 20 Januari 1960 hingga 20 Januari 1962, sudah menyelesaikan permasalahan dwikewarganegaraan RI-RRT. Dengan demikian, setelah perjanjian 12

dwikewarganegaraan tersebut dibatalkan pada 10 April 1969 dengan UU No 4/1969, permasalahan status WNI Tionghoa sudah terselesaikan dan anak-anak WNI Tionghoa yang lahir setelah tanggal 20 Januari 1962 sudah menjadi WNI tunggal, yang setelah dewasa tidak diperbolehkan lagi untuk memilih kewarganegaraan lain-selain kewarganegaraan Indonesia (Penjelasan Umum UU No 4/1969) dan tidak perlu lagi membuktikan kewarganegaraan dengan SBKRI. Kronologi 1946 - Indonesia pada tahun 1946 telah jelas mengundangkan bahwa Indonesia menganut azas [[ius soli]. Siapa saja yang lahir di Indonesia adalah warga negara Indonesia. Dengan demikian, secara otomatis, orang Tionghoa yang ada di Indonesia sejak Proklamasi 1945 adalah WNI suku Tionghoa. 1949 Belanda mengharuskan Indonesia mendasarkan peraturan

kewarganegaraannya ke zaman kolonial bila ingin mendapat pengakuan kedaulatan dari Belanda. Orang Tionghoa di Indonesia kembali diharuskan memilih ingin jadi WNI atau tidak. 1955 - Perjanjian Dwi Kewarganegaraan antara RRC dan Indonesia ditandatangani. Karena ada klaim dari Mao Zedong bahwa RRC menganut azas ius sanguinis, siapa yang lahir membawa marga Tionghoa (keturunan dari laki-laki Tionghoa) maka ia otomatis menjadi warga negara Tiongkok. (Hal ini merupakan alasan politik untuk menggalang dukungan dari kalangan Tionghoa perantauan seperti yang dilakukan oleh ROC Taiwan (nasionalis)). Di KAA Bandung, Zhou Enlai menyatakan bahwa keturunan Tionghoa di Indonesia berutang kesetiaan pada negara leluhur. Mao di satu pihak meluncurkan kebijakan ini, namun di lain pihak merasa keturunan Tionghoa di luar negeri adalah masih memihak kepada ROC yang nasionalis. 1958 - Perjanjian dituangkan dalam UU, menegaskan bahwa orang Tionghoa di Indonesia kembali diperbolehkan memilih kewarganegaraan Tiongkok atau Indonesia. Batas waktu pemilihan sampai pada tahun 1962. Yang memilih menjadi WNI tunggal harus menyatakan diri melepaskan kewarganegaraan Tiongkok. 13

1969 - Perjanjian Dwi Kewarganegaraan dibatalkan. Yang memegang surat pernyataan Dwi Kewarganegaraan menjadi stateless (tidak memiliki kewarganegaraan) bila tidak menyatakan keinginan menjadi WNI. 1978 - Peraturan Menteri Kehakiman mewajibkan SBKRI bagi warga Tionghoa. 1983 - Keputusan Menteri Kehakiman , menegaskan bahwa SBKRI hanya wajib bagi mereka yang mengambil surat pernyataan Dwi Kewarganegaraan lalu menyatakan keinginan menjadi WNI. Jadi bagi WNI tunggal dan keturunannya (yang telah menyatakan menjadi WNI tunggal sebelum tahun 1962 dan yang keturunan mereka, serta semua orang Tionghoa yang lahir setelah tahun 1962) tidak diperlukan SBKRI. 1992 - Keputusan Menteri Kehakiman , menegaskan bahwa anak2 keturunan dari orang Tionghoa pemegang SBKRI cukup menyertakan SBKRI orang tua sebagai bukti mereka adalah WNI. 1996 - Penyertaan SBKRI tidak diberlakukan lagi atas Keputusan Presiden. Namun tidak banyak yang tahu karena kurangnya sosialisasi. 1999 - Keputusan Presiden tahun 1996 itu diperkuat sekali lagi dengan Instruksi Presiden tahun 1999. Perkembangan terakhir Pada tanggal 8 Juli 1996, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 56 Tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia. Di pasal 4 butir 2 berbunyi, "Bagi warga negara Republik Indoensia yang telah memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), atau Kartu Keluarga (KK), atau Akte Kelahiran, pemenuhan kebutuhan persyaratan untuk kepentingan tertentu tersebut cukup menggunakan Kartu Tanda Penduduk, atau Kartu Keluarga (KK), atau Akte Kelahiran tersebut." 14

Sedangkan pasal 5 berbunyi, "Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, maka segala peraturan perundang-undangan yang untuk kepentingan tertentu mempersyaratkan SBKRI, dinyatakan tidak berlaku lagi." Pada 1999, dikeluarkan Instruksi Presiden No 4/1999 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden No 56/1996 yang menginstruksikan tidak berlakunya SBKRI bagi etnis Tionghoa yang sudah menjadi WNI. Namun sebenarnya, praktek persyaratan SBKRI masih tetap ada di birokrasi pemerintahan karena kurangnya sosialisasi pemberlakuan Keppres ini dan juga karena lemahnya sistem hukum Indonesia yang menyebabkan peraturan perundangundangan dapat begitu saja diabaikan. Surat bukti kewarganegaraan (surat edaran menteri kehakiman.) karena pernyataan ASAS KEWARGANEGARAAN Dari sisi kelahiran: ius soli dan ius sanguinis Ius soli: pedoman kewarganegaraan yang berdasarkan tempat atau daerah kelahiran. Ius soli (Latin untuk "hak tanah" atau, sedikit kiasan, "hak untuk wilayah"), atau kelahiran kewarganegaraan, adalah hak yang kebangsaan atau kewarganegaraan dapat diakui untuk setiap orang yang lahir di wilayah negara terkait . Pada akhir abad kesembilan belas, negara-bangsa umumnya dibagi antara mereka sendiri memberikan kebangsaan atas dasar dari hukum soli (Prancis, misalnya) dan mereka memberikan itu atas dasar dari hukum sanguinis (kanan darah) ( Jerman, misalnya, sebelum tahun 2000). Namun, sebagian besar negaranegara Eropa memilih Jerman konsepsi dari sebuah "tujuan kebangsaan", berdasarkan darah, ras atau bahasa (seperti di Fichte 's definisi klasik dari bangsa), menentang sendiri untuk republik Ernest Renan' s "subyektif kebangsaan", didasarkan pada setiap hari pemungutan suara dari satu's appurtenance kepada Fatherland. Ini non-essentialist berwawasan kebangsaan diperbolehkan pelaksanaan hak soli, essentialist terhadap hak sanguinis. Namun, hari ini

15

meningkatkan besar pengungsi telah agak kabur baris antara kedua sumber bermusuhan kanan. "hak Ius sanguinis: berdasarkan darah atau keturunan, Jus sanguinis (Latin untuk darah") adalah sebuah kebijakan sosial yang kebangsaan atau

kewarganegaraan tidak ditentukan oleh tempat lahir, tetapi dengan sebuah leluhur yang nasional atau warga negara dalam negara. Ini berbeda dengan hukum soli (Latin untuk "hak tanah"). Pada akhir abad 19, Perancis-Jerman pada perdebatan kebangsaan melihat Ernest Renan melawan Jerman dari sebuah konsep "Tujuan kebangsaan", berdasarkan darah, ras atau bahkan, seperti di Fichte 's kasus, bahasa. Renan's republik Prancis menjelaskan konsep awal penerapan hukum soli. Banyak negara memiliki campuran sanguinis hukum dan hak soli, termasuk Amerika Serikat, Kanada, Israel, Jerman (seperti yang baru-baru ini), Yunani, Irlandia dan lain-lain. Selain dari Prancis, sanguinis hukum masih merupakan pilihan cara menyalurkan kewarganegaraan di banyak negara benua Eropa, dengan keunggulan mempertahankan budaya dan identitas nasional serta etnis kehomogenan. Hal ini telah menuai kritikan oleh beberapa atas dasar itu, jika hanya berarti, itu bisa mengarah pada generasi orang hidup mereka tinggal di seluruh negara tanpa warga negara itu - menurut Agamben, sehingga likening status mereka ke Homo Sacer, dicabut hak-hak sipil. Tidak seperti Prancis, beberapa negara Eropa (dalam bentuk modern) yang Empayar pos-ciptaan dalam abad terakhir. Negara-negara yang timbul dari AustroHungaria dan Turki telah empayar besar jumlah penduduk etnis baru di luar batas dan telah lama berdiri beberapa diasporas inamicable ke abad 20 nasionalisme Eropa dan negara penciptaan. Dalam banyak kasus hukum sanguinis hak yang diamanatkan oleh perjanjian internasional - dengan definisi sering dikenakan oleh masyarakat internasional. Dalam kasus lain yang minoritas tunduk pada hukumhukum dan ekstra penganiayaan dan mereka hanya bijaksana adalah pilihan imigrasi ke negara asal leluhur mereka.

16

Dari sisi perkawinan: asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat Paradigma keluarga sebagai inti masyarakat yang tidak terpecah Paradigma kesamaan kedudukan suami-isteri UNSUR YANG MENENTUKAN KEWARGANEGARAAN Unsur darah keturunan (Ius Sanguinis) Unsur daerah tempat kelahiran (Ius Soli) Unsur pewarganegaraan (naturalisasi) dengan syarat dan prosedur yang berlainan antara satu negara dengan negara lain PERWARGANEGARAAN Pewarganegaraan aktif: seseorang dapat menggunakan hak opsi untuk memilih atau mengajukan kehendak menjadi warga negara dari suatu negara Pewarganegaraan pasif: seseorang yang tidak mau diwarganegarakan oleh suatu negara atau tidak mau diberi atau dijadikan warga negara suatu negara maka yang bersangkutan dapat menggunakan hak repudiasi (menolak pewarganegaraan) STATUS KEWARGANEGARAAN Apatride: istilah untuk orang-orang yang tidak memperoleh status

kewarganegaraan Bipatride: istilah utk orang-orang yang memperoleh status kewarganegaraan rangkap (dwi-kewarganegaraan) Multipatride: istilah untuk orang-orang yang memperoleh status kewarganegaraan 2 atau lebih HAK DAN KEWAJIBAN DALAM UUD 1945 BAB X PASAL 26, 27, 28, DAN 30 TENTANG WARGA NEGARA

17

Pasal 26 ayat 1 yang menjadi warga Negara adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga Negara pada ayat 2, syarat syarat mengenai kewarganegaraan ditetapkan dgn undang-undang. Pasal 27 ayat 1 bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukan nya didalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pada ayat 2 disebutkan bahwa tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 28 disebutkan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dgn lisan dan sebagainya ditetapkan dgn undang-undang. Pasal 30 ayat 1 bahwa hak dan kewajiban warga negara untuk ikut serta dalam pembelaan negara dan ayat 2 mengatakan pengaturan lebih lanjut diatur dengan UU. Hak adalah: Sesuatu yang mutlak menjadi milik kita dan penggunaannya tergantung kepada kita sendiri. dari guru dan sebagainya Sesuatu yang harus dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab. melaksanakan tata tertib di sekolah, membayar SPP Contohnya: atau melaksanakan tugas yang diberikan guru dengan sebaikbaiknya dan sebagainya. Sebagai warga negara yang baik kita wajib membina dan melaksanakan hak dan kewajiban kita dengan tertib. Hak dan kewajiban warga negara diatur dalam UUD 1945 yang meliputi. a. Hak dan kewajiban dalam bidang politik

Contohnya:

hak mendapatkan pengajaran, hak mendapatkan nilai

Kewajiban adalah:

Pasal 27 ayat (1) menyatakan, bahwa Tiap-tiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum

18

dan pemeritahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal ini menyatakan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban, yaitu: 1. Hak untuk diperlakukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan. 2. Kewajiban menjunjung hukum dan pemerintahan.

Pasal 28 menyatakan, bahwa Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Arti pesannya adalah: 1. Hak berserikat dan berkumpul. 2. Hak mengeluarkan pikiran (berpendapat). 3. Kewajiban untuk memiliki kemampuan beroganisasi dan melaksanakan aturan-aturan lainnya, di antaranya: Semua organisasi harus berdasarkan Pancasila sebagai azasnya, semua media pers dalam mengeluarkan pikiran (pembuatannya selain bebas harus pula bertanggung jawab dan

sebagainya) b. Hak dan kewajiban dalam bidang sosial budaya

Pasal 31 ayat (1) menyatakan, bahwa Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran. Pasal 31 ayat (2) menyatakan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistim pengajaran nasional, yang diatur dengan undangundang.

Pasal 32 menyatakan bahwa Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Arti pesan yang terkandung adalah: 1. Hak memperoleh kesempatan pendidikan pada segala tingkat, baik umum maupun kejuruan. 2. Hak menikmati dan mengembangkan kebudayaan nasional dan daerah. 3. Kewajiban mematuhi peraturan-peraturan dalam bidang kependidikan. 4. Kewajiban memelihara alat-alat sekolah, kebersihan dan ketertibannya. 5. Kewajiban ikut menanggung biaya pendidikan. 19

6. Kewajiban memelihara kebudayaan nasional dan daerah.

Selain dinyatakan oleh pasal 31 dan 32, Hak dan Kewajiban warga negara tertuang pula pada pasal 29 ayat (2) yang menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Arti pesannya adalah: 7. Hak untuk mengembangkan dan menyempurnakan hidup moral keagamaannya, sehingga di samping kehidupan materiil juga kehidupan spiritualnya terpelihara dengan baik. 8. Kewajiban untuk percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. c. Hak dan kewajiban dalam bidang Hankam

Pasal 30 menyatakan, bahwa Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara. Arti pesannya:
o

bahwa setiap warga negara berhak dan wajib dalam usaha pembelaan negara.

d Hak dan kewajiban dalam bidang Ekonomi

Pasal 33 ayat (1), menyatakan, bahwa Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Pasal 33 ayat (2), menyatakan bahwa Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Pasal 33 ayat (3), menyatakan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.

Pasal 34 menyatakan bahwa Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Arti pesannya adalah: negara.

20

1. Hak memperoleh jaminan kesejahteraan ekonomi, misalnya dengan tersedianya barang dan jasa keperluan hidup yang terjangkau oleh daya beli rakyat. 2. Hak dipelihara oleh negara untuk fakir miskin dan anak-anak terlantar. 3. Kewajiban bekerja keras dan terarah untuk menggali dan mengolah berbagai sumber daya alam. 4. Kewajiban dalam mengembangkan kehidupan ekonomi yang berazaskan kekeluargaan, tidak merugikan kepentingan orang lain. 5. Kewajiban membantu negara dalam pembangunan misalnya membayar pajak tepat waktu.

Kewajiban a. Kewajiban Untuk Mematuhi UUD 1945 Kewajiban untuk mematuhi UUD 1945 merupakan kewajiban yang paling dasar yang harus saya dan seluruh rakyat Indonesia lakukan karena UUD 1945 merupakan dasar dari seluruh peraturan yang ada di Indonesia. Tanpa UUD 1945 Indonesia pasti akan kacau balau bagaikan kapal laut yang hilang arah di tengah lautan. Namun saya akui pada saat sekarang ini banyak generasi muda yang sudah tidak menghiraukan apa isi dan makna yang terkandung di dalam UUD 1945, termasuk saya. Itu mungkin di karenakan pesatnya teknologi yang masuk ke Indonesia, tanpa adanya filter yang menyaring sehingga generasi muda lebih tertarik untuk mempelajari teknologiteknologi baru yang ada di bandingkan mempelajari UUD 1945. Oleh sebab itu dengan mengikuti matakuliah ini saya ingin mengingat kembali apa isi dan makna yang terkadung di dalam UUD 1945 yang pernah saya pelajari ketika duduk di bangku SMA dulu. Saya sangat sadar bahwa penting sekali memahami UUD 1945 untuk menjalani hidup di Indonesia. b. Kewajiban Untuk Memahami Pancasila Kewajiban kedua yang harus di laksanakan karena Pancasila merupakan Ideologi bangsa Indonesia yang di cetuskan oleh bung Karno. Tesk Pancasila terdapat di pembukaan UUD 1945, alinea ke 4 yang terdiri dari 5 sila, yaitu : i. Ketuhanan Yang Maha Esa ii. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradap iii. Persatuan 21

Indonesia iv. Kerakyatan Yang Di Pimpin Oleh hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan v. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia Pancasila memang hanya ada 5 sila, namun untuk memahami arti sebenarnya dari ke lima sila tersebut bukanlah hal yang mudah. Jangankan untuk memahami arti dari Pancasila, bahkan mungkin terkadang kita sering lupa untuk menyebutkan ke lima sila tersebut secara berurutan. Oleh karena itu saya ingin mengulang kembali apa-apa saja yang pernah saya dapatkan di SMA mengenai pelajaran tentang Pancasila. Dulu waktu SMA saya selalu berfikir apa fungsi dari upacara bendera yang di lakukan setiap hari senin pagi, dan sekarang akhirnya saya pun mengerti apa fungsinya. Menurut saya fungsi dari upacara bendera tersebut adalah untuk tetap mengingat jasa-jasa pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yang tidak di dapat dengan mudah dan fungsi yang paling penting adalah untuk mengingatkan apa isi dari Pancasila dan UUD 1945, karena dengan upacara tersebut para peserta upacara dapat selalu mendengar isi dari Pancasila dan UUD 1945 yang pasti selalu di kumandangkan saat upacara bendera. Dan ketika sekarang setelah saya sudah ada di bangku perkuliahan dimana sudah tidak wajib lagi untuk mengikuti upacara bendera, pasti nanti lama kelamaan akan lupa dengan pancasila dan UUD 1945. Bahkan teman saya ada yang sudah tidak hafal lagi Pancasila, dan ada yang lebih parah lagi teman saya juga ada yang sudah tidak hafal lagi lagu Indonesia Raya yang Notabene-nya merupakan lagu kebangsaan Negara Indonesia. Memahami pancasila sangat penting karena Pancasila merupakan Ideologi Bangsa Indonesia. c. Kewajiban Untuk Membayar Pajak Kewajiban ketiga yang harus di laksanakan oleh setiap warga Negara adalah kewajiban untuk membayar pajak. Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan Negara yang paling besar jumlahnya. Karena setiap hal yang kita lakukan pasti akan di kenai pajak, mulai dari gaji pegawai, berbelanja di pusat perbelanjaan, rumah, tanah, listrik, kendaraan, dll. Namun saat ini saya agak ragu dengan pendistribusian hasil pajak yang tidak transparan dan ada kemungkinan KKN yang terjadi dalam BUMN yang mengurusi masalah perpajakan di Indonesia. Bagaimana tidak saya sebagai salah satu wajib pajak sudah merasakannya, saat ini banyak jalan-jalan raya yang rusak parah padahal seharusnya pemerintah memperhatikan hal yang seperti ini. Bagaimana jalanan di Indonesia tidak rusak, karena setiap hujan mengguyur Indonesia

22

hampir dapat di pastikan jalanan di genangi oleh air. Karena sebagian besar jalanan di Indonesia di lapisi dengan aspal yang dapat terkikis jika terlalu lama terendam oleh air dan terkena gesekan-gesekan ban kendaraan yang melewati genangan tersebut. Belum lagi listrik yang sering padam, padahal setiap bulannya tagihan listrik selalu di bayar. Alasan yang sering di berikan dari perusahaan yang mengelola listrik di Indonesia adalah kurangnya pasokan listrik karena pembangkit listrik yang ada sedang rusak, padahal harusnya sebagai penyedia jasa perusahaan itu sudah memikirkan alternatif apa yang harus di lakukan jika terjadi kerusakan seperti itu karena sebagai konsumen itu tidak mau mendapatkan alasan apapun karena konsumen telah membayar untuk mendapatkan apa yang telah di bayarkan-nya. Terakhir pajak yang di ambil dari kendaraan. Pajak yang satu ini seperti pajak yang paling besar pemasukan-nya di Indonesia, karena kendaraan di Indonesia khusus-nya di Jakarta sudah melewati batas jumlahanya. Oleh karena itu kemacetan pun terjadi ketika semua kendaraan itu bertemu ketika jam berangkat dan pulang kantor. Seharusnya dari pihak kepolisian membatasi jumlah kendaraan ini, khususnya kendaraan roda dua. Dan menurut saya pengelolaan pajak di Negara ini belum membuat warganya yang sudah membayar menjadi puas karena tidak adanya transparansi. d. Kewajiban Untuk Mempertahankan Negara / Bela Negara Kewajiban terakhir yang harus di laksanakan oleh setiap warga Negara adalah kewajiban untuk mempertahankan negara / bela negara. Kewajiban ini merupakan kewajiban yang mungkin belum sepenuhnya saya lakukan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Namun mungkin sebagai generasi muda amat penting memahami kewajiban yang satu ini. Karena jika suatu saat nanti keadaan Negara menjadi tidak terkendali karena adanya ulah campur tangan pihak asing, maka sebagai generasi muda kita wajib untuk mempertahankan Negara ini sebagaimana yang di lakukan oleh para pahlawan dahulu yang dengan susah payah merebut kemerdekaan dari para penjajah. Mungkin pada saat ini penjajahan di Indonesia tidak ada lagi namun kita harus waspada setiap waktu. Seperti yang sering terjadi belakangan ini, banyak kesenian dari Indonesia yang di klaim oleh Negara lain kesenian tersebut berasal dari Negara-nya. Padahal sudah jelas-jelas kesenian itu sudah ada puluhan tahun yang lalu di Indonesia. Lalu pernah juga kita kehilangan dua pulau yang sebenarnya ada di dalam wilayah Negara kita yaitu pulau Sipadan dan Ligitan. Karena potensi wisata yang cukup baik di pulau tersebut maka Negara lain pun tertarik untuk memiliki kedua

23

pulau tersebut dan akhirnya Negara itu pun berhasil mendapatkan kedua pulau tersebut. Dan pernah juga adanya perebutan pulau yang berada di perbatasan, tepat-nya di blok Ambalat. Bahkan untuk mempertahankannya waktu itu pihak TNI sampai menurunkan beberapa pesawat tempur-nya untuk berpatroli di atas perairan Ambalat. Untuk itu saya sebagai generasi muda akan mempersiapkan mental bila suatu waktu hal-hal yang tidak di inginkan terjadi di Negara tercinta ini.

Hak a. Hak Untuk Mendapatkan Pendidikan Yang Layak Hak untuk mendapatkan pendidikan merupakan hak yang paling penting dan yang semestinya paling utama di dapatkan oleh warga suatu Negara. Namun di Negara Indonesia ini hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak bagi warga-nya masih sangat jauh dari kata Layak. Itu di karenakan di Negara Indonesia pendidikan sudah menjadi komoditi perdagangan, yang seharusnya pendidikan itu tidak memerlukan biaya, namun kenyataan-nya saat ini pendidikan di Indonesia menjadi sesuatu yang sangat mahal, hanya orang-orang yang mampu saja yang dapat menikmati pendidikan, itu pun dengan mengeluarkan biaya yang sangat banyak jika ingin mendapatkan pendidikan yang baik dan tentunya jika ingin mendapatkan pendidikan yang layak maka di perlukan biaya yang lebih banyak lagi untuk mendapatkan hal tersebut. Sedangkan di Negara-negara lain pendidikan sudah di berikan secara cuma-cuma tanpa perlu mengeluarkan biaya lagi, contohnya Negara tetangga kita Malaysia. Di Malaysia warganya sudah sangat sejahtera, tidak ada lagi anak-anak yang putus sekolah. Seluruh anggaran pendidikan sudah di tanggung oleh Negara. Tetapi ironis-nya di Indonesia justru tidak seperti itu, jangankan untuk menanggung seluruh anggaran pendidikan, Indonesia saat ini justru menanggung hutang dari luar negeri yang jumlahnya tidak sedikit. Lalu bagaimana Negara Indonesia ini bisa maju kalau anak-anak bangsanya saja masih kesulitan untuk mendapatkan pendidikan yang layak. b. Hak Untuk Mendapatkan Pekerjaan Hak kedua yang juga harus di penuhi oleh Negara untuk warganya setelah hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak adalah hak untuk mendapatkan pekerjaan. Di Indonesia sebenarnya banyak terdapat lapangan pekerjaan, itu karena Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas dan berlimpah dengan sumber daya

24

alam. Tetapi yang jadi masalah hampir dari setengah lapangan pekerjaan tersebut sudah di tempati oleh pekerja-pekerja asing yang sumber daya manusia (SDM)-nya lebih baik dari pada sumber daya manusia Indonesia, padahal seharusnya pemerintah memikirkan hal tersebut. Contohnya seperti yang terjadi di Irian Jaya (sekarang Papua), di sana terdapat tambang emas yang di klaim terbesar di dunia, tetapi ironisnya hasil dari tambang tersebut tidak bisa di nikmati oleh bangsa Indonesia, itu di karenakan tambang tersebut di kelola oleh perusahaan asing (Freeport) yang tentunya perusahaan tersebut menggunakan pekerjapekerja asing yang ahli dalam bidang pertambangan. Padahal jika kita dapat mengelola tambang tersebut sendiri bukan tidak mungkin Negara Indonesia ini sudah dapat mensejahterakan warganya, yang pada saat ini masih banyak yang berada di bawah garis kemiskinan. Memang saya akui SDM pekerja-pekerja dari luar tersebut jauh di atas SDM pekerja-pekerja dari Indonesia, namun mungkin itu juga di sebabkan oleh faktor bidang pendidikan di Indonesia yang kurang memadai sehingga SDM pekerja-pekerja Indonesia masih berada di bawah SDM pekerja-pekerja asing. Memang ada pekerja Indonesia yang SDM-nya sama dengan SDM pekerja asing, tetapi itu di karenakan pekerja Indonesia tersebut telah menuntut ilmu di luar negeri. Oleh sebab itu saya berharap ketika lulus nanti saya akan segera dapat mencari pekerjaan dalam bidang yang saya kuasai, dan semoga pada saat itu dunia kerja Indonesia sedang membutuhkan pekerja-pekerja baru untuk menggantikan pekerja-pekerja asing yang sekarang telah menguasai dunia kerja di Indonesia. c. Hak Untuk Merasa Nyaman dan Aman Hak ketiga yang harus di berikan Negara kepada warganya setelah dua hak yang telah saya sebutkan di atas adalah hak untuk merasa nyaman dan aman. Di Indonesia pada saat ini merasa nyaman dan aman adalah hal yang sangat sulit untuk di dapatkan. Contohnya saja, ketika berada di tempat umum terkadang saya sering merasa cemas akan terjadinya tindak kriminal di sekitar saya. Bayangkan saja di manapun tempatnya tindak kriminal dapat terjadi, baik itu di dalam angkutan umum, kendaraan pribadi bahkan di dalam pusat perbelajaan sekalipun yang dari segi keamanannya. Menurut saya itu semua mempunyai kaitan yang erat dengan dua masalah yang telah saya bahas sebelumnya, yaitu pendidikan dan pekerjaan. Karena jika sejak dari awal ada orang yang tidak mendapatkan pendidikan yang semestinya di dapatkan-nya tentu saja dunia kerja tidak akan bisa menerima orang yang tidak memiliki keahlian atau ketrampilan

25

yang hanya bisa di dapat saat orang tersebut mendapatkan pendidikan, baik itu pendidikan formal maupun pendidikan informal. Lalu setelah orang tersebut sulit untuk mendapatkan pekerjaan maka orang tersebut akan melakukan segala cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, terlebih lagi jika seseorang itu telah memiliki keluarga. Mau tidak mau dia harus mencari cara untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya tersebut. Tetapi jika orang tersebut sudah putus asa dan lelah untuk mencari pekerjaan maka orang tersebut mungkin akan mengambil jalan pintas, yaitu dengan melakukan kriminalitas seperti; merampok, menodong, dll. Semua itu di lakukan hanya karena alasan untuk Urusan Perut. Namun ada juga orang yang melakukan hal itu hanya untuk bersenang-senang seperti; berjudi, mabuk-mabukan, dll. Ada satu hal lagi yang membuat saya lebih cemas, banyaknya pelecehan seksual yang akhir-akhir ini terjadi. Yang di sebabkan oleh moral orang-orang Indonesia yang sudah mulai Bobrok. Apa lagi itu di dukung oleh tayangan-tayangan di media elektronik, media cetak, hiburan yang dia adakan di panggung-panggung bahkan yang sedang popular sekarang ini adalah media Internet yang sangat sering menyajikan aksi pornografi dan pornoaksi. Oleh karena itu saya sangat menyambut gembira dengan sikap pemerintah yang proaktif memblokir segala sesuatu yang negatif, yang dapat di akses melalui Internet. Oleh karena itu menurut pendapat saya, jika saja pendidikan di Indonesia dapat di tingkatkan bukan tidak mungkin kejahatan yang banyak terjadi akhir-akhir ini di Indonesia dapat di tekan bahkan jika mungkin di hilangkan sama sekali dari muka bumi Indonesia. Amien. d. Hak Untuk Menikmati Infrastruktur Hak yang ke empat adalah Hak Untuk Menikmati Infrastruktur. Di Indonesia sekarang ini sudah sangat tidak nyaman untuk berjalan-jalan. Karena keluar dari rumah saja saya sudah merasakan bagaimana tidak nyamannya berjalan dengan kendaraan karena adanya jalanan yang rusak di mana-mana. Bahkan di dekat rumah saya ada jalanan yang terletak di depan kantor pemerintahan yang hancur bagaikan terkena bom atom. Padahal pajak yang sudah saya bayar selama ini tidak sedikit. Tapi mengapa saya masih belum bisa menikmati hasil dari pajak yang saya bayarkan tersebut. Lalu ada lagi kendaraan-kendaraan umum yang seharusnya sudah Di Museumkan masih ada saja yang beroperasi. Di lihat-nya saja sudah tidak enak apalagi jika di naiki pasti sangat tidak nyaman berada di dalamnya. Belum lagi tempat-tempat umum seperti; halte, terminal, stasiun, elabuhan, bahkan bandara sekalipun yang menjadi pintu keluar masuk antar

26

Negara yang perawatan-nya sangat tidak mencerminkan suatu Negara berkembang yang ingin maju. Banyak kerusakan di sana-sini yang awalnya hanya rusak sedikit saja karena di biarkan akhirnya jadi rusak semua. Apakah itu potret dari Negara Indonesia yang sejak sekolah dasar kita di ajarkan untuk bersih dan rapih karena kebersihan itu sebagian dari iman. Mungkin masih banyak lagi hal yang semestinya di benahi oleh pemerintah, namun itu memang sulit untuk di benahi karena saya saja bingung untuk mulai dari mana membenahi Negara Indonesia ini. Jangankan untuk membenahi Indonesia, membenahi Jakarta saja yang di sebut Ibu Kota Negara Indonesia saja sulit sekali karena banyak-nya masalah yang terjadi. Mungkin ini pelajaran yang dapat saya ambil dari hal tersebut, Jangan pernah menumpuk masalah, kalau bisa di selesaikan sekarang segeralah di selesaikan, karena jika ada masalah baru yang datang kita tidak akan bingung untuk menyelesaikan masalah yang mana terlebih dahulu. e. Hak Untuk Mendapatkan Keadilan Hukum Hak terakhir yang menurut saya harus di dapatkan oleh warga Negara selain ke-empat hal di atas adalah hak untuk mendapatkan keadilan hukum. Menurut saya pada saat ini hak untuk mendapatkan keadilan di Indonesia sudah sangat sulit untuk di dapatkan, itu di sebabkan oleh bobroknya sistem dan badanbadan hukum yang ada di Indonesia. Sebagai contoh yang baru saja terjadi, seorang Jaksa yang menerima suap dari seorang tersangka korupsi yang telah menggelapkan uang negara yang jumlahnya tidak sedikit. Itu di karenakan praktek KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) sudah mendarah daging pada bangsa Indonesia. Hal itu sungguh sangat sulit untuk di atasi jika tidak ada hukumannya yang membuat seseorang yang akan melakukan suatu kejahatan merasa jera. Contohnya seperti di Negara RRC (Republik Rakyat Cina), 12 tahun yang lalu di Negara tersebut praktek KKN bagaikan jamur yang tumbuh di musim hujan, namun lihatlah sekarang KKN sudah dapat di hilangkan oleh Negara itu. Itu semua karena adanya hukuman yang apabila seseorang terbukti melakukan KKN maka orang tersebut akan di hukum gantung dan di saksikan oleh seluruh rakyat. Lalu ada lagi hukuman yang di terapkan di Negara Arab Saudi, di Negara itu jika seseorang terbukti melakukan suatu tindak kejahatan, misalnya mencuri. Maka orang tersebut akan menerima hukuman pancung. Hukuman-hukuman seperti itulah yang seharusnya di terapkan di Indonesia ini agar para pelaku kejahatan merasakan Efek Jera, sebelum mereka melakukan tindak kejahatan seperti korupsi, pencurian, dll. Namun hukuman seperti itu di Indonesia masih

27

sulit di terapkan karena terganjal urusan HAM (Hak Asasi Manusia). Tetapi coba kita pikirkan lagi, apakah para koruptor sempat memikirkan HAM rakyat-rakyat Indonesia yang lain saat mereka membawa lari uang Negara yang tentu saja itu adalah uang rakyat Indonesia, seperti yang terjadi pada kasus BLBI (Bantuan Liquiditas Bank Indonesia). Jadi, menurut saya hukuman seperti itu sah-sah saja di terapkan di Indonesia. Satu contoh lagi, terkadang hukuman di Indonesia sering di rasakan tidak adil. Jika seorang koruptor yang mencuri uang rakyat Triliyun-an Rupiah hanya di penjara sekitar kurang lebih 5 sampai dengan 10 tahun tapi mengapa seorang pencuri beras di suatu toko yang mencuri karena hanya ingin memberi makan keluarganya yang kelaparan karena belum makan selama 3 hari bisa di hukum kurang lebih sama seperti si koruptor. Apakah itu dapat di katakan adil ? Seharusnya si koruptor di hukum minimal hukuman seumur hidup dan maksimal di hokum dengan hukuman mati, karena yang di curi-nya sangat jauh lebih banyak dari yang di curi oleh pencuri beras tersebut. Hal-hal seperti ini yang dapat membuat saya menggelengkan kepala dan bertanya, Apakah keadilan sudah sangat sulit di temui di dunia ini?. Mungkin hanya tuhan yang dapat memberikan keadilan hukuman di hari akhir nanti, karena keadilan sangat sulit untuk di dapatkan di dunia ini.

Daftar Pustaka

Undang-Undang Dasar 1945 Alfian, Oetoyo Oesman, 1991, Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara, Jakarta: BP-7 Pusat Soejadi, 1999, Pancasila sebagai Sumber Tertib Hukum Indonesia, Jakarta: Lukman Offset Wahyono, Padmo, 1989, Pembangunan Hukum di Indonesia, Jakarta: Ind-Hill-Co http://id.wikipedia.org/wiki/Hak_asasi_manusia http://id.wikipedia.org/wiki/Kewajiban http://www.google.com

28

29

Anda mungkin juga menyukai