Anda di halaman 1dari 3

Fenomena Gunung Es Gizi Buruk

Oleh Lola Amelia, Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute Jumat, 12 Agustus 2011 06:33 - Terakhir Diupdate Jumat, 12 Agustus 2011 06:37

Tubuh-tubuh kering dan keriput anak-anak penderita gizi buruk kembali menghiasi media-media massa belakangan ini. Misalnya, kasus Muis, 15 tahun di Polewali Mandar yang hanya berbobot 8 kg dan tingginya hanya 65 cm. Muis hanyalah satu dari ribuan anak penderita gizi buruk lainnya. Di saat Pemerintah Indonesia, pada pelaporan capaian Millenium Development Goals 2010, mengklaim bahwa persentase penderita gizi buruk kecil, yaitu sebesar 4,9 persen pada tahun tersebut. Mengingat target pencapaiannya pada 2015 yang sebesar 3,6 persen, maka Pemerintah sangat yakin akan tercapai.

Pada saat yang bersamaan fenomena anak-anak penderita gizi buruk terus menyeruak. Per 2010 itu juga terkuak data misalnya di Banten ada kasus gizi buruk mencapai 9.300 anak. Per April 2011, lalu media menyampaikan kabar bahwa ada pria dewasa berumur 30-an yang meninggal karena kekurangan gizi di daerah Bekasi. Juni lalu, tersiar kabar ada seorang ibu dan anaknya dengan jelang waktu seminggu meninggal juga karena gizi buruk.

Menyikapi keoptimisan pemerintah mengatasi gizi buruk dan mirisnya fenomena gizi buruk di Indonesia di atas, menyiratkan bahwa yang dituju pemerintah hanyalah terkait angka. Ada penurunan angka persentase penderita gizi buruk. Namun persentase 4,9 penderita gizi buruk tahun 2010 yang sama dengan 1,39 juta balita Indonesia seperti tak dihiraukan.

Jika kita gunakan perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), pembiaran negara sehingga menyebabkan lebih dari 1 juta balitanya mengalami gizi buruk, sudah merupakan pelanggaran HAM karena dalam prinsip HAM, 1 korban pembiaran negara saja, sudah disebut sebagai sebuah pelanggaran HAM.

Selain terlihat bahwa tidak adanya perspektif atau pengintegrasian prinsip HAM ke dalam semua kebijakannya, pemerintah juga terlihat parsial menanggapi masalah gizi buruk ini.

Paradigma yang dipakai pemerintah dalam menanggapi masalah gizi buruk ini adalah paradigma kesehatan. Sehingga respon pemerintah kemudian adalah memberikan serangkaian pengobatan ketika masalah gizi buruk. Contohnya seperti memberi Pemberian Makanan Tambahan dan vitamin A yang berlangsung selama periode tertentu dan tidak sepanjang waktu. Dikarenakan sifatnya yang kuratif-merespon kejadian, maka penderita gizi buruk tersebut berkemungkinan besar akan terkena gizi buruk lagi.

1/3

Fenomena Gunung Es Gizi Buruk


Oleh Lola Amelia, Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute Jumat, 12 Agustus 2011 06:33 - Terakhir Diupdate Jumat, 12 Agustus 2011 06:37

Sebenarnya, masalah gizi buruk itu adalah puncak gunung es dari serangkaian masalah lain yang bukan hanya di ranah kesehatan. Misalnya dalam aspek lingkungan, sanitasi buruk dan pengelolaan sampah yang sembarangan bisa memicu seseorang mengalami gizi buruk.

Aspek lain, terkait ketahanan pangan sebuah keluarga. Pertanyaan pokoknya adalah apakah sebuah keluarga itu bisa menyediakan pangan yang cukup gizi untuk seluruh keluarga setiap hari? Komponen penting dari pertanyaan ini adalah pangan bergizi, untuk semua anggota keluarga dan setiap hari. Jika satu saja dari komponen ini tidak terpenuhi, maka keluarga tersebut dikatakan belum tahan pangan.

Masih terkait aspek ketahanan pangan, memastikan ketahanan pangan sebuah daerah atau negara juga penting. Memastikan ketahanan pangan sebuah daerah/negara bukan hanya dari segi jumlahnya yang surplus atau pas dengan asumsi kebutuhan masyarakat, tapi dari segi kualitasnya dan juga jalus pendistribusiannya. Bisa jadi, pangannya surplus tapi dengan standar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Atau juga pangan surplus dan berkualitas bagus namun jalur pendistribusiannya bermasalah. Masih saja ada daerah-daerah yang tidak terdistribusi.

Aspek lainnya yang juga penting adalah pendidikan. Pendidikan di sini dalam arti luas, bukan hanya formal tapi juga pendidikan informal yang memberikan pengetahuan tentang pengolahan makanan bergizi, jenis makanan bergizi ataupun mengenai pola pengasuhan anak.

Aspek-aspek di atas, semuanya adalah terkait kebijakan. Bagaimana kebijakan pemerintah mengatasi gizi buruk itu sendiri-dari sisi kesehatan dan juga terkait sektor-sektor terkait. Seringnya adalah kebijakan itu saling tumpah tindih dan bahkan melemahkan salah satunya. Misalnya kebijakan pemberian izin tambang kepada investor, membuat kebijakan badan pengendalian dampak lingkungan di suatu daerah untuk mengkonservasi sumber air jadi terhambat. Air yang sudah tercemar karena aktifitas tambang yang tak jarang juga adalah sumber air minum warga yang berujung juga akhirnya ke permasalahan gizi buruk.

Kebijakan yang bisa diambil, bukan hanya bisa dijalankan oleh institusi formal namun juga bisa melibatkan kekayaan pengetahuan masyarakat itu sendiri, dalam mengolah makanan misalnya. Sehingga, yang dibutuhkan adalah kebijakan yang bersifat teknis dan detail di satu sisi, dan di sisi lainnya hanya bersifat supervisi. Tidak begitu berat tugas pemerintah sebenarnya. Tapi kenapa tidak mau?

2/3

Fenomena Gunung Es Gizi Buruk


Oleh Lola Amelia, Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute Jumat, 12 Agustus 2011 06:33 - Terakhir Diupdate Jumat, 12 Agustus 2011 06:37

Lola Amelia, Peneliti Kebijakan Sosial The Indonesian Institute. ameliaislola@gmail.com

3/3

Anda mungkin juga menyukai