Anda di halaman 1dari 7

Freud(Super Ego) VS Maslow(Hati Nurani)

Walaupun kebenaran psikologi bersifat relatif, kenapa relatif ? karena kita sebagai subjek harus menentukan sebuah objek yang paling nyaman dengan kita, begitu juga Psikologi, begitu banyak teori, dan teori itu mempunyai pembenarannya masing-masing, jadi kita sebagai Psikolog(aminnn) harus menentukan teori apa yang paling sesuai dengan diri kita, atau bisa dibilang teori itu membuat kita nyaman. Bila dilihat tentang hal-hal apa yang mempengaruhi kepribadian bila dikaji dari ahli yang sudah tidak diragukan lagi dalam dunia Psikologi, yaitu Freud dan Marslow, yang mempunyai teori : Sigmund Freud ; ID, Ego, Superego Abraham Maslow ; Piramida Maslow Saya akan menjelaskan kedua teori tersebut, kenapa teori tersebut bisa saya sadingkan. Teori Sigmund Freud Super-Ego merupakan salah satu dari tiga bagian apparatus fisik (physic apparatus) dalam model struktural jiwa manusia menurut Sigmund Freud (1856 1939), yaitu Ego, Id, dan SuperEgo. Konsep-konsep ini pertama kali didiskusikan dalam karyanya Beyond the Pleasure Principle dan kemudian dikembangkan dan didiskusikan lebih jauh dalam karya selanjutnya the Ego and the Id (Das Ich und das Es) pada 1923. Tiga istilah di atas bukanlah istilah yang digunakan oleh Freud sendiri, namun merupakan hasil translasi ke bahasa Latin oleh penerjemahnya James Strachey. Freud sendiri menggunakan istilah das Ich (si Aku, the I, Ego), das Es (si Itu, the It, Id), dan das ber-Ich (yang Di Atas Aku, the Over-I, Super-Ego). Id, merupakan bagian dari alam bawah sadar manusia, yaitu fungsi yang bersifat irasional dan emosional dalam pikiran, didominasi oleh prinsip-prinsip kesenangan. Freud menyatakan bahwa Id mengandung segalanya yang diwariskan, yang ada saat kelahiran, yang tetap berada dalam kejasmanian di atas semuanya, dengan demikian, adalah insting, yang berasal dari organisasi somatik dan yang menemukan ekspresi kejiwaan pertamanya dalam id pada bentuk yang tidak kita ketahui Id adalah pikiran primitif yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan dasar. Pikiran bayi yang baru lahir sepenuhnya dikendalikan oleh Id, yang hanya memikirkan kepuasan mengenai perasaan dan kebutuhan dasar Bagian kedua, yaitu Ego, berkembang di saat umur si anak mencapai kurang lebih tiga tahun, ketika ia mulai berinteraksi dengan dunia di luar dirinya. Ego, menurutnya, memiliki tugas akan pemeliharaan-diri yang dilakukannya dengan waspada terhadap rangsangan dari luar, dengan mengingat pengalamannya (dalam memori), dengan menghindar dari rangsangan yang berat (melalui pelarian diri), dengan berkompromi dengan rangsangan yang lebih ringan (melalui adaptasi), dan akhirnya, dengan belajar melakukan modifikasi-modifikasi tertentu pada dunia eksternal untuk memberikan keuntungan pribadi (melalui aktivitas) dalam hubungannya dengan id, ego melakukan tugasnya dengan mengontrol insting Mengenai Ego, Freud menggunakan

analogi penunggang kuda, di mana Ego sebagai penunggangnya dan Id sebagai kudanya, di mana si kuda memberikan tenaga dan alasannya sementara sang penunggang mengontrol arah ke mana si kuda melaju (namun di saat-saat yang sulit, si kuda kadangkala mengambil keputusan sendiri pada dataran yang berbatu tajam). Sementara bagian terakhir, Super-Ego, menyimbolkan suatu figur ayah dan regulasi kultural. Super-Ego merupakan bagian moral dari pikiran, yang terdapat pada area bawah sadar, di mana ia menyimpan nilai-nilai parental dan masyarakat; dan merupakan lawan bagi Id. Super-Ego terbentuk pada penolakan terhadap Oedipus complex, oleh identifikasi dan internalisasi figur ayah setelah sang anak lelaki (menurut Freud Super-Ego dimulai di usia lima tahun) tak dapat memperlakukan ibunya sebagai obyek cinta karena takut dikebiri: Super-Ego mempertahankan peran ayah, yang sebelumnya merupakan Oedipus complex yang lebih kuat yang dengan cepat jatuh pada penindasan (di bawah pengaruh otoritas, pengajaran agama, sekolah, dan sumber bacaan), si penindas di kemudian hari menjadi dominasi super-ego terhadap ego dalam bentuk kesadaran penuh atau mungkin rasa bersalah di bawah sadar. Super-Ego menyempurnakan peradaban seorang manusia, menekan segala desakan Id yang tak dapat diterima serta berusaha agar Ego bertindak pada standar-standar idealis daripada prinsipprinsip realistik. Freud menggambarkan Super-Ego sebagai bukan hanya kepribadian orang tua itu sendiri, namun juga tradisi keluarga dan ras yang diwariskan melalui mereka Super-Ego seorang individu dalam perkembangan dirinya mengambil alih kontribusi dari pewaris dan pengganti orang tuanya di kemudian hari. Super-Ego terdiri dari dua bagian, Ego Ideal dan Hati Nurani (Conscience). Ego Ideal merupakan kumpulan peraturan-peraturan yang diakui dan disetujui oleh orangtua dan figure otoritatif lainnya; serta merupakan standar bagi kelakuan-kelakuan yang baik. Mengikuti Ego Ideal akan membawa individu kepada kebanggaan dan keberhasilan. Sementara Hati Nurani mengandung informasi mengenai kelakuan-kelakuan yang dianggap buruk oleh orang tua dan masyarakat, di mana pelanggaran terhadap Hati Nurani akan mengakibatkan konsekuensikonsekuensi yang buruk seperti hukuman, perasaan bersalah dan penyesalan. Super-Ego sangat berkaitan dengan Hati Nurani, di mana Super-Ego bertindak sebagai hati nurani yang mempertahankan rasa moralitas seseorang dan menjauhi hal-hal yang tabu, meskipun Super-Ego merupakan wilayah bawah sadar sementara Hati Nurani terdapat pada pikiran sadar kita.

Teori Abraham Maslow Piramida Maslow Kontribusi Abraham Maslow (1908 1970) yang terbesar bagi dunia psikologi adalah teorinya mengenai Hierarki Kebutuhan (Hierarchy of Needs). Teori ini dimunculkan dalam karyanya A

Theory of Human Motivation, pada tahun 1943. Hierarki Kebutuhan Maslow biasanya digambarkan dengan bentuk piramid sehingga disebut Piramida Maslow. Hierarki ini, menggambarkan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia (basic needs) terdiri dari lima tingkatan, keempat tingkat terbawah digolongkan menjadi satu sebagai D-needs (deficiency needs atau kebutuhan defisiensi) dan berkaitan dengan kebutuhan fisiologis; sementara tingkat teratas merupakan B-needs (being/growth needs atau kebutuhan untuk menjadi atau bertumbuh). Tingkat terbawah dari kebutuhan-kebutuhan dasar manusia menurut Maslow adalah kebutuhan-kebutuhan fisiologis (physiological needs). Kebutuhan ini, seperti makan, tidur, dan lainnya; merupakan yang paling mendasari semua kebutuhan lainnya. Seseorang yang kekurangan segalanya dalam hidupnya, maka ia akan berusaha paling keras untuk memenuhi kebutuhan fisiologisnya di atas yang lainnya. Munculnya kebutuhan fisiologis didasarkan atas dua aspek, yaitu homeostasis dan selera (appetite). Homeostasis merupakan usaha dari dalam tubuh sendiri untuk mempertahankan aliran darah yang konstan dan stabil. Di lain pihak, menurut Young, jika tubuh kekurangan suatu jenis elemen kimia, individu tersebut akan cenderung mengembangkan suatu selera yang spesifik atau kelaparan parsial akan jenis elemen itu Setiap kebutuhan fisiologis dan kelakuan konsumtif yang berkaitan bertindak sebagai dasar akan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Misalnya, seseorang yang mengalami kelaparan sebenarnya termotivasi lebih kepada pencarian akan kenyamanan atau kepercayaan; bukannya pada vitamin atau protein. Jika organisme manusia didominasi oleh kebutuhan-kebutuhan fisiologisnya maka kemungkinan yang dapat terjadi adalah perubahan pada filosofi akan masa depan. Bagi seseorang yang lapar, maka Utopia bagi dia merupakan suatu tempat di mana terdapat makan yang berlimpah ruah. Namun, keadaan ini sangatlah jarang ditemukan di dunia ini. Kultur merupakan suatu perangkat adaptif, yang berfungsi untuk mengurangi kebutuhan-kebutuhan fisiologis. Kelaparan yang ekstrim sangatlah sulit ditemukan di masyarakat-masyarakat yang ada. Ketika kebutuhan-kebutuhan fisiologis telah dipenuhi, maka sekumpulan kebutuhan lainnya muncul kebutuhan akan keamanan (the safety needs). Kebutuhan akan keamanan antara lain berupa keinginan akan pekerjaan yang memiliki jabatan dan perlindungan, keinginan untuk memiliki kepemilikan pribadi, atau asuransi, dan lainnya. Aspek yang lebih luas mengenai kebutuhan ini meliputi kecenderungan terhadap hal-hal yang familier daripada yang tidak, atau yang diketahui daripada yang tak diketahui. Kecenderungan untuk memeluk suatu agama atau filosofi (yang mengatur dunia ini) merupakan bagian dari motivasi akan pencarian keamanan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sains dan filosofi dimotivasi oleh kebutuhan ini. Di lain pihak, kebutuhan akan adalah kebutuhan yang muncul secara aktif dan dominan di keadaankeadaan darurat, seperti perang, penyakit, bencana alam, gelombang kriminal, disorganisasi sosial, dan lain-lain. Kebutuhan akan keamanan ini dapat dilihat dengan lebih baik pada anak kecil ataupun bayi. Sesuatu kejadian buruk yang melanda seorang anak dapat mengubah dunianya yang tadinya cerah kini menjadi penuh kegelapan, dan pada gilirannya akan mengubah cara pandangnya terhadap

dunia. Indikasi lainnya dari kebutuhan akan keamanan pada diri seorang anak adalah kecenderungannya terhadap rutinitas yang tak berubah. Kejadian buruk yang terjadi padanya mengakibatkan si anak merasa tidak aman; dan hal ini bukanlah karena kesakitan yang dideritanya, namun lebih karena ancaman yang muncul yang membuat dunianya menjadi sangat tidak dapat diprediksi dan dipercaya. Kebutuhan akan cinta (the love needs) merupakan kebutuhan yang akan muncul setelah kedua kebutuhan di atas terpenuhi. Seseorang kini akan merasa lapar akan kehadiran teman, sahabat, kekasih, atau pasangan hidup, atau anak. Ia akan mencari hubungan afektif dengan orang lain lebih dari apapun yang dibutuhkannya di dunia ini. Satu hal yang penting adalah keberbedaan antara kebutuhan akan cinta dengan seks. Seks bisa saja dipelajari sebagai suatu kebutuhan fisiologis yang murni; meskipun kelakuan seksual tidak dapat dilihat hanya dalam satu aspek, yaitu seksual saja, namun juga aspek lainnya seperti kebutuhan akan cinta. Selain itu, kebutuhan akan cinta meliputi kedua aspek, memberi dan menerima cinta. (hhe) Selanjutnya di atas kebutuhan akan cinta adalah kebutuhan akan penghargaan diri (the esteem needs). Semua orang dalam suatu masyarakat menginginkan suatu kehidupan yang stabil dan bernilai tinggi, demi penghargaan dan penghormatan baik dari dalam diri sendiri maupun dari orang lain. Kebutuhan akan penghargaan diri ini melibatkan dua kelompok. Yang pertama, merupakan hasrat akan kekuatan, akan pencapaian, akan kecukupan, akan kenyamanan di mata dunia, dan akan kemerdekaan dan kebebasan. Sementara yang kedua, adalah hasrat akan reputasi dan prestise (yang didefinisikan sebagai respek atau penghormatan dari orang lain), pengenalan, perhatian, kepentingan, atau apresiasi. Pemenuhan kebutuhan ini akan mengakibatkan perasaan nyaman, berpunya, kuat, mampu, dan berkecukupan untuk menjadi penting di dunia. Namun kegagalan kebutuhan ini membawa orang pada perasaan inferior dan kelemahan. Kebutuhan dasar yang terakhir dan sekaligus menempati puncak Piramida Maslow adalah kebutuhan akan aktualisasi diri (the need for self-actualization). Ketika semua kebutuhan telah dipenuhi, tetap saja akan selalu muncul ketidakpuasan hingga seseorang dapat melakukan apa yang sesuai dengan dirinya. Bila seorang dapat menjadi sesuatu, maka ia harus menjadi itu[ inilah yang disebut dengan aktualisasi diri. Aktualisasi diri merujuk pada pemenuhan diri, yaitu kecenderungan seseorang untuk menjadi teraktualisasikan dalam bidang yang ia kuasai. Kecenderungan ini merupakan hasrat yang muncul untuk menjadi lebih dan lebih lagi. Wujud kebutuhan akan aktualisasi diri ini bervariasi untuk tiap individu. Individu-individu yang mencari aktualisasi diri akan mencari pengetahuan, kedamaian, pengalaman, estetik, kesatuan dengan Tuhan, dan lain sebagainya. Karakteristik-karakteristik mengenai aktualisasi diri menurut Maslow adalah:

Persepsi yang jelas akan realitas: persepsi akurat yang jelas mengenai suatu keadaan dan kemampuan mengenali kepalsuan, serta ketidaktakutan menghadapi ketidaktahuan.

Penerimaan terhadap diri sendiri, orang lain, dan sekitarnya: ketidakmaluan menerima kelemahan dan kecacatan dalam dirinya sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitarnya. Spontanitas, tidak konformis: tindakan spontan dalam kehidupan namun bukan di luar aturan. Terpusat pada pemecahan masalah: ketertarikan untuk memecahkan masalah. Privasi dan kebutuhan untuk menyendiri: kebertahanan untuk tetap tak terganggu, yang dapat menyebabkan sikap asosial. Otonomi, independen terhadap lingkungan dan kultur yang ada: ketidaktergantungan terhadap orang lain atau kebudayaan di luar, namun lebih kepada pertumbuhan dan perkembangan diri sendiri. Apresiasi segar yang berkelanjutan terhadap kehidupan sekitar: keberlanjutan apresiasi terhadap kesenangan-kesenangan mendasar dalam hidup. Pengalaman mistik atau pengalaman puncak: pengalaman yang menguatkan dan mengubah diri serta meninggalkan kesan yang mendalam. Kesatuan dengan kemanusiaan: identifikasi, simpati, dan afeksi kepada orang lain, dan secara umum terhadap kemanusiaan itu sendiri. Relasi antarpersonal yang dalam: kedekatan, cinta, dan pengenalan yang lebih dalam dari yang biasanya, dan biasanya pada sekelompok kecil teman. Watak demokratis: penghormatan terhadap setiap orang dan keinginan untuk belajar darinya. Etika yang berujung pada moral: pembedaan yang jelas antara maksud dan tujuan serta pemahaman akan kebaikan dan keburukan serta kebenaran dan kesalahan yang umumnya berbeda dengan orang lain. Rasa humor filosofis yang tak menyakitkan: humor cerdas yang intrinsik dan spontan. Kreativitas dan imajinasi: cara pandang terhadap sesuatu yang segar dan langsung serta naif.

Fiuhhh memang ternyata rumit sekali, tetapi bila kita paham akan konsep kedua ahli ini maka kita bias menganalisanya. Untuk mempermudahkan pembaca saya akan membuat Analisa perbandingannya. Analisa Perbandingan Dalam materi kuliah mengenai etika normatif, terdapat beberapa pandangan mengenai pemecahan untuk menghilangkan sikap utopis dan meraihnya, antara lain berupa etika sebagai norma, kesenangan sebagai norma, perwujudan diri sebagai norma, dan lain sebagainya. Etika sebagai norma merupakan buah pikiran Kant, yang berlandaskan pada hukum alam untuk mendasari hukum akal manusia. Jika alam dapat bergerak secara teratur, maka begitupun dengan manusia. Hukum akan mengakibatkan adanya kewajiban, dan dengan demikian membentuk

kewajiban sebagai norma untuk manusia. Sementara itu, kesenangan sebagai norma melibatkan pemikiran bahwa kesenangan adalah satu-satunya tujuan hidup manusia. Ini merupakan dasar dari paham hedonisme, yang menganggap kesenangan sebagai perasa dalam tubuh manusia. Perlu diingat, kesenangan yang dimaksud di sini bukanlah semata kesenangan fisik, namun juga kesenangan batin. Pemenuhan kesenangan merupakan usaha yang dilakukan oleh manusia dalam kepentingannya untuk bertahan hidup. Prinsip ini mirip dengan salah satu aspek dalam teori Freud, yaitu Id. Id yang menginginkan kepuasan dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya, bertujuan untuk pencapaian kesenangan dirinya. Pemenuhan kebutuhan yang diinginkan oleh Id merupakan keempat kebutuhan dasar yang terdapat dalam Piramida Maslow. Ego yang mengendalikan Id dan mengarahkannya ke arah yang baik merupakan salah satu usaha dalam rangka mewujudkan aktualisasi diri (perwujudan diri), di mana Super-Ego juga bertindak di sini untuk mengurangi keberlebihan permintaan oleh Id. Di sini yang berperan bukan hanya mengejar kesenangan, namun juga mengurangi penderitaan (rasa sakit). Bentuk kedua dari kesenangan sebagai norma adalah utilitarianisme, paham yang melibatkan keseimbangan antara kesakitan dan kesenangan. Dalam utilitarianisme, terdapat satu aspek yang menentukan, yaitu hedonisti calculus, untuk penghitungan kesakitan yang diperlukan untuk menguranginya dan memberikan kesenangan bagi individu. Aktualisasi diri sebagai norma merupakan bagian ketiga dari kesenangan sebagai norma. Manusia mengejar kesenangan untuk mencapai tujuan tertingginya, yaitu aktualisasi diri. Salah satu aspek dalam aktualisasi diri merupakan hasil pikiran Aristoteles, yaitu eudaemonisme. Eudaemonisme melibatkan eudaemonia, yang bersifat mengatur diri dengan baik untuk mencapai keberhasilan hidup. Keberhasilan hidup yang dimaksud di sini bukan hanya perasaan batin semata. Endaemon tidak hanya mencari kesenangan hidup seperti yang dilakukan oleh Id, namun juga yang lebih penting adalah aktualisasi diri. Aktualisasi diri akan dapat dipenuhi setelah segala kebutuhan dasar telah terpenuhi, atau dengan kata lain ketika dorongan hasrat Id telah dapat dikendalikan dengan mudah. Dengan demikian, Super-Ego dan Hati Nurani muncul untuk mendominasi hidup seseorang dan mengikatnya dalam batas-batas yang dikenalinya. Aktualisasi diri merupakan perwujudan Id dalam kepatuhannya dengan Ego dan Super-Ego (Hati Nurani). Aktualisasi diri bukanlah penyerahan diri terhadap keingingan Id untuk melakukan apa saja yang disukai. Lebih dari itu, aktualisasi diri melibatkan keinginan untuk mencapai tahap tertinggi dari keberhasilan, yang berarti juga bahwa si individu telah menyatu dengan dunianya. Dengan demikian, nilai-nilai yang terkandung dalam Super-Ego dan Hati Nurani-nya telah bersatu dengan Id-nya sendiri, atau dengan kata lain telah terjadi keseimbangan antara Id, Super-Ego, dan Ego. Tahap aktualisasi diri termasuk dalam tahap paska konvensional dalam kumpulan tahap perkembangan atas apa yang mendasari perbuatan seorang manusia. Tahap paska konvensional melibatkan prinsip etika universal, yang adalah keadilan dan persamaan martabat. Pada tahap paska konvensional, orientasi perbuatan adalah terhadap tata nilai dan hukum formal yang berupa perjanijian spesifik yang berlaku di masyarakat. Tahap paska konvensional terjadi setelah seseorang melalui tahap pra konvensional (yang setara dengan Id dan pemenuhan kebutuhan dasar, berorientasi pada hubungan sebab-akibat secara langsung) dan tahap konvensional (setara dengan Ego, berorientasi pada konvensi dan ketertiban serta mulai memahami kepentingan dunia di luar

dirinya). Tahap paska konvensional menyiratkan kepenuhan Super-Ego dalam diri individu, serta membuka kemungkinan terhadap perwujudan aktualisasi diri dalam masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai