Anda di halaman 1dari 3

Asteriodea, kurasa kita memang berjodoh.

Tuhan memang menginginkan kita untuk bertemu meskipun kita tidak pernah menginginkannya. Kalau bukan karena Dia ingin kita saling mengenal tidak mungkin dia mengatur situasi sedemikian rupa hingga sore itu aku menemukanmu terdampar di pantai, putus asa. Aku masih ingat persis sayu matamu yang letih mencari jalan pulang. Tersesat sendirian. Aku paham sekali bagaimana rasa ketakutan itu menggerogoti sinar matamu yang padam. Bukan karena aku cukup peka, tapi karena aku pun pernah ada di keadaan itu di masa lampau. Asteriodea, masih ingatkah kau kudekap erat karena badanmu menggigil berat menahan dinginnya tubuh yang basah dan ganasnya angin laut? Aku bahkan masih ingat wangi parfummu yang bercampur bau asin air laut. Juga titik-titik pasir putih yang kurasakan ketika aku membelai rambutmu. Asteriodea, waktu itu kau sekarat. Begitu lemah dan pasrah. Dan aku menggendongmu menuju gubuk kecil di pinggir laut, tempat yang saat itu aku pikir akan menjadi tempatku menghabiskan sisa umurku di dunia ini. Saat itu aku bahagia sekali, setelah sekian lama sendirian dan menyimpan luka, akhirnya aku menemukan kamu, yang akan menjadi temanku di pantai yang sepi ini. Malam itu kudekap kau lebih erat, agar kau lebih hangat. Kugosokkan handuk kering ke seluruh tubuhmu. Kupeluk hingga aku dan kau tertidur. Masih ingatkah, bahkan saat itu pun kita bertemu lagi di mimpi? Sejak sore pertemuan kita itu kita selalu bersama-sama, aku selalu membawamu kemana pun aku pergi. Menyusuri pantai, menunggu matahari terbenam, menanti pagi. Aku bersyukur sekali engkau ada. Meski terkadang kau pergi sendiri bermain pasir dan aku hanya melihatmu dari dalam gubuk kita, tersenyum mengamati wajahmu yang merona terkena panasnya sinar matahari. Kau menatapku dari kejauhan, dan aku membalasnya dengan lambaian tangan. Setiap aku merasa sepi aku mencarimu dan menarikmu kembali ke sampingku. Saat itu aku semakin yakin Tuhan memang mengirimkan kau untukku. Untuk menemani hidupku di pinggir pantai yang sepi ini. Hingga saat itu datang. Suatu pagi yang tidak akan pernah aku lupakan. Saat aku bangun dan tidak menemukanmu di manapun. Di atas ranjang kita, di dapur, di sisi manapun gubuk kita, di halaman, di pantai, di pasir. Engkau hilang. Engkau pergi tanpa meninggalkan pertanda sedikit pun. Aku mencarimu sepanjang pantai, hampir masuk ke hutan. Mungkin akan masuk ke hutan kalau aku tidak ingat bahwa kau membenci hutan. Aku mencarimu di sela-sela karang, di balik bebatuan, dan kau tidak ada. Tidak ada sedikitpun tanda bahwa kau ada. Aku seperti tersedot ke masa lalu. Dimana aku menghabiskan hari-hariku sendiri di tempat terkutuk ini. Mendadak aku berkeringat dingin, gemetar. Ketakutan melanda tanpa ampun. Aku takut kau benar-benar pergi meninggalkanku. Maka aku kembali mencari untuk ke sekian kali. Mengitari pantai, mengoyak karang dan bebatuan, bahkan merobohkan gubuk kita.

Tapi kau tetap tak ada. Bahkan baumu pun menghilang. Asteriodea, aku tiba pada ambang sadarku. Mempertanyakan kewarasanku sendiri. Apakah engkau memang benar-benar ada? Ataukah engkau hanya halusinasi anak dari segala keputusasaanku yang sendiri dan sakit ini? Benarkah tubuhmu kudekap tiap malam atau hanya aku yang sedang bermimpi panjang? Asteriodea, di tengah keputusasaanku mencarimu aku bertanya kepada Tuhan, jika engkau memang bukan untukku lalu kenapa Tuhan mengenalkanku pada dirimu? Yang begitu rapuh hingga aku merasa perlu melindungimu. Yang begitu hangat untuk kudekap dalam tiap malamku. Kenapa Tuhan menciptakan perasaan nyaman ketika bersamamu? Dan kenapa Tuhan melenyapkanmu begitu saja hingga aku berantakan seperti sekarang?? Malam itu kutunggu kamu datang beralaskan pasir dan beratapkan langit bertaburan bintang. Aku berdoa semoga semua ini hanya mimpi dan ketika aku bangun nanti kita sedang saling mendekap dalam gubuk kita yang mungil. Tapi hanya kekecewaan yang aku dapatkan. Pada bangunku pun yang kutemukan hanya sinar mentari dan lautan pasir. Mungkinkah kau telah pulang, Asteriodea? Ke tempat seharusnya kau hidup? Apakah kedatanganmu ke pantai ini hanya sekedar bermain saja dan aku yang salah mengartikan pertemuanku denganmu? Terlalu tinggikah harapanku untuk terus bersamamu di setiap pagi dan malamku? Asteriodea, tak bisakah, sekejap saja kau kembali dan menjelaskan semuanya? Paling tidak ijinkan aku mendekapmu sekali lagi sebelum engkau kembali ke dasar lautmu. Telah lelah aku menantimu di pinggir pantai ini. Setiap hari berharap aku bangun dan engkau tersenyum di sampingku. Harapku mungkin terdengar seperti lelucon untukmu, karena mungkin sekarang kau sudah menemukan kembali kehidupanmu. Usahaku menyelamatkanmu mungkin adalah hal yang bodoh. Terdamparmu mungkin hanyalah jarak waktu untuk kembali pulang. Dan aku bukannya mengembalikanmu ke rumah, malah menculikmu ke dalam gubukku. Sifat heroikku yang ingin melindungimu mungkin konyol karena sebenarnya kau tidak memerlukan perlindungan apapun dari siapapun. Kau, saat itu, hanya sedang kebingungan mencari rumahmu. Asteriodea, maafkan aku. Atas semua ketidakpahamanku akan sikap diammu. Atas kebodohanku mengartikan padamnya sinar matamu. Atas keterlambatanku menyadari bahwa aku bukan malaikat pelindungmu seperti yang aku selalu rasakan setiap aku mendekapmu. Asteriodea, pulanglah. Sampaikan salamku pada kehidupanmu, sampaikan maafku yang sempat menculikmu sekian lama. Sungguh, aku tidak pernah bermaksud demikian. Akupun juga akan pulang. Pantai ini terlalu sepi untuk ditinggali sendiri. Meskipun aku belum tahu kemana aku akan pulang, tapi aku merasa, pantai ini bukan rumahku yang

sebenarnya. Tidak mungkin Tuhan menginginkanku untuk hidup sendiri seumur hidupku. Tidak mungkin pula aku hanya diam dan menunggu rumahku datang menghampiriku. Maka, sudah kuputuskan, aku akan mencari jalanku pulang. Meninggalkan puing-puing gubuk kita yang berantakan. Meninggalkan kenanganku bersamamu di pantai ini. Akan tidak mudah menyingkirkanmu dari ingatanku, Asteriodea, tapi untuk apa aku harus terus berharap pada sesuatu yang sudah menemukan tempatnya dan tak mungkin kembali menghampiriku? Asteriodea, pesan ini kutinggalkan di balik batu besar tempat sembunyi kesukaanmu ketika kita bercanda dulu. Masih tersisa sedikit kekhawatiran jika suatu hari nanti kau merindukanku lalu datang ke tempat ini dan bersedih karena aku tak di sini lagi. Maka aku tulis pesan ini untukmu kekasih impianku, Asteriodea. Aku pergi bukan karena aku ingin meninggalkanmu. Aku pergi karena aku yakin kau sudah menemukan rumahmu, tempat seharusnya kau berada. Jika Tuhan memang menciptakan titik temu kita untuk yang kedua kali, maka sejauh apapun aku melangkah dan sedalam apapun engkau menyelam, maka akan ada ribuan alasan yang akan mempertemukan kita kembali. Selamat tinggal, Asteriodea. Aku akan mengenangmu sebagai bintang laut terindah dalam hatiku. Bintang laut hatiku.

Tertanda, Gastropoda

Anda mungkin juga menyukai