Anda di halaman 1dari 10

TUGAS MATA KULIAH PENGKAJIAN CERPEN INDONESIA ANALISIS HAL-HAL MENARIK DALAM CERPEN SENYUM KARYAMIN AHMAD TOHARI

INGEU WIDYATARI HERIANA 180110110055 SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS PADJADJARAN 2012

Pengarang:

Ahmad Tohari

Tahun Terbit: 1989 Judul Buku: Senyum Karyamin

Judul Cerpen: Senyum Karyamin Kota Terbit: Penerbit: Jakarta Gramedia Pusataka Utama

Hal-Hal menarik terdapat dalam salah satu cerpen karya Ahmad Tohari yang berjudul Senyum Karyamin. Saya memilih tiga unsur cerpen sebagai hal menarik tersebut. Sebagai objek tugas mata kuliah Pengkajian Cerpen Indonesia, berikut Saya jabarkan hal-hal apa saja yang menjadikan cerpen karya Ahmad Tohari ini menjadi sebuah kisah yang begitu mengesenkan dan memberi pelajaran bagi para pembaca. 1. Sinopsis (Ringkasan Cerita) Menurut Saya, alur cerpen atau jalan cerita Senyum Karyamin sangat menarik dan membawa kehikmatan jika kita sedang membacanya. Oleh karena itu, sinopsis Saya kategorikan sebagai salah satu dari hal-hal menarik tersebut. Berikut penjabarannya. Karyamin, seoramg pengumpul batu dari sungai ke pangkalan material di atas sana. Selalu berhati-hati dengan langkahnya di atas tanah yang licin, basah akibat tetesan keringatnya beserta kawan-kawan sesama pengumpul batu. Mereka selalu pulang balik memikul dua keranjang berisi batu-batu kali di pundak. Karyamin bisa terjatuh walaupun sudah memperhitungkan langkah pelan yang begitu hati-hati, menjaga titik berat beban dan badannya tetap berada pada telapak kaki kiri atau kanan, pemindahan titik berat dari kaki kiri ke kaki kanan, tarikan nafas serta ayunan tangan demi keseimbangan yang sempurna. Begitu ulet Ia menjaga segalanya untuk setiap keselamatan perjalanannya. Tubuhnya rubuh lalu menggelinding kebawah, berkejaran dengan batu-batu yang tumpah dari keranjangnya. Sesekali dalam perjalanan muncul burung paruh udang pemakan ikan terbang rendah. Burung tersebut kali ini mengganggu kesimbangan Karyamin hingga Ia terjatuh bergulir, bgitu juga keranjang berisi batunya. Kawannya sesama pengumpul batu terbahak bersama. Mereka, Para pengumpul batu itu senang mencari hiburan dengan mentertawakan diri mereka sendiri. Itulah simbol kemenangan bagi diri Mereka terhadap tengkulak, rendahnya harga batu, atau licinnya tanjakan. Atau mengenai perempuan-perempuan yang suka pulang dari pasar menyebrangi sungai sebagai pengalihan tentang perihnya jemari yang selalu mengais batuan, tengkulak yang sudah setengah bulan menghilang denga membawa satu truk batuan yang belum dibayarnya, tukang nasi pecal yang sering menagih mereka, dan nomor buntut yang selalu gagal mereka tangkap. Mereka suka jika para wanita itu mengangkat kain tinggi-tinggi.

Karyamin selalu menjadi korban. Ia diejek, diolok-olok, dan digoda kawan-kawan senasibnya itu. Sudah, Min. Pulanglah. Kukira hatimu tertinggal di rumah sehingga kamu loyo terus. Kata Sarji yang diam-diam iri pada istri Karyamin yang muda dan gemuk. Memang bahaya meninggalkan istrimu diri di rumah. Min, kamu inat anak-anak muda petugas bank harian itu? Jangan kira mereka hanya datang setiap hari buat menagih setoran kepada istrimu. Jangan percaya kepada anak-anak muda penjual duit itu. Pulanglah, Istrimu pati sedang dogodanya. Istrimu tidak hanya menarik mata petugas bank harian. Jangan dilupa tukang edar kupon buntut itu. Kudengar deia juga sering datang ke rumahmu bila kamu sedang keluar. Apa kamu juga percaya dia datang hanya untuk menjual kupon buntut? Jangan-jangan dia menjual buntutnya sendiri! Min1 Teriak Sarji. Kamu diam saja, apakah kamu tidak melihat ikan putih-putih sebesar paha? Kawan-kawannya itu tertawa bersama, sedangkan Karyamin, sudah menjadi kebiasaanya hanya tersenyum menanggapi setiap omongan. Karyamin masih terduduk dari jatuhnya akibat kehilangan keseimbangan terusik burung paruh udang. Ia bangkit meski kepalanya pening dan langit seakan berputar. Rongga matanya penih bintang, terasa sarang lebah ada di telinganya, perutnya belum terisi makanan bunyi kruyuk hanya berisi hawa, matanya menagkap semuanya menjadi kuning berbinar-binar. Karyamin menaiki tanjakan, Ia harus meninggalkan tumpukan batu yang belum mencapai seperempat kubik. Di pohon Waru terlihat Saidah si oenjul pecel, menawarkan dagangannya. Masih pagi kok pulang, Min? ... Sakit? Kebiasaan Karyamin, Ia hanya tersenyum. Sambil menggeleng. Makan, Min? Tidak. Beri aku minum saja. Daganganmu sudah ciut seperti itu. Aku tak ingin menambah utang. Iya, Min, iya. Tapi kamu lapar, kan? Dia tersenyum lagi. Sambil minum segelas air yang diberikan Sidah.

Makan, ya Min? Aku tak tahan melihat orang lapar. Tak usah bayar dulu. Aku sabar menunggu tengkulak datang. Batumu juga belum dibayar, kan? Karyamin menolak dengan senuyman, meneruskan langkahnya untuk pulang. Burung paruh udang melintas lagi. Kali itu Ia tidak membencinya karena Ia sekarang sadar bahwa burung itu pun mencari makan untuk anak-anaknya yang sedang kelemasan dan kelaparan mnunggu induknaya datang menyuapi makanan untuk mereka di sarang. Sama seperti kadaan dirinya. Di perjalanannya sesekali Ia menemukan buah-buah yang jatuh dari pohonnya, sesekali pun Ia memungutnya. Tanjakan Hhampir Ia tempuh tanda ampir sampai ke rumahnya. Ia melihat dua buah sepedah jengki diparkir di depan halaman rumahnya. Denging di telinganya dan kunang-kunang matanya semakin menjadi. Ia menghentikan langkahnya. Membayangkan istrinya sedang dipergoki anak-anak muda petugas bank harian menagih. Padahal, Ia tahu istrinya tak mampu membayar tagihan itu, entah sampai kapan menunggak. Untuk menemui istrinya Ia bimbang dengan alasan pulangnya Ia ke rumah padahal mengetahui bahwa tidak ada juga yang bisa Ia perbuat untuk membantu istrinya yang mungkin sedang sakit bisul atau ditagih anak-anak muda petugas bang harian.. Pelan-pelan Ia membalikkan badan siap turun kembali. Namun, di bawah sana terlihat seorang lelaki berbaju batik, kopiah botak kemerahan, mayakinkan itu adalah Pak Pamong. Nah, akhirnya kamu ketemu juga. Sebab Pak Pamong sudah mencari ke rumah Karyamin dan pangkalan batu tidak ada. Beliau ingin menagih iuran uang dana Afrika untuk menolong orang-orang yang kelaparan di sana. Hari itu hari terakhir. Aku tak mau lebih lama kau persulit. Kayamin mendengar suara napas dan detak jantuknya sendiri namun, tak melihat bibir sendiri yang mulai menyinggung senyum. Kau menghina Aku, min? Tidak, Pak. Sungguh tidak Kalau tidak, mengapa kamu tersenyum-senyum?Hayo cepat, mana uangmu? Kali ini Karyamin tidak lagi hanya tersenyum. Iya tertawa keras-keras. Hingga dengung di telinganya, kunang-kunang di matanya, lambung kampongnya semakin menjadi-jadi dan repuhlah keseimbangan tubuhnya. Tubuh Karyamin terjatuh berguling ke lembah, Pak Pamong berusaha menahannya. Sayang, gagal.

2.

Latar (setting) Mengenai suasana, waktu, dan tempat Ahmad Tohari memang ahlinya dalam

mendeskripsikan keadaan alam yang begitu indah. Biasanya daerah pedesaan sangat kental dengan keasrian alamnya yang masih suci. Menggugah citraan indra kita manjadi lebih meningkat ketika membaca dengan hikmat dan cermat karya-karyanya. Imajinasi kita berhasil termanjakan hanya dengan rangkaian kata-kata. Contoh citra rabaan .... Angin yang bertiup lemah membuat kulitnya merinding, meki matahari sudah cukup tinggi. Burung paruh udang melintas diatasnya. Diceritakan .... Suara gelak tawa terdengar riuh di antara bunyi benturanbatu-batu yang mereka lempar ke tepi sungai. Air sungai mendesau-desau oleh langkah-langkah mereka. Kutipas diatas membangkitkan citra dengaran pembaca. Ada juga ..... .... Seekor burung paruh udang terjun dari ranting yang menggantung di atas air, emnyambar seekor ikan kecil, lalu melesat tanpa rasa salah hanya sejengkal di depan mata Karyamin. .... Ada daun jati melayang, kemudian jatuh di permukaan sungai dan bergerak menentang arus karena tertiup angin. Agak di hilir sana terlihat tiga perempuan pulang dari pasar dan siap menyebrang. Para pencari batu itu diam. Mereka senang mencari hiburan dengan cara elihat perempuan yang mengangkat kain tinggi-tinggi.... Dan Karyamin masih terduduk sambil memandang kedua keranjangnya yang berantakan dan hampa. Ahmad Tohari Cerdas sekali merajut kata-kata mengajak main imajinasi pembaca lewat citra lihatan dari kutipan tersebut. Dimanjakan para pembaca, rindu akan kampung halaman karena membaca karya Ahmad Tohari yang bernuansa damainya pedesaan. Memang kelebihan dia, ciri khas terkenal karya seorang Ahmad Tohari.

3.

Unsur Sosial Karyamin yang sedang dalam perjalanan pulang, bertemu lagi dengan si burung paruh

udang. Di situ Karyamin tidak membenci burung paruh udang lagi, Ia mulai sadar bahwa Si paruh udang yang melintas cepat denagn suara yang mececet pasti sedang mencari makan untuk anak-anaknya yang sedang kelemasan dan kelaparan mnunggu induknaya datang menyuapi makanan untuk mereka di sarang. Sama seperti kadaan dirinya. Di rumah keluarganya juga pasti menunggu kedatangan Karyamin paling tidak yang ditungu adalah sesuap nasi, itu juga mungkin sudah bersyukur bisa makan hari itu bagi keluarga dari seorang pencari nafkah pengumpul batu. Sikap simpati itu perlu pembaca terapkan. Biarpun analoginya terhadap seekor hewan, tetapi sama-sama makhluk hidup ciptaan Allah. Apalagi terhadap sesama manusia yang dikaruniai akal, pikiran, dan nafsu. Saidah berniat baik menawarkan dagangannya pada Karyamin yang terlihat pucat sekali seperti sedang sakit. Saidah rela dihutangi lagi oleh Karyamin. Sifat simpati, tolong-menlong, dan perhatian terhadap sesama manusia dimunculkan melalui tokoh Saidah. Di sini bisa timbul penafsiran ganda karena memang Saidah orang yang baik suka menolong atau mngkin itu taktik dia menarik dan memaksa orang untuk membeli dagangannya demi mengumpulkan uang. Walaupun biarlah dihutangi toh sedikit-demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Mungkin juga agar pembeli senang membeli pecelnya karena Saidah sudah terlalu baik mau memperbolehkan pembeli berhutang dulu padanya. Saidah yang sabar tetapi agak menjengkelkan juga caranya itu. Gila uang sepertinya. Makan, Min? Tidak. Beri aku minum saja. Daganganmu sudah ciut seperti itu. Aku tak ingin menambah utang. Iya, Min, iya. Tapi kamu lapar, kan? Dia tersenyum lagi. Sambil minum segelas air yang diberikan Sidah. Makan, ya Min? Aku tak tahan melihat orang lapar. Tak usah bayar dulu. Aku sabar menunggu tengkulak datang. Batumu juga belum dibayar, kan? Jadi kamu sungguh tak mau makan, Min?

Tidak. Kalau kamu tak tahan lihat aku lapar, aku pun tak tega melihat daganganmu habis karena utang-utangku dan kawan-kawan Iya, Min, iya. Tetapi.... Saidah memutus kata-katanya sendiri karena melihat Karyamin sudah pergi menjauh. Tetapi Saidah masih sempat melihat Karyamin menoleh kepadanya sambil tersaenyum. Saidah pun tersenyum sambil menelan ludah berulang-ulang. Ada yang mengganjal di tenggorokan yang tak berhasil didorongnya ke dalam. .... Sikap Karyamin yang penyabar juga patut pembaca contoh. Ia yang sering diolok-olok, digoda, dimaki-maki tetap saja menerima itu semua dengan senyum. Ia tidak dendam tidak juga melukai orang lain. Mungkin diam-diam juga diterima dengan hati-hati. Dibuktikan dengan Karyamin langsung meninggalkan pangkalan batu dan menemui istrinya walaupun Ia bimbang perlukah Ia pulang sementara Ia sadar tidak ada yang bisa dilakukan untuk membantu istrinya yang mungkin sedang sakit bisul atau ditagih anak-anak muda petugas bang harian. Tingkah kawan-kawan Karyamin yang sesamanya pengumpul batu suka mentertawakan dirinya ketika terjatuh tidak baik untuk dicontoh para pembaca. Hanya terjatuh saja ditertawakan tak ada habisnya sebagai hiburan untuk kesenangan mereka belaka. Perilaku tercela seperti itu justru menjadi koreksi untuk pembaca bahwa harus menolong sesamanya jika mendapatkan musibah, tidak untuk dijadikan bahan ejekan. Padahal dari tingkat pendidikan Sekolah Dasar dominannya, Kita diajarkan untuk memegang teguh sikap terpuji. Apalagi, itu berlatar di daerah pedesaan yang justru gotong-royong masyarakatnya lebih apik.

4.

Unsur Psikologis Makna tersirat yang terdapat dalam salah satu cerpen karya Ahmad Tohari, yaitu Kita

harus berhati-hati dan bersiap-siap dalam melakukan segala sesuatu. Memperhitungkan baik buruknya, manfaat dan ruginya, strategi-strategi, dan tata cara karena segala hal-hal yang tidak diinginkan dan direncanakan bisa terjadi. Dapat kita ambil pelajaran, bahwa pembaca tidak boleh putus asa. Kita harus berusaha seberat apa pun cobaan dan godaan yang mendera. Hadapi pula dengan senyuman dan keikhlasan. Karyamin yang telah terjatuh beberapa kali. Kepala pening, perut keroncongan, dan kuping brdengung. Ia tetap bangkit untuk membawa keranjang berisi batu-batu ke pangkaalan walaupun diolok-olok dan digoda oleh kawan-kawannya. Tentu saja dengan senyum juga. Dalam cerpen Senyum Karyamin ini dapat diambil pelajaran melalui pribahasa sepandai-pandainya tupai melompat ia akan jatuh juga. Sama seperti Karyamin yang selalu berhati-hati terhadap setiap langkahnya. Namun Ia masih saja terjatuh. Akibat hal apa pun yang bisa menimpanya. Dan siap menanggung malu dari segala resiko yang didapat. Karyamin bisa terjatuh walaupun sudah memperhitungkan langkah pelan yang begitu hati-hati, menjaga titik berat beban dan badannya tetap berada pada telapak kaki kiri atau kanan, pemindahan titik berat dari kaki kiri ke kaki kanan, tarikan nafas serta ayunan tangan demi keseimbangan yang sempurna. Begitu ulet Ia menjaga segalanya untuk setiap keselamatan perjalanannya. Tubuhnya rubuh lalu menggelinding kebawah, berkejaran dengan batu-batu yang tumpah dari keranjangnya. Sesekali dalam perjalanan muncul burung paruh udang pemakan ikan terbang rendah. Burung tersebut kali ini mengganggu kesimbangan Karyamin hingga Ia terjatuh bergulir, bgitu juga keranjang berisi batunya. Kawannya sesama pengumpul batu terbahak bersama.

Saya menagkap makna pengendalian diri dan tingkah laku dalam cerpen ini. Amarah atau emosi yang telah lama dipendam, ditahan, dan ditunda-tunda, lama kelamaan akan keluar juga. Karyamin yang selama ini mendapati keadaan hidup yang serba kurang, pekerjaan yang melelahkan, jalur pendakian yang rumit, diolokolok, dan dimaki-maki, dan digoda oleh para kawan pengumpul batu hanya menanggapinya dengan senyum. Selalu tersenyum. Sampai akhirnya memuncak, lalu meledak juga amarahnya dengan tertawa-tawa keras sampai-sampai dengung di telinganya, kunang-kunang di matanya, lambung kampongnya semakin menjadijadi dan repuhlah keseimbangan tubuhnya. Tubuh Karyamin terjatuh berguling ke lembah. Lalu lenyaplah Karyamin pingsan. Ini berlaku seperti hukum ekonomi. Hukum Gossen II yang Saya ketahui, yaitu jika sesorang menonsumsi barang atau jasa akan mencapai titik kepuasan atau mencapai puncak lama-kelamaan kepuasan itu mulai berkurang lalu hilang. Digambarkan dengan kurva parabola. Jadi, secara keselurugan bagi Saya timbul tafsiran yang meluas bahwa tidak ada seorang pun yang sempurna. Seseorang yang sangat sabar, tangguh dan hebat bisa menahan diri dari keinginan, amarah, rasa sakit, dendam, atau pun unek-unek. Tertahan, lalu suatu saat pasti meledak juga.

Anda mungkin juga menyukai