Anda di halaman 1dari 3

PERBEDAAN DAN KEKERASAN* Sebagai sebuah bangsa yang pluralis, harapan untuk hidup harmonis di tengah-tengah perbedaan merupakan

dambaan setiap masyarakat. Tindak kekerasan menyangkut unsur SARA yang terjadi akhir-kahir ini, secara tidak langsung telah memberikan stigma negative terhadap masyarakat Indonesia yang dulu terkenal dengan sikap ramah tamah dan cinta damai sebaga perwujudan dari semboyan Bhinneka Tunggal Eka. Melihat kekarasan yang terus terjadi dari tahun ke tahun tanpa ada resolusi yang baik yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat seakan mengindikasikan bahwa bangsa ini telah kehilangan jati diri sebagai bangsa Pancasila yang ber-Bhinneka Tungga Eka. Pluralitas dan mulitikultural sebagai sebuah fakta serta adanya pengakuan dan pemahaman yang baik para founding father negeri ini terhadap nilai-nilai humanism yang tersimpan dari pluralitas tersebut yang membawa pada terbentuknya Negara kesatuan RI seakan telah lenyap dan hilang dari mayoritas masyarakat bangsa hari ini. Melihat hal ini, maka setidaknya usaha-usaha penyadaran akan arti penting penerapan nilai-nilai humanism dalam rangka mewujudkan masyarakat yang berperadaban (civil society) di tengah-tengah masyarakat, perlu dilakukan sedini mungkin. Di antara usaha yang dimaksud adalah penanaman nilai-nilai humanism pada generasi muda melalui pendidikan multicultural dan pada masyarakat publik melalui pemahaman keagamaan yang bersifat inklusif-pluralis sebagai dasar bagi penerimaan terhadap fakta social ada. Pendidikan Multikultural Multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan. Menurut Parsudi Suparlan makna dari akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan, yakni kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Sebagai sebuah ideology ia bisa dijadika sebagai sebuah alat untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan berupa bangunan konsep-konsep yang relevan yang mendukung keberadaan multikulturalisme serta berfungsinya ia dalam kehidupan manusia. Di antara konsep yang relevan dengan multikulturalisme tersebut adalah, demokrasi, keadilan, nilai-nilai budaya, kebersamaan dalam perbedaan sukubangsa, kebersamaan dalam perbedaan agama, ras dan lain-lain. Mengingat pentingnya pemahaman mengenai multikulturalisme dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara maka pemahaman tentang multikulturalisme harus disosialisasikan. Salah satu cara untuk mensosialisasikannya adalah melalui pendidikan berbasis multikultural. Pendidikan multikultural adalah strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan perbedaanperbedaan cultural yang ada pada para siswa seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, klas social, ras, kemampuan, dan umur agar proses belajar mengajar menjadi efektif dan mudah. Dengan pendidikan multikultural ini diharapkan akan dicapai karakter anak didik atau siswa yang mampu bersikap demokratis, humanis dan pluralis dalam masyarakat mereka. Sehingga kehidupan masyarakat yang damai, harmonis, dan menjunjung tinggi nilainilai kemanusiaan di tengah perbedaan sebagaimana yang telah diamanatkan dalam UndangUndang Dasar 1945 tercapai. Untuk mewujudkan hal tersebut diatas, peran seorang guru dalam hal ini meliputi; pertama, seorang guru harus mampu untuk bersikap demokratis, artinya dalam segala tingkah lakunya, baik sikap maupun perkataannya, tidak diskriminatif (bersikap tidak adil atau menyinggung) peserta didik yang memiliki latar belakang yang berbeda dengannya baik itu,

agama, etnis dan atau golongan. Kedua, guru seharusnya mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kejadian-kejadian tertentu yang ada hubungannya dengan pelanggaran humanism, seperti tindak kekerasan atas nama agama. Seorang guru harus bisa meyakinkan kepada peserta didik bahwa hal tersebut adalah dilarang oleh semua agama karena semua agama mengajarkan kedamaian untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Di saming itu guru juga harus mampu menjelaskan keprihatinannya akan masalah tersebut terhadap peserta didik. Selain guru, peran sekolah juga sangat penting dalam membangun lingkungan pendidikan berwawasan multicultural. Langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh sekolah dalam mendukung peranan guru untuk mewujudkan pendidikan multicultural tersebut adalah; pertama, sekolah sebaiknya membuat dan menerapkan undang-undang local, yaitu sebuah aturan sekolah yang diterapkan secara khusus di satu sekolah tertentu. Dalam aturan sekolah tersebut tentunya salah satu poin penting yang tercantum adalah adanya larangan terhadap segala macam bentuk diskriminasi dan atau harassment (pelecehan) terhadap semua perbedaan yang ada di sekolah tersebut. Dengan diterapkannya aturan sekolah seperti ini diharapkan semua unsure yang ada seperti guru, kepala sekolah, pegawai administrasi, dan anak didik dapat belajar untuk selalu menghargai orang lain yang berbeda yang berada di lingkungan mereka. Kedua, untuk membentuk rasa saling pengertian sejak dini antara anak didik yang mempunyai keyakinan keagamaan yang berbeda misalnya, maka pihak sekolah harus menggalakkan dialog antariman yang tentunya tetap berada dalam bimbingan para guru di sekolah tersebut. Hal ini perlu dilakukan agar para peserta didik dapat membiasakan diri melakukan dialog dalam menghadapi semua perbedaan yang mereka hadapi. Ketiga, hal lain yang penting dilakukan oleh pihak sekolah dalam menerapkan pendidikan multicultural adalah melalui design kurikulum dan buku-buku ajar yang digunakan. Kurikululm dan buku ajar dimaksud hendaknya kurikulum yang memuat nilai-nilai pluralism dan atau sikap toleransi terhadap sesame. Begitu pula buku-buku ajar, sebaiknya buku-buku yang bisa membangun wacana peserta didik tentang arti pentingya hidup damai dan harmonis di tengah-tengah perbedaan. Keberagamaan Inklusif-pluralis Sebagai salah satu unsur yang sangat relevan terhadap konsep multicultural, peranan agama sangat penting untuk membentuk pola perilaku masyarakat dalam menyikapi dan menghadapi perbedaan ini. Sebagai sebuah ideology paling asasi yang dimiliki oleh manusia, dalam masyarakat plural dan multicultural, agama harus dipahami sesuai dengan realita, fakta dan sejarah dimana agama tersebut berada. Dalam konteks ini, pemahaman dan penafsiran keagamaan yang inklusif (sikap terbuka dalam beragama) seperti yang dikatakan oleh Alwi Shihab mutlak diperlukan. Pemahaman keagamaan yang tidak mengedapankan perbedaan sisi teologis dogmatis yang dimiliki oleh setiap agama, tetapi pemahaman keagamaan yang lebih mengedapankan persamaan sisi humanis universal perlu terus disosialisasikan kepada masyarakat umum. Untuk melakukan sikap keberagamaan inklusif pluralis ini hendaknya didasarkan pada sikap legowo menerima fakta bahwa perbedaan adalah hukum Tuhan (sunnatullah) yang memiliki landasan normative dalam semua kitab suci agama-agama dunia. Dan oleh sebab itu, teks keagamaan harus dipahami berdasarkan realitas dan sejarah yang melingkupi tatananan masyarakat dimana dia berada. Melihat hal ini, dalam rangka mewujudkan pemahaman keagamaan yang relevan dengan kondisi masyarakat pluralis, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh kaum agamawan, yiatu; pertama ia harus menyadari bahwa kebenaran pemahaman keagamaan itu bersifat relative (kebenaran penafsiran keagamaan adalah relative terhadap perkembangan ruang dan waktu. Karena itu diperlukan selalu usaha

reinterpretasi ajaran agama menurut kedisinian dan kekinian), dan oleh karenanya sangat mungkin untuk menerapkan pemahaman keagamaan yang berbeda untuk suatu daerah yang berbeda secara geografis, waktu, dan atau tradisi. Kedua, seorang agamawan harus memahami teks keagamaan secara realism (suatu pemahaman keagamaan yang didasarkan pertama pada realitas atau kenyataan yang ada -das sein- dan baru kemudian pada ajaranajaran yang normative- das sollen- yang selanjutnya mengharuskan bahwa ajaran-ajaran agama yang normative dan ideal itu harus disesuaikan penafsirannya dengan keadaan atau realitas yang ada, dan bukan mengubah keadaan supaya sesuai dengan ajaran agama yang ideal tadi), dan ketiga, seorang agamawan harus memahami agama sesuai dengan konteks kesejarahan/historis masyarakat setempat. Dengan tiga pola penafsiran terhadap teks keagamaan diatas, seorang agawaman hendaknya menyadari bahwa interaksi social keagamaan di Indonesia sangat berbeda dengan interaksi social keagamaan di luar Indonesia. Oleh karenanya, nilai-nilai humanism yang bercirikan pluralis harus menjadi perhatian utama dalam memahamai ajaran-ajaran agama. Nilai-nilai keagamaan seperti Iman, sikap batin yang penuh kepercayaan kepada Tuhan; Islam, sikap pasrah kepadaNya, dan Ihsan, kesadaran sedalam-dalamnya bahwa Tuhan senantiasa hadir/bersama kita harus menjadi pokok perhatian, dengan tidak mengenyampingkan nilai-nilai kemanusiaan seperti silaturahmi, persaudaraan, persamaan, keadilan, baik sangka, rendah hati, tepat janji, lapang dada atau toleransi terhadap perbedaan yang ada di tengah-tengah masyarakat kita. Berdasarkan deskripsi di atas, maka peran insan pendidikan dan kaum agamawan sebagai leader sangat diharapkan dalam usaha unuk menyulam keragaman dan merajut harmoni, menebar amanah dan husnuzzhan, menganyam solidaritas, menyemai Nirkekerasan (cinta damai), dan memupuk tali persaudaraan ditengah-tengah perbedaan ini. Sehingga perdamaian, persatuan dan keadilan yang hanya bisa tumbuh dari adanya sikap belajar hidup dalam perbedaan, membangun saling percaya (mutual trust), memelihara saling pengertian (mutual understanding), menjunjung sikap saling menghargai (mutual respect), terbuka dalam berfikir, sebagai cita-cita UUD 1945 segera tercapai. []

* Ahmad Syarif H, Mahasiswa S2 Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Program Studi CRCS (Center for Religious and Cross Cultural Studies).

Anda mungkin juga menyukai