Anda di halaman 1dari 17

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hutan mangrove sebagai salah satu ekositem wilayah pesisir dan lautan yang sangat potensial bagi kesejahteraan masyrakat baik dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Luas hutan mangrove di Indonesia di perkirakan sekitar 3.53 juta ha. Luas hutan mangrove terus mengalami penyusutan, banyak yang telah mengalami kerusakan atau hilang sama sekali oleh ulah manusia dalam menebang hutan yang melampaui batas kelestariannya. Berbagai tumbuhan dari hasil hutan di gunakan untuk banyak keperluan manusia, seperti bahan bangunan, kertas, kosmetik dan konversi lahan mangrove menjadi tambak, pemukiman (resort) dan pelabuhan. Kawasan pesisir termasuk mangrove dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan pembangunan (development) seperti industri, pariwisata, transportasi, dan pelabuhan. Pengembangan untuk kegiatan di atas memberi dampak kepada masyarakat dan lingkungan hidup disekitarnya. Kegiatan pembangunan juga dilakukan dengan memperhatikan fungsi ekosistem pesisir dan lautan. Dampak kegiatan pembangunan yang akan terjadi akan sangat bergantung kepada pengaturan dan pengelolaan kegiatan tersebut. Pengelolaan yang baik, yaitu dengan memperlihatkan berbagai

kepentingan, baik kepentingan ekonomi, kepentingan sosial, dan lingkungan yang akan berdampak positif bagi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat tanpa merugikan kepentingan lingkungan. Dasar pengelolaan dan pelestarian

hutan mangrove mengacu pada UU no 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Bab 1 butir (1) di sebutkan bahwa yang di maksud dengan lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya. Selanjutnya dalam butir (2) di jelaskan bahwa Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan, penataan, pemanfaataan, pengembangan, pemeliharaan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Namun, selama ini kebijakan pengelolaan sumberdaya alam di kontrol oleh negara (government) yang pengelolaannya selalu di delegasikan kepada pengusaha besar, jarang kepada rakyat kecil.Semua kegiatan pengelolaan sumber daya pesisir mulai dari membuat kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan monitoring dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah tanpa melibatkan partisipasi masyarkat.Padahal kalau diperhatikan secara seksama, masyarakat pesisir juga patutnya diajak dalam segala kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dalam pengambil kebijakan/putusan. Pendekatan pengelolaan sumberdaya hutan mangrove adalah pendekatan pengelolaan berbasis masyarakat (community base management). Pengelolaan berbasis masyarakat adalah sebagai salah satu program aksi dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam dengan baik. Pengelolaan sumber daya masyarakat dapat difenisikan sebagai proses pemberian wewenang, tanggung jawab, dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumber daya, dengan

terlebih dahulu mendefinisikan kebutuhan, keinginan, dan tujuan serta aspirasinya (Nikijuluw dalam Rokhmin, 2003).

1.2

Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas permasalahan yang dapat dirumuskan

adalah: Bagaimanakah pengelolaan hutan mangrove pada wilayah pesisir berbasis masyarakat?. 1.3 Tujuan Penulisan Makalah Tujan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengelolaan hutan mangrovepada wilayah pesisir berbasis masyarakat. 1.4 Manfaat Penulisan Makalah Manfaat dari penulisan makalah ini adalah : 1. Memberikan informasi tentang pengelolaan hutan mangrove pada wilayah pesisir berbasis masyarakat.

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Hutan Mangrove Kata mangrove di duga berasal dari bahasa melayu mangi-mangi yang berarti mangrove merah (Rhizopora apiculata). Kadang juga di sebut sebagai hutan pantai karena berada di pesisir pantai atau hutan pasang surut karena selalu tergenang pada waktu basah dan bebas dari genangan pada waktu surut, atau hutan payau karena berada pada areal payau berlumpur atau hutan bakau. Namun dalam hutan mangrove tidak hanya pohon bakau yang ada,tetapi banyak juga jenis pohon lainnya yang ikut mendominasi (Adijaya dalam Purnawati, 2007). Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika dan subtropikia yang khas, tumbuh di sepanjang pantai, muara sungai yang di pengaruhi oleh pasang surut air laut,(Bengen dalam Paena, 2007). Hutan mangrove biasanya di kenal sebagai hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau. Mangrove biasa juga di sebut sebagai farmasi tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis yang terlindung. Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh terutama pada tanah aluvial di daerah pantai dan muara sungai yang di pengaruhi pasang surut air laut (Sumiono dalam Purnawati, 2007). Hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang baik di daerah tropis Indonesia. Mangrove banyak di jumpai pada wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya mengandung lumpur. Vegetasi mangrove tidak optimal atau sulit tumbuh di

wilayah pesisir yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut kuat, karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya penegndapan lumpur yang di perlukan sebagai substrat bagi pertumbuhannya (Rokhmin, 2003).

Gbr 1. Hutan mangrove di wilayah pesisir Dumai, Riau. Tumbuhan mangrove memiliki daya adaptasi fisiologi dan morfologi yang khas agar dapat terus hidup pada lingkungan yang bersalinitas tinggi. Daya adaptasi tersebut menurut Nybakken (dalam Rokhmin, 2003) adalah : 1. Perakaran yang pendek dan melebar luas dengan akar penyangga yang tumbuh dari batang/dahan sehingga menjamin kokohnya pohon berdiri. 2. Berdaun kuat dan mengandung banyak air. 3. Mempunyai banyak jaringan internal penyimpanan air dan konsentrasi garam yang tinggi. Beberapa tumbuhan mangrove mempunyai kelenjar yang mengeluarkan garam pada daunnya, sehingga dapat menjaga keeimbangan osmotiknya. Tekanan osmotik yang tinggi pada sel daun memungkinkan air

laut terbawa ke atas dengan transpirasi rendah, sehingga mengurangi kehilangan air saat penguapan. 4. Adanya sistem akar napas untuk memperoleh oksigen bagi sistem perakarannya. 5. Beberapa jenis berkembang biak dengan buah yang sudah berkecambah sewaktu masih di pohon induknya (viviper).

(a)

(b)

Gambar 2. Morfologi daun (a) dan (b) sistem perakaran yang kuat Rhizopora apiculata. Menurut Rokhmin (2003) bahwa menyatakan ekosistem mangrove di Indonesia memiliki tingkat keanekaragaman jenis yang tertinggi di dunia. Sejauh ini di Indonesia tercatat ada 202 jenis tumbuhan mangrove yang terdiri dari 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis tumbuhan memanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 1 jenis paku. Beberapa genera pohon mangrove yang umum di jumpai di pesisir Indonesia adalah bakau (Rhizopora Sp), api-api (Avicennia Sp), pedada (Sonneratia Sp), tengar (Ceriops Sp), tajang (Bruguiera Sp) dan buta-buta (Exoecania Sp).

2.1.1 Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove Segi ekologis hutan mangrove berfungsi sebagai daerah pemijahan (spawning ground) dan daerah pembesaran (nursery ground) berbagai jenis ikan udang, kerang dan spesies lainnya. Selain itu serasah mangrove berupa daun, ranting, buah dan biomassa lainnya yang belum mengalami dekomposisi sempurna akan menghasilkan bahan organik (detritus), sedangkan serasah yang telah mengalami dekomposisi sempurna akan membeikan masukan unsur hara bagi pertumbuhan organisme autotrof, seperti fitoplankton yang merupakan pakan alami bagi udang sekaligus penyuplai O2di dalam perairan yang sangat menentukan produktivitas perairan air laut. Dengan sistem perakaran yang kuat dan canopy yang sangat rapat, hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung daratan dari gelombang pasang surut, tsunami, angin topan dan perembesan air laut ke daratan (Interusi). Mangrove juga merupakan habitat bagi berbagai jenis burung, reptilia, mamalia dan jenis kehidupan lainnya sehingga hutan mangrove menyediakan keanekaragaman hayati (biodiversity) dan plasma nuftah. Dewanti dalam Paena(2007) mengungkapkan hutan mangrove secara ekologis mempengaruhi keseimbangan ekosistem kawasan pesisir. Fungsi ekologis tersebut antara lain: (a) Perangkap lumpur yang memperluas daratan, (b) Pelindung pantai dari hempasan badai, gelombang tsunami dan abrasi, (c) Penahanan intrerusi air laut. Menurut Karminarsih (2007) menyatakan bahwa pentingnya vegetasi hutan mangrove dalam meredam/minimalisasi hempasan gelombang tsunami.

Secara sosial dan ekonomi juga berfungsi untuk tempat di kembangkan menjadi lahan tambak, pertanian dan ekowisata. Sumber mata pencaharian dan produksi berbagai jenis hasil hutan dan obyek pendidikan, penelitian, serta pengembangan ilmu pengetahuan. Besarnya peranan hutan mangrove bagi kehidupan dapat di ketahui dari banyaknya jenis hewan yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di tajuktajuk mangrove atau manusai yang bergantung pada hutan mangrove (Naamin dalam Rahmawaty, 2006). 2.1.2 Penyebab Kerusakan Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan tipe ekosistem peralihan antara daratan dan laut yang mempunyai multi fungsi, selain sebagai sumberdaya alam potensial bagi kesejahteraan masyarakat dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan. Pertumbuhan penduduk yang pesat menyebabkan tuntutan untuk mendayagunakan sumberdaya mangrove terus meningkat. Secara garis besar ada dua faktor penyebab kerusakan hutan mangrove : (a). Faktor manusia, faktor yang paling dominan penyebab kerusakan hutan mangrove dalam hal pemanfaatan yang berlebihan. (b). Faktor alam seperti banjir, kekeringan dan hama penyakit yang merupakan faktor penyebab yang relatif kecil (Tirtakusumah dalam Rahmawaty, 2006). Faktor-faktor yang mendorong aktivitas manusia untuk memanfaatkan hutan mangrove dalam rangka mencukupi kebutuhannya sehingga berakibat rusaknya hutan mangrove antara lain : 1. Rendahnya pengetahuan masyarakat pesisir akan pentingnya keberadaan hutan mangrove.

2. Tekanan ekonomi lebih dominan mengakibatkan masyarakat berkeinginan untuk membuat pertambakan dengan harapan ekonomi yang sangat menguntungkan, masyarakat pesisir rela mengkonversi lahan hutan mangrove menjadi lahan pertambakan. 3. Kebutuhan bahan baku kontruksi bangunan serta kebutuhan kayu arang untuk pembakaran. Masyarakat Sulawesi selatan menggunaan kayu bakar tersebut untuk memasak soto makasar agar terasa lebih lezat dan enak bila menggunakan kayu arang dari pohon mangrove tersebut. Hutan sudah di tebang mengakibatkan banyak kepala keluarga mengungsi, karena pemunduran garis pantai. Mangrove bisa menghidupi kehidupa di perairan sekitarnya, tidak ada mangrove tidak ada kehidupan pesisir. 2.2 Pengelolaan Berbasis Masyarakat Pengelolaan yang baik, yaitu dengan memperlihatkan berbagai

kepentingan, baik kepentingan ekonomi, kepentingan sosial, dan lingkungan yang akan berdampak positif bagi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat tanpa merugikan kepentingan lingkungan. Dasar pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove mengacu pada UU no 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Bab 1 butir (1) di sebutkan bahwa yang di maksud dengan lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya. Selanjutnya dalam butir (2) di jelaskan bahwa Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang

10

meliputi kebijaksanaan, penataan, pemanfaataan, pengembangan, pemeliharaan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Pengelolaan berbasis masyarakat merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya alam dan dapat juga di artikan sebagai suatu alternatif atau sistem pengelolaan sumberdaya alam di suatu tempat dimana masyarakat lokal di tempat tersebut terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Dalam UUD no. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Bab XI Pasal 70 menyatakan bahwa : 1. Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 2. Peran masyarakat dapat berupa: a. pengawasan sosial b. pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan dan/atau c. penyampaian informasi atau laporan. 3. Peran masyarakat dilakukan untuk: a. meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. b. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan. c. menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat. d. menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial dan

11

e. mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup. Namun didalam penelitian yang dilakukan oleh (Baderan, 2007) di kecamatan Kwandang kabupaten Gorontalo agak sangat jauh dengan harapan UUD yang diatas, kurangnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove disebabkan karena adanya tekanan sosial ekonomi dan kurangnya kesadaran masyarakat dan rendahnya pendidikan masyarakat yang terdapat disekitar kawasan mangrove. Hal ini dapat dilihat pada tabel 1 dan 2: Tabel 1. Luas hutan mangrove (ha) selang waktu tahun 2002-2005

Desa

Luas Hutan Mangrove 2002 Ha 562 563 50 113 325 1613 % 34,85 34,92 3,08 7,0 20,15 100

Luas Hutan Mangrove 2005 Ha 217 205 32 95 350 899 % 24,14 22,81 3,55 10,57 38,93 100

Luas Hutan mangrove yang hilang Ha 345 358 18 18 739 % 46,68 48,44 2,44 2,44 100

Molinggapoto Mootinelo Leboto Bulalo Dambolo Jumlah

Tabel 1 memperlihatkan luas hutan mangrove sebelum dan sesudah alih fungsi mngalami perubahan yang signifikan, dari 5 desa tersebut, Desa Molinggapotoloh yang mengalami perubahan luas kawasan hutan mangrove yang cukup besar yaitu mencapai 46,68 % atau 345 ha yang hilang. Jika dibandingkan dengan desa Dambolo luasan hutan mangrove mengalami peningkatan dari sebelumnya. Perubahan alih fungsi tersebut tersebut dengan maksud untuk mata pencaharian masyarakat yang ada di masing-masing desa.

12

Tabel 2. Pernyataan para responden (masyarakat pesisir di kecamatan Kwandang) tentang manfaat hutan mangrove bagi lingkungan
Jumlah
Molinggapoto Mootinelo Leboto Bulalo Dambolo frek

Manfaat hutan mangrove bagi lingkungan

% 14,5 4,2 2,1 1,04

*Mencegah abrasi pantai *Melindungi kampung *Tempat bertelur ikan *Menahan rembesan air laut ke darat *Mencegah banjir *perlu untuk habitat biota laut *kayu bakar *Tambak *Pembuatan rumah Jumlah

1 2 2 1

2 2 -

11 -

14 4 2 1

3 1

1 1

1 -

2 -

7 2

7,28 2,1

4 10 1 25

6 12 1 25

4 6 4 15

6 8 4 20

11

20 36 10 96

20,8 37,5 10,4 100

Tabel 2 memperlihatkan bahwa masyarakat sekitar hutan mangrove yang belum tahu fungsi dari hutan mangrove karena tingkat pengetahuan yang kurang sehingga mereka lebih mementingkan uang dari pada manfaat yang mereka dapat dari hutan mangrove. Hal ini dapat dibuktikan dengan 37.5 % responden mangatakan manfaat hutan mangrove bagi lingkungan untuk membuat tambak. 20,8 % mengatakan manfaat hutan mangrove untuk kayu bakar/kayu arang. Kurangnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya manfaat hutan mangrove perlu dilakukan pemberdayaan kemampuan masyarakat melalui

13

pendekatan agar luasan hutan mangrove dari tahun ke tahun tidak lagi hilang kedepannya. Pemberdayaan kemampuan masyarakat untuk mengelola sumber daya alam mereka sendiri secara efisien, efektif, dan lestari. Pengelolaan berbasis masyarakat adalah sebagai salah satu program aksi dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam dengan baik. Pengelolaan sumber daya masyarakat (community base management) dapat difenisikan sebagai proses pemberian wewenang, tanggung jawab, dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumber daya, dengan terlebih dahulu mendefinisikan kebutuhan, keinginan, dan tujuan serta aspirasinya (Nikijuluw dalam Rokhmin, 2003). Namun dalam implementasinya, pola pengelolaan sumber daya pesisir selama ini pelaksanaannya masih bersifat top down, artinya semua kegiatan pengelolaan sumber daya pesisir mulai dari membuat kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan monitoring dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah tanpa melibatkan partisipasi masyarkat lokal, padahal apabila dilihat karekteristik kawasan pesisir baik dari segi sumber daya alam maupun dari masyarakatnya sangat kompleks dan beragam, sehingga dalam pengelolaan tersebut langsung melibatkan masyarakat lokal. Seperti suatu kebiasaan dalam suatu proyek rencana itu senantiasa datangnya dari atas sedangkan bawah (masyarakat) sebagai ujung tombak pelaksanaan proyek hanya sekedar melaksanakan perintah. Pengelolaan hutan mangrove seringkali di perhadapkan pada suatu masalah yaitu bagaimana menciptakan keseimbangan antara tiga fungsi hutan mangrove sendiri yaitu, fungsi ekologi, ekonomi dan fisik. Karena menyangkut kepentingan berbagai sektor maka di butuhkan koordinasi yang baik dalam

14

mengkaji hal ini. Berikut sistem pengelolaan kawasan hutan mangrove menurut (Baderan, 2007) dilakukan meliputi : (a) Perencanaan Perencanaan pengelolaan kawasan hutan mangrove secara terpadu dan berbasis masyarakat pada tatanan konsep dan operasional, berbentuk program dari instansi pemerintah. Dalam komponen perencanaan perlu adanya masukan (input) yang di rumuskan oleh masyarakat bersama pemmerintah dengan memperhatikan ide, kesadaran, kemauan, hingga keuntungan dan kerugian yang akan ditimbulkan. Setelah perumusaan bersama terhadap potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia tersbut maka kegiatan studi awal perlu dilakukan. (b) Pelaksanaan Tahap pelaksanaan merupakantahap pokok dari sistem pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat dan terpadu. Pada tahap ini berbagai sumberdaya manusia seperti motivator, tenaga pendamping, laopangan dan komponen terkait lainnya sudah dipersiapkan. Pelaksanaan yang dilakukan adalah adanya program rehabilitasi kembali kawasan yang beralih fungsi menjadi tambak, pemukimn, dan lain sebagainya. (c) Monitoring dan Evaluasi Tahap monitoring dilakukan mulai awal proses pelaksanaan tersebut dilakukan. Pada tahap ini, monitoring dilakukan untuk menjawab segenap pertanyaan tentang efektivitas pengelolaan,pihak-pihak yanag terkait konflik atau masalah-masalah lain yang terjadi dan tidak sesuai dengan harapan dalam perencanaan pengelolaan. Monitoring ini sebaiknya dilakukan secara terpadu

15

dengan melibatkan masyarakat lokal dan stakeholder lainnya. Segenap masukan dan hasil pengamatan yang dilakukan selama proses monitoring berlangsung, kemudian di evaluasi bersama secara terpadu dengan melibatkan juga masyarakat lokal dan stakeholder lainnya. Melalui proses evaluasi maka dapat diketahui kelemahan dan kelebihan dari sistem pengelolaan guna perbaikan sistem dimasa depan. Dalam melihat konteks suatu pengelolaan yang diinisiasi dan tumbuh dalam masyarakat setidaknya meliputi beberapa langkah tersebut diatas. Pelibatan dari stakeholder tentu didasari pada tugas dan wewenang setiap komponen sehingga bisa tercipta suatu bentuk kolaborasi kepentingan dalam menjembatani adanya tumpang tindih dalam pengelolaan hutan mangrove. Melalui tahapan monitoring dan evaluasi diharapkan penegakan hukum lebih ditingkatkan dan masyarakat turut dilibatkan dalam hal pengawasan hutan mangrove sebab dampak yang akan ditimbulkan akakn berpengaruh pula pada pengelolaan hutan mangrove. Keterlibatan semua unsur terkait sangat diperlukan utuk

mengoptimalkan kebijakan dan meningkatkan kerjasama antara instansi terkait.

16

BAB III PENUTUP 2.3 Kesimpulan Pengelolaan berbasis masyarakat dapat diartikan sebagai suatu sistem pengelolaan sumberdaya alam disuatu tempat dimana masyarakat lokal ditempat tersebut terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumberdaya alam terkandung didalamnya. Masyarakat juga diberikan keterlibatan dalam setiap kebijakan yang dibuat pemerintah, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Bentuk keterlibatan masyarakat yang bisa dilakukan adalah : (a) Perencanaan Dalam komponen perencanaan perlu adanya masukan (input) yang di rumuskan oleh masyarakat bersama pemmerintah dengan memperhatikan ide, kesadaran, kemauan, hingga keuntungan dan kerugian yang akan ditimbulkan. Setelah perumusan bersama terhadap potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia tersebut maka kegiatan studi awal perlu dilakukan. (b) Pelaksanaan Tahap pelaksanaan merupakantahap pokok dari sistem pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat dan terpadu. Pada tahap ini berbagai sumberdaya manusia seperti motivator, tenaga pendamping, laopangan dan komponen terkait lainnya sudah dipersiapkan. Pelaksanaan yang dilakukan adalah adanya program rehabilitasi kembali kawasan yang beralih fungsi menjadi tambak dan lain sebagainya.

17

(c)

Monitoring dan Evaluasi Tahap monitoring dilakukan mulai awal proses pelaksanaan tersebut

dilakukan. Tahap monitoring dilakukan untuk menjawab segenap pertanyaan tentang efektivitas pengelolaan,pihak-pihak yanag terkait konflik atau masalahmasalah lain yang terjadi dan tidak sesuai dengan harapan dalam perencanaan pengelolaan. Monitoring ini dilakukan secara terpadu dengan melibatkan masyarakat lokal dan stakeholder lainnya. Segenap masukan dan hasil pengamatan yang dilakukan selama proses monitoring berlangsung, kemudian di evaluasi bersama secara terpadu dengan melibatkan juga masyarakat lokal dan stakeholder. Melalui proses evaluasi maka dapat diketahui kelemahan dan kelebihan dari sistem pengelolahan berbasis masyarakat ini. Keterlibatan semua unsur terkait sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kebijakan dan

meningkatkan kerjasama antar instansi terkait.

2.4

Saran Pengelolaan berbasis masyarakat terhadap hutan mangrove pada wilayah

pesisir perlu di optimalkan dengan cara memberikan pengetahuan dan menanamkan kesadaran lingkungan kepada masyarakat untuk menjaga kelestarian hutan mangrove.

Anda mungkin juga menyukai