Anda di halaman 1dari 8

Tafsir Dan Takwil (Upaya Memahami Kitab Suci)1 Oleh Ahmad Hadidul Fahmi2

Bagaimanapun, al-Qur'an sebagai kalam suci telah menyita perhatian banyak pihak. Sebab, selain al-Qur'an mencakup aspek ritual, al-Quran juga tidak hadir sekonyong-konyong menjadi teks dengan lekukan-lekukan rapi di tengah cover mahal yang mengitarinya. Ada bentangan sejarah panjang semenjak masa diturunkannya wahyu sampai menjadi seperti sekarang. Dari para sarjana Islam klasik, modern, dan bahkan orientalis3, telah melakukan kajian mendalam terhadap kitab agung ini. Tak terkecuali jika berbincang sejarah penafsiran al-Quran. Dalam sejarahnya, hierarki capaian akal yang membentuk perbedaan perspektif manusia terhadap suatu fenomena, meniscayakan pengaruh besar terhadap pola interpretasi terhadap al-Quran. Keanekaragaman tersebut ditunjang pula oleh al-Qur'an itu sendiri, seperti dikatakan oleh Abdullah Darraz, "layaknya berlian yang setiap sisinya memancarkan cahaya yang tak seragam: yang berbeda dengan sisi-sisinya yang lain".4 Terhadap Injil, setiap orang meminta keyakinannya, dan di dalamnya pula, setiap orang mendapatkan apa yang ia pinta. Tampaknya, ungkapan Peter Werenfels ini, ujar Goldziher, selain sesuai dengan konteks pembaca Injil, pun menemukan relevansinya dengan umat Islam terhadap al-Quran.5 Dalam perjalanannya, teks suci selanjutnya mirip mainan: ditarik ulur untuk menopang kepentingan politik atau ideologi sekte tertentu. Dari sini muncul pertanyaan menarik, sejauh mana batasan interaksi umat Islam dengan al-Quran? Sisi Historis Tafsir; Analisa Atas Sebab Perbedaan Peneliti perkembangan tafsir sepakat bahwa upaya untuk memahami dan menjelaskan kandungan al-Quran sudah muncul semenjak masa nabi SAW: terutama saat beberapa shahabat merasa kesulitan mengungkap maksud suatu ayat.6 Yang membedakan penafsiran pada masa Nabi dan generasi
1 2

Tulisan ini disampaikan pada acara OPABA NU Mesir 2012 di Griya JATENG, Kairo, Mesir Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas al-Azhar, Kairo Mesir, jurusan Tafsir 3 Studi Orientalis terhadap al-Quran ditujukan pada dua aspek penting: pertama, lingkungan sektarian, atau lingkungan yang turut membentuk al-Quran. Kajian terhadap aspek ini berkesimpulan, banyak doktrin, konsep hukum dalam Islam yang sebetulnya tidak otentik; kedua, proses kodifikasi al-Quran, untuk melacak sejauh mana sumbersumber primernya dapat dipercaya. Sedangkan tipologi Orientalis dalam mengkaji alQuran juga terpetakan menjadi dua: pertama, rasionalis-analitis, di mana mengkaji alQuran dengan kacamata Barat, baik melalui sudut pandang Yahudi-Kristen maupun humanis-sekular. Di antaranya, Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, William Montgomery Watt, Kenneth Cragg, Patricia Crone, dll; kedua, kaum mistis-romantis. Di antaranya Martin Lings, Henry Corbin, Titus Burckhardt, Toshihiko Izutsu, dll. Kajian kedua ini umumnya lebih disukai oleh orang Islam. Lihat Ulil Abshar Abdalla, Luthfi Assyaukani, Abd. Moqsith Ghazali dalam Metodologi Studi al-Quran, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009, hlm. 31-35 4 Abdullah Darraz, al-Naba' al-'Adzm, Kairo: Dar al-Urubah, 1960, hlm. 111
5

Ignaz Goldziher, Madzhib al-Tafsr al-Islm, Kairo: Maktabah al-Khonji, peny. Dr. Abdul Halim al-Najjar, 1955, hlm. 15 6 Lazimnya, penafsiran Nabi terhadap suatu ayat direkam dalam kitab-kitab hadis dengan judul Kitb al-Tafsr yang disusun mengikuti susunan mushaf Utsmani. Bisa dilihat misalnya pada Shahih Bukhari/Muslim, serta Sunan Turmudzi. Satu contoh yang masyhur saat nabi menafsirkan kata al-dzulm (6:82) dengan syirik (31:13).

setelahnya pada implikasi perbedaan memahami teks. Dalam arti, masa Nabi belum membuahkan banyak perbedaan, karena Nabi mempunyai otoritas mutlak ketika menjelaskan maksud al-Qur'an, juga permasalahan pada masa itu belum kompleks serta belum mengalami perkembangan signifikan. Baru selepas wafatnya Nabi SAW, di saat perkembangan masalah semakin melebar, beberapa pembesar shahabat mengambil inisiatif untuk melaksanakan ijtihad menginterpretasi ayat.7 Oleh para ulama, pada masa ini dianggap sebagai "embrio" munculnya beberapa model penafsiran yang beraneka ragam yang muncul di kemudian hari. Huseyn al-Dzahabi menyebutkan dalam bukunya al-Tafsr wa al-Mufassirn, shahabat dalam memahami ayat tidaklah seragam: di antara mereka ada yang kuat pemahamannya terhadap bahasa Arab, atau yang kerap mendampingi Nabi hingga mengetahui sebab turunnya ayat (asbb alnuzl) secara langsung, dan tak jarang pula di antara mereka yang lemah pemahamannya terhadap bahasa Arab.8 Dengan demikian, keanekaragaman bentuk penafsiran yang terjadi setelahnya tidak bisa lepas dari perbedaan pandangan yang sudah terjadi di kalangan shahabat. Adalah Ibnu Mas'ud yang cenderung dominan pada daya nalarnya, Ibnu Abbas yang lebih mencolok penafsiran melalui periwayatan (riwyah). Menurut Huseyn al-Dzahabi, sumber penafsiran al-Quran pada masa ini berkisar pada alQuran itu sendiri, sabda Nabi9, ijtihad, dan Ahl al-Kitab. Ada karakter yang membedakan penafsiran di masa shahabat dengan generasi setelah mereka: penafsiran pada masa ini tidak mencakup keseluruhan ayat, dan hanya ditafsirkan secara global. Ibnu 'Abbas kemudian mempunyai murid dikalangan tabi'ingenerasi setelah shahabat, di antaranya Mujahid (w. 104 H), Atha bin Abi Rabbah (w. 114 H), Ikrimah (w. 104 H), Thawus (w. 106 H), Sa'id bin Jubeir (w. 95 H), dll. Sedang Alqamah bin Qays (w. 61 H), Masruq bin Abd al-Rahman (w. 63 H), al-Aswad bin Yazid (w. 74 H), adalah periwayat dari Ibnu Masud. Abu alAliyah (w. 90 H), Zaid bin Aslam (w. 136 H) dan Muhammad bin Kab (w. 118 H) meriwayatkan dari Ubay bin Kab. Ibnu Taymiah dalam Muqaddimah f Ushl al-Tafsr menyatakan, tokoh-tokoh tersebut kemudian yang mendominasi berdirinya tiga madrasah penting dalam sejarah perkembangan tafsir di era tabiin: madrasah di Mekah yang didirikan oleh Ibnu Abbas, di Iraq yang didirikan oleh Ibnu Masud, dan di Madinah yang didirikan oleh Ubay bin Kab. Metode tafsir yang diriwaytkan (transmisional)

Di antaranya adalah 'Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu 'Abbas, Ibnu Mas'ud, dan selainnya. Pada masa ini, penafsiran shahabat terhadap al-Qur'an banyak menjadikan syair pra-Islam (jahiliyyah) sebagai rujukan. Satu contoh, Ibnu Abbas saat menterjemahkan kata haraj dalam 22:27, beliau berkata: Jika terlihat kata di dalam al-Quran yang terlihat asing, maka jawabnya di dalam syair. Lihat Abu Jafar Muhammad Ibn Jarir al-Thabari, Jmi al-Bayn an Tawl y al-Quran, peny. Mahmud Muhammad Syakir dan Ahmad Muhammad Syakir, Kairo: Dar al-Maarif, 1966. surat 22:78 8 Muhammad Huseyn al-Dzahabi, al-Tafsr wa al-Mufassirn, Kairo: Maktabah Wahbah, juz I, cet V, 2000, hlm. 30 9 Para sarjana berbeda pendapat mengenai nominal ayat yang ditafsirkan oleh Nabi: menurut Ibnu Taymiah, Nabi menjelaskan semua makna dan lafadz al-Quran. Akan tetapi sebagian yang lain memandang, bahwa Nabi tidak menjelaskan seluruh ayat al-Quran, hanya sedikit yang dijelaskan oleh Nabi. Pendapat ini dianut oleh Imam Jalal al-Din alSuyuthi, dan al-Khuwwi. Tetapi Huseyn al-Dzahabi memandang dua kelompok ini terlalu berlebihan: yang tepat adalah Nabi menafsirkan banyak ayat, walaupun tidak semua ditafsirkan oleh Nabi.

dari Nabi, shahabat, serta tabi'in ini yang kemudian diistilahkan dengan alTafsr bi al-Ma'tsr.10 Pada tahap ini tafsir al-Quran sudah banyak tercampur dengan riwayat Judeo-Kristiani (isriliyyt) sebab semakin banyaknya Ahli Kitab yang masuk Islam.11 Tafsir pada tahap ini juga ditandai dengan banyaknya perbedaan yang diakibatkan kompleksitas masalah yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Akan tetapi, tafsir pada generasi Nabi, shahabat dan tabiin masih sebatas disampaikan secara oral. Secara sederhana, setelah masa ini, pembukuan tafsir (al-Tadwn) mulai digalakkan. Dr. Rumzi al-Nanaah memetakan sejarah kodifikasi tafsir dalam empat fase; pertama, bersamaan dengan kodifikasi hadis. Pada fase ini tafsir dikodifikasi secara tematik disesuaikan dengan tema hadis. Tafsir di fase ini tidak berperan menginterpretasi al-Quran per-kata, namun hanya mengandalkan interpretasi transmisional yang dinisbatkan pada nabi, shahabat serta tabiin secara global. Tokohnya adalah Yazid bin Harun al10

Ada perbedaan signifikan antara tafsir pada masa shahabat dan tabiin. Pada masa shahabat, tafsir lebih merupakan penjelasan terhadap ayat-ayat yang belum jelas. Itupun tidak seluruhnya, lebih bersifat global dan banyak merujuk pada pendapat Ahl al-Kitab. Sedang pada masa tabiin, pembahasan menjadi lebih detail, ditandai dengan banyaknya ayat-ayat yang ditafsirkan. 11 Judeo-Kristian (al-Isriliyyt) sendiri merupakan istilah yang merujuk pada umat Yahudi dan Nashrani. Bani Israil merupakan keturunan Yaqub, sampai pada umat Musa, kemudian Isa. Sedang Nashrani sendiri adalah umat Nabi Isa. Masuknya riwayat Nashrani dalam peradaban Islam sejatinya karena pergumulan Yahudi dan Nashrani yang sudah terjadi sebelum datangnya Islam. Di Madinah, kala itu, terdapat perkampungan murni Yahudi. Sebagian bertempat di Madinah, seperti Bani Qainuqa, Bani Nadlir, Bani Quraidlah, dan sebagian lagi bertempat agak jauh dari Madinah, seperti Yahudi Khaibar, dan Wadi Qura. Mereka, kaum Yahudi, membawa tradisi pendahulu; mereka adalah Yahudi dari segi agama, kebiasaan, ataupun etika. Terdapat perdebatan waktu pasti kedatangan Yahudi ke Arab; sebagian berpendapat, Yahudi hijrah ke Arab pada masa Nabi Dawud, sebagian lagi berasumsi pada masa Nabi Yehezkal (Zulkifli). Namun tidak ada argumen valid yang menopang kedua pandangan tersebut, oleh karenanya tidak dipakai oleh para sejarawan. Pendapat yang menjadi konsensus sejarawan, kedatangan Yahudi ke tanah Arab adalah antara abad ke II dan ke III M. Yahudi pra Islam mempunyai tempat untuk belajar berdiskusi yang dinamakan Midras. Terdapat riwayat valid yang menyatakan bahwa Nabi dan Abu Bakr serta Umar pernah mengunjungi Midras untuk mengajak kaum Yahudi memeluk Islam. Dalam al-Quran pun banyak ayat yang mengutip perdebatan Yahudi dan Umat Islam. Sampai kemudian beberapa pemuka Ahli Kitab masuk Islam, semisal Kab alAhbar, Abdullah Ibnu Salam, serta Wahb bin Manbah. Interaksi umat Islam dengan kaum Yahudi yang terejawantahkan dalam pertanyaan seputar cerita dalam al-Quran secara detail; nama orang, tempat, dan kronologi cerita, merupakan embiro riwayat JudeoKristiani dalam tafsir al-Quran. Faktor dominan pengadopsian cerita-cerita Ahli Kitab yang diterapkan dalam al-Quran karena al-Quran pada hakikatnya diturunkan sebagai pembenar, sehingga ada kesamaan cerita dengan kitab-kitab sebelumnya. Yang demikian karena cerita di dalam al-Quran bersifat umum. Sebagai misal, cerita tentang Nabi Adam, seperti disebutkan dalam al-Quran, pun dicantumkan dalam Taurat. Perbedaannya, cerita tentang Nabi Adam dalam al-Quran bersifat global; tidak mencantumkan nama tumbuhan yang dimakan oleh Adam, nama sorga, perincian dialog Tuhan dengan Adam, tempat diturunkannya Adam dari sorga, dll. Namun semuanya ini dijelaskan secara spesifik dalam Taurat. Dapat dilacak pada Tafsir Thabari dan Tafsir Muqatil bin Sulaiman ketika menjelaskan peristiwa ini. Thabari dan Muqatil terkadang meriwayatkan dari Wahb bin Manbah, terkadang pula dengan mata rantai: dari Israil dari Asbath, dari al-Sadi. Bahkan riwayat Judeo-Kristiani tak hanya menghiasi buku tafsir klasik, namun merambah pula ke buku sejarah, seperti perbincangan sejarah Bani Israil dan para Nabinya (trkh ban isrl wa anbiyihim), sebagaimana dituliskan oleh Ibnu Jarir alThabari dan Ibnu Ishaq dalam Trkhnya, serta Ibnu Qutaibah dalam al-Marif. Lihat Abu Syuhbah, al-Isriliyyt wa al-Maudlt f Kutub al-Tafsr, Kairo: Maktabah al-Sunah, cet. IV, 1408 H, hlm. 12. Untuk lebih mengetahui efek dari keterpengaruhan ini, bisa dilihat di Musthafa Bouhindi, al-Tatsr al-Mash f Tafsr al-Quran, Beirut: Dar al-Thaliah, cet. I, 2004

Silmi (w. 206 H), Syubah bin al-Hajjaj (w. 160 H) serta Sufyan bin Uyainah (w. 198 H); kedua, independensi tafsir dari hadis. Tafsir pada fase ini menginterpretasi kata per-kata sesuai dengan urutan mushaf. Corak tersebut dapat dijumpai dari Ibnu Majah (w. 273 H), Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H), serta Ibnu Abi Hatim (w. 327 H). Sebagai catatan penting, model tafsir ini pun mengandalkan riwayat-riwayat dari Nabi, shahabat, serta tabiin (transmisional), terkecuali tafsir Ibnu Jarir al-Thabari. Al-Thabari mengupas banyak pendapat, kemudian melakukan seleksi dari sekian pendapat tersebut, terkadang pula menginferensi suatu hukum dari ayat terkait. Ketiga, tafsir dengan corak transmisional (al-matsr) disertai mata rantai lengkap. Namun ada beberapa penafsir yang mencukupkan pada rantai tanpa menyebut pengucapnya. Model demikian yang disinyalir sebagai akar kemunculan riwayat Judeo-Kristiani dalam buku-buku tafsir. Hal itu disebabkan tidak jelasnya kualifikasi terhadap riwayat yang datang; keempat, tafsir mengalami perkembangan secara massif. Di samping mengandalkan riwayat transmisional (al-matsr), corak tafsir rasional (al-aql) pada masa ini pun menggema. Tafsir yang berdimensi rasional kemudian semakin melebarkan sayapnya tatkala pemerintahan Abasiyah mulai membuka kran dengan peradaban luar Islam: Yunani. Corak rasional murni dapat kita jumpai pada Mafth al-Ghaib, karya Fakhr al-Din al-Razi, atau al-Bahr al-Muhth, karangan Abu Hayyan al-Tawhidi.12 Secara umum, para penafsir memulai uraiannyaterhadap suatu ayat ditopang dengan riwayat yang bersumber dari Nabi. Seandainya tak menjumpai, mereka berpindah menuju perkataan para shahabat, kemudian tabiin. Karakter para penafsir sendiri berbeda; ada beberapa penafsir yang mendasarkan pendapatnyasecara paripurnaterhadap riwayat transmisional, namun terdapat pula yang bercorak rasional murni. Atas dasar ini, buku tafsir klasik kemudian dijumpai seperti lautan ilmu. Jamal al-Banna memetakan dengan apik tipologi penafsir klasik dalam tiga corak; pertama, yang berorientasi terhadap bahasa (al-lughawiyyun); kedua, orientasi sektarian (al-madzhabiyyn); ketiga, orientasi menafsirkan alQuran mempergunakan riwayat (al-ikhbriyyn).13 Bagi Jamal sendiri, ketiga corak tafsir ini mempunyai kecacatannya tersendiri. Untuk yang pertama, penyebabnya adalah perbedaan metode antar penafsir yang didasarkan pada unsur bahasa. Mereka terlalu masuk dalam pada persoalan pelik bahasa; entah itu gramatika (al-nahw wa alsharf) atau keindahan bahasa (balghah). Imbasnya, al-Quran ditundukkan pada kaidah-kaidah gramatika, atau balaghah. Sebagai misal, dalam perbincangan gramatika, struktur asal suatu kalimat tersusun dari tiga unsur: subyek (al-fil), predikat (al-fil), dan obyek (al-mafl) yang terangkum dalam susunan fiil-fail atau mubtada-khabar. Jika tidak terdapat salah satu dari ketiga unsur ini, maka yang bermain kemudian spekulasiatau dibahasakan dengan taqdr. Mari kita simak penuturan Jamal al-Bannamengutip Abd al-Sattar al-Jawari--terkait hal ini,

12

Dr. Rumzi Nanaah, al-Isriliyyt wa Atsaruh f Kutub al-Tafsr, Beirut: Dar al-Dliya, cet. I, 1970, hlm. 19-20 13 Jamal al-Banna, al-Tafsr baina al-Qudm wa al-Muhditsn, Kairo: Dar al-Fikr al-Islami, tt, hlm. 58

Firman Allah dalam surat al-Nisa: dan keinginanmu untuk mengawini mereka (targhabna an tankihhunna). Kata kerja raghiba akan sampai pada dua obyek dengan dua kata (an serta f), dan akan menghasilkan dua makna yang kontradiktif; apabila mempergunakan raghiba f akan sampai pada makna positif, jika mempergunakan raghiba an akan menghasilkan makna negatif []. Oleh karena itu, Zamakhsyari, ketika mengurai masalah ini mengatakan: kemungkinan maknanya adalah menyukai, hingga berkehendak menikahinya karena cantik, atau membenci, sehingga tidak mau menikahinya karena jelek. Namun beberapa pakar dalam permasalahan ini mengatakan: raghbah dalam kalimat ini, entah itu mempergunakan f atau an sama saja, sehingga tidak dicantumkan. Menurut saya (Abd al-Sattar al-Jawari), perkaranya tak sesulit itu. Karena makna kata kerja itulah yang harus dijadikan pegangan. Adapun huruf tambahan hanya untuk membatasi relasi dengan obyek: negatif atau positif. Kata raghbah yang membatasi relasi (negatif atau positif) dengan obyek adalah raghbah f syain (menyukai suatu hal). Adapun makna negatif (raghbah an syain) merupakan cabang (al-far) yang tak diketahui terkecuali dijumpai huruf an secara tersurat.14 Al-Quran sendiri, dari kacamata gramatika, dapat diklasifikasi pada dua bagian; pertama, bagian yang selaras dengan kaidah-kaidah gramatika; kedua, bagian-bagian yang berbenturan dengan kaidah-kaidah gramatika. Untuk yang kedua ini, sikap penafsir terpetakan mejadi tiga; pertama, secara frontal menyatakan ketidakcocokannya; kedua, masih berupaya mendamaikan walaupun kemudian mengalahkan al-Quran; ketiga, mentakwil ayat-ayat yang tak selaras dengan kaidah gramatika.15 Sebagai misal, dalam kaidah nahwu, "la yajzu wuq' al-istisn al-mufarragh ba'da al-jb." Padahal dalam al-Qur'an ada delapan belas al-istisna almufarragh yang jatuh dalam kalimat postif. Di antaranya lagi, la yajzu 'athf al-ismi al-dzhir 'al al-dlamr al-makhfdz ill ba'da i'dat al-khfidz." Padahal firman Allah berbunyi (Qiraat Hamzah), "wattaqullah al-ladz tasalna bihi wa al-arhmi." Lafadz al-arhm dibaca kasrah dan diikutkan ('athaf) pada isim dlamir tanpa mengembalikan khfidzdalam qiraat Hamzah. Padahal bacaan ini adalah dari sebagian besar tabi'in, shahabat. Dan menurut Abu Hayyan al-Tawhidi, itu adalah bacaan mutawatir dari Nabi. Oleh karena itu, pakar nahwu jika menjumpai ayat yang tak cocok dengan kaidah nahwu mengatakan, ini kesalahan penulis. Kedua; orientasi sektarianistik (al-madzhabiyyn). Contoh yang paling kentara ketika al-Quran berbicara tentang atribut Tuhan. Sebagaimana dalam tafsir al-Kasysyf, karangan Zamakhsyari dari sekte Muktazilah, yang terkadang berlebihan menafsirkan suatu ayat agar selaras dengan ideologi sektenya: penafian sifat. Kita melihat bagaimana saat Zamakhsyari memaknai kalm (berbicara) dengan al-kalmu (luka), sehinggamenurut Muktazilah--maknanya: Allah menguji Nabi Musa dengan pelbagai macam fitnah. Karena memang, menurut Zamakhsyari, pada praktiknya al-Quran mendedah argumen eksistensi Tuhan hanya melalui kontemplasi terhadap keindahan alam raya. Dan penafian pembicaraan ini berakibat pula penafian sifatsebagaimana ideologi Muktazilah. Begitu pula dari sekte Khawarij ketika menafsirkan ayat: fa minkum kfir wa minkum mumin, bahwa manusia hanya pada dua jalur: mukmin dan kafir. Yang
14 15

Ibid., hlm. 64-65 Ibid., hlm. 71

demikian itu karena mereka menganggap bahwa pelaku dosa besarjika tidak bertaubatmasuk pada golongan kafir. Ketiga; orientasi menafsirkan al-Quran mempergunakan riwayat (alikhbriyyn). Metode yang ditempuh mempergunakan riwayat transmisional, sehingga kemudian dinamakan al-Tafsr bi al-Matsr. Faktanya, menurut Jamal al-Banna, riwayat dari Nabi terhadap ayat alQuran sangat sedikit sekali. Bahkan, tafsir terhadap suatu ayat yang datang dari Nabi bukan dari Nabi sendiri, melainkan Nabi hanya mempergunakan ayat al-Quran yang lain untuk menafsirkan (tafsr alQuran bi al-Qurn). Sampai riwayat yang dari shahabat serta tabiin pun kemudian dipakai, jika tak ditemukan pernyataan dari Nabi terhadap ayat tertentu. Bahkan ada yang menuliskan semua riwayat yang datang dari Ibnu Abbas dalam sebuah buku dengan tajuk Tafsr ibni Abbas.16 Padahal, mayoritas riwayat yang ada dalam kitab tersebut diriwayatkan oleh al-Kalbi, al-Sadiy, serta Muqatil bin Sulaiman. Mereka adalah namanama yang sudah mendapat predikat pemalsu. Imam Suyuthi sendiriyang telah didahului oleh Ibnu Taymiahberujar, bahwa perkataan Ahmad bin Hanbal, tiga kitab yang tidak bisa dipertanggungjawabkan; peperangan, mimpi, serta tafsir, ditujukan untuk periwayat dalam tafsir Ibnu Abbas. Rasyid Ridla meneruskan pernyataan Ahmad bin Hanbal tersebut hingga sampai pada nama-nama buku tafsir yang diblack list karena berisikan riwayat yang tak dapat dipertanggungjawabkan: al-Wahidi, al-Tsalabi, Zamakhsyari, Baidlawi. Ada tiga karakter perbincangan corak tafsir model ini; pertama, berbincang tentang para Nabi secara spesifik, Bani Israil, hari Akhir, surga, neraka; kedua, mengerucutkan pembahasan yang disamarkan oleh al-Quran (tayn al-mubhamt); ketiga, memaparkan sebab diturunkannya suatu ayat (asbb al-nuzl). Tafsir dan Takwil; Upaya Menumbuhkan Toleransi Penafsiran Nashr Hamid Abu Zaid, mewakili para pengkaji tafsir dan tafsir al-Quran saat mencari legitimasi takwil, mengatakan bahwa tafsir dan takwil sebagai dua terma yang bersinonim telah dinyatakan oleh generasi awal Islam. Ibnu Jarir al-Thabari mempunyai kitab tafsir yang bertajuk Jmi al-Bayn an Tawl Ay al-Quran. Takwil dari penamaan Ibnu Abbas untuk tafsirnya menurut banyak pengkaji tafsirmempunyai makna tafsir. Begitu pula Nabi saat mendoakan Ibnu Abbas mengatakan, allahumma faqihhu fi al-dn wa allimhu al-takwilsemoga Allah menjadikan dia orang yang memahami agama dan mengerti tentang tafsir. Akan tetapi sinonimitas tidak lantas mempunyai implikasi tak berbeda. Sebab belakangan, terma takwil lebih diidentikkan untuk penjelasan alegoris dan metaforis terhadap al-Quran, sebagaimana yang sering dipraktikkan oleh sebagain tokoh-tokoh sufi, teolog dan filsuf. Pada tataran praksis, muncul model-model takwil-an liar melalui penjelasan alegoris, hingga memaksakan gagasan-gagasan nakal ke dalam teks literal al-Quran. Sebab itulah terma takwil menjadi tidak begitu
16

Terdapat fakta menarik seputar buku Ibnu Abbas ini, tutur Nashr Hamid Abu Zaid, untuk melegitimasi sikap hermeneutisnya. Asumsi bahwa tafsir Ibnu Abbas ini hanya berisi riwayat transmisional tidak sepenuhnya tepat. Karena Ibnu Abbas sendiri dalam tafsirnya sepakat dengan pentakwilan Khawarij yang kontradiktif dengan riwayat-riwayat yang terdapat dalam buku tafsir. Karena memang, faktanya, diferensiasi terminologi tafsir dan takwil baru muncul pada kurun belakangan. Bahkan Ibnu Jarir al-Thabari, dalam tafsirnya Jmi al-Bayn an Tawl al-Quran, tidak membedakan antara terminologi tafsir dan takwil. Nashr Hamid Abu Zaid, Falsafah al-Tawl; Dirsah f Tawl al-Qurn ind Muhyiddn Ibn Arab, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, cet. VI, 2007, hlm. 12-13

mendapat apresiasi di kalangan ortodoksi Islam. Walaupun begitu, takwil tetap dinilai sebagai salah satu unsur keindahan bahasa al-Qur'an.17 Takwil sendiri sebenarnya terminologi yang problematis dalam babakan sejarah Islam: sebab antar sarjana kerap berbeda-beda memaknai takwil dari masa ke masa. Jika di awal Islam takwil diposisikan sinonim dengan tafsir, selanjutnya berkembang definisinya menjadi maksud dari sebuah perkataan. Sedang tafsir merupakan penjelasan terhadap maksud redaksi. Dengan kata lain, jika terdapat redaksi, Matahari muncul, maka takwilnya adalah realisasi di alam riil bahwa matahari muncul. Sedang tafsir menjelaskan dan menjabarkan bagaimana kronologis kemunculan serta waktunya. Pun berkembang definisi bahwa definisi tafsir lebih ke transmisi (al-naql) sedang takwil lebih ke penjelasan eksploratif (ijtihd) yang didasarkan pada perenungan dan kontemplasi. Sebagai misal, diferensiasi yang dilontarkan oleh al-Raghib al-Ishfahani, bahwa tafsir lebih ke redaksional, berhubungan dengan struktur kalimat, sedang takwil lazimnya berelasi dengan makna susunan kalimat.18 Perkembangan takwil juga erat kaitannya dengan implikasi-implikasi ayat yang sebenarnya tak tunggal. Misalnya, jika kita tengok bagaimana Syihab al-Din al-Lusi dalam pengantar tafsirnya, Rh al-Mani, memberikan argumen untuk pengukuhan makna-makna ayat esoterik. Menurut al-Lusi, makna ayat esoterik bukan hendak meniadakan makna eksoterik. Sebab, keyakinan yang demikian merupakan keyakinan orang-orang murtad. Akan tetapi pemaknaan esoterik berupaya menyibak rahasia-rahasia yang terlampau agung di dalam al-Quran. Tanpa melihat ke pemaknaan esoterik, maka mustahil melihat rahasia agung kitab suci ini. Al-Lusi mendasarkan pandangannya, misalnya, pada riwayat, setiap ayat mempunyai enampuluh ribu pemaknaan.19 Contoh yang sama juga bisa kita lihat dari pernyataan al-Razi di Maftih al-Ghaybpenafsir al-Quran yang bisa menafsirkan surat al-Fatihah sampai tiga ratus halaman. Ia mengatakan di awal kitabnya, saya sudah mengatakan dalam beberapa kesempatan, bahwa dari surat ini mampu disimpulkan sepuluh ribu permasalahan. Akan tetapi orangorang yang bodoh tidak mempercayainya. Dan mereka mengomentari surat al-Quran ini dalam buku-bukunya dengan komentar kosong tanpa arti, dan kalimat yang tidak bisa memberikan substansi. Ketika aku menganggit kitab ini, aku mengajukan kata pengantar ini sebagai pengingat bahwa apa yang sudah aku sampaikan sesuatu yang bisa dan dekat kemungkinan terjadi." Dengan demikian, argumen takwil, disamping mempergunakan riwayatriwayat yang datang, sebenarnya erat pula kaitannya dengan argumen interpretasi jamak terhadap al-Quran: bahwa satu ayat al-Quran maknanya tidak tunggal, dan bisa bermacam dengan pelbagai sudut pandang. Berbeda di tangan para teolog, takwil acapkali dipergunakan untuk
17

Lihat Jalal al-Din Suyuthi, al-Itqn f 'Ulm al-Qur'an, Kairo: Dar al-Hadis, peny. Ahmad bin Ali, juz II, 2004, hlm. 36 18 Lihat Al-Raghib al-Ishfahani, Mufradt f Gharb al-Qurn, Kairo: Mushthafa el-Babi alHalabi, 1961, hlm. 31. 19 Lihat Abu al-Fadl Syihab al-Din Mahmud al-Lusy, Rh al-Ma'n f Tafsr al-Qur'an al-'Adzm wa al-Sab' al-Matsn, peny. Sayyid Muhammad Sayyid dan Ibrahim Imran, Kairo: Dar al-Hadis, juz 1, 2005, hlm. 28-29

mentakwilkan ayat-ayat yang secara rasional tidak mungkin dimaknai secara literal. Pemaknaan rasional mempergunakan takwil untuk menghindari inklinasi penyerupaan Tuhan dengan manusia. Jika bagi sebagian teolog porsi takwil tidak begitu besar, di tangan Muktazilah, takwil terhadap ayat sangat berlebihan, sehingga memunculkan bermacam resistensi yang cukup tajam dari sarjana-sarjana Asyariyyah. Permisalan yang paling kentara, sebagaimana disebutkan di muka, adalah penafsiran Zamakhsyari, penafsir otoritatif Muktazilah yang memaknai kalam (berbicara) dengan al-kalmu (luka). Yang demikian karena Muktazilah hendak menafikan sifat-sifat yang tak berawal (qadm) Allahatau Shifat alMani. Sebab, prinsip fundamental dalam teologi Muktazilah dikatakan, segala yang tak berawal tak mungkin mempunyai keserupaan yang tak berawal. 20 Oleh karena itu, sebenarnya justifikasi takwil bisa dipergunakan untuk legitimasi pemahaman ayat yang multi-interpretatif. Para ulama memberikan batasan-batasan pada takwil yang bisa diterima dan ditolak. Di antaranya, takwil yang bisa diterima harus memperhatikan aspek lafadz melalui kemungkinan-kemungkinan makna lain dengan meneliti struktur kalimat, kosakata, redaksi secara umum, relasi antara satu ayat dan lainnya (munasbat al-ayt), dan lain sebagainya. Sebenarnya bisa dibahasakan juga, bahwa penerimaan takwil dengan catatan jika masih berada dalam koridor tafsirsebab pensyaratan takwil yang diterima tak jauh berbeda dengan tafsir. Oleh karena itu, Abu Ashi menyebut, setiap bentuk takwil pasti termasuk tafsir, tetapi belum tentu semua tafsir adalah takwil, karena takwil dimaksudkan untuk menjelaskan suatu hal dengan kontemplasi dan perenungan secara mendalam.21 Bagi penulis, jelas ketetapan ini bisa ditarik dalam batas interaksi antar umat Islam untuk saling menghargai penafsiran masing-masing sekte terhadap al-Quran. Penutup Ini hanyalah usaha kecil yang tidak komprehensif untuk sekedar menuliskan babakan sejarah yang cukup panjang tentang tafsir dan takwil. Sebetulnya ada yang absen dari tulisan kali ini: muncul madzhab-madzhab baru dalam tafsir di era modern yang belum penulis sebutkan di sini. Pada praktiknya, sebuah pembacaan terhadap terhadap teks akan selalu memunculkan pandangan dari pelbagai sudut pandang. Menurut Imam Ali, al-Quran hamml awjah; kin mayyit, wa innam yuntiquhu al-rijl. Dan hal itu pula yang mengantarkan merebaknya varian metode pembacaan, baik pada masa klasik ataupun kontemporer. Semoga tulisan ini bermanfaat.[]

20

Muhammad bin Muhammad al-Amir, Hsyiah al-Amr ala Syarh Abd al-Salm bin Ibrhm al-Mlik li Jawharat al-Tawhd, Mesir: Musthafa el-Babi el-Halabi, 1948, hlm. 26-27 21 Muhammad Salim Abu al-Ashi, Maqlatni f al-Tawl: Malim f al-Manhaj wa Rashd li al-Inhirf, Kairo: Dar al-Bashair, cet. I, 2003, hlm. 13

Anda mungkin juga menyukai