Anda di halaman 1dari 11

PENDAHULUAN Angiofibroma nasofaring (angiofibroma nasopharynx/ nasopharyngeal angiofibroma) adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik

jinak namun secara klinis bersifat ganas karena mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. Jinak tetapi merupakan tumor pembuluh darah lokal yang agresif dari anak atau remaja lakilaki, pernah juga dilaporkan pada perempuan tetapi sangat jarang. Itulah sebabnya tumor ini disebut juga angiofibroma nasofaring belia (Juvenile nasopharyngealangiofibroma). Tetapi istilah juvenile ini kurang tepat karena neoplasma ini terdapat juga pada pasien yang lebih tua. ANATOMI Ruang nasofaring yang relatif kecil terdiri dari atau mempunyai hubungan yang erat dengan beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting. 1. Pada dinding posterior meluas ke arah kubah adalah jaringan adenoid. 2. Terdapat jaringan limfoid pada dinding faring lateral dan pada resessus faringeus, yang dikenal sebagai fossa Rosenmuller. 3. Torus tubarius, refleksi mukosa faring di atas bagian kartilago saluran tuba eustachii yang berbentuk bulat dan menjulang tampak sebagai tonjolan seperti ibu jari ke dinding lateral nasofaring tepat diatas perlekatan palatum mole. 4. Koana pada posterior rongga hidung. 5. Foramina kranial, yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan dari penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui oleh saraf kranial glossofaringeus, vagus, dan spinal assesori. 6. Struktur pembuluh darah yang penting yang letaknya berdekatan termasuk sinus petrosus inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksiput dan arteri faringea asendens, dan foramen hipoglossus yang dilalui saraf hipoglossus. 7. Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang terletak dekat bagian lateral atap nasofaring. 8. Ostium dari sinus-sinus sfenoid. INSIDENS Insiden dari angiofibroma tinggi dibeberapa bagian dari belahan dunia, seperti pada Timur Tengah dan Amerika. Martin, Ehrlich dan Abels (1948) melaporkan rata-rata setiap tahunnya dari satu atau dua pasien untuk 2000 pasien yang diobati pada Head and Neck Service of The Memorial Hospital, New York. Di London, Harrison (1976) mencatat status dari satu per 15000 pasien pada Royal National Throat, Nose and Ear Hospital dimana satu kesimpulan bahwa lebih sedikit angiofibroma di London dibanding di New York. Walapun angiofibroma merupakan tumor jinak yang paling sering pada nasofaring, tetapi jumlahnya kurang dari 0,05% dari tumor kepala dan leher. Sekarang ada kesepakatan bersama bahwa ini semata-mata penyakit dari laki-laki dan umur rata-rata yang terkena sekitar 14 tahun (Harrison, 1976). Jaraknya, bagaimanapun bervariasi antara umur 7 dan 19 tahun (Martin, Ehrlich dan Abela, 1948). Angiofibroma Nasofaring jarang pada pasien lebih dari 25 tahun. ETIOLOGI Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak dikemukakan. Salah satu diantaranya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga hidung. Faktor hormonaldikemukakan sebagai penyebabnya. Banyak bukti memperlihatkan secara langsung

adanya reseptor seks-hormon, seperti reseptor androgen (RA), reseptor estrogen (RE), dan reseptor progesteron (RP), pada tumor ini. Bukti ini secara langsung memperlihatkan bahwa reseptor seks-hormon muncul pada angiofibroma dengan menggunakan teknik sensitive immunocytochemical dan mencatat populasi sel yang mana memperlihatkan reseptor tersebut. 24 angiofibroma nasofaring diperoleh dari jaringan penyimpanan, dan studi imunositokimia menunjukkan dengan antibodi pada RA, RP, dan RE. Stromal positif dan nukleus endotelial immunostaining, menunjukkan adanya RA pada 75% dari 24 kasus, 8,3% positif andibodi RP dan negatif dengan antibodi dengan RE. Hasil menetapkan bukti langsung pertama adanya antibodi dari reseptor androgen pada angiofibroma. Penelitian lain menunjukkan adanya faktor pertumbuhan yang memediasi proliferasi agresif sel stromal dan angiogenesis. Transforming Growth Factor-1 (TGF-1) atau faktor pertumbuhan pengubah-1 adalah polipeptida yang disekresikan dalam bentuk inaktif, dipecah untuk menghasilkan bentuk aktif, dan kemudian tidak diaktifkan dalam jaringan. TGF-1 mengaktifkan proliferasi fibroblas dan dikenal sebagai induksi angiogenesis. TGF-1 aktif diidentifikasi pada sel nukleus stromal dan sitoplasma dan pada endotelium kapiler pada semua spesimen angiofibroma nasofaring juvenile. LOKASI Lokasi dari tumor masih menjadi perdebatan. Awalnya dikira muncul dari akar nasofaring atau dinding anterior dari tulang sfenoid tetapi sekarang dipercaya muncul dari bagian posterior dari kavum nasi dekat dengan tepi dari foramen sphenopalatina. Dari sini tumor bertumbuh masuk kedalam kavum nasi, nasofaring dan kedalam fossa pterygopalatina, berjalan dibelakang dinding posterior dari sinus maksillaris dimana menekan kedepan dari pertumbuhan tumor. PATOLOGI Secara makroskopik, angiofibroma nampak sebagai keras, berlobulasi membengkak agak lembut, menyesuaikan dengan peningkatan umur. Warnanya bervariasi dari merah muda sampai putih. Bagian yang terlihat di nasofaring dan karena itu dibungkus oleh membran mukous tetap berwarna merah muda, sedangkan bagian yang keluar ke daerah yang berdekatan ekstrafaringeal sering berwarna putih atau abu-abu. Secara histologik, angiofibroma kebanyakan terdiri dari jaringan fibrosa padat menyisipkan dengan pembuluh darah dari ukuran bervariasi dan konfigurasi. Pembuluh darah biasanya mudah pecah dan dilapisi oleh lapisan tunggal dari endotelium. Karena dindingnya hanya dari lapisan elastik dan lapisan otot halus, pembuluh darah ini tidak dapat mengalami vasokonstriksi ketika terjadi trauma, menyebabkan perdarahan yang berlimpah. Tumor yang berlangsung lama, cenderung kearah penekanan perlahan dari sinusoid, jadi batas endotelial sel terdorong saling berlawanan arah seperti kabel, sementara lainnya terjadi trombosis intravaskular. Komponen fibrosa biasanya padat dan seluler. Sel stromal, yang melambangkan fibroblas dan atau miofibroblas, mengelilingi pada nukleus stellata dan kadang-kadang, nekleolus prominent. Mitosis tidak ada. Mikroskop elektron memperlihatkan karakteristik dari granula kromatin padat terdistribusi dalam nukleus dari fibroblas. PENYEBARAN Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak tetapi invasif lokal dan merusak struktur sekitarnya. Dapat meluas kedalam : a. Cavum nasi menyebabkan obstruksi nasi, epistaksis dan pengeluaran cairan hidung. b. Sinus-sinus paranasalis. Sinus maksillaris, sfenoidales dan ethmoidales semua dapat diserang. c. Fossa pterygomaksillaris, fossa infratemporalis dan pipi.

d. Orbita memberikan gejala prodtosis dan deformitas face-frog. Masuk melalui fissura orbitalis inferior dan juga merusak apeks dari orbita. Dapat juga masuk ke orbita melalui fissura orbitalis superior. e. Cavum kranial. Fossa kranialis media yang paling sering. Ada 2 jalan masuknya : i. Dengan pengrusakan lantai fossa kranialis media anterior ke foramen lacerum. Tumor berada dilateral dari arteri karotis dan sinus kavernosus. ii. Melalui sinus sfenoid, kedalam sella. Tumor berada dimedial dari arteri karotikus. GEJALA KLINIK Gejala : 1. Paling sering mengenai anak dan remaja laki-laki. 2. Umumnya pada dekade ke-2, antara 7-19 tahun. Jarang pada pasien dengan umur lebih dari dua puluh lima tahun. 3. Obstruksi nasal. Gejala yang paling sering, terutama pada tadium awal. 4. Epistaksis. Kebanyakan unilateral dan rekuren; biasanya epistaksis berat memerlukan perhatian medis; diagnosis dari angiofibroma pada laki-laki remaja dipertimbangkan. 5. Sakit kepala. Terutama jika sinus-sinus paranasalis tersumbat. 6. Muka bengkak. 7. Gejala lainnya termasuk rinore unilateral, anosmia, hiposmia, rinolalia, otalgia, pembengkakan dari palatum, dan deformitas pipi. Tanda-tanda : 1. Massa di cavum nasi. 2. Massa di Orbita. 3. Proptosis. 4. Tanda lainnya mungkin termasuk otitis serosa pada blokade tuba eustakhius. Pembengkakan zigomatikus dan trismus menandakan penyebaran dari tumor ke fossa infratemporal. Penuruan penglihatan mengenai nervus optik jarang dilaporkan. PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium Anemia yang kronis merupakan keadaan yang sering ditemukan pada keadaan ini. Biopsi Kebanyakan kasus dari angiofibroma nasofaring juvenile tidak dianjurkan untuk biopsi sebelum reseksi defenitif. Walaupun didapatkan gambaran radiologis yang klasik, bagaimanapun, tidak ada tanda absolut dari angiofibroma. Jika tumor atipikal atau jika gambaran klinik tidak biasa, seharusnya dipertimbangkan untuk biopsi sebelum tumor direseksi. Bila diperlukan, biopsi dari kasus yang dicurigai angiofibroma dapat dilakukan di ruang operasi. Pemeriksaan Radiologis FOTO SINAR-X Pada foto sinar-X tumor nampak sebagai massa jaringan lunak dalam nasofaring. Holman dan Miller menggambarkan karakteristik dari tumor ini pada foto lateral, yang tergantung pada lokasi tipikal dalam alur pterygomaksillaris. Ini dikenal sebagai tanda antral dan terdiri dari tulang anterior dari dinding posterior dari antrum maksillaris. Tanda ini sering sulit untuk dikenali.

CT SCAN Memperlihatkan perluasan ke sinus sfenoid, erosi dari sayap sfenoid yang besar, atau invasif dari pterygomaksillaris dan fossa infratemporal biasanya terlihat. MRI (MAGNETIC RESONANCE IMAGING) Diindikasikan untuk menggambarkan dan menjelaskan batas dari tumor, terutama pada kasus-kasus dari keterlibatan intrakranial. ANGIOGRAFI Dengan angiografi terlihat gambaran vaskuler yang banyak (ramai). Pada Angiografi ini terlihat lesi vaskuler yang terutama disuplai oleh cabang dari arteri maxillaris interna. Angiografi terutama dilakukan pada kasus dengan kecurigaan adanya penyebaran intrakranial atau pada pasien dimana pada penanganan sebelumnya gagal. STADIUM Sebagai neoplasma dari nasofaring, stadium tumor berdasarkan pada daerah yang terlibat adalah penting untuk evaluasi individu dan pengobatannya. Different Staging System mengeluarkan untuk angiofibroma nasofaring, Chandler dan kawan-kawan merekomendasikan berdasarkan sistem stadium pada usulan sistem untuk kanker nasofaring oleh AJC :

Stadium I : Tumor di nasofaring. Stadium II : Tumor meluas ke rongga hidung dan atau sinus sfenoid. Stadium III : Tumor meluas kedalam antrum, sinus ethmoid, fossa pterygomaksillaris, fossa infratemporalis. Orbita dan atau pipi. Stadium IV : Tumor meluas ke rongga intrakranial.

Sistem stadium lain yang diusulkan oleh Fisch :


Stadium I : Tumor terbatas pada rongga hidung, nasofaring tanpa destruksi tulang. Stadium II : Tumor meluas ke fossa pterygomaksillaris, sinus-sinus paranasalis dengan destruksi tulang. Stadium III : Tumor meluas ke fossa infratemporalis, orbita dan atau regio parasellar menyisakan lateral ke sinus kavernosus. Stadium IV : Tumor meluas ke sinus kavernosus, regio khiasma optik dan atau fossa pituitary.

Klasifikasi menurut Sessions : - Stadium IA : Tumor terbatas pada nares posterior dan atau nasofaring. - Stadium IB : Tumor terbatas pada nares posterior dan atau nasofaring dengan melibatkan sedikitnya satu sinus paranasalis. - Stadium IIA : Tumor meluas minimal lateral ke fossa pterygomaksillaris. - Stadium IIB : Tumor meluas penuh pada fossa pterygomaksillaris dengan atau tanpa erosi superior dari tulang orbita. - Stadium IIIA : Erosi dari dasar tengkorak (fossa cranii media/dasar pterygoid); perluasan minimal intrakranial. - Stadium IIIB : Tumor meluas kedalam intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke sinus kavernosus. PENGOBATAN EMBOLISASI Embolisasi pada pembuluh darah tumor mengakibatkan tumor menjadi jaringan parut dan

menghentikan perdarahan. Embolisasi dilakukan dengan memasukkan suatu zat dalam pembuluh darah untuk membendung aliran darah. Dengan embolisasi saja cukup untuk menghentikan perdarahan hidung, atau dapat diikuti dengan pembedahan untuk mengangkat tumor. OPERASI Digunakan untuk tumor yang kecil (Fisch stadium I atau II). -Pendekatan fossa infratemporal digunakan bila tumor meluas ke lateral. -Pendekatan midfacial degloving, dengan atau tanpa LeFort osteotomy, memanfaatkan jalan masuk posterior ke tumor. -Pendekatan facial translocation dikombinasikan dengan Weber-Ferguson incision dan perluasan koronal untuk frontotemporal craniotomy dengan midface osteotomies untuk jalan masuk. -Operasi intranasal endoscopic disiapkan untuk tumor yang terbatas pada cavum nasi dan sinus-sinus paranasali. RADIOTERAPI Beberapa pusat melaporkan rata-rata menyembuhkan 80% dengan terapi radiasi. Bagaimanapun, menganggap hubungan efek potensial dari radiasi membuat terapi radiasi modalitas yang tidak berguna dalam banyak kasus. Radioterapi stereotaktik (seperti sinar Gamma) mengirim sedikit dosis dari radiasi ke jaringan sekitarnya. Bagaimanapun, kebanyakan penulis menyiapkan radioterapi untuk penyakit intrakranial atau kasus rekuren. HORMONAL Penghambat reseptor testosteron flutamide dilaporkan mengurangi tumor stadium I dan II sampai 44%. Walaupun mereduksi tumor dengan hormon, jalan ini tidak digunakan secara rutin. Contoh Suatu Kasus dan Tahapan Operasi Rhinotomy Lateral: Anak laki-laki dengan riwayat sumbatan hidung sebelah kiri yang telah lama dan riwayat tiga bulan epistaksis bilateral berulang. Pemeriksaan memperlihatkan massa pada hidung kiri. Suatu angiofibroma nasofaring juvenile setelah pemeriksaan CT Scan. Operasi pengangkatan dilakukan setelah pre-operatif angiografi dengan embolisasi dari tumor. Operasi berjalan tanpa komplikasi atau membutuhkan transfusi darah perioperatif. Tujuh tahun setelah pengangkatan tumor dengan tidak bukti rekuren. 1. Lateral rhinotomy sinistra dan membelah bibir. Membuat osteotomies maksillaris medial. 2. Segmen maksillaris anterior dan lekukan hidung dibuka untuk melihat tumor yang terletak dibawah. 3. Maksillotomy anterior diperluas kelateral untuk jalan masuk ke bagian lateral dari tumor. Sphenoethmoidectomy dan dinding posterior sinus maksillaris dibuka untuk penglihatan yang luas agar aman mengangkat tumor dari dasar tengkorak dan fossa pterygomaksillaris atau infra temporal. 4. Tumor besar berbentuk dumbell diangkat. 5. Membuat dacrocystorhinostomy dan medial canthopexy. Cavum diisi dengan pasta bismuth-iodoform-paraffin kawat impregnated. Segmen maksillaris media dikembalikan dan

difiksasi dengan kawat interosseous. Kartilago nasal bagian atas samping disambungkan ke tulang untuk mencegah kolaps dari valvula nasal. 6. Insisi eksternal dan intraoral ditutup lapis demi lapis. DIFFERENSIAL DIAGNOSIS 1. Penyebab lain dari obstruksi nasal, (seperti polip nasal, polip antrokoanal, teratoma, encephalocele, dermoids, inverting papilloma, rhabdomyosarcoma, karsinoma sel skumous). 2. Penyebab lain dari epistaksis, sistemik atau lokal. 3. Penyebab lain dari proptosis atau pembengkakan orbita. PROGNOSIS Meskipun tidak bersifat seperti kanker, angiofibroma dapat terus menyebar. Dapat hilang sendiri. Terdapat angka rekurensi yang cukup tinggi setelah operasi, sekitar 6-24 %.

ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA HARRY A. ASROEL Fakultas Kedokteran Bagian Tenggorokan Hidung danTelinga Universitas Sumatera Utara Pendahuluan Angiofibroma nasofaring belia adalah sebuah tumor jinak nasofaring yang cenderung menimbulkan perdarahan yang sulit dihentikan dan terjadi pada laki-laki prepubertas dan remaja 1,2,3. Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s/d 21 tahun dengan insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun4 dan jarang pada usia diatas 25 tahun2. Tumor ini merupakan tumor jinak nasofaring terbanyak5 dan 0,05% dari seluruh tumor kepala dan leher1,2. Dilaporkan insidennya antara 1 : 5.000 1 : 60.000 pada pasien THT2. Di RSUP. H. Adam Malik dari Januari 2001 Nopember 2002 dijumpai 11 kasus angiofibroma nasofaring. Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai jenis teori banyak diajukan 1. Diantaranya teori jaringan asal dan faktor ketidak-seimbangan hormonal1,2. Secara histopatologi tumor ini termasuk jinak tetapi secara klinis ganas karena bersifat ekspansif dan mempunyai kemampuan mendestruksi tulang1,6. Tumor yang kaya pembuluh darah ini memperoleh aliran darah dari arteri faringealis asenden atau arteri maksilaris interna7. Angiofibroma kaya dengan jaringan fibrosa yang timbul dari atap nasofaring atau bagian dalam dari fossa pterigoid6. Setelah mengisi nasofaring, tumor ini meluas ke dalam sinus paranasal, rahang atas, pipi dan orbita serta dapat meluas ke intra kranial setelah mengerosi dasar tengkorak 5,6. Gejala klinik terdiri dari hidung tersumbat (80-90%); merupakan gejala yang paling sering, diikuti epistaksis (45-60%); kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%); khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-18%) dan gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum serta deformitas pipi 2-6. Tumor ini sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus sangat hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan yang ekstensif6. Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang seperti x-foto polos, CT scan, angiografi atau MRI2-6. Dijumpai tanda Holman-Miller pada pemeriksaan x-foto polos berupa lengkungan ke depan dari dinding posterior sinus maksila4. Biopsi tidak dianjurkan mengingat resiko perdarahan yang masif dan

karena teknik pemeriksaan radiologi yang modern sekarang ini dapat menegakkan diagnosis dengan tingkat ketepatan yang tinggi 3. Tumor ini dapat didiagnosis banding dengan polip koana, adenoid hipertrofi, dan lain-lain6. Penatalaksanaan tumor ini adalah dengan pembedahan; dimana 6-24% rekuren, stereotactic radioterapi; digunakan jika ada perluasan ke intrakranial atau pada kasus-kasus yang rekuren2,4. Komplikasi yang timbul dapat berupa perdarahan yang berlebihan dan transformasi maligna2. Kami laporkan satu kasus angiofibroma nasofaring belia pada anak usia 12 tahun yang dilakukan pembedahan dengan pendekatan midfacial degloving. Diskusi Angiofibroma nasofaring belia merupakan neoplasma vaskuler yang terjadi hanya pada laki-laki, biasanya selama masa prepubertas dan remaja 2,3,5. Perempuan yang didiagnosis dengan angiofibroma nasofaring belia harus mengikuti tes genetik2. Etiologinya diduga ada hubungannya dengan hormonal 2. Penatalaksanaan tumor ini adalah dengan pembedahan yang sering didahului oleh embolisasi intra-arterial 24-48 jam preoperatif yang berguna untuk mengurangi perdarahan selama operasi2,4,5. Material yang digunakan untuk embolisasi ini terdiri dari mikropartikel reabsorpsi seperti Gelfoam, Polyvinyl alcohol atau mikropartikel nonabsorpsi seperti Ivalon dan Terbal 2. Penggunaan embolisasi ini tergantung pada ahli bedah masing-masing. Ada beberapa pendekatan teknik operasi yang dikemukakan oleh para ahli seperti lateral rhinotomy, transpalatal, transmaxillary dan midfacial degloving 2,3,6. Pada penderita ini digunakan pendekatan midfacial degloving yang mempunyai beberapa keuntungan, seperti : menghindari timbulnya jaringan parut pada wajah, memberikan penglihatan yang baik pada daerah operasi dan memberikan pembukaan bilateral secara bersamaan8. Pada penderita ini, berdasarkan gambar CT scan diduga telah terjadi invasi ke sinus maksila kanan, tetapi sewaktu dilakukan palpasi pada dinding sinus maksila kanan durante operasi ternyata dinding sinus maksila kanan intak. Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Ada 2 sistem yang paling sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch2. Klasifikasi menurut Sessions sebagai berikut : - Stage IA : Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau nasofaring - Stage IB : Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring dengan perluasan ke satu sinus paranasal. - Stage IIA : Perluasan lateral minimal ke dalam fossa pterygomaksila. - Stage IIB : Mengisi seluruh fossa pterygomaksila dengan atau tanpa erosi ke tulang orbita. - Stage IIIA : Mengerosi dasar tengkorak; perluasan intrakranial yang minimal. - Stage IIIB : Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke dalam sinus kavernosus. Klasifikasi menurut Fisch : - Stage I : Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa destruksi tulang. - Stage II :Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal dengan destruksi tulang. - Stage III :Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dan/atau daerah parasellar sampai sinus kavernosus. - Stage IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, chiasma optikum dan/atau fossa pituitary. Pada penderita ini berdasarkan klasifikasi di atas maka dapat ditentukan staging penyakitnya yaitu stage I / I A. Kesimpulan

Telah dilaporkan satu kasus angiofibroma nasofaring belia stage I / I A pada seorang anak laki-laki berusia 12 tahun yang telah dilakukan pembedahan dengan pendekatan midfacial degloving dan berhasil baik. . 2002 Digitized by USU digital library 5 Kepustakaan 1. Averdi R, Umar SD. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam : Efiaty AS, Nurbaiti I. Buku ajar ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke 5, Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2001. 151-2. 2. Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Available from URL : http://www.emedicine.com/ent/topic470.htm 3. Shaheen OH. Angiofibroma. In : Hibbert J (ed). Scott-Browns Otolaryngology. 6th ed. London : Butterworth-Heinemann, 1997. 5/12/1-6. 4. Lee KJ. Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery. 7 th ed. Connecticut : Appleton & Lange, 1999. 778, 887-8. 5. Jafek BW, Murrow BW. ENT Secrets. 2nd ed. Philadelphia : Hanley & Belfus Inc., 2001. 265, 275, 306, 497. 6. Becker W, et al. Ear, Nose and Throat Diseases A Pocket Reference. 2nd ed. New York : Thieme Med Publisher Inc., 1994. 385-6. 7. Adams GL, et al. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1997. 324. 8. Sadeghi N. Sinonasal Papillomas, Treatment. Available from URL :

Angiofibroma Juvenile angiofibroma arises in the nasopharynx or lateral nasal wall at the posterior middle turbinate. The tumor occurs exclusively among boys and men and commonly manifests at puberty. The biologic behavior is that of a nonmetastasizing tumor that is locally aggressive. The symptoms of nasal obstruction and intermittent epistaxis coupled with a purplish polypoid nasopharyngeal mass are clues to the vascular nature of this lesion. Biopsy in a physician's office is considered dangerous because of the high risk of uncontrollable hemorrhage. Treatment is surgery. Preoperative embolization is important adjunct to minimize blood loss during extirpation. Radiation therapy and hormonal manipulation have been used to manage inoperable lesions. Figure 27.12 shows a CT scan and an arteriogram of a juvenile angiofibroma in a 22-year-old man.

Angiofibroma

Angiofibroma occurs predominantly among male adolescents. Epistaxis and nasal obstruction are the most common symptoms. Persistent unilateral middle ear effusion, proptosis, cheek swelling, or sinusitis alert the physician to the possibility of this diagnosis and the need for nasopharyngeal examination. Angiofibroma consists of multiple vascular channels surrounded by tough fibrous connective tissue. It originates in the lateral wall of the nasopharynx and tends to invade the posterior aspect of the choana, the pterygopalatine fossa, the orbit, and occasionally the intracranial cavity. Management has two phases (Fig. 125.5). The first phase is patient evaluation and hemorrhage control. The second phase is surgical excision. Biopsy usually is unnecessary to make the diagnosis because the appearance of these tumors is typical at computed tomography (CT) and MRI. Bulging of the posterior wall of the maxillary sinus seen at imaging suggests the presence of this tumor. Magnetic resonance imaging is particularly useful in determining intracranial extension. Arteriography is helpful in delineating the vascular supply of the tumor and assists with embolization. Although the most common feeding vessels are from the external carotid system (internal maxillary and ascending pharyngeal arteries), the internal carotid artery can contribute to large tumors or those that have intraorbital or intracranial extension. Large lesions, or those that approach the midline, can receive a contralateral blood supply. Therefore, angiography includes bilateral internal and external carotid systems (12). Angiography and embolization of the feeding vessels can be done at the same time. Surgery follows within 48 to 72 hours to achieve the maximum hemostatic effect.

FIGURE 125.5. A: Axial computed tomographic scan at the level of the maxillary sinus shows nasopharyngeal angiofibroma occupying the left nasal cavity. The point of origin from the left medial pterygoid plate is visible. B: Lateral subtraction angiogram shows vascular blush of the nasopharyngeal angiofibroma originating from the terminal branches of the internal maxillary artery. C: Frontal subtraction angiogram after embolization of the angiofibroma to reduce its blood supply. Both diagnostic angiography and embolization were accomplished at the same sitting. D: Resection of the angiofibroma through a facial degloving incision.

The surgical approach depends on the presentation and location of the tumor. Options include medial maxillectomy, a transpalatal approach, and facial degloving, among others. In general, a twoavenue approach yields the best results. The combined transpalatal and facial degloving approach affords excellent visualization of these tumors and facilitates complete removal. Because of intracranial extension of disease, formal craniectomy sometimes is necessary. Some surgeons advocate primary radiation therapy for the control of juvenile nasopharyngeal angiofibroma, but this modality is generally reserved for patients with unresectable intracranial disease. An endoscopic approach also can be successful for some patients (13).

FIGURE 27.12. Images of a patient with a juvenile angiofibroma. A: Computed tomographic scan shows the tumor mass. B: Arteriogram shows tumor blush and feeding vessels.

Juvenile nasopharyngeal angiofibroma can be stimulated to grow rapidly by growth factors that influence angiogenesis and mesenchymal proliferation. Nagai et al. found increased levels of insulinlike growth factor II messenger RNA and propose that insulin-like growth factor II can be one of the important growth regulators for these tumors. Other authors (7) have emphasized the correlation between large tumor size with invasion of the skull base and a higher rate of recurrence. Although open surgical approaches are used most commonly, endoscopic removal after embolization has been shown to be effective in the treatment of some patients (8).

DAFTAR PUSTAKA 1. Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Available from URL : http://emedicine.medscape.com/article/872580-overview 2. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001572.htm

Anda mungkin juga menyukai