Anda di halaman 1dari 9

Kovenan HAM Internasional: Pandangan Umum mengenai Signifikasi dan Perkembangan Jumat, 17 June 2011 00:04 | Written by swip

Abstract

Indonesia has just ratified the two most important international human rights covenants, namely, the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) and the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR). The implications of these ratifications are enormous, either for the government and other states institutions or for the victims of human rights violation as well as human rights defenders. The two Covenants could become part of the effort of legal reform to improve human rights condition in Indonesia. The two Covenants are related with the history of the world organization, namely, the United Nations, in developing the what so called the international law, in this regard the international human rights law. The human rights law was developed as mechanisms, either Charter-based or Treaty-based. The main purposes of the Indonesian are to maintain peace and prevent violence.

Dua Kovenan HAM internasional, yang sekarang ini sudah diratifikasi dengan Undang-Undang 11 tahun 2005 (untuk Kovenan Ekonomi, Sosial, Budaya), dan dengan Undang-Undang 12 tahun 2005 (untuk Kovenan Sipil dan Politik), mempunyai muatan sejarah dan otoritas yang mengikat, yang membuat dua Kovenan ini sebagaimana adanya sekarang. Fakta pertama yang paling jelas adalah bahwa 2 (dua) Kovenan Internasional ini terkait dengan mekanisme Komisi HAM PBB, dan disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 16 Desember 1966, dengan resolusi2200a (XXI).

Setelah resolusi itu, Kovenan itu diberlakukan masing-masing 3 Januari 1976 untuk Kovenan Internasional Ekonomi, Sosial, Budaya (selanjutnya disebut Kovenan Ekosob), dan 23 maret 1976 untuk Kovenan Internasional Sipil dan Politik (selanjutnya disebut Kovenan Sipol). Sejak saat itu, kovenan ini menjadi mekanisme yang bersifat mengikat. Sejak tahun 1976, semakin banyak negara yang menjadi pihak dalam 2 kovenan tersebut. Sebanyak 148 negara atau lebih menjadi pihak Kovenan Ekosob, dan sebanyak 150 negara atau lebih menjadi pihak Kovenan Ekosob.

Otoritas 2 Kovenan: Mengapa perlu?

Dua kovenan ini menjadi bagian yang integral dari sistem PBB, dan sistem PBB ini mengikat semua negara anggota PBB. Lebih khusus lagi, negara pihak (artinya negara yang meratifikasi) terikat dengan mekanisme dalam Komisi HAM PBB, yang mulai Juni 2006 akan penuh menjadi Dewan HAM (dengan demikian sejajar, misalnya, dengan Dewan Keamanan PBB, minus otoritas veto).

Dalam tulisan lain dalam jurnal ini, dijelaskan secara lebih rinci mengenai soal kewajiban negara pihak, implementasi, dan tantangan dari masing-masing Kovenan. Namun, jelas bahwa yang menjadi penghubung dari kesemuanya itu adalah persoalan otoritas 2 kovenan itu. Bagaimana Dewan HAM PBB, antara lain, akan menjalankan mekanisme tersebut, akan membuat kovenan itu efektif mencegah dan/atau menangani pelanggaran HAM. Dengan ini, baik jika dapat kita ulas dan lihat secara khusus sisi lain dalam tulisan ini. Untuk itu, ada beberapa hal yang patut dilihat untuk menggali dimensi mengapa-nya.

1. Mendorong terwujudnya rejim dan deterrent

PBB dibentuk semasa akhir Perang Dunia II. Artinya, PBB didirikan dengan kesadaran bawah Liga Bangsa-Bangsa tidak efektif, baik sebagai organisasi dunia maupun dalam mempromosikan perdamaian. Perang II yang jauh lebih dahsyat dan jauh lebih sistematis dianggap sebagai sesuatu yang tidak bisa ditolerir, karena melewatibukan hanya batas kemanusiaan, tetapi juga batas akal sehat, terutama dengan peristiwa Holocaust (dan ini yang kedua terbesar, setelah Pembantaian Masyarakat Armenia di masa Perang Dunia I). Pendiri PBB, dan kemudian anggota PBB menyadari bahwa perlu ada satu rejim yang dapat memberikan promosi dan perlindungan terhadap perdamaian dan kemanusiaan warga dunia. Hal itu diwujudkan dengan pendirian PBB, dan tentu dengan mekanismenya yang diharapkan bisa lebih efektif, terutama dibandingkan dengan Liga Bangsa-Bangsa. Melihat hal ini, ada 2 hal yang dapat dipenuhi dengan pendirian PBB dan mekanismenya, yaitu terbentuknya rejim perdamaian dan deterrent (daya tangkal) atas kekerasan.

2. Mendorong terwujudnya hukum internasional

Penjelasan di atas juga berlaku dalam hal kedua ini. Lebih lanjut dapat dijabarkan bahwa sistem hukum dunia yang fractured dianggap sebagai salah satu masalah yang harus ditangani dengan mendorong efektivitas PBB. Hukum internasional dapat secara terus-menerus bertentangan dengan hukum nasional. Persoalannya adalah bahwa jika kemudian kekerasan dilakukan dan menjadi pola, amat sulit untuk menanganinya karena ada pertentangan tersebut. Persoalan seperti human trafficking, agresi bersenjata, perdagangan gelap senjata, antara lain, adalah suatu fenomena transnasional. Tidak ada satu negarapun yang sanggup menanganinya secara sendiri.

Dalam konteks hak asasi manusia, kemerosotan kondisi hak asasi manusia yang terjadi amat cepat menjadi bahan ekspos media. Jika tidak ada mekanisme dan hukum internasional maka kondisi hak asasi manusia yang merosot dapat menjadi spekulasi bertahun-tahun. Kondisi inilah yang membuat banyak pembela hak asasi manusia mencita-citakan suatu mekanisme.

Mekanisme ini dimulai dan dikembangkan, terutama sebagai mekanisme PBB, dan lama-kelamaan, menjadi hukum internasional.

3. Inform-consent dan public action

Ijinkan juga saya menggunakan pemikiran Amartya Sen (Sen, 2000) untuk melihat soal mengapa. Sen menunjuk bahwa tersedianya informasi membuat suatu hal dapat direspon dengan segera (sooner than later). Kasus kelaparan dijadikan contoh dalam penelitiannya bersama Jean Dreze. Kelaparan sering berkepanjangan karena tidak ada informasi yang dapat diakses. Informasi yang dapat diakses menjadi dasar public action.

Dalam hal hak asasi manusia secara umum, secara sederhana, dapat dikatakan bahwa pelanggaran HAM seringkali terjadi berlarut-larut karena tidak ada informasi. Peran dan sumbangan terbesar mekanisme HAM PBB, terutama dalam hal 2 kovenan ini, adalah bahwa tersedia informasi yang diusahakan secara teratur, dapat dengan mudah diakses masyarakat luas, disertai dengan catatancatatan penting dari mekanisme yang dijalankan.

Contoh yang menarik misalnya bisa dirujuk pada persoalan Bosnia-Herzegovina (Michael OFlaherty, dalam Alston 2000). Mekanisme di dalam Human Rights Committee (badan treaty yang menjalankan enforcement ICCPR) menyediakan informasi. Proses acara (proceeding) HRC tersebut menghasilkan comment. Dari informasi dan proses acara ini kemudian dilaksanakan special session2 di dalam sidang Komisi HAM PBB di tahun 1992. (Untuk proses acara special session, dalam kasus lain, East Timor pernah dijadikan agenda di tahun 1999)

4. Tindakan remedial

Informasi dan rejim (point 1) kemudian mendorong tindakan, apakah itu tindakan diarahkan pada pelaku (perpetrator), pada situasi, dan pada korban. Dua kovenan ini mempunyai seperangkat instrumen yang memungkinkan untuk diambilnya suatu tindakan apalagi ada implikasi naiknya mekanisme HAM PBB dari komisi (Commission) ke dewan (Council). Khususnya menyangkut korban, amat penting ada suatu tindakan remedial dimana pemerintah negara anggota dan atau negara pihak wajib untuk menyediakannya. Kasus serdadu anak (child soldiers) di DRC/Kongo (dalam istilah setempat dikenal dengan istilah kadogo), misalnya, dibahas baik di dalam Komisi HAM PBB, maupun dalam badan treaty untuk ICCPR serta hak anak. Tindakan remedial muncul dalam kebijakan PBB untuk melakukan demobilisasi serdadu anak dan Pemerintah Negara Kongo dipaksa untuk turut dalam kebijakan PBB tersebut. (Witness, sebuah NGO yang mengembangkan dokumentasi HAM, memotret fenomena demobilisasi serdadu anak ini dengan amat tajam).

Otoritas 2 Kovenan: Mengapa ditolak? Mengapa diterima? Seberapa efektif?

Pertanyaan berikut adalah apakah mekanisme dari 2 kovenan tersebut memang efektif. Dengan otoritasnya yang terbatas, apakah badan treaty PBB (yang menjalankan fungsi monitoring dan semijudisial) memang punya gigi sehingga hasilnya akan segera diangkat ke tingkat sidang Komisi HAM PBB untuk dijadikan pembahasan secara lebih panas. Kalau memang dibahas dalam sidang komisi, apakah pemerintah negara pelaku kekerasan memang akan comply pada mekanisme PBB?

Tentu saja, seperti penetapan PBB yang lain, ada suatu relativitas dari 2 kovenan ini terhadap hukum atau kebijakan di tingkat domestik. Dinamikanya, sebagai gambaran dan contoh, dapat dilihat sebagai berikut di bawah ini :

1. Kovenan Sipol (ICCPR)

Contoh di bawah ini sekedar memberikan gambaran soal efektivitas kovenan (tentu masih banyak contoh lain) Dalam mekanisme PBB, boleh dibilang, negara Eropa-Amerika Utara mempunyai perangkat hukum pidana yang lebih efektif dibandingkan negara di kawasan lainnya. Hal ini memungkinkan mekanisme kovenan Sipol dapat dengan cepat memberikan pengaruh terhadap kasus yang

bersangkutan. Kasus yang dibahas dalam HRC-Human Rights Committee (badan enforcement kovenan sipol) akan melecut negara pihak untuk serius baik dengan proses domestik maupun dengan proses di PBB. Kasus Irlandia Utara, sebagai contoh, seringkali diajukan secara bersamaan, baik dalam proses pidana domestik di Inggris maupun di mekanisme PBB. Terutama karena muatan hukum darurat Irlandia Utara yang membuat terjadi pelonggaran enforcement kovenan sipol, maka proses di PBB menjadi pelecut yang efektif. Dengan situasi yang sama, justru karena sistem hukum pidana domestik sudah lebih efektif, penetapan dari PBB seringkali tidak begitu berpengaruh. Artinya, hukum domestik lebih cepat, sehingga proses di PBB lebih menjadi catatan atas proses domestik. Negara yang bukan pihak dalam kovenan sipol tentu saja luput dari enforcement kovenan sipol. Hal ini membuat proses enforcement dari kovenan tidak efektif dalam merespon kasus tertentu (tetapi masih bisa menjadi bahan bahasan yang panas dalam sidang Komisi HAM dan sub-Komisi HAM). Kovenan sipol amat persis dan tajam dalam menganalisis konteks pidana, tetapi bagaimana jika kasus itu kemudian menjadi amat banyak (terutama jika membahas kasus kejahatan perang) sehingga amat makan waktu dalam melakukan pembahasannya. Karena memakan waktu yang lama, maka negara pelaku pelanggaran seringkali tidak merasa ditekan, dan tidak melakukan tindakan penanganan, atau tindakan remedial.

2. Kovenan Ekosob

Contoh untuk penggambaran efektivitas kovenan ekosob. Sebagai kebalikan dari kovenan sipol, kovenan ekosob seringkalidipakai oleh negara berkembang untuk mengangkat kasus kemaslahatan. Masalah seperti hutang luar negeri, beras, lapangan kerja, beberapa hal di antaranya, menjadi masalah penting. Alasan yang dipakai, dan dalam hal ini mempunyai tingkat keabsahan yang memadai, adalah bahwa kondisi kemaslahatan masyarakat negara mereka tidak luput dari situasi pascakolonialisme dan tingkah-polah pelaku privat dari negara Eropa-Amerika Utara. Namun juga, menjadi catatan kritis pula, bahwa pemerintah negara berkembang juga tidak mengatakan apapun mengenai kelalaiannya (omission) dan kesengajaan (commission) dalam menciptakan masalah kemaslahatan warga negaranya. Dalam persoalan Afrika, misalnya, kondisi pascakolonial seringkali diangkat dengan mengorbankan fakta bahwa pemerintah negara yang bersangkutan tidak melakukan kebijakan yang perlu dalam persoalan ekosob. Penjualan permata, atau ladang minyak adalah bagian dari tindakan pemerintah negara yang bersangkutan yang menimbulkan masalah menurunya kualitas hidup warga negaranya. Dalam kasus yang amat contentious, negara berkembang justru membawa persoalan kemaslahatan sebagai pembahasan publik, dengan sengaja. Persoalan penghapusan hutang, misalnya, negara berkembang tidak ragu-ragu mempergunakan mekanisme PBB termasuk mekanisme kovenan

ekosob untuk memecahkan masalah tersebut. Negara pemberi hutang, sebaliknya, melihat masalah itu tidak absah dibahas oleh badan HAM PBB. Kewenangan dan penanganan dalam soal hutang ada dalam IMF (Badan Moneter Dunia) atau murni masalah bilateral. Rumusan odiusdebt dianggap tidak memadai untuk masuk dalam kerangka pemecahan masalah hutang. Seringkali hal ini menimbulkan efek kebijakan luar negeri yang kira-kira berbunyi emang gue pikirin.

Indivisibility 2 Kovenan: komentar evaluatif

1. Gagasan Amartya Sen

Perkenankanlah, sekali lagi, saya mempergunakan gagasan Amartya Sen untuk membahasa bagaimana dua dimensi hak (sipol dan ekosob) sebenarnya utuh. Mekanisme enforcement baik dalam tingkat PBB maupun di dalam tingkat domestik berbeda lebih karena alasan sejarah perang dingin (blok barat mementingkan sipol, dan blok komunis mementingkan ekosob) dan lebih karena alasan presisi dan profesionalitas.

Secara khusus, saya memakai argumen Sen ini untuk menjelaskan, dan juga untuk berargumen apakah memang sipol dan ekosob ini memang bisa secara filosofi dan hukum dijelaskan. Atau juga untuk berargumen bahwa pelanggaran hak ekosob, di tingkat masyarakat, sebenarnya juga adalah pelanggaran hak sipol. Sen membuat argumen yang kuat dan tajam (compelling argument) meski dia tidak secara khusus menggeluti mekanisme dan hukum hak asasi manusia internasional.

Sen melakukan usaha terus-menerus berusaha memecahkan conundrum antara 2 hal: freedom dan justice. Freedom menjadi dasar argumen dari kovenan sipol, dan justice menjadi dasar argumen kovenan ekosob.

Freedom dalam pengertian klasik, mengarah pada konsep individu yang biasanya merujuk pada pemikiran Adam Smith, David Hume, dan dalam bagian tertentu John Locke). Lebih lanjut, secara intelektual freedom dirumuskan (dengan amat sukses) oleh Robert Nozick (Anarchy, State and Utopia), dan Friederich von Hayek (road to serfdom). Dalam sejarah Indonesia, sebagian perdebatan ini dicerminkan pada perdebatan founding fathers dalam merumuskan antara hak individu dan pemajuan sosial dalam konstitusi (UUD 45) dengan rumusan pertanyaan untuk apa individu dilindungi kalau hal tersebut tidak memajukan kemakmuran masyarakat

Hayek melihat bahwa sebenarnya layanan publik negara (bahkan jika itu memang bertujuan melindungi warga negara) hanya akan membuat warga negara hidup dalam perbudakan modern (serfdom). Sedang Nozick melihat bahwa hak milik adalah mutlak, tidak soal bagaimana manusia mendapatkan hak miliknya itu.

Kelemahan terbesar dari konsep ini adalah sifatnya yang indifferent terhadap pewujudan freedom dalam kehidupan praktis dan sehari-hari, dan terhadap fenomena free rider. Penggambarannya adalah sebagai berikut: Menjadi pengetahuan umum bahwa freedom juga dapat digunakan untuk merugikan orang lain, bahkan jika hal itu atas nama kebaikan. Tindakan spekulasi (penimbunan beras, perdagangan valuta asing, perdagangan senjata, eksploitasi sumber daya alam) semuanya tidak tahan dengan argumen bahwa itu semua justru menjadi penyebab kehidupan manusia kalau tidak dalam jangka pendek, bisa dalam jangka panjang). Tindakan spekulasi (penimbunan beras, perdagangan valuta asing, perdagangan senjata, eksploitasi sumber daya alam) jutru sering dilakukan dengan sadar dan sengaja di atas (at the expense) kehidupan dan penghidupan masyarakat. Menarik mengamati ketika Enron kolaps, dinamika ekonomi AS juga mengalami downturn karenanya. Dengan ini, dapat dilihat bahwa tindakan privat dapat menyebabkan kesengsaraan banyak orang.

Dalam soal justice, John Rawls (juga dengan amat sukses) membantah kemutlakan hak milik, dan mendorong konsep prioritas keadilan. Konsep prioritas keadilan membawa pada tindakan khusus (special tretment).

Kelemahan argumen, menurut Sen, ada baik dalam prioritas itu sendiri maupun dalam eksesnya bersifat draconian dan/atau pemaksaan. Keadilan yang dirumuskan dalam prioritas itu memang tidak perlu diperdebatkan. Ambil contoh, misalnya, Singapura yang amat makmur secara ekonomi dengan welfare-state yang nyaris sempurna, namun dalam konteks hak berpendapat dan berpolitik dibatasi dengan amat tajam. Ada anggapan bahwa ekonomi dan welfare yang sudah diwujudkan dengan otomatis akan mewujudkan hak sipol.

Argumen Sen dalam merumuskan indivisibility hak sipol dan ekosob dapat dirumuskan sebagai berikut: p.8

*i+t also pointed to the remarkable fact that economic unfreedom, in the form of extreme poverty, can make a person a helpless prey in the violation of other kinds of freedom.Economic

unfreedom can breed social unfreedom, just as social or political unfreedom can also foster economic unfreedom

Sen, dengan ini, juga menyatakan pentingnya perdebatan publik (public discourse) dan proses komunikasi yang menghasilkan nilai dan norma sosial.

2. Nulla Crimen Sine Lege

Dua kovenan ini pun sebenarnya masih dalam perkembangan progresif untuk menerjemahkan persoalan pidana. Seperti kita tahu bahwa setiap pelanggaran HAM termunculkan (implies) bentukbentuk pidana, dari yang mild sampai yang serius. Dua kovenan ini berkembang seturut bentukbentuk pidana tersebut. Jika kita melihat dokumen dalam Human Rights Committee (HRC badan enforcement kovenan sipol) maupun Committee on Economic, Social, Cultural Rights (badan enforcement kovenan ekosob), maka kita bisa melihat bahwa mekanisme 2 kovenan ini memunculkan banyak implikasi pada hukum internasiona, dan kemudian pada hukum domestik. Jika ada keberatan dari negara pihak, atau negara anggota PBB pada umumnya, maka para judiciary justru berargumen bahwa hal ini membuat perkembangan hukum berlangsung secara sehat, karena segala sesuatunya selalu dibahas (contested) dan terukur, dan dengan ini sebenarnya ditegaskan prinsip imparsialitas dari hak asasi manusia. Nulla Crimen Sine Lege, tidak ada kejahatan yang ditindak di luar hukum.

Mekanisme HAM Regional: Perkembangan Mekanisme 2 Kovenan

Perkembangan terbaru saat ini yang patut diamati adalah proses ASEAN untuk merumuskan Piagam ASEAN (ASEAN Charter). Dengan alasan bahwa sekarang sudah saatnya bagi ASEAN untuk mempunyai piagam, dan dengan ini mendorong akuntabilitas pemerintah negara anggota dengan warga negara anggota. Salah satu yang menjadi pengembangan di dalam soal mekanisme HAM regional ASEAN. Sebagai titik mula, menurut pengamatan, Hak Perempuan-Anak dan Masalah Migran akan menjadi 2 isu yang dikembangkan untuk dibahas (ini karena dibentuk 2 kelompok kerja di ASEAN untuk membahas 2 hal tersebut).

Mekanisme HAM regional di ASEAN adalah sesuatu yang perlu didorong, meski tentu kita tidak bisa langsung menikmati pembahasan mekanisme 2 kovenan (mungkin suatu saat nanti sampai ke sana). Sebagai benchmarking, kita dapat melihat mekanisme serupa di Uni-Eropa (Europan Convention on Human Rights, beserta courtnya) dan di kawasan Amerika Latin (Inter American

Human Rights Mechanism). Mekanisme regional ini penting sebagai pengembangan dari enforcement 2 kovenan tersebut. Seperti yang kita lihat dalam proses dan dokumentasi European Court on Human Rights, kasus-kasus di dalam negeri ini dibahas juga di tingkat Eropa sehingga korban dan pekerja HAM dapat semakin menegaskan compliance negara terhadap ketentuan HAM internasional.

Indonesia yang dipilih dengan angka voting kedua tertinggi di Asia (sesudah India) di dalam Dewan HAM mempunyai kesempatan juga untuk mengembangkan mekanisme enforcement HAM di tingkat regional. (Bersama Indonesia, Filipina dan Malaysia juga menjadi anggota Dewan HAM) bersamaan dengan implikasi dari ratifikasi 2 kovenan oleh pemerintah Indonesia Desember 2005 lalu. Bagi korban, pekerja HAM, dan Komnas HAM, untuk menyebut di antara aktor penting, harus aktif untuk menerjemahkan 2 kovenan itu dalam sistem dan praktik hukum di Indonesia, dan membuat mekanisme regional HAM ASEAN mendapatkan dampak dari enforcement domestik tersebut.

Anda mungkin juga menyukai