Anda di halaman 1dari 3

Berkenalan dengan Analisa Wacana Kritis

Praktek-praktek wacana (Contoh 1) Salah satu strategi orde baru untuk membungkam pihak-pihak yang bersikap kritis (bahkan menentang atau menolak) terhadap pemerintahan adalah dengan stigmatisasi (seperti GPK/Gerakan Pengacau Keamanan atau anti-Pancasila). Stigma itu sengaja ditempelkan agar penguasa mendapatkan legitimasi untuk merepresi suara-suara yang kontra terhadap dirinya. Pihak yang mendapatkan stigma, dengan segera harus berurusan dengan pihak yang berwajib karena dianggap bertindak subversif (melawan pemerintahan). Dengan praktek tersebut, Orba menempatkan dirinya sebagai pihak yang benar dan baik, sedangkan yang distigma adalah pihak yang salah dan jahat. (Contoh 2) Sebelum Orde Baru berkuasa, pada saat Indonesia baru mendapatkan kemerdekaanya, Belanda kembali berupaya untuk mendapatkan wilayah Indonesia melalui serangan militer. Tindakan Belanda ini bagi bangsa Indonesia disebut sebagai aksi agresi. Sedangkan Belanda sendiri menyebutnya sebagai aksi polisionil. Kedua istilah ini mempunyai praktek yang sama namun memiliki makna yang berbeda. Istilah aksi polisionil menempatkan Indonesia sebagai bagian dari Belanda sehingga serangan militer Belanda sah untuk mengamankan wilayahnya. Dari sudut pandang ini, orang-orang yang mengangkat senjata melawan Belanda disebut sebagai pemberontak. Sedangkan istilah agresi menempatkan Indonesia sebagai wilayah berdaulat yang menjadi korban serangan militer Belanda. Orangorang yang melawan Belanda mengiidentifikasikan dirinya sebagai pejuang kemerdekaan. (Contoh 3, ini masih sangat mungkin diragukan) Motor Mio yang (katanya) sangat mudah digunakan, ditampilkan sebagai sebuah kendaran untuk kaum hawa. Dengan pencitraan tersebut, laki-laki dianggap tidak pantas untuk mengendarainya. Sebaliknya, motor Tiger 2000 ditampilkan sebagai sebuah kendaraan untuk kaum adam. Sehingga perempuan yang mengendarainya dianggap tomboy atau bersifat kepria-priaan. Menempelkan kesan feminin dan maskulin di motor merupakan bagian dari strategi pemasaran yang tujuannya hanya satu yaitu menjual produk sebesar-besarnya untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Contoh-contoh di atas memperlihatkan praktek-praktek wacana membentuk pengetahuan publik. Dalam contoh tiga, kuasa pengetahuan dimiliki oleh pemilik modal. Pemodal mendefinisikan motor sesuai dengan kehendaknya untuk mencapai pasar yang dikehendakinya sehingga motor pun pada akhirnya memiliki jenis kelamin. Sedangkan pada contoh satu dan 1

dua, kuasa pengetahuan dimiliki oleh pemodal yang terepresentasikan melalui negara. Orba tidak dapat dilepaskan dari cengkraman modal asing yang mengambil bentuk utang luar negeri. Sedangkan pemerintah Belanda, tidak terlepas dari kepentingan para pengusaha Belanda yang menanamkan modalnya di Indonesia pada masa penjajahan. Contoh diatas juga memperlihatkan bagaimana kelompok yang kurang dominan dieksploitasi oleh kelompok yang lebih dominasinya untuk kepentingan kelompoknya. Orba sebagai kelompok dominan (pada saat itu) menyalahgunakan kekuasaannya untuk menghancurkan penentangnya. Pada contoh dua, hal yang sama juga berlaku untuk Belanda. Sedangkan untuk contoh tiga, pemodal menempatkan publik semata-mata sebagai pasar (konsumen). Tentang Wacana Dalam studi linguitik, wacana menunjuk pada kesatuan bahasa yang lengkap, yang umumnya lebih besar dari kalimat, baik disampaikan secara lisan atau tertulis. Wacana adalah rangkaian kalimat yang serasi, yang menghubungkan proposisi satu dengan proposisi lain, kalimat satu dengan kalimat lain, mementuk suatu kesatuan. Definisi paling menarik adalah definisi Foucault (1972) yang menempatkan wacana kadang kala seagai bidang dari semua pernyataan, kadang kala sebagai seuah individualisasi kelompok pernyataan, dan kadang kala sebagai praktek regulatif yang dilihat dari seuah pernyataan. Di sini wacana tidaklah dipahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi sesuatu yang memproduksi yang lain (sebuah gagasan, konsep atau efek). Analisa Wacana Kritis Menurut Fairclough dan Wodak, analisis wacana kritis melihat wacana pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan sebagai bentuk dari praktik sosial (Eriyanto, 2003:7). Menggambarkan wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis di antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya. Prakek wacana bisa jadi menampilkan efek ideologi: ia dapat memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan perempuan, kelompok mayoritas dan minoritas melalui mana perbedaan itu direpresentasikan dalam posisi sosial yang ditampilkan. Mengutip Fairclough dan Wodak, analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana melalui bahasa kelompok sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan kebenaran versinya masing-masing. 2

Kekuasaan, Dominasi, dan Akses Dalam pendekatan Marxis, masyarakat dilihat sebagai suatu sistem kelas dan sistem dominasi (Eriyanto, 2003:22). Kelas yang lebih mapan kemudian akan berusaha mendominasi kelas yang kurang mapan untuk mempertahankan status quo. Dominasi inilah yang melahirkan dan memastikan kepatuhan terhadap ideologi kelas yang sedang berkuasa (Althusser, 2004:10) dan melanggengkan kekuasaan kelas dominan. Dominasi merupakan praktik penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa atau kelompok sosial yang berkuasa yang mengakibatkan terjadinya berbagai ketidakadilan sosial seperti ketidakadilan politik, budaya, kelas, etnis, ras, dan gender (van Dijk, 1993a:109, 1993b:250). Dominasi juga berarti akses istimewa untuk masuk dalam berbagai wacana atau event komunikasi. Hal itu juga berarti bahwa kelompok dominan memiliki kesempatan lebih untuk mengakses pemikiran orang banyak dan melakukan praktek kekuasaan (van Dijk, 1993b:109). Dominasi berkaitan erat dengan kekuasaan sosial (social power) yang dimiliki oleh suatu kelompok sosial. Dalam pengertian van Dijk, kekuasaan sosial merupakan relasi sosial antar kelompok sosial dalam bentuk kontrol yang dimiliki oleh suatu kelompok terhadap tindakan dan pikiran kelompok yang lainnya (van Dijk, 1995b:10, 1993b:108). Kekuasaan semacam itu berasal kepemilikan akses yang dimiliki suatu kelompok terhadap resources sosial seperti kekuatan, kekayaan, pengetahuan atau jabatan. Kekuasaan sosial ini direproduksi melalui representasi mental yang socially shared. Menurut van Dijk, kekuasaan dan dominasi yang dimiliki suatu kelompok dapat diukur melalui kontrol yang mereka miliki terhadap (akses) wacana. Dalam penjelasannya: discourse control is a form of social action control, but also and primarily that it implies the conditions of control over the minds of other people, that is, the management of social representations. More control over more properties of text and context, involving more people, is thus generally (though not always) associated with more influence, and hence with hegemony (van Dijk, 1993a:257).

Anda mungkin juga menyukai