Anda di halaman 1dari 2

Penembak Misterius Berkeliaran di Papua

PENEMBAK misterius berkeliaran di Papua. Kali ini, rombongan polisi yang berpatroli di areal PT Freeport Indonesia diserang. Anggota Brimob Briptu Marselinus tertembak pada wajah. Briptu Marselinus ditembak pada saat berpatroli bersama anggota polisi lainnya pada pukul 11.20 WIB. Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Saud Usman Nasution di Jakarta, kemarin, menjelaskan penembakan dilakukan dari arah hutan. Itulah peristiwa penembakan keenam dalam dua pekan terakhir di area PT Freeport, Kabupaten Mimika, Papua. Tercatat enam orang tewas dalam dua dari enam peristiwa penembakan yang pelakunya belum diketahui tersebut. Kepolisian mengaku kesulitan meringkus penembak misterius tersebut. "Untuk diketahui, medan di sana sangat sulit. Kami sendiri, petugas keamanan itu, tidak hafal medan di situ," tukas Saud. Selain itu, kata Saud, kondisi cuaca yang dingin dan transportasi yang kurang memadai mengakibatkan ruang gerak anggota kepolisian di Papua sulit mengejar. Menurut dia, para pelaku penembakan itu memiliki fisik kuat sehingga dapat menembus medan perbukitan hanya dengan berjalan kaki. Puncak kekerasan di Papua terjadi saat pembubaran kongres pada 19 Oktober. Hasil investigasi Komnas HAM menyimpulkan aparat keamanan telah melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia. Namun, Kapolri Jenderal Timur Pradopo di Jakarta, kemarin, memastikan tidak ada pelanggaran hak asasi manusia dalam pembubaran paksa kongres. Operasi militer Rentetan aksi kekerasan masih terus terjadi hingga kini. Itulah sebabnya Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) meminta pemerintah menghentikan pendekatan kekerasan yang diterapkan di Papua. "Kekerasan hanya menimbulkan dendam baru dan terjadi lingkaran kekerasan. Kami meminta pemerintah menghentikan segala bentuk operasi militer dan menekankan dialog dalam penyelesaian masalah di Papua," tutur Sekretaris Umum PGI Gomar Gultom di Jakarta, kemarin. Menurut PGI, eskalasi tindak kekerasan di Papua yang semakin tinggi memperlihatkan kegagalan strategi pembangunan yang diterapkan pemerintah. "PGI memandang bahwa pemerintah telah gagal menyejahterakan rakyat Papua, yaitu penduduk asli Papua, secara menyeluruh." Alhasil, lanjut Gomar, penduduk asli Papua masih merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah dan merasa kemerdekaan mereka direnggut di tanah mereka sendiri, bahkan diperlakukan secara tidak manusiawi oleh aparat keamanan atas tuduhan makar. PGI mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk merealisasikan janjinya melakukan pendekatan dengan hati dan komunikasi konstruktif dalam membangun Papua. Presiden sudah menunjuk Bambang Darmono untuk mengetuai Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B). Namun, hingga kini Bambang tak kunjung dilantik. Juru Bicara Presiden

Julian Aldrin Pasha mengatakan tujuan utama pembentukan UP4B tersebut menegaskan kembali komitmen Presiden menggunakan pendekatan kesejahteraan dalam pembangunan Papua. Kepolisian Daerah Papua membutuhkan helikopter untuk mengejar penembak misterius di areal PT Freeport Indonesia di Timika, Papua. Kapolda Papua Irjen Polisi Bigman Lumban Tobing mengatakan kondisi geografis dan medan yang sulit menjadi salah satu kendala penangkapan pelaku penembakan di Timika. Kendala yang kami hadapi adalah geografis wilayahnya. Hutannya masih lebat, tebingnya curam, kami kesulitan dalam pengejaran, katanya kepada wartawan di Jayapura, Senin, 7 November 2011. Kapolda Lumban mengatakan selama ini pihaknya sudah berupaya untuk mencari pinjaman helikopter agar mempercepat proses penangkapan para pelaku penembakan. Namun upaya itu tak kunjung berhasil. Kami sudah berupaya meminjam heli perusahaan, tapi tidak diizinkan, jelasnya. Polisi menilai taktik yang digunakan para penembak misterius dalam setiap aksinya yakni menembak secara membabi-buta dan setelah menembak mereka lari ke hutan. Kami tidak akan berhenti bekerja mengejar pelaku hingga tertangkap, ujarnya Diaz menyatakan ada tiga penyebab kenapa persoalan Papua tak pernah selesai. Pertama, terkait sejarah bergabungnya Papua ke Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat 1969. Diaz menilai, masyarakat Papua memandang sejarah Pepera belum selesai hingga kini. "Pemerintah dan rakyat Papua harus segera berdialog menyikapi masalah ini," ucap Diaz. Dialog diperlukan karena ada perbedaan pandangan antara rakyat Papua dengan pemerintah dalam memandang Pepera. "Pemerintah menganggap persoalan ini sudah selesai, sementara Papua tidak," kata dia. Persoalan kedua, menurut Diaz, adalah sejarah kekerasan dan pelanggaran HAM Papua. Diaz menyatakan, pelanggaran HAM tidak pernah diselesaikan secara tuntas. "Kalau Komnas menemukan pelanggaran, peradilan HAM seharusnya melaksanakan itu," ucap anggota Fraksi Partai Demokrat ini. Diaz mengutarakan, persoalan krusial lain Papua adalah eskploitasi sumber daya alam. Menurut dia, warga Papua tidak pernah mendapat kompensi yang jelas. Eksploitasi terus dilakukan sementara rakyat Papua masih tetap di bawah garis kemiskinan. Dia mengkritik pembentukan Tim Pengawas Otonomi Khusus untuk Aceh dan Papua di DPR. Pembentukan tim ini dinilai tidak melibatkan perwakilan masyarakat setempat. Padahal, untuk menuntaskan masalah di wilayah ini perlu pendekatan kultural dan sosiologis. "Tapi saya tak dilibatkan," katanya. Tim Pengawas ini seharusnya, kata Diaz, melaporkan hasilnya secara berkala ke publik. "Jangan ditumpuk dan diakumulasi sehingga jadi bom waktu," dia menjelaskan.

Anda mungkin juga menyukai