Anda di halaman 1dari 4

Indonesia , adalah negara yang terdiri dari banyak suku bangsa.

Mulai dari suku Jawa , suku Batak , suku Sunda, suku Betawi , dan lain sebagainya. Keanekaragaman suku bangsa yang ada di Indonesia itu, yang menyebabkan adanya keanekaragaman budaya serta adat-istiadat di Indonesia .
Menurut hukum adat, wilayah yang dikenal sebagai Indonesia sekarang ini dapat dibagi menjadi beberapa lingkungan atau lingkaran adat (Adatrechtkringen). Seorang pakar Belanda, Cornelis van Vollenhoven adalah yang pertama mencanangkan gagasan seperti ini. Menurutnya daerah di Nusantara menurut hukum adat bisa dibagi menjadi 23 lingkungan adat berikut: Aceh, Gayo dan Batak, Nias dan sekitarnya, Minangkabau, Mentawai, Sumatra Selatan, Enggano, Melayu , Bangka dan Belitung, Kalimantan (Dayak), Sangihe-Talaud, Gorontalo, Toraja, Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar), Maluku Utara, Maluku Ambon, Maluku Tenggara, Papua, Nusa Tenggara dan Timor, Bali dan Lombok, Jawa dan Madura (Jawa Pesisiran) , Jawa Mataraman, serta Jawa Barat (Sunda)

Dari banyaknya lingkungan adat yang tersebar di Indonesia, kami ingin Lebih membahas secara lebih mendalam mengenai adat Lindu di Sulawesi, khususnya mengenai peranan hukum adat di daerah Lindu dalam penyelesaian suatu sengketa. Sebelum membahas mengenai penyelesaian sengketa, mari kita lihat penjelasan dari adat lindu itu sendiri.

Berlakunya hukum adat bagi pelaku yang melanggar ketentuan di banyak tempat di

Indonesia sudah jarang ditemukan. Tetapi, tidak di daerah Langko - Lindu, Sulawesi Tengah, yang pada bulan Februari kemarin tercatat 13 pelaku yang melanggar adat karena mengambil atau merusak hutan dalam kawasan konservasi dalam hal ini Hutan Hadat Masyarakat Lindu. Dalam berita acara pengadilan adat yang dikirimkan oleh Gerakan Pemuda Adat Lindu (GEPAL) ke redaksi WALHI di Jakarta, disebutkan bahwa pada hari Senin (3/2) lalu telah disidangkan Pengadilan Adat atas 13 nama yang dicatat karena pelanggaran di atas. Dalam persidangan tersebut Lembaga Adat menjatuhkan Sangsi Adat yang ditulis sebagai berikut: "Tiga Puluh Tiga Tiga" yang berarti Tiga Kerbau, Tiga Puluh Dulang dan Tiga Mbesa. Untuk penebusan dari sanksi adat yang dikeluarkan, karena kesulitan memberikan dalam bentuk asli para pelaku bisa menggantinya senilai dengan uang yang telah ditentukan oleh lembaga adat. Untuk kerbau dihargai Rp. 1. 500. 000 per ekor, dulang yaitu alat makan semacam piring besar senilai dengan Rp. 300.000, dan terakhir mbesa atau sesajian yang biasa dipakai dalam acara adat dihargai Rp. 150.000. Total jenderal yang harus dibayar oleh ketiga belas pelaku itu adalah Rp. 1. 950.000. Keputusan itu diketahui secara resmi oleh Kepala Desa Langko Goba Paa Duu beserta pamong desa tersebut. Kedudukan lembaga adat di kawasan Taman Nasional Lore Lindu di Palu yang diketuai Daniel Tarese memang masih berpengaruh kuat, terbukti dengan berlakunya hukum adat.

Untuk memperjelas mengenai contoh penyelesaian sengketa di atas, yaitu perusakan hutan adat masyarakat Lindu , maka berikut akan dijelaskan mengenai upacara adat masyarakat Lindu sebagai perumus hukum adat, juga sebagai salah satu cara menyelesaikan sengketa menurut adat Lindu . Dimana upacara adat tersebut dinamakan Kapotia Nulibu Ada

Anda mungkin juga menyukai