Anda di halaman 1dari 11

c

Jurnal Pusat Studi Wanita Vol. XII, Nomor 2, September 2008 ISSN: 1410-6248

PEKERJA RUMAH TANGGA : Masalah dan Solusi Pemberdayaan


Oleh : Keppi Sukesi*

Abstrak Kajian ini bertujuan untuk: 1) mengidentifikasi potensi, peluang, masalah dan kendala yang dihadapi PRT; 2) menganalisis peran aktif masyarakat, pemerintah dan swasta dalam pemberdayaan PRT; 3) Merumus-kan solusi alternatif pemberdayaan PRT. Metode kajian dengan pendekatan kualitatif, menggunakan studi kasus dan Rapid Rural Appraisal (RRA). Lokasi penelitian adalah Surabaya, Malang, Madiun, Jember dan Blitar. Pengambilan data melalui wawancara semi struktur dan studi mendalam terhadap 50 orang PRT dan 25 orang majikan. Data sekunder diperoleh dari Dinas Tenaga Kerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan PRT (80%) termasuk kelompok usia produktif yaitu 15 s/d 50 tahun, pendidikan rata-rata PRT adalah SLTP ke bawah. Sebagian besar PRT berasal dari keluarga petani, dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah sehingga kemiskinan menjadi faktor pendorong perempuan untuk bekerja sebagai PRT, dengan tujuan mencari nafkah, menghidupi keluarganya, keinginan untuk bekerjja secara mandiri, mencari pengalaman di kota. PRT menunjukkan potensi yang besar, sementara perkotaan memberikan peluang kerja bagi PRT. Masalah yang seringkali dihadapi oleh PRT adalah kurangnya ketrampilan, sikap mental nrimo dan takut pada majikan, lingkungan sosial, lemahnya ekonomi keluarga, tingkat upah, kondisi kerja, kontrak kerja, jaminan sosial dan kesehatan. Masalah eksternal yang dihadapi adalah tidak adanya pemberdayaan, teknologi masuk desa, tidak adanya perlindungan hukum, posisi tawar PRT yang rendah, ketidak berdayaan, dan kemiskinan. Kendala budaya masih menjadi penghambat bagi PRT. Etos kerja, pengalaman dan ketrampilan PRT merupakan potensi yang dapat dikembangkan. Peluang kerja bagi PRT sangat terbuka karena semakin banyaknya PRT bekerja di luar negeri dengan gaji yang lebih besar. Model pemberdayaan PRT yang sesuai adalah meningkatkan ketrampilan PRT, memberikan perlindungan hukum, perlindungan hak-hak PRT, meningkatkan profesional PRT, memperhatikan batasan usia yaitu 15 tahun. Hakhak dasar yang perlu diperhatikan adalah : gaji, makan, pekerjaan, istirahat, adanya peraturan kerja, lingkungan keluarga yang kondusif. Pemberdayaan majikan melalui media perlu dilakukan agar terjadi kesamaan persepsi dengan PRT.

Keppi Sukesi : Pusat Penelitian Gender dan Kependudukan [PPGK] Lembaga Penelitian - Universitas Brawijaya Malang. E-mail : keppi_s@yahoo.com

Nabila

17

c
Pendahuluan Dalam perkembangan perekonomian Indonesia, jumlah tenaga kerja sector informal menunjukkan data yang semakin meningkat setelah adanya krisis ekonomi pada tahun 1998. Jumlah tenaga kerja perempuan pada tahun 1980 mencapai 75,49% hingga sampai dengan tahun 1997 menurun tajam mencapai 49,31% (BPS, 1997), namun antgka tersebut meningkat kembali setelah tahun 1997 sampai sekarang. Gejala tersebut menunjukkan bahwa pada masa krisis ekonomi banyak kegiatan sektor formal yang tidak beroperasi yang berdampak meningkatnya PHK, dimana tenaga kerja perempuan umumnya lebih dahulu di PHK, sehingga untuk mempertahankan kehidupannya mereka beralih usaha ke sector informal. Sebagaimana dikemukakan Tjandraningsih (1998) bahwa krisis ekonomi berakibat pada meningkatnya jumlah buruh yang di PHK sehingga tenaga kerjaj yang menganggur juga semakin bertambah. Untuk mempertahankan kehidupannya mereka beralih pekerjaan di sector informal. Bekerja sebagai pembantu rumahtangga (PRT) adalah salah satu alternatif. Pekerjaan rumahtangga atau pekerjaan domestik adalah pekerjaan yang selama ini dianggap sebagai pekerjaan perempuan, yang dinilai secara bias gender. Dianggap sebagai kodrat dan keharusan bagi perempuan. Akibatnya ketika pekerjaan rumahtangga masuk ke ranah komersial maka dinilai sebagai pekerjaan sampingan, berupah rendah dan pekerjanya mendapat imbalan yang rendah. Di Provinsi Jawa Timur, pekerjaan sebagai pembantu rumahtangga (PRT) sejak lama digelutii oleh kaum perempuan. Dari sejarahnya pekerjaan sebagai PRT muncul sebagai akibat system stratifikasi dalam masyarakat, yaitu adanya si kaya dan si miskin. Si kaya memerlukan tenaga kerja untuk melaksanakan pekerjaan rumahtangga, sebaliknya si miskin
18
Jurnal Pusat Studi Wanita UMY

memerlukan pekerjaan untuk mendapatkan penghasilan. Secara tradisional hubungan antara majikan dengan pekerja merupakan hubungan patrontclient. Di Jawa dengan kedudukan sebagai abdi, pihak PRT berada di bawah kekuasaan majikan. Jam kerja, imbalan yang diperoleh, jenis pekerjaan yang dilakukan, semuanya ditentukan oleh majikan. Dalam perkembangannya, sistem upah berlaku untuk PRT. Karena lingkup pekerjaan di dalam rumah, melakukan pekerjaan domestik, sehingga PRT dianggap layak menerima upah yang tidak besar. Kota-kota besar merupakan tempat yang banyak mempekerjakan PRT. Angka statistik menunjukkan bahwa pada tahun 2003 DKI Jakarta merupakan daerah terbesar yang mempekerjakan PRT yaitu sebanyak 901 566 orang dengan jumlah rumahtangga 1 956 933. Kedua, Jawa Timur dengan jumlah PRT 402 762 orang, jumlah rumahtangga 9 142 654 (Jurnal Perempuan, no 399 tahun 2005). Sejak 20 tahun terakhir fenomena PRT telah memasuki pasar internasional, dengan standard upah yang cukup tinggi dibanding PRT yang bekerja di dalam negeri. Permasalahan yang muncul adalah karena lingkungan pekerjaannya di dalam rumah, dianggap bukan pekerjaan komersial maka tidak ada standard upah minimal, tidak ada ketentuan jam kerja, hak cuti, jaminan kesehatan dan jaminan sosial formal. 2. Tujuan Secara umum kajian ini bertujuan untuk memetakan permasalahan PRT di Provinsi Jawa Timur, sesuai dengan lingkup kerja, kondisi, potensi dan kebutuhannya. Secara khusus kajian ini bertujuan untuk : 1) mengidentifikasi potensi, peluang, masalah dan kendala yang dihadapi PRT; 2) menganalisis profil aktivitas PRT yang telah beralih menjadi TKW yang bekerja di luar negeri sebagai buruh migrant. 3) Merumuskan model alternatif pemberdayaan PRT.

c
3. Kajian Pustaka 3.1. Konsep tenaga kerja sector informal Dalam masyarakat berkembang, ada 4 istilah yang sering dikacaukan penggunaannya yaitu antara buruh, pekerja, karyawan dan pegawai. Kekacauan penggunaan keempat istilah tersebut disebabkan beberapa faktor yang berkembang dalam masyarakat. Istilah buruh, misalnya, digunakan karena buruh selalu dihubungkan dengan pekerjaan kasar, pendidikan rendah, penghasilan rendah pula. Keadaan ini memang tidak dapat dilepaskan dari sejarah masa lalu. Pada jaman kolonial, istilah buruh hanya digunakan untuk menunjuk orang yang melakukan pekerjaan tangan atau pekerjaan kasar, misalnya kuli, tukang, mandor. Sementata itu orang yang melakukan pekerjaan yang faktor utamanya bukan tangan atau tenaga, misalnya juru tulis disebutkan pegawai. Menurut aturan hukum, ke 4 istilah tersebut tidak dapat dipertukarkan penggunaannya, karena mempunyai makna yang berlainan. Soepomo (1968) menggunakan istilah pekerja dengan swa pekerja yang intinya setiap orang yang bekerja atas tanggung jawab dan resiko sendiri (Budiono, 1995). Untuk istilah buruh ada 2 Undang-undang yang secara tegas memberikan batasan yaitu: UU No:33 tahun 1947 pasal 6 ayat 1 yang menyebutkan buruh adalah setiap orang yang bekerja pada majikan di perusahaan yang diwajibkan memberi tunjangan dengan mendapatkan upah. Sedangkan UU No. 22 tahun 1957 pasal 1 ayat 1 mengemukakan buruh ialah barang siapa bekerja dengan majikan dengan menerima upah. Selanjutnya dalam UU No.14 tahun 1969 tentang ketentuan-ketentuan pokok mengenai tenaga kerja, pasal 1 mengatakan bahwa tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. 3.2 Pembantu Rumah Tangga (PRT) Pengertian Pembantu Rumah Tangga (PRT), berbagai istilah digunakan untuk menyebut pembantu. Istilah panjangnya adalah pembantu rumah tangga. Kemudian, ada juga orang menyebut dengan istilah keren: pramuwisma. Di sebagian kalangan keluarga elite, sebutan bagi mereka lebih wah lagi: house keeper. Kalau kita runtut ke belakang, pada masyarakat tradisional (Jawa), misalnya, akan kita temukan istilah lain lagi, yakni batur, atau rewang, babu, juga jongos. Di keluarga bangsawan, mereka disebut abdi dalem. Masing-masing istilah itu, tentu saja, membawa konsekuensi yang berbeda secara posisional di mata para majikan. Tetapi, secara esensial, keberadaan mereka sama: membantu majikan mengerjakan tugas-tugas kerumahtanggaan atau identik dengan pekerjaan suruh-menyuruh. Apapun istilahnya, lantaran pola hubungan mereka dengan majikan lebih kerap dilihat secara fungsional, maka banyak orang kemudian mengabaikan terhadap peran mereka sebagai manusia dengan segala hak-haknya yang sangat asasi. Bagi majikan, yang mereka tahu pokoknya semua mesti beres. Sebagian besar orang memandang sebelah mata pada pembantu rumah tangga. Mereka, yang biasanya berpendidikan rendah, seringkali tidak pernah diingat jasanya. Baju yang licin disetrika, lantai rumah yang bersih, hasil cucian yang harum adalah sebagian dari hasil kerja mereka. Tapi, tak jarang majikan lupa berterima kasih kepda mereka. Biasanya majikan hanya bisa menyuruh-nyuruh mereka bak seorang ratu kepada rakyatnya. Belum selesai satu pekerjaan, sudah menyuruhnya dengan seabreg pekerjaan lainnya, sampai lupa bahwa tangan mereka hanya ada dua. Tak jarang majikan menambahnya dengan bentakan-bentakan yang mungkin tidak pernah dikeluarkan oleh orang-orang yang mencintainya, Karena kesalahan kecil, misalnya pakaian sobek karena salah

Nabila

19

c
menyetrika. Dengan sedikit gaji yang diberikan, majikan sudah bertingkah seperti seorang yang seolah-olah memiliki dunia mereka. Padahal secara eksistensial mereka sama dengan siapa pun, punya hak untuk menghargai dan dihargai. Sebagai manusia, mereka tak saja membutuhkan pengakuan sosial lewat pemberian pekerjaan dan upah, namun juga pengakuan eksistensial-lewat penyikapan dan perlakuan yang manusiawi. Untuk dan atas nama pihak yang lebih berkuasa, mereka tak segan bertindak semena-mena terhadap pihak yang terkuasai. Beberapa kasus penganiayaan pembantu rumah tangga, bisa diklasifikasikan ke dalam perilaku ini 3.3 Upaya perlindungan terhadap Pembantu Rumah Tangga Semua perlakuan diskriminatif di atas masih diperberat dengan tidak adanya perlindungan hukum yang nyata bagi PRT. Padahal pemerintah Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi internasional yang dapat menjadi rujukan bagi perlindungan PRT. Misalnya konvensi hak anak PBB yang dituangkan dalam KEPRES No. 36/1990. telah juga meratifikasi konvensi ILO No. 138 mengenai batasan usia kerja dengan UU No. 20/ 1999, meratifikasi konvensi ILO 182 mengenai jenis-jenis pekerjaan terburuk bagi anak yang dituangkan dalam UU No 1/ 2000. namun tindakan tersebut tidak akan banyak berarti apabila tidak diikuti dengan pelaksanaan yang konsisten. Beberapa undang-undang dan peraturan-peraturan yang pernah dibuat dan yang terkait dengan pekerja/buruh maupun tentang pembantu rumah tangga, khususnya di Jawa Timur, yaitu: 1. Undang-undang No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
20
Jurnal Pusat Studi Wanita UMY

2. 3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang Otonomi Daerah No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) Intruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Peraturan Daerah propinsi Jawa Timur No. 19 tahun 2000 tentang Rencana Strategis Pembangunan Pemerintah Propinsi Jawa Timur. Peraturan Daerah Jawa Timur No. 10 Tahun 2001 tentang Badan Pemberdayaan Masyarakat Propinsi Jawa Timur Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur No. 188/191/KPTS/2002 tentang TIM Koordinasi Pemberdayaan Perempuan Propinsi Jawa Timur. Surat keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor: 188/ 145/ KPTS/013/ 2003 tentang Komisi Perlindungan Anak Propinsi Jawa Timur. Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur No. 188/99/KPTS/013 /2004 tentang TIM Pengelola Pusat Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Propinsi Jawa Timur. Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur No. 188/48/KPTS/2005 tentang Pokjanal Propinsi Jawa Timur. Perda No 9 Th 2005 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan

3.4. Konsep Pemberdayaan Menghadapi era globalisasi dan liberalisasi pada tahun 2020 mendatang. Indonesia harus memiliki strategi handal dalam pengembangan baik internal maupun

c
eksternal negaranya. Ditinjau dari aspek internal, kita harus mempersiapkan diri untuk mengantisipasi dan mengambil manfaat yang sebesar-besarnya seiring dengan masuknya kekuatan global kedalam kehidupan kebangsaan, keneggaraan dan ke masyarakatan. Sedangkan di tinjau dari aspek eksternal, kita harus mampu berpartisipasi dengan memanfaatkan peluang yang ada sehingga kita dapat memasuki medan global itu sendiri. Dalam era globalisasi, masalah persaingan akan semakin ketat sehingga untuk mengantisipasinya pendekatan pemberdayaan baik individu maupun kelompok masyarakat merupakan salah satu prasyarat bagi pembangunan sosial. Pemberdayaan masyarakat merupakan langkah strategis bagi proses pembangunan manusia yang berkesinambungan, yakni tidak saja hanya memfokuskan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga diperlukan upaya pengembangan sumberdaya manusia baik pria maupun wanita dan pemberdayaan masyarakat. Konsep pemberdayaan merupakan sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan barat yang dapat dipandang sebagai bagian dari system modernisasi diaplikasikan kedalam dunia kekuasaan. Konsep empowerment dan empower yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi pemberdayaan dan memperdayakan merupakan istilah yang harus diucapkan secara hati-hati agar tidak terpeleset menjadi memperdayakan yang sering kali digunakan sebagai ungkapan pelecehan. Menemu-kenali masalah PRT dengan posisi tawar yang rentan memerlukan tindak lanjut untuk meningkatkan posisi dan kondisinya. Pemberdayaan adalah konsep yang perlu diterapkan dan relevan untuk permasalahan PRT. 4. Metode Metode kajian dengan pendekatan kualitatif, menggunakan studi kasus dan Rapid Rural Appraisal (RRA). Lokasi penelitian adalah di lima kota besar di Jawa Timur yang merupakan daerah tujuan PRT yaitu Surabaya, Malang, Madiun, Jember dan Blitar. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara semi struktur dan mendalam terhadap 50 orang PRT dan 25 orang majikan. Data sekunder diperoleh dari Dinas Tenaga Kerja di masing-masing kabupaten. 4.1. Lokasi Adapun wilayah yang ditetapkan sebagai lokasi penelitian dalam kajian ini adalah kota-kota Besar di Jawa Timur, yaitu Surabaya, Malang, Madiun, Jember dan Blitar dengan alasan dan pertimbangan sebagai berikut: a. Bahwa kota-kota tersebut merupakan daerah yang banyak dijumpai tenaga kerja sector informal terutama yang memiliki ciri-ciri kemajemukan terhadap keberadaan tenaga kerja pembantu rumah tangga. b. Bahwa kota-kota tersebut mempunyai berbagai potensi masyarakat dan wilayahnya yang sangat beragam, yaitu kota industri, perdagangan, ddan pendidikan. c. Bahwa kota-kota tersebut menyebar merata secara geografis di sebeluh utara, selatan, timur dan barat propinsi Jawa Timur. 4.2 Sumber Data Sumber data berasal dari enam sumber, yaitu; dokumentasi, rekaman arsip, wawancara, observasi langsung, observasi berperan serta dan perangkat fisik. Adapun data yang dikumpulkan tentunya sangat terkait dengan kajian ini bersumber dari beberapa pihak berikut.

Nabila

21

c
4.3. Informan dan Responden Informan awal sebagai sumber data utama dipilih secara purposive, dalam memilih informan awal, tentunya yang dijadikan landasan utama untuk memilih adalah pengusaan subyek atas persoalan dan informasi yang sedang diteliti, yaitu data berupa keterangan, cerita atau kata-kata yang bermakna yang bernuansa untuk mengungkapkan peranan pembantu rumahtangga dan yang sangat penting disini adalah memiliki informasi dan mau diajak bekerjasama dalam memberikan data dalam rangka pemecahan masalah tentang pembantu rumahtangga. Selain itu juga bahwa informan adalah orang yang dianggap tepat dan bisa dipercaya untuk memberikan sumber data utama yang diperlukan terkait dengan pembantu rumah tangga dalam mengungkapkan fenomena yang hendak di teliti dan dapat memberikan informasi secara jelas berkaitan dengan data yang dibutuhkan. Dalam penelitian ini informan adalah majikan, pengerah PRT dan tokoh masyarakat. Sedangkan responden adalah pembantu rumahtangga di lokasi penelitian yang ditentukan berdasar strata majikan dan diambil secara snowball sampling. Di masing-masing lokasi kajian yang diwawancarai secara mendalam sebanyak 10 orang pembantu rumahtangga dan 5 orang majikan. Proses penentuan responden pembantu rumahtangga didasarkan pada informan kunci yang relevan dengan kajian, seperti tokoh masyarakat formal maupu informal. Saran- saran mereka menjadi acuan dalam penetapan responden. 5. Hasil dan Pembahasan 5.1 PRT Domestik Peta PRT secara geografis menyebar di semua tempat di Jawa Timur, merupakan arus kerja dalam hubungan desa-kota. Desa merupakan daerah pengirim atau penyedia tenaga kerja PRT, kota adalah daerah tujuan
22
Jurnal Pusat Studi Wanita UMY

kerja PRT. PRT juga ada yang berasal dari kelurahan di lingkungan kota, yaitu bagian dari penduduk miskin di perkotaan. Kotakota besar seperti Surabaya, Malang, Jember, dan Madiun adalah daerah tujuan kerja PRT. Demikian juga di kota dan kabupaten Blitar, Tulungagung, Bondowoso, Banyuwangi dan lain sebagainya adalah daerah yang banyak memperkerjakan PRT. 5.2 Profil PRT Gambaran PRT di Jawa Timur adalah sebagai berikut : a. Sebagian besar PRT mempunyai latar belakang berasal dari lingkungan sosial ekonomi yang rendah. b. PRT masih menjadi pilihan bagi banyak perempuan. c. Pada umumnya mereka menikmati pekerjaan sebagai PRT namun tetap menginginkan adanya kenaikan gaji dan suasana kerja yang lebih menyenangkan. d. Menjadi PRT biasanya menjadi alasan untuk hidup bebas. e. Pada umunya PRT sangat potensial dalam hal ketrampilan memasak, sedangkan ketrampilan lain masih kurang. f. Majikan benar-benar memerlukan tenaga PRT untuk membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. h. Pada umumnya majikan masih mau membantu PRT menyelesaikan tugas. i. Pada umumnya PRT menyatakan tidak ada masalah dengan pekerjaannya, yang sering menghadapi permasalahan adalah dalam hubungan sosialnya dengan keluarga majikan. 5.3 Masalah pokok yang dihadapi PRT Masalah pokok yang dihadapi PRT adalah pendidikan, ketrampilan, sikap mental, kultural, jam kerja, beban kerja, jaminan sosial, standar upah kerja, korban tindak kekerasan psikis dan fisik. Secara

c
garis besar masalah tersebut digolongkan menjadi dua, yaitu masalah yang timbul dari internal TKW, dan masalah eksternal TKW terutama dalamm hal hubungan antara PRT dan majikan. Rendahnya pendidikan menjadi masalah bagi PRT, yang terutama disebabkan oleh kondisi ekonomi dan kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan. Kualitas pendidikan yang rendah menyebabkan posisi tawar mereka juga rendah dan kurang terbukanya lapangan kerja formal bagi mereka. Demikian halnya ketrampilan yang diperoleh PRT adalah berasal dari pendidikan tradisional keluarga, tidak ada yang diperoleh dari pendidikan formal. Sikap mental yang menjadi masalah bagi PRT adalah sikap minder, merasa pekerkjaannya sebagai pekerjaan rendahan, pasrah dan nrimo (menerima apa adanya) yang berakibat PRT tidak dapat memilah antara hak dan kewajibannya, dan takut kepada majikan. Ditemui juga PRT yang bereaksi terhadap kondisinya dengan perlawanan diam-diam atau terselubung, dengan sasaran anak-anak majikan yang masih kecil. Perbedaan budaya antara PRT dan majikan dapat menimbulkan masalah apabila masing-masing tidak saling memahami. Beberapa kasus menunjukka bahwa masalah ini sebenarnya bisa diatasi dengan komunikasi yang baik dan setara antara PRT majikan, pemahaman budaya, toleransi, asalkan tidak melanggar kesepakatan kerja, dan memenuhi kaidah norma-norma sosial dan hukum. Kondisi kerja dan kontrak kerja juga merupakan hal yang perlu diperhatikan. Sistem kerja PRT dapat dibagi dua, yaitu bekerja paruh waktu (pocokan) dan bekerja penuh. PRT paruh waktu bekerja antara jam 07.00 sampai dengan 16.00 kemudian pulang kerumahnya. PRT penuh waktu adalah mereka yang tinggal bersama majikan. Permasalahan timbul terutama PRT yang bekerja di rumah makan, karena beban kerja dan jam kerja mereka yaitu dari jam 05.00 sampai dengan 21.00 malam. Dalam hal perjanjian kerja, PRT yang berasal dari agen resmi saja yang mempunyai kontrak kerja formal. Tanpa adanya kontrak kerja yang jelas maka tidak ada batasan bagi PRT terhadapp pekerjaannya, hak serta kewajibannya, dan hak serta kewajiban majikan. Standard upah bagi PRT ditentukan oleh kemampuan majikan dan wilayah, yang ditentukan secara tidak resmi. Tidak ada standard formal. Di daerah Malang misalnya, upah kerja saat ini antara Rp 300.000,- s/d Rp 500.000,- per bulan, dibawah UMR kota Malang sebesar Rp 770.000,5.4 Kendala dan Potensi PRT Adapun kendala yang dihadapi adalah : posisi tawar yang rendah, ketidakberdayaan, kemiskinan, tidak adanya perlindungan, dan wadah melindungi PRT. Stakeholder belum optimal memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada PRT. Dalam hal ini penyalur perlu mendapat perhatian. Lembaga ini bisa dioptimalkan fungsinya sebagai lembaga yang secara langsung memberdayakan dan melindungi PRT. Potensi PRT untuk dikembangkan secara optimal adalah; umur yang produktif, etos kerja, ketrampilan khusus. Peluang ini juga cukup terbuka bagi PRT, di masa depan PRT sangat dibutuhkan sebagai partner kerja ibu rumahtangga. Pada tahun delapan puluhan, pekerjaan sebagai PRT berkembang tidak hanya di dalam negeri tetapi sangat dibutuhkan di luar negeri dengan tingkat upah jauh lebih tinggi. Hal ini menjadi peluang bagi tenaga kerja muda, yang berakibat sulitnya mencari PRT dalam negeri. 5.5 Buruh Migran Perempuan Buruh migrant yang terkenal dengan sebutan TKW (Tenaga Kerja Wanita) adalah tenaga kerja yang mayoritas berasal

Nabila

23

c
dari desa, keluarga petani yang ingin memperbaiki nasib dengan bekerja sebagai pembantu rumahtangga di luar negeri. Di tempat asal, ketrampilan kerja TKW adalah di pertanian dan pekerja rumahtangga, oleh karena itu di luar negeri pekerjaan yang paling siap dikerjakan adalah sebagai pembantu rumahtangga. Siklus aktivitas kerja dan kondisi kerja TKW sangat tergantung pada majikan. Ada yang memberikan jam kerja pada siang hari dan istirahat pada malam hari, pada akhir pekan libur satu hari. Ada pula yang tidak liburn sehingga TKW bekerja sepanjang hari sepanjan minggu. TKW yang bekerja di restoran jam kerjanya lebih ketat, setiap hari siang malam mereka bekerja terus. Budaya yang berbeda dan ketrampilan yang dimiliki TKW seringkali menjadi pokok pangkal permasalahan konflik antara TKW dengan majikan. Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa factor penarik utama adalah upah kerja yang diperoleh jauh lebih besar darpada upah kerja di dalam negeri. TKW yang beruntung dapat mengantongi: gaji Rp 2 000 000,- per bulan, upah yang tidak mungkin diperoleh di desanya untuk pekerjaan berburuh tani. Mimpi indah itulah yang mendorong motivasi perempuan desa dengan pendidikan SD atau SLTP, dengan mempertaruhkan resiko yang dihadapi. Bagi TKW yang berkeluarga, selama ditinggal bekerja di luar negeri, tanggung jawab atas pekerjaan rumahtangga diambil alih oleh keluarga yang ditinggal, sehingga berpengaruh terhadap konstruksi gender dalam rumahtangga. Pekerjaan domestik dilakukan suami, orang tua, atau anaknya, sementara pekerjaan nafkah dikerjakan oleh TKW dan suami. Seringkali peran TKW sangat penting dan menjadi harapan seluruh anggota rumahtangga. TKW merubah hubungan gender di rumahtangga dan di daerah asal. Dengan perginya TKW jelaslah anggota
24
Jurnal Pusat Studi Wanita UMY

rumahtangga yang ditinggal mengambil alih pekerjaan rumahtangga yang ditinggalkan. Pekerja yang dijuluki pahlawan devisa ini kelak akan menjadi jutawan desa, memberikan income daerah dan membuka lapangan kerja yang sangat menguntungkan bagi keluarga TKW. Dampak positif yang ditimbulkan adalah status ekonomi yang meningkat, anakanak remaja yang mandiri dan status sosial meningkat. Namun dampak negatifnya juga jangan diabaikan. Anak dan suami terpisah jauh, kesehatan BALITA dan pendidikan anak tidak selalu sebaik ketika ada ibunya, kasus-kasus perselingkuhan yang kadangkadang berakibat perceraian, dan yang lebih ekstrem terjadinya kasus-kasus kekerasan terhadap TKW adalah harga termahal yang harus ditanggung TKW. Aktivitas pekerjaan nafkah TKW luar negeri yang berlokasi jauh dari rumah menyebabkan berubahnya relasi gender dalam pekerjaan di rumahtangga, yaitu adanya peran pengganti tugas tradisional ibu. Dengan data dan kecenderungankecenderungan tersebut dapat dikatakan terdapat hubungan timbal balik antara daerah asal an tempat perempuan bekerja, sehingga terbangun konstruksi gender dalam industri rokok yang menempatkan perempuan seperti halnya di rumahtangga yaitu pencari nafkah tambahan yang halus atau tidak berkekuatan fisik, trampil dan teliti. Berbeda halnya dengan TKW, perempuan tercerabut dari ranting-rantingnya budayanya, sehingga kegiatan di rumah tidak mungkin lagi dilakukan. Pendapatan yang diperoleh TKW dalam bekerja membawa implikasi bagi status dan peranan perempuan di rumahtangga dan masyarakat. Perempuan mempunyai peran penting dalam mencukupi kebutuhan pangan keluarga, kesehatan, perumahan dan sekolah anak. Ketika anakanak masih Sekolah Dasar, perempuan membantu belajar, membayar SPP dan

c
mengambil keputusan-keputusan penting tentang sekolah anak. Setelah anak-anak sekolah menengah, di luar desa, mereka mengemukakan bahwa tidak terjangkau lagi, perempuan tidak lagi mendampingi belajar anak-anak. Urusan sekolah lebih banyak dikerjakan oleh suami. Pola alokasi kekuasaan di rumahtangga dapat dilihat pada pola pengambilan keputusan. TKW dapat memutuskan penggunaan pendapatan dari hasil kerjanya. Pertama digunakan untuk kebutuhan pangan sehari-hari, kemudian untuk sekolah anak, sisanya dibelikan perhiasan. TKW pada umumnya mengirimkan penghasilannya sebesar kebutuhan rutin rumahtangganya, sisanya ditabung sebagai investasi. Posisi ekonomi perempuan tidak berpengaruh besar tehadap aktivitas pembangunan di desa. Dalam hal ini kaum laki-laki menduduki tempat utama, aktif menghadiri pertemuan, menghadiri rapat desa dan berpartisipasi dalam pembangunan desa. Tidak banyak perempuan terlibat dalam musyawarah desa dan menyerahkan urusan ini pada laki-laki. Tidak banyak perempuan yang terlibat dalam kepemimpinan desa, dan mengambil keputusan pembangunan di desanya. Dalam hirarki kekuasaan desa, perempuan adalah nomor dua sesudah kaum laki-laki. Aktivitas sosial kemasyarakatan yang dilakukan oleh perempuan terbatas pada aktivitas tradisional dan kegiatan rutin PKK. Kondisi tersebut terbawa ketika perempuan memasuki dunia industri, bekerja sebagai buruh migran. Buruh perempuan aktif dan fokus pada pekerjaan, tidak pernah ikut rapat-rapat dengan pimpinan, perempuan sebagai obyek pembangunan dan faktor produksi dalam industri. Perempuan bekerja yang penting mendapat uang setiap bulan. Kalau masih ingin bekerja ya harus patuh terhadap ketentuan perusahaan (dikatakan oleh mantan pekerja yang telah berusia lanjut). Bagi TKW secara langsung tidak berpengaruh dengan posisinya sebagai penganbil keputusan di masyarakat. Dengan aktivitas ekonomi yang tinggi, menempatkan perempuan sebagai penyumbang tenaga kerja dan pendapatan di desanya, tetapi seringkali tidak mempunyai kekuasaan dalam pengambilan-pengambilan keputusan di masyarakat. 6. Kesimpulan dan Rekomendasi 6.1 Kesimpulan Secara umum dapat disimpulkan bahwa PRT adalah perempuan pekerja dengan posisi tawar lebih rendah dari yang mempekerjakan. Hal ini merupakan akibat dari stereotipi dari pekerjaan perempuan yang dininilai rendah, rumahan dan posisi perempuan sebagai pekerja sekunder. Potensi mereka cukup besar dan berpeluang berkembang ketika terbuka peluang kerja sebagai TKW atau buruh migrant dengan upah yang tinggi. Namun demikian mereka memerlukan perlindungan dan upaya pemberdayaan. Hak-hak dasar yang perlu diimplementasikan adalah hak memperoleh upah yang layak dan manusiawi, jam kerja yang layak, istirahat, cuti, perlindungan keselamatan dan kesusilaan, perlindungan reproduksi mereka, serta jaminan sosial yang memadai. Dengan kondisi tersebut, kebutuhan pemberdayaan hendaknya ditujukan pada semua pihak yang terlibat, PRT, majikan, keluarga PRT dan majikan, serta masyarakat di sekitar PRT bekerja. Hubungan kerja saling membutuhkan, PRT profesional, terlindungi hak-haknya dan menjalankan kewajibannya, majikan dengan posisi sebagai mitra kerja. 6.2 Rekomendasi Dari hasil pemetaan PRT di Propinsi Jawa timur dikemukakan rekomendasi dan saran tindak lanjut sebagai berikut. Dari kajian kepustakaan dan data sekunder

Nabila

25

c
(dokumentasi) direkomendasikan bahwa pemerintah dan masyarakat dihimbau memberikan perlindungan semaksimal mungkin bagi mereka yang bekerja sebagai pembantun rumahtangga khususnya anakanak. Sektor pembantu rumahtangga (PRT) dan pembantu rumahtangga anak (PRTA), selama ini belum memperoleh perhatian serius, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Rekomendasi utama adalah pemerintah diharapkan memberlakukan batas usia minimum pekerja yaitu lima belas tahun, yang memang sudah diatur dalam undang-undang. Rekomendasi berikutnya adalah memperbaiki UU tenaga kerja Tahun 2003 yang berisi pembatasan jam kerja 8 jam perhari, serta upah minimal dan hari libur bagi formal sektor. Namun sektor itu tidak menyangkut PRT, yang selama ini dianggap sebagai sektor informal, padahal mestinya harus dilindungi juga. Kalau tidak ada peraturan yang melarang majiakn untuk membatasi jam kerja pembantu rumahtangga delapan jam per hari, dan membayar paling tidak upah minimal maka terdapat banyak ruang untuk melakukan eksploitasi dan pelanggaran kepada pembantu rumahtangga. Kondisi tersebut tidak bisa dibiarkan dan harus mendapatkan perhatian yang serius kepada semua pihak. Berikut, beberapa langkah yang harus segera dilakukan. Pertama, Pemerintah harus berupaya dengan serius untuk memberantas kemiskinan serta meringankan biaya pendidikan untuk semua lapisan masyarakat, khususnya wajib belajar untuk anak. Kedua, pemberlakuan sanksi bagi yang melanggar hubungan kerja tersebut. Perlu dipahami bahwa PRT adalah pekerja seperti halnya pekerja sektor formal. Ketiga, perlu menghilangkan segala bentuk pemerasan dan tindakan yang mengarah pada perdagangan orang. Bagi buruh migran, pemberdayaan keluarga yang ditinggalkann sangat diperlukan. Perlu adanya perlindungan khusus bagi PRT yang masih
26
Jurnal Pusat Studi Wanita UMY

tergolong anak (15 18 tahun). Lembaga crisis center menjadi alternatif untuk perlindungan eksternal PRT.

DAFTAR PUSTAKA Anonymous, 2000, 12 Critical Areas for Beijing Platform of Action, Newsletter Bapemas Propinsi Jawa Timur, 2005, Profil Statistik Gender Propinsi Jawa Timur. Pemerintah Propinsi Jawa Timur, Evaluasi Kinerja Pembangunan Propinsi Jawa Timur Tahun 2006 Buku 3F Laporan Hasil Penyusunan Indikator Kinerja Sosial Pemerintah Propinsi Jawa Timur, Evaluasi Kinerja Pembangunan Pembangunan Propinsi Jawa Timur Tahun 2006 Buku 4 Data Makro Sosial Ekonomi Jawa Timur Tahun 2002-2006 Schrijvers, Joke, 1986, Mother for Life, Offset Kanters Albrasserdam, Den Haag. Sukesi, Keppi, 1980. Peranan Wanita dalam Pendapatan Rumahtangga dan Pengambilan Keputusan (Studi di desa Gemarang Kecamatan Kedunggalar Kabupaten Ngawi), Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Sukesi, Keppi, 1982. Peranan Wanita Buruh Tani dalam Pendapatan Rumahtangga dan Pengambilan Keputusan. (Studi di desa Gemarang Kecamatan Kedunggalar Kabupaten Ngawi),

c
Tesis S2i Jurusan Sosiologi Pedesaan IPB. Sukesi, Keppi, 1998, Gender Issues Wanita Pengusaha Kecil di Kabupaten Malang, Laporan Studi Pendahuluan, PPPPW Universitas Brawijaya Malang. Sukesi, Keppi, 1999, Krisis dan Buruh Perkebunan : Dampak Krisis Ekonomi terhadap Perempuan Buruh Kebun Kopi di Jawa Timur. Jurnal Analisis Sosial Vol 4 No 2 Mei 1999, AKATIGA Bandung. Sukesi, Keppi, 2002. Hubungan Kerja dan Dinamika Hubungan Gender dalam Sistem Pengusahaan Tebu Rakyat, Lembaga Penerbitan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Sukesi, Keppi, 2005, Pemetaan Tenaga Kerja Informal di Jawa Timur. Penelitian Kerjasama PPGK dengan DISNAKER Prov. Jawa Timur. Sukesi, Keppi, 2007, TKI Purna di Provinsi Jawa Timur. Laporan Hasil Penelitian, Kerjasama antara Setda Provinsi Jawa Timur dengan PPGK Lemlit Universitas Brawijaya. Sukesi, Keppi, 2008, Konstruksi Gender dalam Kerja/Dunia Industri : Kasus Pekerja Pabrik Rokok di Jawa Timur. Women Research Institute Jakarta www.visidatin com/pdf/visinews-cd09, Menanti Lanjutan HM Sampoerna, Visi News on line.

Nabila

27

Anda mungkin juga menyukai