Tantangan Pengembangan Sel Punca (Stem Cell): Kerugian dan Kontroversi Etis
oleh Farah Fauzia (0906640791), kelompok 9
Dalam beberapa dekade terakhir, minat terhadap perkembangan stem cell atau sel punca meningkat karena potensinya yang sangat menjanjikan untuk terapi berbagai penyakit dan harapan dalam ilmu kesehatan dan pengobatan[1]. Berbagai negara di dunia menyediakan anggaran cukup besar bagi riset sel punca seperti Jepang 150 miliar dolar AS, Jerman 80 miliar dolar AS, Perancis 60 miliar dolar AS, India 40 miliar dolar AS, serta lainnya Singapura dan Korea Selatan[2]. Namun demikian, berbanding lurus dengan perkembangannya di dunia, stem cell menghadapi tantangan besar, tidak hanya dari sisi kerugian dalam sudut pandang teknologi kesehatan tapi juga dari sisi kontroversi etis yang melingkupinya.
Kerugian dan Tantangan Biaya Embryonic stem cell disebutkan memiliki kerugian di antaranya: Dapat
bersifat tumorigenik. Artinya setiap kontaminasi dengan sel yang tak berdiferensiasi dapat menimbulkan kanker; Selalu bersifat allogenik sehingga berpotensi menimbulkan penolakan; Secara etis sangat kontroversial[1]. Sementara itu, adult stem cell juga dilaporkan memiliki kerugian seperti: Jumlahnya sedikit, sangat jarang ditemukan pada jaringan matur sehingga sulit mendapatkan adult stem cell dalam jumlah banyak; Masa hidupnya tidak selama embryonic stem cell; Bersifat multipoten, sehingga diferensiasi tidak seluas embryonic stem cell yang bersifat pluripoten[1]. Dari segi pembiayaan, riset sel punca cenderung terkendala dalam kaitannya mengenai penerimaan publik serta kontroversi etika. Di Amerika Serikat, George W. Bush pernah memveto kebijakan penggunaan dana pemerintah untuk penelitian sel punca pada 19 Juli 2006, namun kemudian pada 9 Maret 2009 Barack Obama mencabut larangan pendanaan pemerintah untuk penelitian stem cell[3].
Di Indonesia sendiri, menurut Wakil Ketua Asosiasi Sel Punca Indonesia (ASPI), dr. Boenjamin Setiawan, Ph.D, anggaran riset kesehatan di Indonesia baru 0,2% dari PDB sementara di luar negeri rata-rata sudah 2%[2]. Sel punca yang masih dalam tahap penelitian untuk aplikasi lanjutannya ini masih terkendala berbagai isu etis serta regulasi di berbagai negara.
Kontroversi Etis
Sel punca menimbulkan kontroversi dari sisi etika di luar potensinya yang begitu hebat. Salah satu sumber sel punca yang dipermasalahkan adalah sel embrionik yang merupakan kultur sel yang didapat dari embrio tahap awal atau disebut juga blastokist, yaitu embrio yang terdiri dari 50 hingga 150 sel. Sel punca embrionik dapat tumbuh menjadi berbagai tipe sel di dalam tubuh, kecuali sel telur dan sperma. Dengan kemampuannya, sel punca embrionik merupakan jenis yang paling fleksibel untuk digunakan. Namun, inilah pokok masalah tersebut; Penelitian sel punca embrionik manusia dianggap melanggar batas etika karena untuk memulai membuat line stem cell, maka biasanya akan mengorbankan embrio manusia[3]. Pada dasarnya, riset dan aplikasi embryonic stem cell menuai pendapat yang berbeda di berbagai kalangan dunia. Dalam suatu polling nasional di Amerika Serikat pada 2007 oleh Pew Forum on Religion & Public Life and the Pew Research Center for the People & the Press, 51% menyatakan bahwa lebih penting melakukan riset sel punca yang dapat membawa pengobatan baru daripada menghindari hal tersebut karena merusak kehidupan potensial dari embrio manusia[4]. Polling lainnya pada tahun 2009 oleh USA Today mengindikasikan bahwa hanya 19% yang menyetujui tidak diberikannya pendanaan dari pemerintah untuk pengembangan sel punca[5].
Sementara itu, dari sisi variasi responden berdasarkan agama, pandangan politik dan warna kullit, Washington Post pada Juli 2001 melaporkan hasil sebagai berikut untuk riset stem cell:
Gambar 1. Tabel Hasil Riset Pandangan terhadap Riset Stem Cell dari Washington Post, Juni-Juli 2001
sumber: ABCNEWS (August 2001): Life Support? Stem-Cell Backing Holds at Six in 10 http://abcnews.go.com/sections/politics/DailyNews/poll010803.html
Hukum Di Amerika Serikat, berbagai aturan mengenai pemanfaatan embrio manusia untuk riset dan ilmu medis, salah satunya untuk stem cell, dikeluarkan dan diberlakukan. Sejak tahun 1996, dikenal Dickey Amandment yang menegaskan larangan penggunaan uang negara untuk penciptaan embrio manusia atau embrio untuk tujuan riset serta riset dimana embrio manusia atau embrio dihancurkan.. Kemudian, pada tahun 1999, Department of Health and Human Services (HHS) menyatakan bahwa aturan tersebut tidak melarang adanya pendanaan publik untuk riset embryonic stem cell selama riset tersebut tidak mencakup perusakan embrio. Selanjutnya, pada 9 Agustus 2001, presiden Bush secara efektif menahan aturan dari National Institutes of Health (NIH) yang merancang guidelines pada tahun 200 berdasarkan HHS sebelumnya[6]. Berikutnya, pada tahun 2006, presiden Bush resmi memveto kebijakan tersebut.
Dan baru pada tahun 2009 presiden Barack Obama mencabut larangan pendanaan untuk penelitian stem cell[3]. Pencabutan larangan tersebut agaknya mempengaruhi dunia dalam pandangan mengenai riset sel punca. Di Indonesia sendiri, status penggunaan sel punca masih menimbulkan kontroversi karena tidak adanya regulasi yang jelas. Disebutkan bahwa teknologi sel punca lebih maju sepuluh tahun dibanding payung hukumnya, dan negara belum memiliki aturan untuk itu karena sel punca disebut terlalu teknis kasuistik. Sementara, sel punca sejauh ini baru diatur melalui Pemenkes Nomor 159 tahun 2009. Serta, dibuat organisasi non profit tentang sel punca pada tahun 2008, yaitu Asosiasi Sel Punca Indonesia (ASPI)[3].
Agama Opini terkait riset sel punca khususnya yang memanfaatkan embrio telah datang dari berbagai agama di dunia. Untuk beberapa agama, embrio manusia adalah wujud manusia dalam wujud konsepsi, sementara bagi agama lainnya yang penting adalah saat penjiwaan, dimana embrio berkembang dan memperoleh jiwa[7]. Mengenai kontroversi tersebut, beberapa agama dilaporkan telah menunjukkan penyikapan, di antaranya sebagai berikut: Budha: Meski tidak ada ajaran yang secara langsung menyebutkan masalah tersebut, ada dua ajaran umum mengenai larangan menghancurkan lainnya (ahimsa) dan pencarian ilmu pengetahuan (prajna). Masih ada perdebatan apakah riset sel punca sejalan dengan ajaran Buddha untuk mencari ilmu pengetahuan, atau itu adalah salah satu bentuk pelanggaran ajaran untuk tidak menyakiti sesama[8]. Katolik: menurut kelompok anti-aborsi mereka, U.S. Conference of Catholic Bishops, mereka mendukung riset adult stem cell namun menentang embryonic stem cell karena menciptakan/menghancurkan embrio manusia[8]. Hindu: meski ajaran Hindu mempercayai bahwa kehidupan dimulai pada penciptaan, tidak ada posisi resmi yang dilontarkan terkait riset stem cell[8].
Islam: negara Islam juga telah terlibat dalam riset sel punca, di antaranya adalah Iran yang memulai pada 2003. Di negara-negara mayoritas Muslim, riset embrio dipengaruhi dari kepercayaan agama bahwa hidup manusia dimulai hanya setelah peniupan ruh ke dalam janin; sekitar 120 hari setelah penciptaan. Islamic Law Council of North America menyatakan bahwa embrio yang digunakan untuk riset stem sel telah di luar tubuh maka tidak mungkin menjadi manusia. Yang menjadi kontrobersi dalam dunia Muslim adalah menciptakan embrio untuk tujuan riset[7].
Protestan: The United Church of Christ tidak menyatakan apapun untuk statusnya mengenai embrio dalam riset sel punca[8].
Sementara itu, secara eksplisit untuk Indonesia, beberapa pemuka Agama telah memberikan pandangannya: Islam: Dr.H.A.F. Wibisono, MA dari Muhammadiyah menyebutkan bahwa penggunaan sel punca embrionik untuk keperluan apa pun tidak diperbolehkan kecuali saat terapi itu menjadi satu-satunya solusi untuk menyelamatkan nyawa manusia. Dan Prof.Dr.HM.Ridwan Lubis dari Nahdlatul Ulama juga berpendapat terapi sel punca embrionik hanya bisa dilakukan bila sudah tidak ada jalan lain yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan manusia. Kristen: Pendeta Robert P Borong dari Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) menjelaskan, agama Kristen juga menganggap embrio, baik yang dihasilkan di dalam rahim maupun di luar, sebagai kehidupan baru yang harus dihargai dan dihormati. Dan Pastor Dr.Br.Agung Prihartana, MSF dari Konferensi Waligereja Indonesia(KWI) juga mengatakan bahwa secara tegas gereja melarang pengambilan sel embrio untuk keperluan apa pun. Hindu: Ketut Wilamurti, S.Ag dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PDHI) menyatakan bahwa menggunakan sel punca dari embrio sama dengan aborsi pembunuhan. Buddha: Bhikku Dhammasubho Mahathera dari Konferensi Sangha Agung Indonesia (KASI) juga mendukung pernyataan pemuka agama lainnya terkait sel punca[9].
DAFTAR PUSTAKA
[1] Saputra, Virgi. Dasar-dasar Stem Cell dan Potensi Aplikasinya dalam Ilmu Kedokteran. Cermin Dunia Kedokteran No. 53 (2006): 2125. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/153_12Dasarstemcelldanpotensiaplikasi nya.pdf/153_12Dasarstemcelldanpotensiaplikasinya.html (diakses 4 Maret 2012, pukul 17.01) [2] ANTARA News (12 Juni 2011): Indonesia Perlu Tingkatkan Riset Sel Punca. http://www.antaranews.com/berita/262566/indonesia-perlutingkatkan-riset-sel-punca (diakses 4 Maret 2012, pukul 17.04) [3] Majalah Farmacia (Edisi April 2009, halaman 50): URGENT: UU untuk Sel Punca. http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp? IDNews=1178 (diakses 4 Maret 2012, pukul 18.10) [4] Vestal, Christine. The Pew Forum on Religion and Public Life (17 Juli 2008): Stem Cell Research at The Crossroads of Religion and Politics. http://www.pewforum.org/Science-and-Bioethics/Stem-Cell-Research-at-theCrossroads-of-Religion-and-Politics.aspx (diakses 4 Maret 2012, pukul 16.45) [5] Angus Reid Global Monitor (19 Maret 2009): Americans Back Stem Cell Research.http://www.angus-reid.com/polls/35472/americans_back_ embryonic_stem_cell_research/ (diakses 4 Maret 2012, pukul 17.22) [6] Shapiro, Robin S. 2006. Bioethics and Stem Cell Research Debate. National Council for The Social Studies. [7] Knowles, Lori P. Religion and Stem Cell Research. Stem Cell Network Reseau de cellulec souches. [8] The Pew Forum on Religion and Public Life (17 Juli 2008): Religious GroupsOfficial Positions on Stem Cell Research. http://www.pewforum.org/Science-and-Bioethics/Religious-Groups-OfficialPositions-on-Stem-Cell-Research.aspx (diakses 4 Maret 2012, pukul 18.11) [9] ANTARA News: Larangan Terapi Sel Punca Embrionik dari Pemuka Agama. http://www.antaranews.com/print/1217079979 (diakses 4 Maret 2012, pukul 18.58)