Anda di halaman 1dari 18

BAB II

PEMBAHASAN

manusia secara bahasa disebut juga insan yang dalam bahasa arabnya,
yang berasal dari kata nasiya yang berarti lupa dan jika dilihat dari kata dasar al-
uns yang berarti jinak. kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena
manusia memiliki sifat lupa dan jinak artinya manusia selalu menyesuaikan diri
dengan keadaan yang baru disekitarnya. manusia cara keberadaannya yang
sekaligus membedakannya secara nyata dengan mahluk yang lain. seperti dalam
kenyataan mahluk yang berjalan diatas dua kaki, kemampuan berfikir dan berfikir
tersebut yang menentukan manusia hakekat manusia. manusia juga memiliki
karya yang dihasilkan sehingga berbeda dengan mahluk yang lain. manusia dalam
memiliki karya dapat dilihat dalam seting sejarah dan seting psikologis situasi
emosional an intelektual yang melatarbelakangi karyanya. dari karya yang dibuat
manusia tersebut menjadikan ia sebagai mahluk yang menciptakan sejarah.
manusia juga dapat dilihat dari sisi dalam pendekatan teologis, dalam pandangan
ini melengkapi dari pandangan yang sesudahnya dengan melengkapi sisi
trasendensi dikarenakan pemahaman lebih bersifat fundamental. pengetahuan
pencipta tentang ciptaannya jauh lebih lengkap dari pada pengetahuan ciptaan
tentang dirinya. (musa asyari, filsafat islam, 1999)
1. Berbagai pemikiran tentang hakekat manusia

.
Pada dasarnya pemikiran tentang hakekat manusia, sejak zaman dahulu kala
sampai zaman modern sekarang ini belum berakhir dan tak akan berakhir.
Berbicara mengenai apa manusia itu ?, sesungguhnya ada 4 pandangan
atau aliran yang serba zat, aliran serba ruh, aliran dualism (gabungan dari
keduanya) dan aliran eksistelisme.

3
Aliran serba zat mengatakan bahwa yang sungguh sungguh ada itu
hanyalah zat dan materi, zat atau materi itulah hakekat dari sesuatu, alam ini
adalah zat atau materi, dan manusia adalah unsure dari alam, maka dari itu
hakekat dari manusia itu adalah zat atau materi. Dikarenakan manusia sebagai
mahluk materi, maka pertumbuhannya berproses dari materi juga, sel telur dari
sang ibu bergabung . kebahagian, kesenangan dan sebagainya juga karena materi,
maka terbentuklah suatu sikap dan pandangan yang matrealis.

Aliran serba ruh berpendapat bahwa segala hakekat sesuatu yang ada
didunia ini ialah RUH juga hakekat manusia adalah ruh. Adapun zat itu adalah
manisfestasi dari pada ruh diatas dunia ini. Ruh adalah sesuatu yang tidak
menempati ruang, sehingga tidak dapat disentuh atau dilihat oleh panca indera,
jadi berlawanan dengan zat yang menempati ruang betapapun kecilnya zat itu.
Aliran dualisme mencoba untuk mengawinkan kedua aliran diatas, aliran
ini menggangap bahwa manusia itu terdiri dari 2 substansi, yakni : jasmani dan
rohani, yaitu badan dan roh, yakni yang menegaskan bahwa badan tidak berasal
dari ruh, dan ruh tidak bergantung pada badan, hanya dalam wujudnya manusia
selalu bersaa ruh
1
.





1.
Zuhairini. Filsafat Pendidikan Islam. (cet. 3 Jakarta: Bumi Aksaram, 2004), h. 71-
73
4
2. Berdasarkan atas pandangan bahwa manusia itu memiliki badan
jasmani dan mempunyai roh, jiwa atau rohani. Maka terdapat empat macam
pandangan, yakni sebagai berikut :
1.
Pandangan idealistis tentang badan manusia
Pandangan ini mengatakan bahwa badan adalah sinar dari roh diibaratkan
seperti lisrik, badan adalah cahaya, badan dan roh tidak pernah bertentangan
satu sama lain. Badan seolah olah tidak ada yang ada hanyalah roh.
2.
Pandangan materealistis tentang badan manusia
Pandangan materialistis dengan tegas mengatakan yang ada hanyalah badan,
orang yang tidak perlu berpikir lebih lanjut apa dibalik badan itu, yang
Nampak pada kita hanyalah bersifat materi, yang terdiri dari darah, tulang,
daging, dll. Dengan pandangan ini maka antara badan dan ruh adalah
menyatu dalam diri pribadi manusia yaitu sesuatu yang disebut Aku. Aku
ini ya jasmani, ya rohani. Yang ada adalah aku dan badan adalah aku dalam
bentukku jasmani, badan adalah unsur diriku, unsure aku-ku , jika saya
mengatakan aku ini semua sudah termuat termasuk badanku.
3.
Pandangan yang ketiga berpendapat bahwa badan adalah musuh dari roh,
antara badan dan roh akan selalu bertentangan satu sama lain, badan dianggap
menarik kebawah kejahatan, pandangan ini biasanya juga dualitas
memandang badan dan jiwa sebagai sesuatu hal yang tidak ada, melainkan
dua hal yang selalu berdiri sendiri.
4.
Pandangan keempat ini menyatakan bahwa badan manusia sebagai jasmani
yang di rohanikan atau rohani yang di jasmanikan . badan bukanlah hanya
materi dan daging serta diri kita tidak sama dengan daging hewan, begitupun
sebaliknya,
.
Manusia memiliki bahasa simbolis, ia membutuhkan manusia
lain, untuk hidup bersama sama, berorganisasi, dan bernegara. Dan manusia
dapat menyadari norma norma (etika maupun estetika), manusia dapat
berbuat sesuai dengan nilai nilai tersebut, manusia memiliki kata hati atau
nurani
2
.

2.
Uyoh Sadulloh. Pengantar Filsafat Pendidikan. (cet 6 Bandung :
Alfabeta, 2009), hal. 7


5
3. Pandangan islam tentang hakikat manusia

Islam berpendapat bahwa hakikat manusia ialah manusia itu merupakan
perkaitan antara badan dan ruh, badan dan ruh masing masing merupakan
substansi yang berdiri sendiri, yang tidak tergantung adanya oleh yang lain,
islam secara tegas mengatakan bahwa kedua substansi (substansi = unsure
awal sesuatu yang ada) dua-duanya adalah substansi alam. Sedang alam
adalah makhluk. Maka keduanya juga makhluk yang diciptakan oleh Allah
SWT.
Dibawah ini dikutip sebuah ayat suci Al-Quran dan sebuah hadist Nabi
Muhammad SAW yang menguraikan tentang proses kejadian manusia. Yaitu
dalam surat Al Mukminun : 12-14.
Dalam Al-Quran Allah berfirman :

12. ;4 E4^UE= =}=Oee"-
}g` l-Uc }g)` -gC ^g
+OE4UEE_ LOE;C+^ O) O-4O~
-E` ^@ O 4L^UE=
OE;COL- LOU4 4L^UEC
OUE^- LO4;_N` 4L^UEC
O4;_^- VgN 4^O=O
=g^- V^4O O
+O4^4=e UE= 4OE=-47 _
E4O4l4 +.- }=O;O
4-)UC^- ^j
Artinya adalah : 12. dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari
suatu saripati (berasal) dari tanah. 13. kemudian Kami jadikan saripati itu air
mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). 14. kemudian air mani
itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia
makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling
baik. (Al Quran : surat Al Mukminun ; 12 -14)

6



Dan terdapat hadist yang menjelaskan dengan arti ; bahwasanya seseorang
kamu dihimpunkan kejasdiannya didalam perut ibu selama 40 hari, kemudian
merupakan alaqah (segumpal darah) seumpama demikian (selama 40 hari) ,
kemudian merupakan mudgatan (segumpal daging) seumpama demikian
(selama 40 hari), kemudian Allah mengutus seorang Malaikat , maka
diperintahkan kepadanya (malaikat) empat perkataan dan dikatakan kepada
malaikat engkau tulislah amalannya, dan rezekinya dan ajalnya, dan celaka
atau bahagianya, kemudian ditiupkanlah kepada mahluk hidup itu
ruh.(H.R. Bukhori)

Dari Al-Quran dan Al-Hadist tersebut diatas, jelaslah bahwa proses
perkembangan danm pertumbuhan fisik manusia, tidak ada bedanya dengan
proses perkembangan dan pertumbuhan pada hewan, semuanya berproses
menurut hokum hokum alam yang material, hanya pada kejadian manusia,
sebelum makhluk yang disebut manusia itu dilahirkan dari rahim ibunya, tuhan
telah meniupkan ruh ciptaan-Nya kedalam tubuh manusia. Ruh yang berasal
dari Tuhan itulah yang menjadi hakikat manusia
3
.
Dari uraian diatas, terlihat pula bahwa pendirian di Islam bahwa manusia
terdiri dari dua substansi yaitu materi yang berasal dari bumi dan ruh yang
berasal dari Tuhan. Maka hakikat pada manusia adalah ruh itu, sedangkan
jasadnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh ruh untuk menjalani kehidupan
material dialam yang material bersifat sekunder dan ruh yang bersifat primer,
karena ruh saja tanpa jasad yang material, tidak dapat dinamakan manusia,
malaikat adalah makhluk ruhaniyah (bersifat ruh semata) tidak memiliki
unsure jasad yang material, tetapi sebaliknya unsur jasad yang material saja
7
tanpa ruh, maka juga bukan manusia namanya, hewan adalah makhluk yang
bersifat jasad material yang hidup, manusia tanpa ruh, tidak lebih dari hewan,

3.
Drijarkara S.J. Filsafat Manusia. (Yogyakarta : Kanisus, 1978), hal. 11
18.

pertama tama memang manusia sebagai makhluk alamiah yang mempunyai
sifat dan ciri ciri sebagaimana makhluk alamiah lainnya, dalam manusia
terdapat unsur, ada unsur benda mati, ada unsur tumbuhan (manusia mempunyai
sifat tumbuh dan berkembang), ada unsur unsure hewani, dengan kemampuan
gerak, mempunyai nafsu, instink dan sebagainya. Tetapi manusia lebih dari itu,
manusia secara fisik mempunyai bentuk yang lebih baik, lebih indah, lebih
sempurna. Secara alami, manusia menjadi makhluk yang paling tinggi. Dalam
firman Allah :
; 4L^UE =}=Oee"- EO)
^}=O;O CO^> ^j
Artinya : Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya .(surat At-Tin ;4)
Demikian firman Tuhan, kesempurnaan bentuk fisik manusia tersebut, masih
dilengkapi oleh Allah dengan ditiupkan kepadanya ruhnya, sehingga manusia
mempunyai derajat yang mulia, lebih mulia dari pada malaikat (malaikat menaruh
hormat padanya ) dan manusia menjadi khalifah di Bumi
4
.
4. Kedudukan dan peran manusia
Manusia sebagai mahluk yang berdimensional memiliki peran dan kedudukan
yang sangat mulia. Tetapi sebelum membahas tentang peran dan kedudukan,
pengulangan kembali tentang esensi dan eksistensi manusia. Manusia yang
memiliki eksistensi dalam hidupnya sebagai abdullah, an-nas, al insan, al basyar
dan khalifah. Kedudukan dan peran manusia adalah memerankan ia dalam kelima
eksistensi tersebut.
8

4.
Zuhairini. Filsafat Pendidikan Islam. (cet. 3 Jakarta: Bumi Aksaram, 2004), h. 76-77

Misalkan sebagai khalifah dimuka bumi sebagai pengganti Tuhan manusia
disini harus bersentuha dengan sejarah dan membuat sejarah dengan
mengembangkan esensi ingin tahu menjadikan ia bersifat kreatif dan dengan di
semangati nilai-nilai trasendensi.
Manusia dengan Tuhan memiliki kedudukan sebagai hamba, yang memiliki
inspirasi nilai-nilai ke-Tuhan-an yang tertanam sebagai penganti Tuhan dalam
muka bumi. Manusia dengan manusia yang lain memiliki korelasi yang seimbang
dan saling berkerjasama dala rangka memakmurkan bumi. Manusia dengan alam
sekitar merupakan sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan rasa syukur kita
terhadap Tuhan dan bertugas menjadikan alam sebagai subjek dalam
rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Setiap apa yang dilakukan oleh
manusia dalam pelaksana pengganti Tuhan sesuai dengan maqasid asy-syariah.
Maqasid asy-syariah merupakan tujuan utama diciptanya sebuah hukum atau
mungkin nilai-esensi dari hukum, dimana harus menjaga agama, jiwa, keturunan,
harta, akal dan, ekologi. Manusia yang memegang amanah sebagai khalifah dalam
melakukan keputusan dan tindakannya sesuai dengan maqasid asy-syariah.
5. Tujuan hidup manusia
Pada hakikatnya tujuan manusia dalam menjalankan kehidupannya
mencapai perjumpaan kembali dengan Penciptanya. Perjumpaan kembali tersebut
seperti kembalinya air hujan kelaut. Kembalinya manusia sesuai dengan asalnya
sebagaimana dalam dimensi manusia yang berasal dari Pencipta maka ia kembali
kepada Tuhan sesuai dengan bentuknya misalkan dalam bentuk imateri maka
kembali kepada pencinta dalam bentuk imateri sedangkan unsur mteri yang
berada dalam diri manusia akan kembali kepada materi yang membentuk jasad
manusia. Perjumpaan manusi dengan Tuhan dalam tahapan nafs, yang spiritual
9
dikarenakan nafs spiritual yang sangat indah dan Tuhan akan memanggilnya
kembali nafs tersebut bersamanya. Nafs yang dimiliki oleh manusia merupakan
nafs yang terbatas akan kembali bersama nafs yang mutlak dan tak terbatas, dan
kembalinya nafs manusia melalui ketauhidan antara iman dan amal sholeh.
Pertemuan nafs manusia dengan nafs Tuhan merupakan perjumpaan dinamis yang
sarat muatan kreatifitas dalam dimensi spiritualitas yang bercahaya. Kerjasama
kreatifitas Tuhan dengan manusia dan melalui keratifitasnya manusia menaiki
tangga miraj memasuki cahaya-Nya yang merupakan cahaya kreatifitas abadi
5
.
Proses bertemunya nafas manusia dengan Tuhan dalam kondisi spiritual
tercapai jika manusai berusaha membersihkan diri dari sifat yang buruk yang ada
padanya. Perjumpaan nafs tersebut dapat dilihat pada sufi yang memenculkan
berbagai macam ekspresi dalam perjumpaannya. Sebagaimana yang terjadi pada
al Halaj, Yazid al Bustami Rabiah al Adawiyah dan yang lain mereka memiliki
ekspreasi dan kelakuan yang berbeda ketika meresakan berteumnya dengan
Pencipta. Tetapi dari sini manusai mendaki tangga miraj menuju nafs Tuhan
dengan cinta dan karena cinta pula terbentuknya alam serta manusia. Setelah
menyatunya manusia dalam dimensi spiritual dengan Pencipta, lantas tak
memperdulikan dengan yang lain dengan menyatu terus dengan pencipta. Tetapi
manusia setalah menyatu, memahami cinta pada Pencita itu dimanifestasikan cinta
tersebut untuk sesama manusia dan alam. Proses penebaran cinta tersebut
menjadikan manusia dapat bermanfaat pada yang lain menjadika diri sebagai
cerminan Tuhan dalam muka bumi. Pencitraan Tuhan dalam diri manusia
menjadikan ia sebagai insan kamil dan dalam ajaran agama dapat menjadi rahmat
bagi yang lain baik sesama manusia ataupun alam.


5.
(Musa Asyari, Filsafat Islam, 1999)

10



6. Eksistensi Manusia Dalam Seni
Banyak definisi tentang seni pernah didengungkan. Diantaranya hanya
menunjukkan perbedaan peristilahan, di antara yang lain tampak memperlihatkan
pertentangan. Namun, seperti yang ditunjukkan Morris Weitz dalam Philosophy
of the Arts (1950 : 2), berbagai perselisihan yang sia-sia dapat dihindari jika cap
estetika tidak ditempelkan pada satu potong dari seluruh tubuh seni, tetapi dipakai
secara terpisah sebagai unsur pokok dari proses penciptaan, benda estetis, dan
pengalaman estetis. Dalam bukunya An Introduction to Aesthetics (London,
1949), Profesor E.F. Carrit mengutip pendapat sekitar 40 ahli estetika yang
representatif, yang mengungkapkan bahwa seni, sebagai proses kreatif adalah dari
suasana hati, perasaan dan jiwa. Jadi Seni adalah ungkapan atau jiwa, perasaan,
dan suasana hati yang diungkapkan
6
.
Seniman bukan mengungkapkan perasaannya sendiri tapi apa yang ia
ketahui tentang perasaan manusia
Ungkapan perasaan tidak selalu ungkapan artistik. Ungkapan artistik
bersumber dari kualitas, citra jiwa, atau intisari perasaan atau usaha
sepenuhnya untuk membuat obyek bernilai ungkap. Dengan demikian obyek
yang seluruhnya tidak bersifat ungkap tidak bisa disebut karya seni. Karena
pengertian ungkapan, seperti yang dipakai dalam pembicaraan estetika sangat
terbuka bagi berbagai penafsiran dan salahpaham, maka istilah itu menjadi pokok
pembicaraan dalam kritik; tetapi kritik ini dapat dipertemukan dengan uraian
pengertian yang lebih tepat.
Seni adalah ungkapan atau perwujudan nilai-nilai.Karya seni itu bukanlah
sekadar laporan tentang fakta-fakta melainkan proyeksi dari inspirasi, emosi,
preferensi, apresiasi atau kesadaran akan nilai dari pembuatnya (seniman). Seni
11
adalah bahasa spiritual yang mengungkapkan penilaian, lebih daripada
memformulasikan deskripsi-deskripsi objektif
6.
Leenhouwers, P, , Manusia Dalam Lingkungannya, Refleksi Filsafat Tentang
Manusia, (Jakarta: Gramedia, 1988)
Nilai adalah kualitas yang membangkitkan apresiasi. Seni sebagai
ungkapan nilai, terbit dari sikap penghargaan. Ia tidak hanya mencerminkan
keadaan sekedar apa adanya tapi memilih, mengurangi dan mempertajam.
Nilai berbeda dengan fakta, sering semata-mata bersifat khayali. Dan
lewat seni, nilai memperoleh semacam kenyataan sosial yang berbeda dari
kenyataan ilmu.
Nilai diungkapkan dalam kegiatan kreatif seniman dan bertujuan
menciptakan sebab-sebab nyata untuk apresiasi. Seniman menyampaikan sikap
penilaiannya dengan karya-karyanya pada orang lain. Masalah bagi seniman
adalah bagaimana menemukan kualitas dan bentuk-bentuk objektif yang dapat
menggerakkan penanggap mendapati nilai-nilai yang ingin ia wujudkan dalam
karya. Jika ia berhasil mengerjakan ini, maka ia telah mengungkapkan nilai-nilai.
Bagi penanggap, karya seni dipandang terdiri dari deretan bentuk
perlambang yang harus ditafsirkan. Masalahnya, bagaimana membekali diri
dengan kesadaran akan nilai-nilai yang dapat menghubungkan dirinya dengan
deretan bentuk perlambang itu. Tergantung kepadanya apakah karya seni itu
menghidupkan imajinasinya ataukah tinggal diam tak berbicara apa-apa. Ia harus
membangkitkan dalam dirinya sikap yang sesuai sehingga ia mendapati nilai-nilai
yang diwujudkan oleh seniman. Jika ia berhasil melakukan ini iapun mengungkap
nilai-nilai dalam kontemplasi
7
.



12
7.
Sedyawati, Edi. (Editor), Seni Dalam Masyarakat Indonesia
(Jakarta :Bunga Rampai, Gramedia,)hal. 107-109.


7. Potensi Eksistensi Manusia Dalam Ilmu
Jika Seni merupakan perwujudan nilai-nilai yang berkaitan dengan
jiwa , maka ilmu lebih bergelut dengan fakta-fakta dan berurusan dengan akal
yang mengarahkan dan membelokkan jiwa kepada hakikat benda.
Ciri khas ilmu pengetahuan adalah mencari hubungan gejala-gejala
yang faktawi. Ia tidak puas menyatakan benar sesuatu itu apa; begini dan begitu.
Ia ingin tahu apa sebabnya sesuatu itu ada. Pengetahuan ilmiah mencoba
mengintegrasikan yang terpotong-potong dalam pengetahuan pra ilmiah pada
kesatuan. Dalam mencapai pengertian ilmu pengetahuan maju secara sistematis.
Ia tidak bersifat menunggu saja seolah-olah pada waktunya dan dalam situasi
tertentu terang pengetahuan akan menyingsing dengan sendirinya. Ilmu
pengetahuan harus mengusahakan pengertian melalui penyelidikan. Ilmuwan
tidak akan menerima sesuatu apapun sebagai fakta dan kebenaran kalau
sebabnya atau sumbernya tidak diketahui dan dipertanggungjawabkan. Dengan
demikian bahaya kekeliruan atau ketidakbenaran dapat agak dikurangi. Ilmuwan
bersikap kritis. Sekalipun demikian ia tidak kebal terhadap kekeliruan dan
kesesatan. Hanya dapat dikatakan bahwa pengetahuannya jauh lebih kokoh dan
lebih dapat diandalkan.
Ketidaktahuan manusia untuk sebagian besar dilengkapi oleh ilmu
pengetahuan. Namun, ilmu pengetahuan masih juga mempunyai kekurangan dan
keterbatasan, dan karena itu tidak juga memuaskan.
Berbeda dengan mahluk lainnya, manusia lahir dengan potensikodratnya berupa
cipta, rasa, dan karsa. Cipta adalah kemampuan spiritual, yang secara khusus
mempersoalkan nilai kebenaran. Rasa adalah kemapuan spiritual yang secara
13
khusus mempersoalkan nilai keindahan. Sedangkan karsa adalah nilai spiritual
yang secara khusus mempersoalkan nilai kebaikan.

Cara ilmu berkiprah metodiknya tidak memungkinkan untuk
meneropongi serentak seluruh realitas dalam totalitasnya. Walaupun ilmu
pengetahuan mencari pengertian dengan menerobos realitas sendiri, pengertian
ini hanya dicari pada tataran empiris dan eksperimental. Maksudnya, ilmu
pengetahuan membatasi kegiatannya hanya pada fenomen-fenomen yang entah
langsung atau tidak dapat dicerap oleh indera. Tambahan pula, ilmu
pengetahuan hanya meneliti dan mempelajari salah satu sektor tertentu dari
seluruh realitas. Cara kerjanya (terpaksa) fragmentaris atau terbagi-bagi.
Fragmentarisme ini mudah menyebabkan bahwa orang tidak lagi melihat
keseluruhan atau totalitas, dan perkaitan antara dia dengan realitas. Muncul
bahaya sikap berat sebelah. orang hanya tahu lorongnya sendiri. Dunianya kecil
sekali. Padahal tiap-tiap orang sebetulnya menginginkan dan menghasratkan di
dalam hatinya kesatuan dan sintesa. Dengan kata lain ilmu pengetahuan tidak
menerobos sampai ke inti obyeknya yang sama sekali tersembunyi dari
observasi. Ia tidak menjawab perihal kausalitas yang paling dalam. Jika kita
mempelajari ilmu, akan masih tertinggal beraneka ragam pertanyaan yang
bersifat mendasar, namun tidak termasuk ke dalam tataran empiris dan
eksperimental. Kita tahu atau sekurang-kurangnya merasakan adanya lapisan
lebih dalam yang dapat digali. Kita belum mencapai pengertian fundamental.
Adakalanya kita mendengar orang mengatakan bahwa cara bernalar dan
mencari fakta oleh ilmu pengetahuan lebih banyak bersifat sentrifugal, artinya
menjauh dari manusia itu sendiri beserta persoalan-persoalan pribadinya,
daripada sentripetal, artinya memusat atau mendekati manusia konkret atau sang
aku. Persoalan-persoalan ilmu pengetahuan terlalu umum dan tidak mengena
pada diri pribadi orang, dan karena itu tidak mempunyai cukup kedalaman.
14
Orang individual tidak dihampirinya sebagai seorang aku melainkan sebagai
dia atau manusia saja
Karl Jasper menyebutkan bahwa iIlmu pengetahuan adalah
pengetahuan fakta dan bukan pengetahuan realitas yang asli, yang menghasilkan
suatu ikhtisar dan pandangan yang menyeluruh dan meliputi keseluruhan
realitas pada dirinya. Padahal keseluruhan itu menjadi ruang hayat manusia.
Ilmu tidak menyediakan cita-cita yang menggiurkan hati, tidak
memberikan kaidah-kaidah mutlak dan bersifat mengikat demi tercapainya
tujuan kehidupan yang ingin dicapai seseorang oleh dirinyanya pribadi, dan
akhirnya mungkin menjauhkan dirinya dari masalah makna segala-galanya,
yang justru lebih dipentingkan orang. Sebab, setiap kali manusia belajar atau
menemukan sesuatu, ia ingin mencari lebih jauh lagi dan bertanya-tanya terus
sampai saat ia mendapatkan jawaban mengenai sebab terakhir, yang
menyingkapkan adanya semua yang ada dan sekaligus menampakkan bobot
sebenarnya dari semua yang ada.
8. Potensi Eksistensi Manusia Dalam Filsafat
Karl Jasper mendukung gagasan, bahwa semua pertanyaan dan
persoalan yang berkaitan dengan hidup manusia, memakai aku sebagai pokok
kalimat dan ditelusuri serta diselami sampai pada ke akarnya.
Jika kita disadarkan akan fakta-fakta ini dan menemukan bahwa,
kendatipun pengetahuan kita lebih maju, masih tertinggal suatu ketidaktahuan,
pintu menjadi terbuka untuk menggali suatu lapisan mengenal yang berikut,
yaitu filsafat.
Filsafat merupakan pemikiran sedalam-dalamnya tentang semua hal yang
bersentuhan dengan manusia dan bagaimanapun juga caranya bersangkut paut
dengan dia dan hidupnya. Jadi filsafat akan berurusan dengan benda-benda,
situasi-situasi, pertanyaan dan masalah yang sebelumnya telah dijumpai baik di
15
tingkat pengetahuan pra-ilmiah maupun di tingkat pengetahuan ilmiah, namun
kali ini diselami ke dasar yang lebih dalam.
Sudah barang tentu pertanyaan yang paling akhir dan paling mendasar,
sehingga semua pertanyaan lain tersirat di dalamnya dan dirumuskan kembali,
ialah : apa makna kehi- dupan? Saya tidak pernah meminta hidup, tapi satu kali
saya hidup, apa yang harus saya buat?
Filsafat sebetulnya mencari suatu citra manusia, yaitu suatu visi
tertentu atas hidup manusia, yang dapat dipertanggungjawabkan, yang dapat
berperan menjadi pedoman yang bersifat mengikat dan mengarahkan bagi
keseluruhan sikap hidupnya. Visi itu harus menjuruskan dan menjiwai tingkah
lakunya. Jadi tujuan filsafat bukanlah pengetahuan demi pengetahuan. Manusia
membutuhkan suatu visi atas hidup yang benar-benar berakar dan berbobot,
supaya dengan berpijak pada hal tersebut ia tahu bagaimana membentuk diri
seperti semestinya, apa yang dapat diharapkannya untuk masa yang akan datang,
dan dimana ia harus mencari kebulatan, keutuhan, dan kesempurnaan hidup
sebagai manusia, dan akibatnya, di mana ia akan dapat menemukan kebahagiaan
(kalau kebahagiaan itu ada). Jadi berfilsafat mempunyai orientasi praktis, namun
harus bertumpu pada citra manusia yang bertanggungjawab dan suatu pandangan
atas manusia yang berdasar. Itulah yang harus dicita-citakan.
Konsekuensi lain adalah bahwa orang yang berfilsafat harus selektif
dalam usahanya. Hendaknya ia hanya memilih pokok-pokok yang aktual untuk
dirinya pribadi dan menjamin suatu pengertian yang lebih baik akan dirinya,
atau seku-rang-kurangnya memberi harapan untuk itu. Dengan kata lain, semua
pertanyaan yang tidak membuat dia sibuk dengan dirinya sendiri harus
dikesampingkan. Maka berfilsafat berarti suatu kegiatan dimana orang bersibuk
dengan dirinya sendiri dalam pikiran dan pengetahuan.
Hal berfilsafat adalah kegiatan dan kesibukan yang khusus dan
tersendiri. Berfilsafat adalah sedemikian rupa bersibuk dengan diri sendiri dalam
pikiran, sehingga segala kesibukan lain dan apa yang terjalin dengan
16
diikutsertakan ke dalamnya, kemudian diperdalam olehnya, dan dipertimbangkan
nilainya. Hal ini tidak boleh disimpulkan bahwa filsafat itu mengurungkan
manusia ke dalam diri sendiri dan menceraikan dia dari hidup biasa. Justru
kebalikannya yang terjadi. Filsafat berhasrat agar manusia makin mengenal diri
dengan lebih baik sebagaimnana ia nyata adanya. Dengan kata lain segala hal
yang menyangkut aku dengan permasalahan dan kemungkinannya harus
dimasukkan dalam permenungannya. Seandainya tidak begitu, pemikiran filsafat
tidak akan mempunyai relevansi atau sedikit sajalah artinya.
Filsafat justru bermaksud agar aku mengenal kembali dirinya dalam
semuanya yang diajarkan mengenai hidup manusia. Olehnya hidup itu hendak
ditingkatkan sampai pada tatanan yang lebih manusiawi dan asli. Makanya
boleh kita mengatakan bahwa filsafat hendaknya menjadi bentuk pengenalan
diri. Terutama sekali, di waktu sekarang banyak orang ditatar menjadi lebih
pandai di bidang khusus mereka masing-masing, filsafat semakin dibutuhkan,
sebab olehnya diberikan suatu pemandangan yang merangkum seluruh diri
manusia.
Romano Guardini (1885-1968) seorang filsuf-teolog terkenal, dalam
bukunya Mein Ich und das Gute menyebut sebagai bahaya sangkaan banyak
orang bahwa, setelah menjadi dewasa, mereka tidak perlu dibimbing dan dibina
lebih lanjut. Hanya efesiensi mereka perlu ditingkatkan. Untuk itu diperlukan
sejumlah pengetahuan baru ad hoc. Akibatnya ialah bahwa mereka mengalami
suatu kemiskinan mental, yang membuat mereka tidak berdaya terhadap setiap
pengaruh dari luar. Mereka tidak mampu membentuk sikap dan pendirian yang
bersifat pribadi. Sekalipun mereka pandai di bidang profesional, dan penuh
kepastian, mereka berdiri di kancah kehidupan dengan ragu-ragu dan tanpa arah
(mungkin, korupsi dan opportunisme yang melanda masyarakat kita dapat
diasalkan kepada tiadanya pegangan yang sungguh-sungguh dihayati). Menurut
Guardini, manusia harus dihadapkan dengan diri sendiri berulang-ulang. Ia
sendiri harus mencari dan menyelidiki semua kemungkinan yang nampak
terbuka bagi dia. Ia harus memeriksa sendiri arti sebenarnya dari kebebasan dan
17
tanggungjawabnya, sebab hanya demikianlah ia akan mampu menemukan jalan
yang benar di suatu dunia yang serba berubah dengan pesat, dan menyesuaikan
diri secara bertanggungjawab dengan suatu zaman teknologi, dimana efesiensi
lebih tinggi memang dituntut sebagai prasyarat.
Jadi, kita tak boleh menilai filsafat dari segi kegunaannya yang
praktis. Kita tidak boleh mengharapkan suatu teknik atau keterampilan
daripadanya. Filsafat tidak bersifat pragmatis atau utilitaristis. Ia tidak
menjanjikan keuntungan yang bersifat kebendaan. Ia tidak dapat
membanggakan penemuan-penemuan di bidang teknologi untuk membuktikan
keunggulannya. Ia sama sekali berdiri di luar kategori yang berguna, dan
karenanya memang tidak menarik bagi orang yang berkejangkitan aspirasi
material melulu. Nilainya tidak dapat diukur secara kuantitatif - hasilnya
berapa? tetapi berkaitan dengan kualitas hidup. Itulah yang dipentingkan
Oleh karena filsafat mencari yang paling dalam dan yang paling
dasar, ia melampaui pengertian yang dihasilkan ilmu pengetahuan.
Keuntungannya ialah bahwa ia lebih dapat memperlihatkan saling hubungan
antara segala-galanya. Sebab pada inti realitas yang terdalam, semuanya
bersentuhan satu sama lain.
Kalau kita berfilsafat sendiri, atau membaca sumbangan pikiran orang lain,
kita harus selalu melibatkan diri secara pribadi, dan berminat dari dalam inti diri
kita. Bukanlah manusia pada umumnya atau manusia dalam arti abstrak
yang kita renungkan, tetapi manusia ini atau aku ini yang konkret. Maka
semua yang dikatakan, perlu kita uji dengan berpedoman pada kadar
kebenaran yang kita alami sendiri. Kita harus menyambung pada pengalaman
pribadi kita. Kita harus mengolah kesemuanya secara pribadi, dan seolah-olah
menerjemahkan ke dalam bahasa kita sendiri. Kita harus menerapkan semua
pada situasi kita. Tidak ada orang yang lebih berwenang di bidang hidup pribadi
kecuali aku sendiri.
9. Potensi Eksistensi Manusia Dalam Agama
18
Sekalipun telah disebutkan bahwa filsafat berupaya mencari dasar yang
paling dalam, ia ternyata tidak akan pernah bertemu dengan kata akhir.
Orang berfilsafat yang telah mencapai batas kemampuan pikirannya dalam
merenungkan hidup sebagai manusia ternyata masih meninggalkan sejumlah
pertanyaan yang tak terjangkau akalnya.
Jika seseorang beragama, maka ia akan tahu dan percaya bahwa Allah
juga telah berfirman dan menyampaikan paham-Nya tentang hidup manusia.
Kebutaannya membuat dia bertanya kepada Allah. Ia hadapkan dirinya pada
Tuhannya. Ia pertanyakan ketidaktahuannya. Di sini kita menemukan
kemungkinan terakhir untuk meredakan ketegangan antara tahu dan tidak tahu.
Filsafat dan Agama merupakan dua jalan yang saling berhubungan erat
menuju pengenalan diri. Orang beragama yang berfilsafat tentang diri sendiri dan
bertatap muka dengan banyak soal yang tidak terjawab olehnya, akan
menyerahkannya pada Teologi, atau meninjau dirinya kembali di bawah sorotan
cahaya Wahyu Illahi. Kalau filsafat telah mengubah dia menjadi orang yang
bertanya-tanya, sapaan Tuhan akan diberi arti lebih besar, yakni sebagai
bantuan bagi manusia yang bertanya. Kalau dia bukan orang yang bertanya-
tanya di hadapan Allah, Tuhan dan sapaanya-Nya tidak akan dianggap
kenyataan yang hidup.
Semakin seseorang di bawah pengaruh pemikiran filsafatnya mengenal
diri sebagai manusia, semakin dia menjadi orang beriman. Di pihak lain,
kalau seseorang sungguh beriman dalam artikata religius, dan memikirkan serta
merenungkan hidupnya sebagai manusia, maka dengan sendirinya ia akan
memperhitungkan masukan agamanya, berupa pandangan atas hidup. Itu sesuatu
yang logis. Sebab filsafat adalah bernalarnya manusia atas dirinya sebagaimana
adanya. Jadi kalau dia beriman, ia tidak boleh melepaskan iman dalam tinjauan
dan permenungannya. Orang beriman percaya bahwa justru yang difirmankan
Allah dapat dan harus menjadi modal pikiran yang bernilai. Hidup beriman akan
memberi suatu pengarahan kepada filsafatnya dan menghadapkan dia secara
19
8.
Peursen, C.A. Van, Fakta, Nilai, Dan Peristiwa: Tentang Hubungan Antara
Ilmu Pengetahuan Dan Etika (Jakarta. Gramedia, 1990), hal. 89-91
lebih intensif dengan masalah-masalah tertentu. Sebab, sebagai orang beriman ia
merenungkan hidupnya sebagai manusia
8.

Anda mungkin juga menyukai