Anda di halaman 1dari 2

Kebijakan Pembangunan Perikanan, Antara kesejahteraan dan kesenjangan sosial

Oleh : Nurhan Tabau Penghormatan dan pemajuan atas hak-hak sipil, hak-hak politik, hak-hak ekonomi, hak-hak sosial, dan budaya adalah prasyarat bagi perwujudan kesejahteraan bersama dan penghapusan ketidakadilan (Amartya Sein). Kalimat inti yang mewakili judul tulisan ini terkait dengan kutipan di atas adalah kesejahteraan dan ketidakadilan yang diperaktekkan oleh pengambil kebijakan, tentunya dalam hal ini pemerintah. Kebijakan harus berpihak karena semestinya independensi pun adalah keberpihakan pada kebenaran. Itulah filosofi berangkatnya sebuah kebijakan. Berbicara tentang kebijakan dan kebenaran bukanlah bahasan idealitas yang tak memiliki realitas. Yang dimaksud kebenaran dalam kebijakan adalah ukuran atau indikator apa, bagaimana dan untuk siapa kebijakan itu lahir, bagaimana prosesnya, monitoringnya, evaluasinya, outputnya dan outcomenya (implikasinya). Ini sering terlupa oleh gagapnya pengambil kebijakan yang terjadi hampir di semua sektor pembangunan. Apatah lagi pada pengelolaan sumberdaya pesisir. Jika Trust (saling percaya) merupakan elemen inti bagi berlangsungnya kerjasama (Fukuyama, 1995), maka perlu ada pola hubungan kerjasama setara antara pengambil kebijakan dengan sasaran kebijakan atau minimal pengetahuan terhadapnya. Lantas, bagaimana posisi antara keduanya. Hal ini pulalah yang sering disalahartikan. Bahwa pengambil kebijakan adalah pemilik kebenaran sementara masyarakat dianggap tak tahu tentang kebenaran. Pemilik modal adalah tuan dan masyarakat adalah hamba, ataukah sumberdaya alam atau resourch diperuntukkan untuk dikelolah semaunya tanpa pertimbangan keberlanjutan dan generasi. Lalu seperti apa trust bisa terbangun? Karena kepercayaan tidak akan terbangun dalam hubungan eksploitatif. Nelayan dan Kemiskinan 60 persen dari masyarakat bangsa bermukim pada wilayah yang dibatasi dengan laut. Masyarakat pesisir adalah_sumberdaya manusia luar biasa yang notabene memiliki sumberdaya alam yang sangat kaya. Kenapa kebijakan tidak berpihak pada mereka? Ironis, karena justru kemiskinan merajalela. Sebuah penelitian (Nurdin, dkk., 2000) tentang modernisasi alat tangkap pada outputnya ternyata menyebabkan semakin tajamnya kesenjangan sosial, terjadi penggundukan kekayaan antara nelayan kaya dan sebagian besar nelayan miskin. Hal ini terbukti dengan introduksi teknologi pada waktu dan tempat yang tidak tepat akan membawa dampak pada lahirnya kesenjangan sosial masyarakat pesisir. Pilihan strategis pembangunan masyarakat pesisir yang berparadigma pada kebijakan Top Down atau kebijakan ke atas ini semestinya benar-benar tidak dipraktekkan lagi, namun hal ini tidak mudah. Perlu adanya pendekatan holistic (menyeluruh), menyangkut sistem dan mentalitas birokrasi kita yang bersifat Patron-clien (tuan dan hamba). Jika dirunut lebih Rigid lagi, akan sampai pada akutnya sistem yang sedang menjadi panutan bersama. Sistem dan mentalitas birokrasi serta budaya masyarakat kita membutukan reformasi yang tidak boleh setengah hati. Jika hal ini terus terjadi maka pemiskinan struktural sadar atau tidak akan terus berlanjut. Kelembagaan Nelayan Berangkat dari pendekatan masalah (problem oriented), kemiskinan nelayan mestinya dinilai sebagai suatu kesalahan yang sistemik paradigmatik. Dimana secara sistemik pola pengambilan

kebijakan yang tidak populis, tidak kontekstual, dipraktekkan oleh pengambil kebijakan. Kemudian secara paradigmatik (sudut pandang secara konseptual) orientasi pembangunan negara yang tidak berimbang antara pembangunan sektor pesisir dan laut dengan sektor lain tidak terjadi proporsi pembangunan yang adil. Analisis sepintas terdapat dua faktor yang menghambat pembangunan perikanan di luar konteks sumberdaya alam, yaitu kelembagaan nelayan dan permodalan. Hal ini menyebabkan lemahnya mobilitas vertikal dan produktivitas masyarakat nelayan. Dalam pembangunan sektor pesisir yang terpenting adalah pembangunan seharusnya didasarkan pada pendekatan yang terfokus pada pembangunan manusia (people centered development), yaitu upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat pada pemberdayaan dan pembangunan manusianya. Hal inilah yang perlu menjadi orientasi kebijakan departemen kelautan dan perikanan. Dengan orientasi pada pembangunan manusia dengan semangat pemberdayaan diharapkan terbangun sumberdaya manusia yang mampu menjawab kebutuhan industrialisasi perikanan yang mau tidak mau menjadi prasyarat mutlak untuk eksistensi masyarakat pesisir kekinian. Dengan semangat pemberdayaan dan fokus pembangunan pada peningkatan kapasitas manusianya menjadi jelas bahwa harapan akan kelembagaan masyarakat nelayan yang modern akan terbangun. Selain itu menjadikan masyarakat pesisir yang berdaya dan mampu keluar dari permasalahannya sendiri, masyarakat yang memiliki kemampuan mengorganisir kepentingan bersama dan memiliki semangat gerak ke arah yang lebih terbuka bagi teknologi baru dalam kemajuan industrialisasi perikanan dan laut. Modal sosial untuk kesejahteraan nelayan Yang dimaksud modal sosial atau kapital sosial dalam tulisan ini adalah kapital manusia (human capital). Hal tersebut menekankan pada kemampuan yang dimiliki seseorang melalui pendidikan, pelatihan atau pengalaman dalam bentuk pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. Tentunya yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Hal inilah yang bagi penulis sangat penting menjadi pertimbangan bagi para pelaku kebijakan. Bahwa kesejahteraan nelayan berupa masyarakat pesisir akan terwujud dengan kebijakan yang berfokus pada peningkatan kapital manusia atau masyarakat pesisir. Begitu pula dengan kelompok atau lembaga-lembaga yang terkait langsung dengan masyarakat pesisir, termasuk juga generasi muda serta mahasiswa yang memilih untuk belajar mengetahui dan memahami bidang ini. Pengetahuan dan keterampilan menjadi niscaya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Mencapai hal itu kebijakan yang diterapkan semestinya mendapat proporsi lebih, termasuk pada bagaimana peningkatan kualitas masyarakat profesional dalam bidang perikanan dan laut yang menempuh pendidikan formal. Mereka dituntut untuk mengetahui dan memahami pembangunan dan pengelolaan sumberdaya pesisir yang diharapkan mampu menjadi fasilitator sekaligus katalisator untuk kesejahteraan nelayan. Bukan bagian dari pelanggengan kesenjangan dalam kehidupan masyarakat pesisir. Semoga! Penulis adalah pemerhati masyarakat pesisir. (Aqua 2000) Diposkan oleh Akuakultur Unhas di 13:01 Label: Senior

Anda mungkin juga menyukai