Anda di halaman 1dari 3

Ketika

Kutatap Hujan di luar yang begitu deras sambil mendengarkan lagu. Ada melodi di balik titik-titik hujan itu yang membuatku rindu akan seseorang. Ah.. aku terngiang kata-kataku sendiri bahwa hujan membawa luka. Luka seperti yang kurasa saat ini. Ada kerinduan ingin melihat wajahnya. Hujan ini mengingatkan aku saat kami berteduh di bawah sebuah pondok kecil. Alangkah indahnya waktu itu dan ingin rasanya kuulang lagi walau tak mungkin. Dulu aku pernah bermimpi tentangnya dan selalu tentangnya. Jika teori Sigmund Freud benar adanya bahwa mimpi merupakan bentuk represi dari hasrat terpendam maka mungkin memang benar aku tak punya keinginan lain melainkan hanya bersamanya saja. Aku ingat malam itu setelah dia datang kembali dalam mimpiku aku dihantui olehnya namun sebagai wanita aku tak berdaya hingga akhirnya keputusanku sudah mantap untuk mengatakan bahwa aku menyukainya. Di tepi danau tempat kami bermain dan belajar dulu aku mengatakan perasaanku padanya mengabaikan rasa malu yang mengecam dan berkecamuk hebat di hatiku. Aku tak perduli dia menerima atau tidak karena tujuanku bukanlah berharap atas penerimaannya melainkan mengungkapkan apa yang kurasa. Dia memandangku tak percaya ketika kuucapkan bahwa aku suka padanya. Wajahnya terlihat bingung sedangkan aku hanya berdiri menunduk dan kemudian tersenyum ke arahnya. Dia yang masih terdiam membuatku tak enak hati, membuatku merasa bersalah telah membuat keadaan menjadi tidak nyaman untuknya.

Kemudian dia tertawa sebagai jawabannya. Aku sudah tahu pil pahit ang harus kutelan toh aku pun tahu dia menyukai siapa. Dia menyukai Sari sahabatku sendiri dan aku menyukainya oh.. Tuhan betapa menggelikan hidup ini. Aku mendesah, masih memandang keluar jendela. Teh hangat yang kubuat tadi membuat tenggorokanku nyaman ketika mengecapnya. Oh bagaimana reaksinya? Apa jawabannya? Aku hanya menepuk bahunya seraya menyerahkan sebuah kartu undangan yang bertuliskan namaku dan nama Bisma di sana. Aku sungguh mengharapkan kehadiranmu di acara pernikahanku, Nizam. Kau sungguh berarti sebagai sahabatku dan orang yang kusayangi selama ini. Maaf karena aku mengatakan bahwa aku menyukaimu pada saat ini tapi aku ingin kelegaan ini tercipta dan mengisi hatiku sehingga aku sepenuhnya bisa mencintai Bisma ucapku dengan senyum simpul. Aku sudah mengenalnya semenjak kecil dan kami bermain bersama tapi ia tak pernah menganggapku sebagai wanita sebagaimana adanya sehingga aku hanya menjadi pelabuhan ceritanya mengenai Sari. Menyedihkan bagiku harus menunggu dia memalingkan wajahnya padaku dan ketika kutunggu ia tak kunjung mengulurkan tangan sehingga ketika aku bimbang pada hidup dan Bisma menawarkan kehidupan yang kuharapkan dari seseorang. Kudengar ada suara kecil menapak di lantai dan ketika kulihat ia adalah Asma, putri kecilku yang kucinta. Mama.. Papa belum pulang ma? ujarnya sembari merajuk manja dalam buaianku. Sebentar lagi sayang kataku dan tak lama di tengah guyuran hujan aku mendengar deru mobil masuk ke halaman. Itu Pasti papa teriak Asma melonjak kegirangan. Aku tersenyum dan kemudian menggendong Asma dan membuka pintu untuk suamiku, Bisma. Hari ini adalah hari ulang

tahun pernikahan kami dimana Bisma berjanji untuk menerimaku apa adanya dengan ketulusannya. Ia membawa bunga dan kue sebagai bentuk peringatan dan ia tak pernah lupa. Aku berpikir betapa Tuhan sangat baik padaku.

Anda mungkin juga menyukai