Anda di halaman 1dari 9

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masyarakat sipil adalah terjemahan dari civil society. Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang pertama kali menggunakan kata societies civilis dalam filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara (state). Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja. Civil society mempunyai lima karakteristik yaitu free public sphere, demokratis, toleransi, pluralisme, keadilan sosial. Selain memiliki karakteristik sebagai nilai universal dalam penegakan civil society, dalam civil society juga memiliki pilar penegak yang berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta dapat memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. Pilar-pilar tersebut antara lain adalah Swadaya Masyarakat), pers, Supremasi Hukum dan perguruan tinggi. Hubungan antara civil society dengan demokrasi proses penegakan demokrasi secara keseluruhan, tidaklah bertolak penuh pada penguatan dan kekuatan civil society, sebab dia bukan penyelesai tunggal ditengah kompleksitas problematika demokrasi. Civil society lebih bersifat komplementer dari berbagai strategi demokrasi yang selama ini sudah berkembang. Masyarakat sipil lahir dan berkembang dalam asuhan liberalisme sehingga hasil masyarakat yang dihasilkannya pun lebih menekankan peranan dan kebebasan individu, persoalan keadilan sosial dan ekonomi masih tanda tanya. Sedangkan dalam masyarakat madani, keadilan adalah satu pilar utamanya. LSM (Lembaga

Persaingan para elite politik yang lebih berorientasi kepada kepentingan kelompok masing-masing dengan berusaha melemahkan atau menjatuhkan kelompok lainnya, tanpa menghiraukan nilai-nilai etika dan moral politik. Bahwa kekerasan-kekerasan masyarakat yang terjadi untuk mencoba mengganggu terwujudnya civil society yang ideal di Indonesia. Gerakan feminisme sejalan dengan cita-cita penguatan civil society yang kini menjadi ikon demokratisasi global. Civil Society yang kuat tidak bisa tidak harus disangga oleh tatanan sosial yang bersifat partisipatoris.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah : 1. Apakah yang dimaksud dengan Civil Society ? 2. Apa saja karakteristik Civil Society ? 3. Sebutkan pilar penegak yang terdapat di Civil Society ? 4. Jelaskan hubungan antara Civil Society dengan demokrasi ? 5. Jelaskan perbedaan Antara Masyarakat Madani dan Civil Society ? 6. Jelaskan Perjalanan Civil Society di Indonesia ? 7.

BAB II ISI

2.1 Pengertian Civil Society


Istilah civil society berasal dari kata latin Civilis Societas. Ia berasal dari Cicerio, yang hidup dalam abad pertama sebelum kristus. Pengertian awalnya terkait dengan konsep tentang warga dan bangsa Romawi yang hidup di kota-kota yang memiliki kode hukum. Kode hukum itu merupakan ciri dari masyarakat atau komunitas politik yang beradab, yang berhadapan dengan masyarakat diluar Romawi yang belum beradab. Konsep Cicerio ini mencakup kondisi individu maupun masyarakat secara keseluruhan, yang telah memiliki budaya hidup kota yang menganut norma-norma kesopanan tertentu. Pada intinya bahwa civil society dapat juga dikatakan sebagai merupakan sebuah komunitas sosial dimana keadilan dan kesetaraan menjadi fundamennya, yang sadar hukum, sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara, sadar akan kedaulatan yang ada ditangannya, serta mau melaksanakan hak-hak tersebut untuk melakukan perbaikan sistem dan mempertahankan hak-hak tersebut bila dilanggar. Dengan kata lain, civil society adalah suatu masyarakat yang mandiri, yang bisa mengatur dirinya sendiri, dan aktif melakukan kontrol sosial terhadap pelaksanaan pemerintahan. Civil society lahir sebagai antitesis dari kelembagaan peran masyarakat sebelumnya yaitu natural society dan political society. Dalam natural society, negara tidak ada, yang ada hanyalah sekelompok orang-orang yang saling berperang untuk mempertahankan kepentingannya sementara hukum dan aturan tidak ada. Dalam political society, pengaturan masyarakat diserahkan sepenuhnya kepada negara (kerajaan) , namun dalam perjalannya konsep political society menimbulkan peran sentral negara yang melahirkan kesewenang-wenangan dan diktator. Melihat kondisi ini, timbullah pemikiran para intelektual. John Locke menyatakan bahwa kekuasaan negara tidak boleh mutlak, hak hak dasar manusia seperti kemerdekaan, kepemilikan pribadi dan hak atas kehidupan tidak boleh di intervensi/diganggu oleh negara manapun juga.

2.2 Karakteristik Civil society

Karakteristik dikategorikan menjadi lima, antara lain: 1) Free Public Sphere

Public sphere adalah adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat. Dengan adanya ruang publik yang bebas dalam tatanan civil society, maka akan memungkinkan terjadinya pembungkaman kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum oleh penguasa. 2) Demokratis

Adanya kehidupan demokratis, merupakan hal yang penting yang pada hakekatnya mempunyai arti pemerintahan dan rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.. Bidang kehidupan bangsa baik didalam penyelenggaraan pemerintah maupun pembangunan yang dimulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang harus melibatkan partisipasi masyarakat baik laki-laki maupun perempuan. Dalam kehidupan demokratis antara laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama didalam melaksanakan perannya didalam masyarakat, terutama di lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. 3) Toleransi

Toleransi merupakan sikap yang memungkinkan akan adanya kesadaran masing-masing individu untuk menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh kelompok masyarakat lain ynag berbeda. Civilitas meniscayakan toleransi, yakni kesediaan individuindividu untuk menerima pandanngan-pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda. 4) Pluralisme

Pluralisme harus dipahami secara mengakar dengan menciptakan sebuah tatanan kehidupan yang menghargai dan menerima kemajemukan dalam konteks kehidupan sehari-hari. Bahkan

pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lian melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan (check and balance). 5) Keadilan sosial

Keadilan dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian secara proporsional terhadap kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Hal ini memungkinkan tidak adanya monopoli dan pemusatan salah satu aspek kehidupan pada satu kelompok masyarakat. Secara esensial masyarakat memiliki hak yang sama dalam memperoleh kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah (penguasa). Selain memiliki karakteristik sebagai nilai universal dalam penegakan civil society, dalam civil society juga memiliki pilar penegak. Pilar penegak disini maksudnya adalah institusi-institusi yang menjadi bagian dari system control yang berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta dapat memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. Pilar-pilar tersebut antara lain adalah: 1) LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) adalah institusi sosial yang dibentuk oleh swadaya

masyarakat yang tugas esensinya adalah membantu dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang tertindas. 2) Pers merupakan institusi yang memungkinkannya dapat mengkritisi dan menjadi bagian

dari system control yang dapat menganalisa serta mempublikasikan berbagai kebijakan pemerintah yang berkenaan denagn warga negaranya. 3) Supremasi Hukum memberikan jaminan dan perlindungan terhadap segala bentuk

penindasan individu dan kelompok yang melanggar norma-norma hukum dan segala bentuk penindasan hak asasi manusia, sehingga terpola bentuk kehidupan yang civilized. 4) Perguruan Tinggi memiliki tugas utama mencari dan menciptakan ide-ide alternatif dan

konstruktif untuk dapat menjawab problematika yang dihadapi oleh masyarakat.

2.3 Hubungan antara civil society dengan demokrasi


Menyikapi keterkaitan civil society dengan demokratisasi ini, Larry Diamond secara sistematis menyebutkan ada enam kontribusi civil society terhadap proses demokrasi: 1. Memperkaya pertisipasi politik dan meningkatkan kesadaran kewarganegaraan. 2. Ikut menjaga stabilitas negara 3. Menghalangi dominasi rezim otoriter dan mempercepat runtuhnya rezim Pada dasarnya dalam proses penegakan demokrasi secara keseluruhan, tidaklah bertolak penuh pada penguatan dan kekuatan civil society, sebab dia bukan penyelesai tunggal ditengah kompleksitas problematika demokrasi. Civil society lebih bersifat komplementer dari berbagai strategi demokrasi yang selama ini sudah berkembang.

2.4 Antara Masyarakat Madani dan Civil Society

Menurut pengamatan A. Syafii Maarif, masyarakat sipil civil society yang berkembang dalam masyarakat Barat secara teoritis bercorak egilitarian, toleran, dan terbukanilai-nilai yang juga dimiliki oleh masyarakat Madinah hasil bentukan Rasulullah. Masyarakat sipil lahir dan berkembang dalam asuhan liberalisme sehingga hasil masyarakat yang dihasilkannya pun lebih menekankan peranan dan kebebasan individu, persoalan keadilan sosial dan ekonomi masih tanda tanya. Sedangkan dalam masyarakat madani, keadilan adalah satu pilar utamanya. Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah.

2.5 Perjalanan Civil Society di Indonesia


Civil society di Indonesia mulai menampakkan wujudnya setelah Soeharto tumbang dan digantikan oleh Habibie. Namun dalam perjalanan mewujudkan Civil society di indonesia mulai era Habibie sampai Megawati bukan berati tidak ada hambatan-hambatan. Feodalisme dan label status quo para pejabat baik di pusat maupun didaerah serta dosa-dosa masa lalu dalam era Soeharto yang sering disebut dengan Orang ORBA, membuat civil society menjadi momok yang menakutkan bagi mereka. Ditambah lagi dengan beberapa persoalan dalam masyarakat seperti tingkat pendidikan, pendapatan dan kesadaran hukum masyarakat yang masih sangat rendah. Apalagi pada saat ini muncul gejala baru dalam kehidupan negara di mana terjadi persaingan para elite politik yang lebih berorientasi kepada kepentingan kelompok masingmasing dengan berusaha melemahkan atau menjatuhkan kelompok lainnya, tanpa menghiraukan nilai-nilai etika dan moral politik. Bahkan disinyalir pula, bahwa terjadinya serangkaian konflik dan kekerasan tersebut tidak terlepas dari provokasi sejumlah elite politik yang tidak menghendaki terwujudnya kondisi negara yang stabil. Banyak kalangan mensinyalir, bahwa kekerasan-kekerasan masyarakat yang terjadi di Maluku, Poso dan di berbagai daerah lainnya yang bernuansa darah dan kekerasan, tak lain adalah untuk mencoba mengganggu terwujudnya civil society yang ideal di Indonesia.

2.6 Feminisme Islam dan Civil Society


Sejak hampir seabad lalu banyak diantara kaum perempuan termasuk perempuan muslim, yang merasakan ketimpangan dalam relasi gender. Perjuangan menciptakan keadilan gender diwujudkan melalui gerakan feminisme. Secara garis besar tak ada perbedaan antara feminism islam dengan feminisme yang berkembang di dunia Barat, kecuali bahwa feminisme Islam berpijak pada teks-teks sacral keagamaan. Dengan begitu maka gerakan feminisme sejalan dengan cita-cita penguatan civil society yang kini menjadi ikon demokratisasi global. Civil Society yang kuat tidak bisa tidak harus disangga oleh tatanan sosial yang bersifat partisipatoris, yakni melibatkan semua unsur di

dalamnya, termasuk kaum perempuan yang sadar akan hak-hak mereka sebagai warga dan anggota masyarakat. Ketidak adilan yang dibenarkan dengan mengutip teks suci dianggap kaum feminis sebagai pangkal penindasan terhadap perempuan. Karena itu rekonstruksi atas pemahan tradisional terhadap ajaan agama dianggap sesuatu yang imperatif untuk menghapus perbedaan status antara laki-laki dan perempuan. Kalangan feminis muslim berusaha memperlihatkan implikasi langsung dari tafsir bias gender terhadap jargon keadilan islam. Dalam hal hukum waris kalangan feminis muslim tidak terutam mempermasalahkan pembagian, namun konteks keadilan.

Anda mungkin juga menyukai