Anda di halaman 1dari 38

Batubara mematikan

Biaya tinggi batubara murah


bagaimana rakyat Indonesia membayar mahal untuk bahanbakar terkotor di dunia

Greenpeace Southeast Asia Walhi JATAM Oktober 2010

Batubara mematikan
Biaya tinggi batubara murah
bagaimana rakyat Indonesia membayar mahal untuk bahanbakar terkotor di dunia

DAFTAR ISI Pengantar II. Batubara Indonesia Jejak pengrusakan batubara IV. Kisah dari lapangan V. Kesimpulan I. 3 5 7 20 27

III.

Arif Fiyanto Hindun Mulaika Nur Hidayati Nabiha Shahab Lea Guerrero

Publikasi: Greenpeace Asia Tenggara www.greenpeace.org/seasia Walhi Jatam

Oktober 2010

I. Pengantar Batubara dianggap sebagai bahanbakar termurah di dunia. Namun, batubara juga merupakan bahanbakar terkotor dan yang paling menyebabkan polusi. Walau demikian, banyak negara tetap menambangnya dan membangun pembangkit listrik dari hasil membakar batubara. Kemudahan bahanbakar ini secara umum menyimpan rapi semua penderitaan yang disebabkannya. Setiap langkah pemrosesan bahanbakar ini sejak dari penambangannya sampai akhir pembakarannya membawa konsekuensi. Kerugian termasuk polusi bahan beracun, hilangnya mata pencaharian, tergusurnya masyarakat, dampak kesehatan pada sistem pernafasan dan syaraf, hujan asam, polusi udara dan menurunnya panen pertanian. Namun dari semua itu yang terparah adalah konsekuensi perubahan iklim yang akan berdampak pada semua negara dan masyarakat dunia, terutama negara-negara berkembang. Sebuah studi Greenpeace yang dilakukan pada tahun 2008 mengungkapkan bahwa pada tahun 2007 saja penggunaan batubara dunia telah merugikan dunia sebesar 360 milyar Euro1. Jumlah ini tidak termasuk biaya besar dampak perubahan iklim dimana penyebab utamanya adalah pembakaran batubara. Jumlah ini juga tidak memperhitungkan dampak eksternal langsung yang terkait dengan batubara yang termasuk di dalamnya kehilangan tempat tinggal masyarakat, hilangnya warisan budaya dan alam, dan dampak-dampak sosial lainnya. Walau tidak memperhitungkan biaya-biaya ini, yang jumlahnya sudah sangat besar, dapat memberikan kita gambaran apa yang dikorbankan dunia ini demi penggunaan batu hitam ini. Di tengah-tengah ini semua adalah dampak yang dirasakan oleh masyarakat: yang bergantung pada pertanian, atau perikanan, atau pariwisata, yang tinggal di wilayah pantai, atau hutan dan gunung dimana batubara ditambang atau digali dari puncak-puncak bukit; atau masyarakat kota yang mencoba untuk hidup damai di bawah bayangbayang pembangkit listrik bertenaga batubara, atau dalam beberapa kasus yang tinggal dekat tambang-tambang batubara besar. Masyarakat ini adalah di antara korban-korban jangka panjang batubara yang tak terlihat, yang memikul beban penggunaan batubara dunia. Di seluruh dunia, masyarakat yang terdampak batubara ini berbagi cerita perjuangan yang sama. Keadaannya tidak terlalu berbeda di Indonesia, negara yang baru-baru ini mengalami lonjakan penambangan batubara. Kota-kota tambang seperti 3

Samarinda, Cirebon dan Cilacap adalah kenyataan pahit dari batubara, bahanbakar yang semakin umum digunakan ini. Sementara batubara membawa kesejahteraan bagi segelintir orang, banyak kota yang makin terjerumus dalam kesengsaraan. Penambangan batubara juga memicu deforestasi, memperburuk perubahan iklim yang sebagian besar disebabkannya. Sangat gamblang bahwa batubara menyebabkan bahaya besar bagi penduduk dan alam dunia ini. Dampak buruknya tidak bisa mengimbangi keuntungan yang konon dibawakannya. Meninggalkan pemanfaatan batubara adalah satu-satunya jalan. Bumi ini tidak akan mampu menanggung kelanjutan penggunaannya biaya kerugiannya terhadap iklim, planet ini dan hidup kita terlalu tinggi. Pemerintah harus menyadari bahwa tugas mereka adalah memastikan masa depan yang dimotori oleh energi bersih dan terbarukan. Dengan cara ini, kerusakan pada manusia dan kehidupan sosialnya serta kerusakan ekologi dan dampak buruk perubahan iklim dapat dihindari. Sayangnya, Pemerintah Indonesia ingin percaya bahwa batubara adalah jawaban dari permintaan energi yang menjulang, serta tidak bersedia mengakui potensi luarbiasa dari energi terbarukan yang sumbernya melimpah di negeri ini. Pada kenyataannya biaya batubara yang sebenarnya menggarisbawahi mendesaknya kebutuhan akan tindakan untuk menghindari konsekuensi buruk masa depan yang ditenagai batubara. Pemerintah harus memprioritaskan dan mendukung investasi hijau yang akan membantu membawa Indonesia menuju jalur pertumbuhan rendahkarbon, dan menghindari dipelihara dan diteruskannya investasi yang menyebabkan deforestasi dan emisi penyebab perubahan iklim. Intervensi-intervensi baru dibutuhkan untuk memastikan masa depan Indonesia yang berkelanjutan. Hal ini memerlukan lompatan teknologi, inovasi kebijakan yang berani dan solidaritas baru antar kelas sosial dan generasi.

II. Batubara Indonesia Indonesia adalah negara yang kaya dengan sumberdaya alam. Cadangan batubaranya yang besar membuat negri ini sebagai produsen sekaligus eksportir utama batubara di dunia.

Paleogenic (red) and Neogenic (green) coal distribution in Indonesia


Source: ESDM (2009) Coal Statistics 2008, Ministry of Energy and Mineral Resources http://www.esdm.go.id/download/Statistik_Batubara_Indonesia.pdf

Berdasarkan data terakhir dari Statistik Energi Indonesia, perkiraan cadangan batubara Indonesia adalah 104.940 miliar ton. Sedangkan cadangan terukurnya sebesar 21.13 miliar ton2. Pada tahun 2009, total produksi batubara Indonesia mencapai 263 juta ton, 230 juta ton diantaranya diekspor ke berbagai negara, atau dengan kata lain sekitar 87% dari total produksi batubara negeri ini diekspor ke luar negeri. Hanya sekitar 13 persen atau 33 juta ton yang dimanfaatkan untuk kebutuhan domestik3. Jumlah ini menempatkan Indonesia sebagai produsen batubara terbesar kelima di dunia, dan pengekspor batubara terbesar kedua di dunia. Ekspor batubara terdiri dari 200 juta ton batubara (steam coal)4 dan 30 juta ton kokas (coking coal) 5. Indonesia saat ini merupakan negara eksportir batubara terbesar dunia setelah Australia dan merupakan eksportir batubara terbesar Asia (Statistik Batubara, World Coal Institute). Sekitar 78 persen batubara diekspor ke pembeli di Jepang, Cina, India, Australia dan Afrika dan selebihnya digunakan di dalam negeri. Pada tahun 2010, Indonesia diperkirakan akan menghasilkan 280 juta ton batubara dengan 75 juta ton dialokasikan untuk penggunaan dalam negeri.

Cadangan batubara total Indonesia tahun 2008 diperkirakan mencapai 104,76 milyar ton, tersebar dalam 12 lapisan batubara di lebih dari 6 propinsi. Simpanan batubara besar di Indonesia terdapat di Sumatra (50.1 %) dan Kalimantan (49.6 %). Selebihnya terdapat di Jawa, Sulawesi, Maluku dan Papua.
Coal resources and reserves in Indonesia in billion tones as of December 2008
Setiawan, B., (2009) Indonesias Coal Policy, Dr. Ir. Bambang Setiawan, Director General of the Directorate General of Mineral, Coal and Geothermal Ministry of Energy and Mineral Resource, Republic of Indonesia, Japan Coal Seminar Tokyo, 27th March 2009

Sebagian besar cadangan batubara negeri ini tersebar hanya di tiga provinsi, yaitu Sumatera Selatan (39%), Kalimantan Timur (34%) dan Kalimantan Selatan (16%). Ketiga propinsi ini menguasai 89% dari semua cadangan batubara terukur di Indonesia6. Pada tahun 2008, batubara dari ketiga propinsi ini menyumbang 98,2% dari total produksi Indonesia. Konsumsi batubara dunia dalam beberapa tahun terakhir meningkat sangat pesat. Pada tahun 1990 konsumsi batubara dunia baru mencapai 3.461 juta ton, pada tahun 2009 konsumsi batubara dunia sudah mencapai 5.990 juta ton7. Peningkatan konsumsi batubara dunia yang sangat pesat ini dipicu oleh peningkatan permintaan energi dunia yang juga melonjak dari sekitar 2 juta ton pada tahun 1985 hingga mencapai 263 juta ton pada tahun 2009. Batubara digunakan untuk menghasilkan sekitar 41% dari persediaan listrik dunia8. Di Indonesia sendiri listrik yang dihasilkan dari batubara mencapai sekitar 14%9. Pemerintah menargetkan pada tahun 2025, listrik yang dihasilkan dari batubara akan mencapai 34,4%10. Tingkat permintaan energi yang berlipat berkorelasi positif dengan peningkatan penggunaan batubara yang meningkat. Antara tahun 1999 dan 2006 saja, penggunaan batubara di seluruh dunia melonjak sebesar 30%.

Sejalan dengan peningkatan permintaan batubara dunia yang terus melaju cepat, pertumbuhan produksi perusahaan pertambangan batubara di Indonesiapun meningkat pesat. Tercatat ada sekitar tujuh perusahaan pertambangan batubara besar di Indonesia yang mendominasi produksi batubara di negeri ini, antara lain PT. Kaltim Prima Coal, PT.Adaro Indonesia, PT.Kideco Jaya Agung, PT. Arutmin Indonesia, PT.Berau Coal, PT. Indominco Mandiri, dan PT. Tambang Batubara Bukit Asam. Seluruh perusahaan tersebut beroperasi di Pulau Kalimantan, kecuali PT. Tambang Batubara Bukit Asam yang beroperasi di Sumatera Selatan. Saat ini Pemerintah Indonesia berencana untuk mengurangi penggunaan minyak bumi dan bergeser ke batubara dan gas sebagai sumber utama untuk menghasilkan listrik. Tahapan pertama dari program ini adalah rencana dibangunnya beberapa PLTU (pembangkit listrik bertenaga uap) dengan bahanbakar batubara sebesar 10.000 Megawatt. Program awalnya direncanakan rampung pada tahun 2009, dengan dibangunnya 35 PLTU sepuluh diantaranya berada di Jawa dan selebihnya tersebar di pulau-pulau lain di Indonesia. Namun, sejauh ini, kurang dari 60% dari target ini telah tercapai. III. Jejak penghancuran batubara: dari galian ke gagasan Batubara bisa saja tampak sebagai bahanbakar yang paling praktis karena ketersediannya yang sangat besar. Namun, sejak dari penambangannya, pembakarannya sampai pembuangan limbahnya, dan di beberapa kasus, penggunaan kembalinya, batubara menyebabkan dampak yang sangat buruk pada lingkungan, kesehatan manusia dan kehidupan sosial dari masyarakat yang hidup dekat tambang, proyek pembangkit listrik dan situs pembuangan limbah. Selain emisi CO2-nya yang sangat besar ketika bahanbakar ini dibakar, batubara juga berdampak buruk pada ekosistem, dan mengkontaminasi persediaan air. Batubara mengemisi gas rumahkaca lain seperti nitrogen oksidan dan metana, serta karbon dan senyawa kimia beracun lainnya seperti arsenik dan merkuri yang dapat merusak kesehatan mental manusia dan perkembangan fisik. Kebocoran limbah dapat merusak stok ikan dan pertanian dengan demikian juga mata pencaharian masyarakat. Dengan kata lain, sepanjang proses produksinya atau rantai kepemilikannya, batubara meninggalkan jejak kerusakan tak dapat diperbaiki pada lingkungan dan kesehatan manusia. A. Penambangan batubara Kerusakan yang diakibatkan oleh pertambangan batubara sudah dimulai sejak awal rantai kepemilikannya. Penambangan batubara juga 7

menyebabkan kerusakan yang tak dapat diperbaiki terhadap tanah masyarakat, sumber air, udara, dan juga membahayakan kesehatan, keamanan, dan penghidupan masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi pertambangan. Pada pola operasinya yang paling merusak, pertambangan batubara merubah puncak-puncak gunung menjadi lubang raksasa dengan cara meledakkannya. Ini adalah cara termurah yang dipraktekkan oleh banyak perusahaan pertambangan batubara di Indonesia. Peledakan puncak gunung ini bertujuan untuk mencapai lapisan tipis batubara yang terkubur dibawahnya. Jutaan ton limbah tambang dan mineral dibuang ke lembah dan sungai dibawahnya. Praktek seperti inilah yang menyebabkan kerusakan permanen pada ekosistem dan lanskap. Praktek seperti ini juga mengubah banyak puncak-puncak gunung di Kalimantan menjadi danau-danau raksasa yang penuh dengan zat beracun dan sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. 1. Penambangan batubara: ancaman nyata pada hutan Indonesia yang tersisa Di Indonesia, penambangan batubara juga bertanggungjawab pada terjadi pembukaan hutan. Hampir seluruh perusahaan pertambangan batubara besar di Indonesia, beroperasi dengan metode pertambangan terbuka (open pit mining). Hanya pertambangan batubara di Sawahlunto, Sumatera Barat yang menggunakan sistem pertambangan bawah tanah. Dengan metode penambangan terbuka, tak pelak lagi pertambangan batubara menjadi salah satu penyebab utama meluasnya deforestasi di negeri ini. Di Kalimantan Selatan dan Timur, kedua propinsi yang saat ini tersedia peta batasan konsesinya, terdapat 400.000 hektar hutan yang tersisa (2007), 323.000 hektar diantaranya berada pada konsesi batubara. Sejak tahun 2000, 85.000 ha di Kalimantan Selatan dan 9.000 ha di Kalimantan Timur hutan hilang karena konsesi batubara tersebut.11 Total tutupan hutan yang berada dalam konsesi pertambangan di kedua propinsi ini mencapai 723.000 ha atau 0,8% dari total wilayah hutan Indonesia pada tahun 2005. Di Sumatra Selatan, dimana tidak diperoleh peta batas konsesi, terdapat sedikit tutupan hutan yang tersisa.12

Kalimantan Sumatra Coal Concessions, 2009


Greenpeace Southeast Asia

Sebagi pembanding, menurut angka resmi dari badan PBB untuk Pangan dan Pertanian (FAO), Indonesia kehilangan 1,87 juta ha hutan per tahun antara tahun 2000 dan 2005. Sejak tahun 1966 sampai 1987, eksplorasi dan produksi batubara mengalami peningkatan pesat. Pada tahun 1966, produksi batubara adalah sekitar 319.829 ton dan pada tahun 1987 melonjak menjadi 2.813.533 ton.13 Periode 1999-2008 merupakan masa lonjakan penambangan skala kecil (terutama di Kalimantan), ketika undang-undang otonomi daerah diberlakukan. Penerbitan ijin menjadi bagian dari kewenangan pemerintah daerah propinsi dan kabupaten dan royalti dari penambangan langsung menjadi penerimaan daerah propinsi dan kabupaten. Ini juga merupakan masa periode merebaknya penambangan liar. Sebagian besar operasi penambangan skala kecil tidak mempunyai analisis dampak lingkungan (amdal) dan biasanya tidak mematuhi rehabilitasi/restorasi situs setelah usainya penambangan. Selanjutnya, korupsi dan lemahnya penegakan hukum serta dukungan dari

kepentingan kuat juga membuat tidak hilangnya operasi-operasi penambangan ilegal. Banyak perusahaan tidak mematuhi kewajiban mereka untuk melakukan rehabilitasi. Laporan Kementrian Negara Lingkungan Hidup memperkirakan bahwa pada tahun 2005, 56% wilayah-wilayah yang ditinggalkan oleh pertambangan di Kalimantan Timur belum direstorasi. Kriteria rehabilitasi lahan tidak didefinisikan secara jelas dalam undangundang, akibatnya sangat sulit untuk menilai kepatuhan perusahaanperusahaan ini14. Usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan produksi batubara terlihat jelas pada Kebijakan Batubara Nasional (KBN). Rencana untuk mengeksploitasi batubara mudah yang berkualitas rendah (<5100 cal/gr) direncanakan dengan membangun pembangkit listrik pada jalan-jalan masuk pertambangan.15
Indonesian Coal Mining Industry Projection
Hasibuan, S. (2007) Coal Supply Outlook in Indonesia, Dr. Ir. Sukma Saleh Hasibuan Director Directorate of Mineral, Coal & Geothermal Program Supervision Ministry of Energy and Mineral Resources (MEMR) Indonesia 16 October 2007

Grafik di atas menunjukkan proyeksi Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral akan pertumbuhan produksi batubara, konsumsi domestik dan ekspor sampai tahun 2025. Produksi batubara diperkirakan meningkat 90% dari tahun 2006 sampai 2025, terutama untuk konsumsi domestik dan direncanakan untuk memenuhi hampir 60% dari total produksi.16 Lonjakan penambangan batubara ini tampak mengakibatkan kerusakan parah pada hutan karena penerbitan ijin penambangan yang serampangan dari beberapa pemerintahan daerah. Hal ini ditambah oleh lemahnya penegakan hukum kehutanan, lingkungan, zonasi dan pertambangan. Berdasarkan analisis mengunakan data tutupan hutan Departemen Kehutanan, total ancaman dari konsesi pertambangan adalah 0,18 juta 10

ha dari konsesi aktif dan 0,81 juta dari konsesi yang direncanakan (0,08 juta status tidak tercatat), dengan total 1,1 juta ha. Di antaranya, 0,94 juta ha terletak di Kalimantan dan 0,13 juta di Sumatra. Potret udara di Kalimantan secara jelas menunjukkan seberapa banyak hutan yang telah hilang. Penebangan hutan berskala besar telah menghancurkan hutan Kalimantan bertahun-tahun lalu. Pada bulan Juni 2010, tim pemerintah pusat dengan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta dan beberapa orang anggota satuan tugas Presiden untuk pemberantasan mafia hukum menyaksikan bahwa ratusan ribu hektar wilayah hutan telah rusak akibat tambang legal dan ilegal di Kalimantan Timur, menegaskan ekses buruk dari diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001. Otonomi daerah melepas kewenangan memberikan ijin operasi tambang umum (selain minyak bumi dan gas) kepada pemerintahan daerah yang kemudian dikukuhkan kembali dengan undang-undang pertambangan mineral dan batubara (Minerba) 2009. Hal ini menyebabkan tambang menjadi penghancur hutan kedua terbesar setelah penebangan liar dan pertanian tebang-bakar. Tim pemerintah ini melihat dari udara ratusan lubang hitam besar yang ditinggalkan oleh tambang-tambang terbuka. Lubang-lubang ini seharusnya direklamasi dengan reforestasi oleh para pemegang konsesi tambang. Salah satu masalah utamanya terletak pada jeda panjang penegakan undang-undang minerba 2009. Undang-undang ini jelas meregulasi pembagian kewenangan dalam pengeluaran ijin tambang bersama antara pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten dengan pembatasan wilayah yang terbuka untuk kontrak penambangan atau disisihkan untuk wilayah pertambangan strategis di bawah jurisdiksi langsung pemerintah pusat. Tiga faktor utama diidentifikasi bertanggungjawab akan semrawutnya pengaturan industri pertambangan dan mengakibatkan kerusakan hutan. Pertama, perubahan kebijakan penggunaan lahan dengan memperbolehkan penambangan di wilayah hutan, termasuk wilayah lindung, melalui dikeluarkannya ijin khusus yang disetujui oleh menteri kehutanan. Ijin-ijin ini diberikan pada perusahaan pertambangan dengan syarat bahwa mereka telah memegang hak menambang di wilayah hutan tersebut sebelum perubahan kebijakan lahan dibuat. 11

Pada awalnya hanya 13 perusahaan yang mendapat keistimewaan ini, tapi pada bulan Mei 2010, 54 ijin dikeluarkan untuk di Kalimantan Timur saja. 53 di antaranya dikeluarkan setelah dikeluarkannya sebuah undangundang tahun 2008 yang menetapkan tingkat tarif untuk eksploitasi produk non-kehutanan termasuk mineral dan batubara. Undang-undang ini sering dianggap sebagai usaha menjual wilayah-wilayah hutan. Kedua, peningkatan dramatis harga komoditas sebelum krisis keuangan global meningkatkan penambangan dalam wilayah hutan. Krisis keuangan menekan harga batubara, tapi sejak 2010, harga batubara pulih kembali dan telah menyebabkan naiknya investasi di sektor pertambangan. Ketiga, desentralisasi penerbitan ijin konsesi tambang dikombinasi dengan pemilihan kepala daerah langsung meningkatkan usaha penerimaan daerah dan pencarian rente. Saat ini, kehausan dunia akan batubara metalurgi atau kokas untuk produksi baja mengancam hutan yang belum tersentuh di Kalimantan Tengah.

Henri Ismail/Greenpeace

2. Penambangan batubara: mengakibatkan polusi air, banjir dan menyempitnya mata pencaharian Samarinda, merupakan satu contoh tentang seberapa besar daya rusak pertambangan merusak kehidupan masyarakat. 12

Bencana banjir, sebagian besar diakibatkan oleh deforestasi, adalah mimpi buruk yang selalu menghantui penduduk Samarinda sejak pertambangan batubara melonjak di sana tiga tahun terakhir. Hujan yang turun lebih dari dua jam, bisa dipastikan akan merubah beberapa titik di pusat kota Samarinda menjadi kolam raksasa. Banjir hampir tidak pernah terjadi sebelum industri batubara mengubah kota ini. Sawah dan lahan pertanian masyarakat di sekitar kota juga terkena dampak buruk penambangan batubara. Desa Makroman, Samarinda Ilir dahulu dikenal sebagai lumbung beras bagi Kota Samarinda, namun predikat lumbung beras tersebut pudar sejak perusahaan pertambangan mulai beroperasi di sekitar desa tersebut. Belasan hektar lahan pertanian penduduk mengalami kerusakan parah karena sumber air bagi sawah mereka tercemar oleh limbah pertambangan batubara yang seenaknya dibuang ke sungai yang selama ini menjadi sumber air bagi masyarakat setempat. Berbagai masalah kesehatan juga dialami masyarakat yang menetap di sekitar lokasi pertambangan. Di kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, pada tahun 2007 tercatat 19.375 orang menderita penyakit yang terkait dengan pernafasan, meningkat sekitar 9% dari tahun sebelumnya17. Data kesehatan dari Puskesmas Kecamatan Bengalon, Kabupaten Sangatta, lokasi dimana perusahaan tambang terbesar di Asia Tenggara beroperasi, PT. Kaltim Prima Coal, juga menunjukkan kondisi serupa. Penyakit yang paling menjadi momok bagi masyarakat Bengalon adalah penyakit-penyakit yang terkait dengan pernapasan yang diduga akibat dampak dari pertambangan batubara, seperti ISPA, asma, bronchitis dan radang paru-paru akibat debu batubara. Kisah tragis tentang berbagai dampak buruk dari penambangan batubara di negeri ini, menjadi lebih menyedihkan ketika hal itu berkaitan dengan hak hidup dan hak atas tanah bagi masyarakat adat yang telah tinggal di sekitar lokasi pertambangan secara turun temurun selama puluhan, bahkan ratusan tahun. Sejak tahun 1982, masyarakat adat Dayak Paser terus menerus mengalami penggusuran dan pengusiran paksa dari tanah, termasuk tanah keramat, yang telah ditempati turun temurun untuk dijadikan areal pertambangan oleh PT.Kideco Jaya Agung. Sekitar 27.000 hektar lahan mereka digusur18 untuk lahan pertambangan, mereka bahkan dilarang melakukan kegiatan apapun diatas tanah keramat mereka sendiri. Nasib yang sama dialami oleh masyarakat adat Dayak Basap di Kecamatan Bengalon, Sangatta. Masyarakat adat Dayak Basap yang sejatinya terbiasa memenuhi kebutuhan hidup mereka dari hasil berburu dan berladang, kini kehilangan itu semua setelah PT. Kaltim Prima Coal 13

mulai beroperasi di tanah mereka sejak tahun 199219. Setelah beberapa kali pindah dan tergusur, saat ini sebagian dari mereka bermukim di Segading, hulu Sungai Lemba. Namun, sepertinya tak lama lagi mereka pun harus terpaksa hengkang dari tempat ini, karena PT. Kaltim Prima Coal akan segera memperluas lubang galian mereka ke tempat dimana masyarakat adat Dayak Basap bermukim saat ini. 3. Polusi pembangkit listrik bertenaga batubara: berdampak pada kesehatan dan lingkungan Pembakaran batubara menimbulkan jejak kerusakan yang lebih dahsyat dan merusak dibandingkan pertambangan batubara. Batubara adalah bahanbakar paling kotor, paling intesif karbon dari semua jenis bahanbakar fosil, mengemisi 29 persen lebih banyak karbon per unit energi dibandingkan minyak bumi dan 80 persen lebih dari gas20. Ini adalah penyebab terbesar perubahan iklim dengan emisi karbon dioksida. Pembakaran batubara juga melepas jumlah zat beracun lain seperti merkuri dan arsenik yang membahayakan kesehatan manusia dan menyebabkan dampak sangat buruk pada ekonomi negara berkembang. Menurut hasil kajian Biaya Eksternal yang dilakukan oleh Komisi Eropa (European Commission, EC) pada tahun 200321 mengenai beberapa jenis pembangkit listrik, PLTU bertenaga batubara tercatat sebagai pembawa biaya eksternal tertinggi. Sebaliknya, sumber-sumber energi terbarukan menunjukkan biaya eksternal terendah. Biaya eksternal juga muncul pada saat kegiatan sosial atau ekonomi, misalnya pada saat tambang batubara atau PLTU bertenaga batubara berdampak pada sekelompok orang dan saat dampak tersebut tidak seluruhnya dihitung atau dikompensasi. Dengan demikian biaya eksternal terjadi bila misalnya saat sebuah PLTU yang mengemisi sulfur dioksida yang menyebabkan hujan asam atau emisi merkuri yang merusak kesehatan manusia. Biaya lingkungan dan sosial dieksternalkan karena walaupun biaya ini nyata bagi anggota masyarakat terdampak, tapi pengelola PLTU tidak menghitungnya saat pengambilan keputusan sebagai dasar kegiatan ekonomi mereka. Kajian Komisi Eropa menganggap dampak perubahan iklim seperti kematian manusia (yaitu penurunan tingkat harapan hidup, kanker), morbiditas manusia (yaitu jumlah pasien rumahsakit penderita penyakit pernafasan, pengurangan hari kerja, serangan jantung), dampaknya pada material bangunan (yaitu penuaan baja galvanisasi, cat), panen (yaitu 14

penurunan panen akibat penumpukan nitrogen oksida, sulfur dioksida, trioksida dan asam), hilangnya kenyamanan22 karena kebisingan atau hilangnya estetika, dan dampak penumpukan asam dan nitrogen pada ekosistem. Biaya eksternal ini sangat luarbiasa. Dan masyarakat yang bertetangga dengan PLTU bertenaga batubara yang akhirnya menanggung biaya dampak pembakaran batubara untuk energi. Pertama-tama, air dalam jumlah yang besar dibutuhkan untuk mencuci batubara dan mendinginkan pengoperasian PLTU. Proses ini mengakibatkan kelangkaan air di banyak tempat. PLTU bertenaga batubara adalah sumber utama pengemisi polutan seperti sulfur dioksida, nitrogen oksida yang menyebabkan hujan asam dan pencemaran udara. Partikel batubara halus adalah penyebab utama penyakit yang berhubungan dengan radang paru-paru. Polutan yang berasal dari cerobong PLTU mengancam kesehatan masyarakat dan lingkungan di sekitarnya. Ancaman merkuri PLTU bertenaga batubara adalah salah satu dari sumber pengemisi bahan berbahaya terbesar. Di Amerika Serikat, PLTU bertenaga batubara diidentifikasi sebagai sumber terbesar emisi merkuri23. Merkuri adalah zat yang sangat berbahaya diperlukan hanya 0,91 gram merkuri yang diakumulasi selama setahun untuk mengkontaminasi danau seluas 10 hektar. Ikan yang ditangkap di danau ini tidak layak dikonsumsi manusia24. Rata-rata PLTU bertenaga batubara berkapasitas 100-MW mengemisi kurang lebih 11,34 kg merkuri tiap tahunnya25. Merkuri adalah logam yang sangat berbahaya dan tidak memiliki fungsi biokimia atau nutrisi. Sebagian besar dampak racun zat ini terjadi bila paparannya mencapai sistem syaraf pusat26. Merkuri dapat menyebabkan kerusakan otak berat pada janin serta gejala tremor ringan kelainan mental, gangguan motorik dan emosi bahkan kematian pada orang dewasa. Paparan merkuri tergantung pada bentuknya. Uap merkuri dan metil merkuri merupakan bentuk yang paling memungkinkan mengenai manusia karena dalam bentuk ini zat tersebut dapat hampir seluruhnya diserap tubuh. Saat merkuri memasuki air apakah secara langsung atau terikat melalui udara proses biologis mentransformasinya menjadi metil merkuri, 15

bentuk merkuri yang lebih beracun dan berbioakumulasi dalam ikan dan hewan lain yang memakan ikan dan manusia. Saat suatu zat berbioakumulasi, konsentrasinya meningkat seiring bergeraknya pada rantai makanan.27 Metil Merkuri dan Resiko Besarnya terhadap Anak-anak Menurut kajian baru-baru ini oleh Akademi Sains Nasional Amerika Serikat (US National Academy of Sciences, US-NAS), "terdapat bukti kuat keracunan metil merkuri pada syaraf janin, walau pada paparan konsentrasi sangat rendah." Paparan metil merkuri yang diemisi oleh fasilitas bertenaga batubara "menyebabkan secara permanen hilangnya intelegensia pada ratusan bayi yang lahir tiap tahunnya28. Berdasarkan kajian US-NAS tersebut, hilangnya intelegensia ini "menyebabkan hilangnya produktivitas ekonomi yang bertahan seumur hidup anak-anak ini. Kehilangan produktivitas ini adalah biaya utama keracunan metil merkuri29. Jika PLTU bertenaga batubara dibiarkan berkembang di seantero negri, berapa biaya yang ditanggung Indonesia dalam hal hilangnya produktivitas karena resiko serupa seperti hilangnya intelegensia seumur hidup banyak bayi yang terpapar emisi metil merkuri dari PLTU bertenaga batubara? Dampak buruk PLTU bertenaga batubara pada masyarakat yang hidup dekat PLTU terlihat di Cirebon dekat sebuah PLTU yang dibangun di pinggir pantai. Desa Kanci, Kecamatan Astanajapura dahulu dikenal sebagi sentra garam dan terasi tradisional di wilayah Cirebon. Namun sekarang itu semua telah jadi kenangan. Ribuan meter ladang garam petani garam tradisional telah digusur untuk dijadikan lokasi pembangunan PLTU. Puluhan nelayan udang rebon dan industri rumah tangga terasi telah gulung tikar dan kehilangan matapencaharian mereka akibat pencemaran disekitar perairan tempat dulu dimana mereka mendapatkan udang rebon sebagai bahan baku terasi tradisional. Nelayan kerang hijau (perna viridis) di Desa Waruduwur juga mengalami masalah yang sama. Puluhan nelayan kerang hijau mengalami kerugian miliaran rupiah, akibat kerang hijaunya tak layak lagi dikonsumsi akibat tercemar lumpur yang disebabkan oleh aktivitas pengurugan dalam proses konstruksi PLTU Cirebon. Daya rusak dari pembakaran batubara terus berlanjut dan bahkan semakin memburuk ketika PLTU tenaga batubara mulai beroperasi di 16

suatu wilayah tertentu, sebagaimana dialami oleh masyarakat yang menetap disekitar PLTU Karangkandri, Cilacap. PLTU Karangkandri, Cilacap mulai beroperasi pada bulan Mei 2006, dengan kapasitas total 600 Megawatt. Sejak awal beoperasi PLTU Cilacap sudah mulai menimbulkan berbagai masalah yang langsung dialami oleh masyarakat sekitar. Mulai dari suara berdengung yang terus menerus terdengar dari PLTU, debu batubara yang memaksa puluhan penduduk pindah dari Perumahan Griya Kencana Permai, salah satu lokasi pemukiman yang paling dekat dengan PLTU Cilacap. Berkurang drastisnya hasil tangkapan ikan oleh nelayan di sekitar PLTU Cilacap dan dampak buruk pada kesehatan yang dialami oleh masyarakat yang tinggal disekitar PLTU tersebut. Pada bulan Februari 2009, Greenpeace bersama Komite Aspirasi Masyarakat (KAM) Cilacap melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap masyarakat yang tinggal disekitar PLTU Karangkandri. Hasil pemeriksaan kesehatan menunjukkan dari 562 warga yang diperiksa, 60% mengalami Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), 20 persen bronchitis, 10 persen faringitis, 10 persen menderita penyakit lainnya. Ibu Munjiah, 50 tahun, menghabiskan hari-harinya di rumah setelah dia didiagnosis menderita penyakit paru-paru kronis. Dalam hasil foto rontgennya ditemukan partikel-partikel debu batubara di paru-parunya. Kini dia tidak bisa lagi bekerja di sawah, karena kondisi tubuhnya yang terlalu lemah. Apa yang dialami Ibu Munjiah mungkin bukan masalah yang asing di desa-desa sekitar PLTU Cilacap. Menurut penelitian kesehatan yang dilakukan Greenpeace pada bulan Agustus tahun 2008, 80% masyarakat yang tinggal disekitar PLTU Cilacap mengalami penyakit-penyakit pernafasan yang diduga diakibatkan debu batubara. 4. Limbah batubara: warisan yang kotor Kerusakan yang diakibatkan oleh batubara tidak berhenti saat pembakarannya. Di akhir rantai ini ada pertambangan yang ditinggalkan, limbah pembakaran batubara, masyarakat yang dirugikan dan hamparan alam yang rusak. Bekas lubang galian batubara yang telah dikeruk habis berubah menjadi Drainase Tambang Asam (Acid Mine Drainage) yang sering berbentuk danau dan kolam raksasa. Jika kita terbang diatas kota Samarinda dan wilayah kabupaten Kutai Kertanegara, kita akan disuguhi dengan pemandangan puluhan danau dan kolam raksasa dengan air berwarna kelam kehijauan. Dipandang dari kejauhan danau-danau tersebut tampak indah, namun sesungguhnya danau dan kolam raksasa bekas lubang galian batubara itu menyimpan bahaya besar terhadap masyarakat yang tinggal disekitarnya. Air hujan 17

yang bercampur dengan limbah logam berat dari aktivitas penambangan batubara akan berakibat sangat serius bagi kesehatan masyarakat sekitar jika mencemari sumber air tanah dan sumber air masyarakat.

An open pit coal mine in East Kalimantan. Henri Ismail/Greenpeace

Bekas-bekas lubang galian batubara yang ditinggalkan begitu saja, seolah menjadi fenomena biasa di wilayah Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Padahal reklamasi areal pertambangan pasca dikeruk habis merupakan suatu yang wajib hukumnya bagi perusahaan tambang berdasarkan aturan hukum yang berlaku di negeri ini. Jelas bahwa hukum diabaikan di sini. Di Kalimantan Selatan misalnya, dari 16 perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang memiliki ijin konsesi seluas 236.367 hektar, baru sekitar 3.132 hektar yang telah direklamasi dari sekitar 20.000 hektar areal bukaan tambang batubara30. Lubang galian yang ditinggalkan juga menyebabkan penurunan tanah, kerusakan pada struktur rumah, gedung, prasarana seperti jalan dan jembatan. Usaha-usaha untuk memperbaiki kerusakan yang ditinggalkan setelah tambang ditutup tidak ada yang mencukupi. Bahkan jika lubang tambang direklamasi kembali tidak akan sepenuhnya pulih; masyarakat yang teracuni akan tetap terkontaminasi. Di dunia sains, adalah fakta umum bahwa pembakaran batubara menghasilkan kadmium, bahan beracun diklasifikasikan oleh Badan Proteksi Lingkungan Amerika Serikat (US Environmental Protection Agency, US EPA) adalah termasuk sebagai penyebab kanker pada manusia; timbal, logam berat mematikan dan kromium heksavalen atau 18

kromium VI. Kadmium, misalnya, adalah logam keperakan yang menempel pada debu batubara dan dikaitkan dengan penyakit jantung, ginjal, paru-paru dan hati. Selain itu Kromium VI adalah polutan udara berat yang tingkat bahayanya hanya dikalahkan oleh benzena. Kromium VI diketahui sebagai penyebab kuat kanker pary-paru dan dapat menghasilkan pendarahan dalam, dan kerusakan hati, ginjal dan pernafasan. Paparan terhadap Kromium VI berasal dari menara-menara pendingin pada PLTU31 .

19

IV. Kisah-kisah masyarakat A. Samarinda: Ibukota penambangan batubara Indonesia

Jika ada kategori rekor dunia untuk kota dengan proporsi wilayah terbesar untuk pertambangan batubara, Samarinda pastilah juaranya. Sekitar 70% dari total luas wilayah Samarinda yang sebesar 71.823 ha telah habis dikavling oleh perusahaan tambang sebagai kawasan pertambangan batubara. Samarinda layak juga dinobatkan sebagai ibukota tambang batubara Indonesia. Di kota ini semua dampak merusak dari pertambangan batubara dapat kita saksikan, mulai dari hilangnya mata pencaharian, bencana banjir, kerusakan lingkungan sampai lubang-lubang galian bekas tambang batubara yang menganga di tengah kota. Kehilangan mata pencaharian Ibu Soniya, 40 tahun, penduduk Samarinda Utara menuturkan masalah yang dialaminya dengan geram: Sejak pertambangan batubara beroperasi di desa kami, sawah dan kolam ikan saya rusak akibat limbah dari pertambangan, selain itu kami juga kehilangan sumber air untuk minum dan mandi, karena air sungai di belakang rumah kami sudah tak layak lagi dikonsumsi.32

Ibu Soniya (c) Henri Ismail/Greenpeace

20

Penduduk Desa Rimbawan, Kelurahan Tanah Merah, Kecamatan Samarinda Utara tiga tahun terakhir ini mulai merasakan dampak negatif dari pertambangan batubara yang beroperasi di wilayah desa mereka. Limbah dari pertambangan batubara membuat sawah mereka rusak, dan mengakibatkan gagal panen. Sungai Rimbawan yang ada di belakang pemukiman merekapun sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi karena airnya yang tercemar. Sebelum pertambangan batubara mulai beroperasi, Sungai Rimbawan merupakan sumber air minum dan mandi bagi masyarakat setempat. Pak Atek, pemilik kolam ikan, mengatakan bahwa kolamnya sekarang tercemar akibat limbah dari pertambangan batubara. Namun Pak Atek masih merasa jauh lebih beruntung. Dibandingkan Ibu Soniya dan banyak lagi tetangganya, dia masih punya kolam pancing sewaan, yang menjadi penopang hidup keluarganya. Banjir Sebelum pengerukan batubara meningkat drastis di ibukota Kalimantan Timur ini, banjir bukanlah ancaman serius untuk masyarakat Samarinda. Banjir yang relatif besar hanya datang dalam siklus 5 tahunan atau 10 tahunan sekali. Namun sejak 3 tahun terakhir, air bah melanda kota ini berulang kali bahkan bisa berlangsung sepanjang musim hujan. Menurut Ibu Soniya, yang tinggal di kecamatan Samarinda Utara, jika hujan lebat turun lebih dari dua jam, maka bisa dipastikan beberapa titik di wilayah Samarinda Utara akan terendam air. Lia, seorang mahasiswi Universitas Mulawarman, menuturkan bahwa: sejak 2 tahun terakhir ini, banjir benar-benar mengganggu aktivitas saya sebagai mahasiswa. Pernah saya dan seorang teman nyaris hanyut oleh air bah, ketika banjir melanda kampus saya.33 Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengerukan batubara yang membabibuta dan serampangan tidak saja merugikan masyarakat secara langsung, namun juga membebani pemerintah kota Samarinda. Menurut data yang dilansir Jaringan Advokasi Tambang, pada tahun 2008 saja, PAD dari pertambangan batubara yang didapatkan oleh Pemerintah Kota Samarinda hanya sebesar 399 Juta, atau hanya sekitar 4% dari total PAD tahunan Kota Samarinda yang sebesar 112,5 miliar.34 Semakin sering terjadinya bencana banjir berarti Pemerintah Kota Samarinda harus mengeluarkan biaya puluhan milyar untuk membangun pintu air, bendungan dan infrastruktur lainnya. Lubang tambang di tengah kota

21

Jika kita terbang diatas Kota Samarinda, kita akan menyaksikan ratusan lubang tambang batubara yang ada hampir disetiap sudut kota ini. Sebagian lubang tambang tersebut kini sudah berubah menjadi danaudanau beracun, ditinggalkan begitu saja oleh perusahaan tambang, setelah mereka puas mengeruk batubara dari perut bumi. Sebagian besar lubang ini terdapat di Sempaja, salah satu kecamatan hanya 15 km dari pusat kota. Ironi kemiskinan di kota emas hitam Batubara juga dikenal dengan sebutan emas hitam di kalangan pengusaha batubara. Komoditas ini telah membuat para pengusaha menjadi orang-orang super kaya di negeri dengan sekitar 32 juta penduduk super miskin dengan pendapatan di bawah 7.000 rupiah perhari35. Hampir semua dari 10 orang terkaya di Indonesia pada tahun 2009 merupakan pengusaha-pengusaha yang bergerak dalam sektor ekstaktif, seperti pengerukan batubara dan perkebunan sawit.36 Namun batubara hanya membawa kekayaan luar biasa untuk segelintir orang. Tidak semua yang bekerja di industri ini memetik keuntungannya. Bila adapun, pertambangan batubara hanya mengembalikan sangat sedikit untuk penduduk Samarinda yang kotanya dijadikan kota limbah. Misalnya untuk Ibu Yanti, seorang penduduk Kelurahan Selili, Kecamatan Samarinda Timur. Rumahnya sangat dekat dengan wilayah pertambangan di Samarinda. Pemerintah daerah mengidentifikasinya sebagai salah satu dari juta penduduk miskin di negri ini yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sehari-hari Ibu Yanti dan puluhan warga sedesanya menjadi buruh di pertambangan batubara skala kecil yang terdapat dekat rumahnya, mereka biasa menyebut diri mereka sebagai buruh KPC, bukan buruh PT. Kaltim Prima Coal tentu saja, KPC buat mereka adalah singkatan dari Karungan Prima Coal. Pekerjaan mereka adalah memasukkan bongkahan-bongkahan batubara yang baru saja dikeruk kedalam karung plastik. Setelah penuh karung berukuran 50 kg itu harus mereka jahit sendiri, setiap karung yang terisi penuh dihargai sebesar 800 rupiah. Tak jarang Ibu Yanti dan belasan temannya harus bekerja sejak siang hari sampai dinihari di hari berikutnya. Sejak di PHK dari tempat kerja saya yang lama, saya tak punya pilihan lagi selain bekerja sebagai buruh pemungut batubara. Sering saya sedih melihat teman saya yang meski sedang hamil tua harus tetap bekerja. Kami memang tak punya pilihan selain bekerja di tempat ini, jelasnya37.

22

Pejabat pemerintah baik di tingkat nasional maupun lokal selalu mengklaim bahwa keberadaan pertambangan batubara di Kalimantan Timur, khususnya Samarinda, akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Namun kenyataan yang dialami masyarakat adalah sebaliknya: sejak meningkatnya pertambangan batubara dalam empat tahun terakhir ini di Samarinda, masyarakat malah merugi. Klaim kesejahteraan dari tambang batubara yang dijanjikan pemerintah ternyata palsu. Terbukti dengan peningkatan bencana banjir karena perubahan drastis dan tiba-tiba dari topografi sekitarnya, serta hilangnya sumber penghidupan masyarakat dan peningkatan kemiskinan yang semua justru terjadi di kota yang berlimpah dengan emas hitam itu. B. Pembangunan PLTU Cirebon dan proses pemiskinan masyarakat Sejak PLTU Cirebon memulai proses pembangunannya pada awal tahun 2008, Kasneri, 48 tahun, tidak lagi mempunyai pekerjaan tetap. Kini hampir setiap hari, ia hanya menghabiskan waktu di rumahnya yang sempit dan reyot di Desa Kanci Kulon, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon. Hanya sesekali jika ada ajakan dari tetangganya sekampung untuk membantu mereka menggarap sawah, baru Ibu Kasneri mendapatkan penghasilan, itupun hanya sebesar 10.000 rupiah sebagai upah untuk enam jam bersimbah peluh bekerja di ladang milik tetangganya dibawah sengatan sinar matahari Cirebon yang terkenal menusuk. Sebelumnya sebagai pengusaha terasi tradisional, Kasneri mampu mendapatkan paling kurang 200.000-300.000 rupiah perhari dari hasil penjualan terasinya. Terasi yang dibuat oleh pengusaha terasi tradisional di Desa Kanci Kulon terkenal kelezatan dan kekhasan rasanya. Para pembuat terasi bangga membuat terasi hanya dengan menggunakan bahan baku dari udang rebon(acetes sp), tanpa ada campuran lain. Udang-udang kecil ini mereka dapatkan dari hasil melaut di sepanjang pesisir Kecamatan Astanajapura yang meliputi Desa Waruduwur, Desa Temu, Desa Kanci Kulon, dan Desa Kanci Wetan. Kasneri sendiri bekerja bersama suaminya, Dalim, 54 tahun, Kasneri yang bertugas meracik terasi sementara suaminya Dalim yang bertugas menangkap udang rebon di laut, sepanjang pesisir Astanajapura.

23

Sejak PLTU Cirebon memulai proses pembangunannya, Kasneri dan Dalim, beserta 26 keluarga pembuat terasi tradisional lainnya kehilangan mata pencaharian mereka. Mereka tak bisa lagi mendapatkan udang rebon yang merupakan bahan baku pembuatan terasi. Bila sebelumnya sekali melaut Dalim bisa mendapatkan lebih dari 10 kg udang rebon, tapi sekarang udang rebon seperti menghilang dari laut. Ternyata penyebabnya adalah proses pengurugan tanah untuk pembangunan PLTU di sepanjang pesisir Astanajapuralah yang menyebabkan langkanya udang rebon di laut. Proses reklamasi menggunakan lumpur dan limbah lainnya dari proses pembangunan PLTU dan mengubur terumbu karang tempat hidupnya udang. Setahun lalu, Kasneri termenung memikirkan nasibnya yang sudah dua hari tak mendapatkan bahan baku untuk pembuatan terasi. Suaminya, Dalim, sedang terbujur sakit tanpa mampu berobat ke Puskesmas karena tak mempunyai cukup uang untuk berobat. Ketika ditanya kenapa tak membawa suaminya ke dokter, Kasneri berkata: untuk makan saja kami tak punya uang pak, apalagi untuk berobat ke dokter. Menurunnya tangkapan ikan di Desa Waruduwur Desa Waruduwur adalah yang letaknya paling dekat dengan PLTU bertenaga batubara di Cirebon. Sebagian besar penduduk desa adalah nelayan. Sebelum PLTU Cirebon dibangun, nelayan hanya perlu menangkap ikan beberapa meter dari pantai. Tapi setelah pembangunan PLTU dimulai, mereka harus melaut lebih jauh. Bila sebelumnya hanya dibutuhkan tiga liter bahanbakar untuk melaut, sekarang 15 liter saja kadang tidak mencukupi. Tapi selain meningkatnya jarak tangkapan, ikan yang mereka peroleh jauh berkurang dibanding tahun-tahun sebelum pembangunan PLTU.

Henri Ismail/Greenpeace

24

Pak Romansah, nelayan Waruduwur berumur 38 tahun mengatakan, tiga tahun lalu kami mudah menangkap kepiting dan udang dekat pantai, tapi setelah pembangunan PLTU, kami hanya menangkap lima ekor udang seharinya. Tangkapan ikan juga menurun drastis.38 Reklamasi tanah untuk pembangunan PLTU sangat berdampak buruk pada Sungai di desa Waruduwur. Akibatnya, rumah-rumah di desa kebanjiran tiap datang air pasang. Sejak kecil saya tak pernah mengalami banjir seperti ini, kata Pak Wahyudi39, seorang penduduk Waruduwur. Hilangnya sumber penghidupan petani garam tradisional Samsu, 50 tahun, adalah seorang petani garam di Desa Kanci Kulon. Samsu dan keluarganya yang sudah turun-temurun selama puluhan tahun menjadi petani garam. Ia terpaksa kehilangan matapencahariannya sejak dibangunnya PLTU di desa mereka. Tanah milik Samsu seluas 4.000 meter persegi, tiba-tiba tidak bisa lagi dimanfaatkan untuk bertani garam. Tanahnya kebetulan berada di lokasi tempat pembangunan PLTU Cirebon. Pihak pengembang didukung aparat permerintah setempat memaksa penduduk untuk melepas tanah mereka dengan harga yang rendah. Meskipun mayoritas warga pemilik tanah menolak untuk menjual tanahnya, pihak pengembang PLTU tetap memaksa mereka untuk melepas tanahnya. Samsu, adalah salah seorang warga yang sampai saat ini bertahan untuk tidak menjual tanahnya dengan harga berapapun. Tanahnya merupakan hartanya yang paling berharga, karena digunakan untuk menopang hidupnya membuat garam. Dulu dalam setiap musim panen, Samsu dapat menghasilkan paling kurang 20 juta rupiah tiap 6 bulan. Dengan pendapatannya itu dia bisa menyekolahkan anak-anaknya dan hidup layak. Saat dimulainya proses pembangunan PLTU, bersamaan dengan itu berakhir pula usaha pembuatan garam tradisionalnya. Samsu mempertahankan tanahnya, tapi karena lokasi tanahnya berada di tengah-tengah lokasi pembangunan PLTU, Samsu tak bisa lagi bekerja. Para pengembang PLTU menutup sumber aliran air laut ke tanahnya, sehingga air garam tak bisa lagi masuk ke ladangnya. Tanpa air laut, tanahnya tak bisa lagi dimanfaatkan untuk bertani. Meski demikian, Samsu tetap bertekad melawan kesewenang-wenangan pihak pengembang PLTU terhadap dirinya.

25

Samsu tidak sendirian mengalami nasib buruk ini, ada puluhan keluarga petani garam lain yang mengalami nasib serupa dengannya. Dampak sosial dan ekonomi pembangunan PLTU bertenaga batubara Pembangkit Listrik Tenaga Uap Cirebon sedang dalam proses pembangunan. PLTU ini terletak di Kecamatan Astanajapura, meliputi 4 desa: Desa Kanci Kulon, Kanci Wetan, Warumundu, dan Desa Citemu. PLTU ini bukan merupakan bagian dari proyek pemerintah pusat untuk membangun 35 Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara sebesar 10.000 MW sebelum tahun 2010 di seluruh Indonesia. Aan Anwarudin, salah seorang aktivis mahasiwa yang menolak pembangunan PLTU di desanya menyatakan PLTU Cirebon dibangun tanpa disertai oleh dokumen Analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang jelas, dan juga tanpa disertai sosialisasi terhadap masyarakat sekitar lokasi pembangunan. Menurut Aan, lokasi pembangunan PLTU sangat dekat dengan pemukiman warga. Pembangkit ini hanya berjarak sekitar 10 meter dari Desa Kanci Kulon, 450 meter dari Desa Kanci Wetan, 15 meter dari Desa Waruduwur dan sekitar 100 meter dari Desa Citemu. Aan bersama masyarakat sekitar lokasi yang menolak pendirian PLTU di desa mereka bergabung dalam Rakyat Penyelamat Lingkungan (Rapel), Rapel telah beberapa kali melakukan unjuk rasa dan protes baik kepada pihak pengembang maupun pemerintah Kabupaten Cirebon untuk menghentikan proses pembangunan PLTU di desa mereka. PLTU tidak akan membawa dampak positif apa-apa terhadap penduduk Astanajapura. Dalam masa pembangunanya PLTU Cirebon sudah mengakibatkan proses pemiskinan terhadap masyarakat setempat, seperti petani garam, pengusaha tradisional terasi, dan nelayan kerang hijau,40 kata Aan dalam menjelaskan keprihatinannya. Masyarakat Kanci, menurut Aan, takut akan dampak buruk dari PLTU bertenaga batubara jika sudah beroperasi nanti. Mereka sadar akan apa yang dialami oleh masyarakat sekitar PLTU Cilacap bisa menimpa mereka juga. Mereka mendengar masyarakat sekitar lokasi PLTU Cilacap menghadapi berbagai dampak negatif, mulai dari meningkatnya penyakit pernafasan di desa-desa sekitar PLTU, lahan pertanian yang mati akibat limbah batubara, dan serbuan debu batubara yang membuat udara di sekitar desa mereka tidak lagi layak untuk dihirup.

26

C. Cilacap Pada tahun 2006, Cilacap, kota industri yang berkembang dipenuhi optimisme. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan pembangunan PLTU bertenaga batubara baru di wilayah mereka. Namun bertentangan dengan harapan awal akan pertumbuhan ekonomi, biaya sebenarnya yang ditanggung kota di Jawa Tengah ini akhirnya menjadi sangat jelas. Tujuan awal pembangunan PLTU adalah memancing pertumbuhan ekonomi. Lalu selanjutnya, hal ini akan membantu mengembangkan wilayah industri Cilacap menjadi 2.000 hektar lebih dari 10 kali luas sebelumnya41. Pada awal proyek ini, pemerintah melihat dengan bangga. PLTU menghasilkan 600 Megawatt listrik ke jaringan Jawa-Bali. Banyak pekerjaan baru diciptakan, menyebabkan peningkatan dalam penjualan material bangunan. Beberapa masyarakat setempat mendapatkan uang dengan menyewakan rumahnya bagi para insinyur pembangunan. Tapi tidak lama setelahnya kenyataan tiba dan semua dimulai dengan awan hitam debu yang menutup kota kecil ini. Alia berumur empat tahun dan tinggal dengan orangtuanya dan dua kakaknya. Yang membatasi rumah mereka dengan PLTU bertenaga batubara itu hanya sebuah sawah yang terbengkalai sejauh 300 meter. Di awal-awal beroperasinya PLTU, Alia bermain dengan senangnya dengan kawan-kawannya di luar rumah mereka. Pertanda kecil bahaya yang ada hanya batuk yang tidak henti-hentinya dari anak-anak ini. Hal ini merupakan pertanda datangnya sesuatu yang lebih serius: tujuh bulan yang lalu, Alia didiagnosa dengan bronchitis. Ayahnya juga terkena penyakit yang sama. Ia bekerja di PLTU selama lebih dari satu tahun, memindahkan batubara dari truk tanpa masker dan menghirup semua debu yang beterbangan. Sekarang paru-parunya terdapat flek. Seorang anak perempuan lain yang menderita adalah Safira yang berumur tiga tahun. Ia terlalu kecil untuk usianya dan mengalami batuk 27

pilek dua kali tiap bulannya sejak ia lahir. Ibunya, Rohimah, tidak mampu membawanya ke dokter. Obat satu-satunya yang diberikan kepada Safira hanya obat-obatan demam dan batuk yang dibeli di warung. Purwanto, seorang dokter setempat, mengatakan pada kami bahwa: Kurangnya nutrisi menyebabkan banyak ibu di wilayah ini tidak dapat menyusui anaknya, dan menurunkan ketahanan bayinya terhadap infeksi. Saya telah melihat pergeseran ke lebih banyak infeksi pernafasan pada anak-anak dibandingkan dengan orang dewasa di wilayah ini sejak beroperasinya PLTU.42 Purwanto sangat akrab dengan penderitaan anak-anak di sekitar PLTU, karena ia sendiri yang dulunya tinggal di wilayah yang sama terpaksa pindah karena kedua anaknya terkena bronchitis. Polusi udara Tidak seperti Purwanto, Imam Sarjono, seorang pensiunan berumur 59 tahun, memilih untuk tetap tinggal di rumahnya. Ia bekerja keras untuk membeli rumahnya setelah menabung selama karirnya sebagai petugas penjaga penjara. Ketika ia membeli rumahnya bersama 200 orang lainnya, mereka membayangkan akan tinggal di tempat yang prima, berudara segar dan jauh dari keramaian pusat kota Cilacap. Sekarang, debu hitam menutupi anggrek putih dan melatinya yang ditanam Sarjono di muka rumahnya. Pohon-pohon di sekitar, daundaunnya semua berlapis debu hitam. Puluhan orang terpaksa pindah karena debu batubara ini dan suara berdengung yang terus menerus terdengar dari PLTU. Kami membayar rekening air dua kali lipat untuk membersihkan rumah kami. Kami harus menyapu berkali-kali untuk membersihkan debu ini, kata Sarjono. Banyak tetangga kami yang pindah. Siapa yang tahan hidup begini?43 Hilangnya mata pencaharian Polusi dari PLTU berdampak buruk pada kemampuan banyak orang untuk hidup di tanah sekitarnya. Sekitar 12 hektar sawah produktif di dua desa praktis rusak setelah PLTU membanjirinya dengan air laut panas bercampur buangan dari PLTU. Insiden ini memaksa seorang petani, Noto, dan anaknya mencari pekerjaan lain setelah sawah mereka rusak. Sekarang untuk mendapatkan uang, mereka menggali pasir dan membawanya kembali ke desa mereka dengan perahu kecil. Bekerja 10 jam sehari mulai pukul 6 pagi, mereka harus membanting tulang hanya untuk memenuhi sebuah truk kecil. Pendapatan Noto tidak pernah lebih dari 80.000 rupiah per hari44. Bersama banyak tetangganya, kehilangan 28

sawah mereka tidak memberinya banyak pilihan untuk bekerja lain. Pada kenyataannya, Noto dan anaknya adalah termasuk yang beruntung banyak tetangganya tidak bekerja sama sekali. Sebuah perlawanan Penyakit yang datang, polusi dan penurunan kualitas hidup memukul banyak penduduk yang tinggal di sekitar PLTU. Suatu pagi hari pada akhir 2005, penduduk sekitar dibangunkan oleh suara sangat keras dari PLTU. Penduduk mengatakan suaranya seperti sebuah pesawat terbang akan terbang landas di dekat mereka. Suaranya datang dan pergi tiap lima menit. Kami tidak bisa mendengar suara kita sendiri saat berbicara. Akhirnya kita ketahui bahwa mereka sedang membersihkan pipa-pipa mereka, kata Sugriyatno, yang juga tinggal di kompleks perumahan dekat PLTU45. Insiden ini mendorong penduduk kompleks perumahan bersama dengan tiga desa sekitar untuk berkumpul dan memprotes berbagai masalah yang diakibatkan PLTU. Mereka membentuk komite agar keluhan mereka didengar oleh pemerintah daerah dan oleh pengelola PLTU. Sugriyatno, yang mengepalai gerakan ini mengatakan bahwa: Kami menegosiasikan kompensasi kerusakan di tiga desa dan kompleks perumahan Griya Kencana Permai yang diakibatkan oleh operasi PLTU. Belakangan sangat banyak kerusakan. Tapi kami masih optimis akan ada solusi positif yang keluar.46 Ia juga menunjukkan bahwa pemilik PLTU tidak pernah menunjukkan simpati atau menawarkan dukungan pada lingkungan yang dirusaknya. Masyarakat sekitar tidak akan mengalah; tapi tampaknya demikian pula para penyebab polusi.

29

V. Saatnya Melakukan [R]evolusi Energi di Indonesia! Dalam laporan ini, kami telah tunjukkan kerusakan yang diakibatkan oleh batubara sepanjang rantai kepemilikannya sejak dari penambangannya dari perut bumi sampai apa yang ditinggalkannya setelah dibakar. Kami telah memaparkan kerusakan yang diakibatkan oleh penambangan dari penyakit paru-paru hitam sampai kebakaran batubara dan drainase asam tambang. Kami membongkar dampak lokal dan global yang ditimbulkan oleh pembangkit listrik bertenaga batubara, termasuk penumpukan gas rumahkaca di atmosfir yang merupakan ancaman besar. Kami juga telah menyoroti warisan batubara bahaya yang sering terlupakan akibat tambang yang ditinggalkan dan usaha reklamasi yang seringkali tak berhasil. Biaya batubara sebenarnya menggarisbawahi mendesaknya tindakan untuk menghindari konsekuensi bencana masa depan yang dimotori oleh batubara. Pilihan lain selain batubara tersedia melimpah di sekitar kita. Greenpeace memaparkan sebuah cetak biru praktis dalam [R]evolusi Energi: Tinjauan Energi Berkelanjutan Indonesia47. Energi Terbarukan Alam menyediakan begitu banyak pilihan sumber-sumber energi yang bisa diperbarui. Persoalannya tinggal bagaimana mengubah sinar matahari, angin, biomassa, atau air menjadi listrik, panas, serta tenaga gerak secara efisien, berkelanjutan, dan terjangkau oleh masyarakat. Sinar matahari yang sampai di permukaan bumi memiliki daya rata-rata 1 kilowatt/m2. Menurut Lembaga Penelitian Tenaga Surya, energi yang dapat disediakan oleh sumber-sumber terbarukan adalah sebesar 3.078 kali lebih banyak daripada yang dibutuhkan oleh dunia pada saat ini. Dalam satu hari, misalnya, sinar matahari yang mencapai bumi bisa memproduksi energi yang dibutuhkan oleh dunia selama 8 tahun. Walau hanya beberapa persen saja dari selurh potensi tersebut yang dapat diakses secara teknis ini pun masih bisa mencukupi kurang lebih 6 kali lebih banyak daripada yang dibutuhkan oleh dunia pada saat ini. SumberSumber-sumber Energi Terbarukan di Indonesia Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak di khatulistiwa. Ini berarti radiasi rata-rata harian di kebanyakan tempat di Indonesia intensitasnya relatif tinggi, sekitar 4 kWh/m2, menawarkan potensi yang besar untuk energi tenaga surya. Indonesia juga memiliki potensi yang 30

besar untuk memanfaatkan sumber-sumber energi terbarukan lainnya, seperti panas bumi, tenaga air, angin, dan biomassa. Pada akhir 2005, sumber-sumber energi terbarukan berkontribusi hanya kurang dari 5% dari seluruh kapasitas listrik terpasang di Indonesia (28 GW), atau setara dengan 1,345 GW. Jumlah ini tidak termasuk listrik yang dihasilkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Air skala besar yang berjumlah sekitar 15% (4,1 GW). Rencana pengembangan sumber-sumber energi terbarukan dicantumkan dalam Cetak Biru Pengelolaan Energi Nasional yang dikeluarkan oleh Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) tahun 2005 yang fokus pada produksi dan perakitan lokal dalam rangka pengembangan industri energi terbarukan di Indonesia. Energi Air Indonesia secara teoritis memiliki potensi energi air sebesar 75 GW. Pembangkit listrik tenaga air skala kecil, yang secara umum siap diaplikasikan pada lansekap sungai-sungai alami dibandingkan PLTA skala besar, saat ini mencakup kapasitas terpasang sebesar 84 MW. PLTA skala kecil ini dibedakan menjadi PLTA mikrohidro dengan output sampai dengan 25 kW, dan PLTA minihidro dengan output sampai dengan 500 kW. Potensi untuk PLTA mikrohidro terutama terdapat di Sumatera Barat, Bengkulu, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Tengah. Sementara untuk PLTA minihidro dapat diaplikasikan di Sumatera Utara, Bengkulu, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Sampai tahun 2007 terdapat lebih dari 200 PLTA mini dan mikrohidro yang telah beroperasi, terutama di wilayah-wilayah yang tidak dilalui jaringan PLN. Karena pembangunan PLTA mini dan mikrohidro relatif tidak mahal dan mudah dioperasikan, sumber energi ini menarik bagi investor dan koperasi-koperasi lokal. Di masa depan, sumber energi yang berasal dari arus dan gelombang juga akan siap dimanfaatkan. Potensi teoretis dari sumber energi ini di Indonesia adalah 240 GW. Teknologi untuk mengubah sumber energi ini menjadi lsitrik saat ini masih dalam tahap eksperimen saat ini terdapat satu instalasi percontohan dengan kapasitas 1,1 MW di Pantai Baron, Yogyakarta. Energi Angin Karena sedikitnya pertukaran angin terjadi di wilayah Indonesia, potensi energi ini tidaklah terlalu besar, yaitu hanya sejumlah 9.290 MW. Kecepatan angin rata-rata di Indonesia adalah 3-5 m/detik. Di wilayah 31

timur Indonesia, kecepatan angin bisa mencapai di atas 6,5 m/detik. Dengan demikian, sumber energi angin lebih cocok diaplikasikan pada turbin pembangkit listrik berukuran kecil atau sedang, yang memerlukan angin berkecepatan 2,5-4 m/detik dan 4-5 m/detik berturut-turut, dengan output sampai dengan 10 kW dari turbin ukuran kecil, dan 10100 kW dari turbin ukuran menengah. Hanya ada sedikit tempat di Indonesia yang bisa memproduksi listrik lebih dari 100 kW yang memerlukan kecepatan angin lebih dari 5 m/detik. Potensi energi angin terutama terdapat di wilayah Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, yang memiliki kecepatan angin rata-rata lebih dari 5 m/detik. Dengan total kapasitas terpasang sebesar 5 MW pada tahun 2007, berarti hanya sedikit saja dari total potensi yang ada yang telah dimanfaatkan. Turbin angin ukuran kecil telah diaplikasikan di wilayah-wilayah pedesaan, ataupun untuk sistem energi yang terdesentralisasi untuk memompa air, mengisi baterai, dan untuk kebutuhan mekanis seperti mengalirkan air ke tambak atau kolam-kolam ikan. Biomassa Indonesia memiliki potensi teoretis yang cukup besar untuk memproduksi energi dari biomassa, yaitu sebesar 50.000 MW. Setiap tahunnya Indonesia menghasilkan limbah atau sisa buangan pertanian, kehutanan dan perkebunan serta sampah domestik sebesar 200 juta ton. Berdasarkan perkiraan resmi, sekitar 35% energi yanh dikonsumsi di Indonesia, terutama di wilayah pedesaan, berasal dari biomassa terutama dari kayu bakar. Pada akhir tahun 2005 kapasita terpasang total pembangkit listrik bertenaga biomassa adalah sekitar 445 MW. Gas yang dihasilkan dari tempat-tempat pembuangan sampah di Indonesia juga merupakan potensi yang besar. Diperkirakan TPA yang ada di 12 kota besar di Indonesia memiliki total kapasitas pembangkitan listrik sebesar 566 MW. Energi Surya Sebagai negeri tropis dengan radiasi matahari sebesar 4,8 kWh/m2 dan 300 hari bermatahari setiap tahunnya, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk memanfaatkan tenaga surya. Sistem photovoltaic (PV), terutama sistem tenaga surya rumah tangga (SHS, solar home systems), dapat digunakan di wilayah pedesaan untuk memproduksi listrik bagi kebutuhan penerangan rumah, pompa air, peralatan telekomunikasi, dan sistem pendingin medis di puskesmas. Sejak tahun 1980-an sebanyak 50.000 SHS telah dipasang, dan 32

menggunakan sistem hibrid, misalnya mengkombinasikannya dengan generator diesel, juga telah banyak dipakai. Di akhir tahun 2005 kapasitas terpasang di Indonesia mencapai 8 MW, dimana 1 MW diantaranya telah dialirkan ke jaringan listrik PLN. Pada tahun 1990an pemerintah Indonesia mulai Secara sistematis mempromosikan penggunaan sistem photovoltaic terisolasi untuk mencukupi kebutuhan listrik pedesaan yang tidak terlayani jaringan PLN dan sejak 2004 bank-bank swasta telah menyediakan pinjaman untuk pembelian sistem PV. Beberapa rencana kelistrikan nasional juga telah memasukkan transfer sebagian rantai produksi sistem tenaga surya ke Indonesia untuk mengurangi ketergantungan terhadap import. Penggunaan PV tidak hanya dapat diterapkan di pedesaan yang tidak terjangkau jaringan PLN dan terdesentralisasi, namun juga dapat diterapkan di perkotaan dimana mekanisme feed-in dapat digunakan. Energi Panas Bumi (Geothermal) Deretan pegunungan berapi (vulkanik) yang terhampar di sepanjang pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku memberi berkah bagi Indonesia dengan potensi sumber energi panas bumi, jumlahnya sekitar 40% dari total potensi panas bumi dunia. Menurut perkiraan Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) negara Indonesia memiliki 217 lokasi panas bumi potensial, terutama di Sumatera, Jawa dan Sulawesi. Potensi teoretis panas bumi Indonesia diperhitungkan sebesar 27.000 MW. Pada akhir tahun 2004 hanya 807 MW atau sekitar 3% dari potensi tersebut yang telah dimanfaatkan. Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) yang ada saat ini dioperasikan oleh PLN dan kontraktornya. Di masa datang, produsen listrik independen (IPP, Independent Power Producers) diharapkan dapat berperan lebih besar dalam pengembangan, pemanfaatan dan pencarian lokasi potensial baru dari sumber energi ini. Pada tahun 2005 pemerintah mengalokasikan 28 lokasi baru dengan kapasitas total sebesar 13.500 MW yang juga telah menarik minat beberap ainvestor. Sampai saat ini masih banyak lokasi yang diperuntukkan bagi proyek pemerintah. PLN sendiri merencanakan untuk membangun 16 PLTPB dengan kapasitas total sebesar 1.150 MW. Pertamina, perusahaan minyak dan gas nasional, juga terlibat dalam konstruksi beberapa PLTPB baru. [R]evolusi Energi untuk Kedaulatan dan Akses Energi untuk Semua

33

Setelah krisis ekonomi tahun 1998, sektor energi Indonesia mengalami perubahan yang cukup dinamis yang dipicu oleh pertumbuhan permintaan energi, perubahan-perubahan kebijakan di sektor energi, serta perubahan lain akibat kenaikan harga minyek di pasar internasional. Indonesia saat ini telah menjadi negara pengimpor minyak (net importer) karena produksi minyak nasional terus mengalami penurunan. Saat ini pun produksi gas juga mengikuti produksi minyak bumi yang menurun. Oleh karenanya menjadi penting bagi Indonesia untuk memperhatikan keberlanjutan suplai energi nasional dan juga meningkatkan penggunaan sumber energi lainnya yang lebih ramah lingkungan yaitu energi terbarukan. Namun, tanpa adanya kemauan politik (political will), energi terbarukan tidak akan pernah berkembang dan dianggap merugikan akibat distorsi pasar listrik yang diciptakan oleh besarnya dukungan keuangan, politik, dan struktur bagi teknologi kelistrikan konvensional. Oleh karenanya, pengembangan energi terbarukan mutlak memerlukan dukungan politik dan ekonomi yang kuat dari negara, terutama dalam bentuk kebijakan yang menjamin stabilitas harga sampai periode 20 tahun. Beberapa hal di bawah ini adalah rekomendasi Greenpeace untuk bisa membuka kunci kemacetan pengembangan energi terbarukan. Adanya target energi terbarukan yang ambisius Dalam beberapa tahun terakhir, dipicu oleh keinginan untuk menurunkan secara drastis gas rumah kaca, beberapa negara telah mencanangkan target untuk pengaplikasian energi terbarukan. Hal tersebut dituangkan baik dalam kapasitas terpasang, maupun dalam konsumsi energi. Walaupun target ini seringkali bukanlah target yang mengikat secara hukum, namun ini menjadi penting sebagai katalis untuk meningkatkan alokasi energi terbarukan di dalam bauran energi (energy mix) secara nasional. Berdasarkan Cetak Biru Pengelolaan energi Nasional tahun 2005, pemerintah Indonesia hanya menargetkan kurang dari 10% dari bauran energi (energy mix) yang berasal dari energi terbarukan. Angka ini sama sekali tidak ambisius, apalagi melihat begitu melimpahnya sumber energi terbarukan yang ada di Indonesia. Tuntutan bagi energi terbarukan Tuntutan utama untuk memungkinkan pengembangan energi terbarukan:

34

Penghapusan subsidi bagi energi fosil dan nuklir, dan menginternalisasi biaya-biaya eksternal; Menetapkan target energi terbarukan yang mengikat secara hukum; Penyediaan manfaat yang tertentu dan stabil bagi investor; Menjamin adanya akses prioritas ke jaringan bagi pembangkit energi terbarukan; dan Standar efisiensi yang ketat bagi semua perangkat yang mengkonsumsi energi, bangunan dan kendaraan bermotor.

Berikut ini adalah beberapa hal yang harus dilakukan untuk menghapuskan atau mengkompensasi beberapa distorsi dalam sektor ketenagalistrikan: Penghapusan perangkat kebijakan penyebab distorsi pasar energi

Penyebab utama yang menghambat pengaplikasian energi terbarukan secara masif adalah kurangnya struktur harga di pasar energi yang benar-benar mencerminkan harga produksi energi yang sebenarnya. Beberapa hal yang perlu dilakukan adalah: Internalisasi biaya lingkungan dan sosial dari energi yang menimbulkan pencemaran (energi kotor)

Harga sebenarnya dari energi kotor juga termasuk biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat akibat gangguan kesehatan, kerusakan lingkungan, tercemarnya sumber-sumber air, serta pencemaran logam berat seperti merkuri dan terjadinya hujan asam selain dampak global seperti pemanasan global. Biaya-biaya ini, yang biasa disebut sebagai biaya eksternal, tidak pernah dimasukkan dalam komponen harga dari energi kotor. Menerapkan prinsip Pencemar Membayar (Polluter Pays Principle)

Seperti halnya subsidi lainnya, biaya eksternal haruslah dimasukkan dalam harga energi jika memang benar-benar diinginkan adanya pasar yang kompetitif. Untuk itu pemerintah perlu menerapkan prinsip pencemar membayar yang membebankan tanggung jawab lebih terhadap pencemar, atau memberikan kompensasi secara adil kepada non-pencemar. Selain itu perlu adanya adopsi pajak yang lebih besar kepada penghasil listrik yang menggunakan energi kotor dan sebaliknya memberikan kompensasi atau keringanan pajak bagi sumber-sumber energi terbarukan. Dengan demikian maka dapatlah diharapkan adanya kompetisi yang lebih setara diantara pemain-pemain di sektor energi.

35

Reformasi Sektor Ketenagalistrikan

Teknologi energi terbarukan sangatlah kompetitif jika saja diberikan perhatian yang setara dengan teknologi lainnya dalam hal pendanaan dan subsidi bagi riset dan pengembangan teknologinya, serta jika biaya eksternal juga diperhitungkan dalam harga energi. Oleh karenanya reformasi di sektor ketenagalistrikan sangatlah penting untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi pengembangan energi terbarukan secara maksimal. Reformasi yang diperlukan yaitu: penghapusan hambatan-hambatan di sektor ketenagalistrikan; dengan melakukan: o Penyederhanaan prosedur dan sistem perijinan, serta penyeragaman sistem perencanaan dan perencanaan jaringan yang lebih terintegrasi; o Akses yang setara terhadap grid, dengan penetapan harga yang transparan dan setara, serta penghapusan akses dan tarif transmisi yang diskriminatif; o Sistem penetapan tarif yang transparan di seluruh jaringan, dengan memperhitungkan dan pembayaran keuntungan dari pembangkitan listrik; o Pemisahan (unbundling) sarana pembangkit dan jaringan distribusi ke beberapa perusahaan; o Pembebanan biaya pembangunan infrastruktur jaringan kepada otoritas pengelolaan jaringan, dan bukannya kepada setiap pembangkit energi terbarukan; dan o Transparansi informasi kepada konsumen tentang campuran bahan bakar dan dampak lingkungan yang diakibatkan untuk memberikan pendidikan kritis kepada konsumen.

36

Prioritas akses terhadap grid

Peraturan-peraturan yang terkait dengan akses terhadap grid, transmisi, dan pembiayaan seringkali tidak memadai. Peraturan perundangan haruslah diperjelas, terutama terkait dengan biaya distribusi dan transmisi. Pembangkit energi terbarukan haruslah diberikan akses prioritas. Jika diperlukan, pengembangan jaringan atau biaya untuk penguatan jaringan haruslah dibebankan kepada operator grid, dan juga kepada konsumen, karena manfaat lingkungan dari energi terbarukan juga dirasakan oleh publik Adanya mekanisme pendukung bagi energi terbarukan

Secara umum terdapat dua jenis insentif untuk mendorong pengembangan energi terbarukan, yaitu Fixed Price System (Sistem Harga Tetap) dan Renewable Quota System (Sistem Kuota Terbarukan). Sistem Harga Tetap adalah suatu sistem dimana pemerintah menetapkan harga listrik (atau premium) yang dibayarkan kepada pembangkit dan membiarkan pasar menentukan kuantitas. Sementara Sistem Kuota Terbarukan adalah suatu sistem dimana pemerintah menetapkan kuota listrik yang dihasilkan pembangkit energi terbarukan dan membiarkan pasar menentukan harga. Beberapa mekanisme dalam sistem harga tetap adalah: o o o o subsidi terhadap investasi feed-in tariff yang tetap sistem premium tetap kredit pajak

Sementara mekanisme dalam sistem kuota adalah: o o sistem tender sertifikat hijau yang bisa diperdagangkan

Di Indonesia, seperti di banyak wilayah dunia, masyarakat mulai energi, menyadari kenyataan pahit ketergantungan pada batubara untuk energi, serta mulai bergerak untuk membela hak mereka akan lingkungan yang Gerakanmendapatkan bersih dan sehat. Gerakan-gerakan ini kuat dan mulai mendapatkan momentum. Pemerintah Indonesia harus mendengar seruan mereka dan meletakkan dasar pembangunan yang hijau dan adil lingkungan yang generasimemastikan kesejahteraan generasi-generasi mendatang negri ini.

37

Biaya Batubara Sebenarnya, Greenpeace Internasional, Desember 2008. Statistik Energi Indonesia 2009, Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral, Republik Indonesia. 3 Coal Statistic, World Coal Institute, September 2010. 4 Tingkatan batubara antara batubara bituminus (kandungan karbon 68 - 86%) dan antrasit (dengan kandungan karbon tertinggi) 5 Batubara yang telah diproses untuk peleburan besi. 6 Departemen Geologi, Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006. 7 Coal Statistics, World Coal Institute, September 2010. 8 Henderson, C., 2003. Clean Coal Technologies, report no. CCC/74. London: IEA Clean Coal Centre, October 2003. 9 Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral. 10 Cetak Biru Pengelolaan Energi Nasional 2010-2025, Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral. 11 ESDM (2009) Statistik Batubara 2008, Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineralhttp://www.esdm.go.id/download/Statistik_Batubara_Indonesia.pdf (diakses September 2010). 12 idem 13 Pusat Data dan Informasi Energi dan Sumberdaya Mineral (2009) Indikator Kunci Energi dan Sumberdaya Mineral Indonesia, 2008. 14 Kajian Kebijakan Energi Indonesia, Badan Energi Internasional, 2008. 15 Laporan tentang Pertambangan di Indonesia dengan fokus Kalimantan Timur dan Selatan, serta Sumatra Selatan, dikomisikan oleh Greenpeace Asia Tenggara, 2009. 16 Mulyono, J. (2009) Tinjauan Industri Batubara Indonesia, dipresentasikan dapal dialog Kebijakan Batubara Indonesia-Jepang dan Seminar Batubara Tokyo, Maret 26-27, 2009. 17 Kantor Kesehatan Kabupaten Kutai Barat, Juni 2009. 18 Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), analisis dari berbagai sumber, Oktober 2008. 19 idem 20 Siaran Pers Worldwatch Institute, Phasing out Coal: Environmental Concerns, Subsidy Cuts Fuel Decline. 21 External Costs: Research results on socio-environmental damages due to electricity and transport, Luxembourg: Office for Official Publications of the European Communities, 2003. 22 Kenyamanan di sini didefinisikan sebagai kelebihan sifat dari sebuah properti yang tidak esensial bagi penggunaan properti tersebut, tapi dapat meningkatkan nilainya. Misalnya termasuk kolam renang, lapangan tenis, pemandangan indah, akses pada bidang air, dst. www.secured-loan.co.uk/glossary-loans.html 23 U.S. EPA, Office of Water, Air Pollution and Water Quality: Atmospheric Deposition Initiative: Where is the Air Pollution Coming From? Available online at http://www.epa.gov/owowwtr1/oceans/airdep/air5html. (U.S. EPA, Mercury Report to Congress, 1997, Vol. 1). 24 National Wildlife Federation, Clean the Rain, Clean the Lakes: Mecury in Rain is Polluting the Great Lakws, p. 4, September 1999. 25 Idem. 26 http://www.epa.gov/mercury/effects.htm 27 Toxicological Effects of Methylmercury, National Academy Press, Washington, DC, 2000. 28 Idem. 29 Idem. 30 Kantor Lingkungan Hidup Kalimantan Selatan, Mei 2009. 31 16 Toxics A to Z: A Guide to Everyday Pollution Hazards by John Harte, Richard Schneider, Christine Shirley and Cheryl Holdren, University of California Press, Berkeley and Los Angeles, 1991 32 Wawancara dengan Ibu Soniya, penduduk desa Rimbawan, Tanah Merah, Kabupaten Samarinda Ilir, 23 Agustus 2010. 33 Wawancara dengan Lia, mahasiswa Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur, 30 Agustus 2010. 34 Batubara Indonesia: dampak lokal, kaitan global, Down to Earth, No. 85-86, Agustus 2010. 35 Statistik Kemiskinan, Biro Pusat Statistik, BPS, 2010 36 Globe Asia Magazine, Volume 4, Number 6, June 2010 37 Wawancara dengan Ibu Yanti dari Selili Samarinda Timur, 30 Agustus 2010. 38 Wawancara dengan Pak Romansah dari Desa Waruduwur, Cirebon, 17 Oktober 2010 39 Wawancara dengan Pak Wahyudi dari Desa Waruduwur, Cirebon, 17 Oktober 2010. 40 Wawancara dengan Aan Anwarudin, Cirebon, Agustus 2010. 41 Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi, 2007. Potensi Unggulan Daerah & Peluang Investasi Cilacap: Investment Opportunities. Pemerintah Daerah Cilacap. 42 Wawancara dengan dr Purwanto. Cilacap, Indonesia. 22-23 September 2008. 43 Wawancara dengan Imam Sarjono, penduduk kompleks perumahan Griya Kencana Permai. Desa Karang Kandri, Indonesia. 22-23 September 2008. 44 Wawancara dengan Noto, petani dan penduduk Desa Winong, Indonesia. 22-23 September 2008. 45 Wawancara dengan Sugriyatno, penduduk kompleks perumahan Griya Kencana Permai. Desa Karang Kandri, Indonesia. 22-23 September 2008. 46 Idem 47 Revolusi Energi: Tinjauan Energi Berkelanjutan Indonesia, Greenpeace Internasional dan Dewan Energi Terbarukan Eropa, November 2007.
2

38

Anda mungkin juga menyukai