Anda di halaman 1dari 11

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Al-Quran diturunkan ke dunia ini tidak lain dan tidak bukan adalah sebagai pedoman bagi umat manusia dalam menjalani kehidupannya agar memiliki akhlak, moral dan budi pekerti yang baik. Maka dari itu Islam memberikan kedudukan kepada Al-Quran sebagai sumber hukum yang utama. Memahami ajaran dalam agama Islam dilakukan tidak sebatas membaca Al-Quran dan terjemahannya. Sebab, Al-Quran memiliki bahasa yang tinggi dan ayat-ayatnya tidak selalu bisa dipahami hanya melalui terjemahan. Salah satu penjelas dari isi Al-Quran adalah sunnah atau hadits yang berupa ucapan-ucapan Rasulullah SAW yang diberi otoritas oleh Tuhan untuk menyampaikan setiap wahyu kepada umat manusia. Kedudukan hadits ini sangat penting bagi umat Islam. Hadits merupakan warisan dan wasiat Rasulullah SAW yang sampai sekarang masih dipegang para umatnya yang senantiasa mengharapkan syafaat setelah dibangkitkan kembali nanti. Hadits dikumpulkan oleh sejumlah perawi memiliki peran penting dalam penyampaian ajaran Islam.

2. Tujuan Tujuan dari diadakannya pembahasan ini adalah sebagai berikut: 1. Agar mengetahui secara terperinci kedudukan dan fungsi ijtihad dalam hukum Islam. 2. Dengan adanya pembahasan ini tentunya kami semua akan semakin memperkaya ilmu pengetahuan dalam mata kuliah Ushul Fiqih khususnya materi Pembahasan Ijtihad.

3. Ruang Lingkup Materi Dalam makalah ini kami menguraikan salah satu materi yang ada dalam mata kuliah Ushul Fiqih dengan judul bahasan Ijtihad. Yaitu bagaimana peranan Ijtihad dalam syariat Islam dan dalam penetapan hukum Islam 1

PEMBAHASAN
1. Pengertian Ijtihad Secara etimologi, Ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti almasyaqaat (kesulitan dan kesusahan) dan

2. Sumber Syariat Islam

Syariat Islam merupakan aturan hukum yang ditetapkan Allah SWT untuk kemaslahatan ummat manusia. Hukum atau peraturan dalam menjalankan dan mengamalkan agama Allah termasuk syariat Islam. peraturan yang telah ditetapkan Allah kepada manusia, baik hubungannya terhadap Allah, maupun hubungan terhadap sesama manusia, alam dan kehidupan . Secara terminologi yang umumnya dipakai para ulama salaf dalam memberikan batas pengertian syariat Islam sebagai suatu pedoman hidup dan ketetapan hukum yang digariskan oleh Allah SWT . Secara lengkap batasan tersebut adalah hukum yang disyariatkan Allah untuk hamba-hamba-Nya yang telah didatangkan para Nabi baik berhubungan dengan cara menyebutkannya, yang dinamai fariyah amaliyah, yang untuknyalah didewakan ilmu fiqh maupun yang berhubungan dengan ittiqad yang dinamai ashliyah ittiqadiyah yang untuknyalah didewakan ilmu kalam dan syara itu dinamai pula Ad-Din dan Millah . Syariat dinamakan Ad-Din maksudnya bahwa ketetapan peraturan Allah yang wajib ditaati. Ummat harus tunduk melaksanakan ad-Din (syariat) sebagai wujud ketaatan kepada hukum Allah. Ad-Din dalam bahasa Arab berarti hukum. Sedangkan syariat dinamakan Millah bermakna bahwa agama bertujuan untuk mempersatukan para pemeluknya dalam suatu perikatan yang teguh, dapat pula bermakna pembukuan atau kesatuan hukum-hukum agama . Syariat sering juga disebut syara, yaitu aturan yang dijalani manusia, atau suatu aturan agama yang wajib dijalani oleh manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia maupun kelak di akhirat . Secara umum yang dimaksud dengan syariat adalah hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah untuk kaum muslimin, baik yang ditetapkan dengan Al-Quran maupun As-Sunnah dari Rasulullah SAW.1 Jadi dapat disimpulkan bahwa syariat adalah segala aturan hukum yang diwahyukan kepada para Nabi berupa kitab suci seperti Taurat, Zabur, Injil dan AlQuran, maupun berupa syariat yang disampaikan kepada para Nabi yang tidak berupa kitab/tidak dibukukan sebagai kitab. Secara garis besar sumber dan dasar syariat Islam adalah sebagai berikut:
1

Muhammad Yusuf Musa, Islam Suatu Kajian Komprehensif (Jakarta: Rajawali Pers, 1988), h. 131

1.

Al-Quran dengan nashnya yang jelas dan tegas, dan kandungannya yang mencakup beberapa pengertian.

2.

As-Sunnah (Hadits), yakni semua perkataan, perbuatan dan ketetapan Rasulullah SAW yang bersifat syariat dengan syarat bahwa kesemuanya itu sah riwayatnya dari Rasulullah SAW. Ar- Rayu, melalui penelitian terhadap makna ayat Al-Quran dan As-Sunnah yang berkemungkinan mengandung beberapa pengertian, mempertemukan

3.

(mempersatukan) hukum-hukum yang belum ditetapkan nashnya dengan hukum yang sudah ditetapkan nashnya, menerapkan kaidah-kaidah umum yang diambil dari hukum Al-Quran terhadap peristiwa yang terjadi.2 Menurut penyelidikan para ahli fuqaha dalil-dalil syariat secara global .berpangkal kepada empat pokok yaituAl-Quran, Al-sunnah, Al-ijma dan Al-qiyas oleh jumhur ulama disepakati sebagai dalil hukum amaliyah. Selain dalil tersebut masih dikenal dalil lainnya yang senantiasa dipergunakan oleh para ulama dalam mengambil keputusan yaitu istihsan, maslahat mursalah, saddus zariah, istishab dan Al-Urf. Semua dalil-dalil tersebut dijadikan sebagai sumber fiqh Islam.3

3. Kedudukan Al-Quran Tentu tidak terbayangkan bagaimana porak porandanya kehidupan apabila hidup tanpa adanya hukum yang mengatur. Sebelum manusia membayangkan hal yang sedemikian, Allah SWT sudah terlebih dahulu memikirkannya dan mengantisipasinya dengan menganugerahkan hukum kepada manusia agar kehidupan di dunia lebih kondusif. Maka dari itu Allah memberikan kitab-kitab suci kepada para Rasul-Nya untuk disampaikan kepada umat manusia agar kehidupan lebih terarah. Begitu juga dengan Al-Quran yang merupakan perkataan-perkataan Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memperbaiki akhlak manusia. Tujuan diturunkannya Al-Quran:

2 3

Mahmud Syaltut, Islam, Akidah dan Syariah (Jakarta: Pustaka Amani, 1966), h. 215. Minhajuddin, Pengantar Ilmu Fiqh-Ushul Fiqh (Ujung Pandang: Fakultas Syariah IAIN Alauddin, 1983), h. 3.

1.

Sebagai mukjizat yang membuktikan kebenaran Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul dalam mendakwahkan risalah dan menyampaikan segala sesuatu yang diterima dari Allah SWT. Untuk itu Al-Quran diturunkan dalam susunan, arti, syariat dan pengetahuan yang semuanya itu mengandung unsur mukjizat.

2.

Sebagai petunjuk, sumber syariat dan hukum yang wajib diikuti dan dijadikan pedoman.4

Nah, di dalam Al-Quran tentunya banyak sekali kandungan ayat yang menerangkan tentang apa-apa saja yang diperintahkan dan dilarang oleh Allah, dan harus dilaksanakan dan dijauhi oleh manusia. Dan ayat-ayat tersebut menjadi landasan hukum ataupun hukum dasar bagi umat muslim agar kehidupan manusia lebih teratur. Sebagaimana firman Allah SWT:

Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. (Q.S. An-Nisa: 105) Atau dalil lain yang bunyinya sebagai berikut:

Artinya: Katakanlah: Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir. (Q.S. Ali Imran: 32).

Adapun secara garis besar kandungan yang terdapat dalam Al-Quran sebagai berikut:
4

. Mahmud Syaltut, Islam, Akidah dan Syariah (Jakarta: Pustaka Amani, 1966), h. 232.

1.

Terdapat di dalamnya akidah-akidah yang wajib diimani, yaitu iman kepada Allah, iman kepada malaikat, iman kepada Rasul dan kitabnya, dan iman kepada hari kiamat.

2. 3.

Mengajarkan manusia untuk selalu melakukan akhlak terpuji. Petunjuk pemikiran dan penelitian terhadap alam semesta berikut segala ciptaanNya agar dapat diketahui rahasia ciptaan Allah.

4.

Kisah-kisah orang terdahulu baik yang berkenaan dengan peperangan maupun bangsa-bangsa. Juga peringatan dan ancaman, atau janji baik dan buruk 5

Al-Quran merupakan kumpulan wahyu ataupun perkataan Allah SWT yang diturunkan langsung kepada Rasulullah SAW melalui malaikat Jibril. Dikarenakan merupakan perkataan langsung dari sang Maha Pencipta, maka kedudukan Al-Quran di dalam syariat Islam adalah sebagai sumber syariat yang pertama dan yang utama. Rasulullah SAW. Dan diperjelas dengan hadits

4. Kedudukan Hadits (As-Sunnah) Agar lebih mudah dipahami, pada kesempatan ini saya sebagai pemakalah menggunakan istilah Hadits sama dengan As-Sunnah. Jadi yang mana yang dimaksud dengan Hadits adalah segala sesuatu yang dilakukan Rasulullah SAW, baik perkataan, persetujuan, perbuatan, ataupun kebiasaannya. Seperti yang dibahas sebelumnya, Al-Quran yang diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW menjadi sumber hukum yang utama untuk umat Islam. Namun, di dalam Al-Quran juga terdapat kandungan ayat-ayat yang perlu diperjelas maksudnya dengan lebih rinci, dan adapula permasalahan yang hukumnya tidak tercantum dalam Al-Quran. Maka, pada saat menyampaikan wahyu Allah kepada umat manusia, Rasulullah SAW memberikan penjelasan tentang hukum dari suatu permasalahan yang dalil hukumnya tidak tercantum dalam AlQuran kepada para sahabat. Contohnya tentang tata cara bersuci, pelaksanaan sholat, adab munakahat, mawarits, dan lain sebagainya yang termasuk dalam pembahasan ilmu fiqh. Kehujjahan Hadits atau argumentasi otentik bahwa Hadits dengan sanad atau riwayat
5

Ibid, h. 230-234.

yang shahih yang dimaksudkan untuk tasyari datang dari kesepakatan para Ulama. Hadits dapat dijadikan hujjah dan hukum Islam bagi umat Islam. Artinya hukum-hukum yang datang dari Sunnah-Sunnah Rasululllah SAW dapat didijadikan undang-undang syariat yang wajib diikuti. Dalil kehujjahan Hadits bersumber dari Al Quran, seperti firman Allah :

Artinya: Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (Q.S. Al-Ahzab: 36). Jadi intinya dalam syariat Islam, Hadits (As-Sunnah) memiliki kedudukan sebagai sumber syariat Islam yang kedua setelah Al-Quran.

5. Kedudukan Ar-Rayu Menurut bahasa Ar-Rayu artinya, pemahaman dan akal budi. Manusia dikaruniai Allah dengan diberikan akal budi, karena hanya satu-satunya makhluk yang mempunyai akal. Dengan akal itulah manusia wajib berpikir tentang segala sesuatu, termasuk berpikir tentang persoalan hukum yang tidak terdapat dalam nash Al-Quran dan As-Sunnah. Kata Ar-Rayu (pendapat, opini, pikiran) sering dipakai dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran atau dalam aktivitas ijtihad untuk menggali hukum-hukum syariat atas berbagai perkara yang dihadapi oleh kaum Muslim. Dalam perkembangannya dewasa ini, penggunaannya kata Ar-Rayu semakin melebar dan menyimpang dari maksud penggunaannya pada masa lalu. Di samping dalam tafsir, kata Ar-Rayu juga digunakan dalam ijtihad. Secara umum, para mujtahid terbagi menjadi dua bagian ahl al-hadts dan ahl ar-rayi. Pembagian ini bukan berarti bahwa ahl ar-rayi tidak

mau mengambil hadits sebagai sumber tasyr (legislasi hukum). Demikian pula sebaliknya; bukan berarti bahwa ahli hadits tidak mau mengambil ar-rayu sebagai sumber dalam tasyr mereka. Semuanya mengambil hadits dan rayu karena mereka sepakat bahwa hadits adalah hujjah syar, sementara ijtihad didasarkan pada ar-rayu yang diperoleh dengan cara memahami maksud nash. Para intelektual muslim saat ini memaknai ar-rayu sebagai penggunaan akal secara bebas dan luas sehingga akal dipandang boleh menafsirkan ayat-ayat Al-Quran sekehendaknya dan seluas-luasnya. Begitu pula aktivitas penggalian hukum (ijtihad dan istinbath), akal sering secara bebas mengeluarkan dan menghasilkan produk-produk hukum yang amat ganjil dan menyimpang. Mereka berdalih bahwa Allah SWT, telah menciptakan untuk manusia akal, sementara salah satu fungsi akal adalah bebas dalam menafsirkan dan mengeluarkan hukum. Ar-Rayu terbagi menjadi 6 macam yaitu Ijma, Qiyas, Istihsan, Sududz Dzariah, Istishab, Urf, dan Mushalat Murshalah. Dalil kehujjahan Ar-Rayu bersumber dari Al-Quran, seperti firman Allah SWT:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. An-Nisa: 59) Jadi di dalam syariat Islam, Ar-Rayu memiliki kedudukan sebagai sumber syariat yang ketiga setelah Al-Quran dan Hadits. Dengan kata lain Ar-Rayu berperan sebagai penengah. Menetapkan hukum dari permasalahan yang dalil hukumnya tidak tercantum dalam Al-Quran dan Hadits.

PENUTUP
1. Kesimpulan Sumber syariat Islam terdiri dari: 1. Al-Quran, yang merupakan kalam Allah SWT yang diwahyukan kepada Malaikat Jibril dan diturunkan kepada Rasulullah SAW. Al-Quran mengandung beberapa ayat yang perlu dijelaskan secara lebih rinci. Memiliki kedudukan sebagai sumber syariat Islam yang pertama. 2. Hadits (As-Sunnah), yaitu segala perkataan, perbuatan dan penetapan yang berasal dari Rasulullah SAW. Berperan sebagai penjelas ayat-ayat Al-Quran, dan memberikan ketetapan hukum dari suatu permasalahan yang dalil hukumnya tidak tercantum dalam Al-Quran. Memiliki kedudukan sebagai sumber syariat Islam yang kedua. 3. Ar-Rayu, yaitu penelitian makna ayat-ayat Al-Quran dan As-Sunnah yang berkemungkinan memiliki ragam pengertian. Menetapkan suatu hukum

permasalahan yang dalil hukumnya belum tercantum jelas dalam Al-Quran dan Hadits, ataupun menetapkan suatu hukum permasalahan melalui permusyawaratan para ulama muslim dengan berazaskan Al-Quran dan Hadits. 2. Prosedur Penetapan Hukum Islam Dapat disimpulkan bagaimana penetapan hukum dalam Islam yaitu sebagai berikut: 1. Mencari ketentuan hukum suatu permasalahan dalam Al-Quran. 2. Jika belum jelas dala Al-Quran, maka berusaha dilihat dari Hadits Shahih Rasulullah SAW. 3. Jika belum juga, maka diadakan proses Ar-Rayu ataupun siding ijma yang dilakukan para ulama. 4. Jika belum terdapat kata sepakat, maka proses selanjutnya yaitu dengan cara pemungutan suara terbanyak.6

Abu Ameenah B.P, Asal-usul Perkembangan Fiqh (BandungNusamedia, 1998), h. 48.

10

DAFTAR PUSTAKA

Ameenah, Abu B.P. Asal-usul Perkembangan Fiqh, Bandung: Nusamedia, 1998. Minhajuddin. Pengantar Ilmu Fiqh-Ushul Fiqh, Ujung Pandang: Fakultas Syariah IAIN Alauddin, 1983. Suparta, Munzier. Ilmu Hadis, Jakarta: Raja Grafindo, 1993. Syaltut, Mahmud. Islam, Akidah dan Syariah, Jakarta: Pustaka Amani, 1966. Yusuf, Musa Muhammad. Islam Suatu Kajian Komprehensif, Jakarta: Rajawali Pers, 1988.

11

Anda mungkin juga menyukai