Anda di halaman 1dari 93

STUDI PERUMUSAN KEBIJAKAN PERENCANAAN PANGAN DAN GIZI BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN DI KOTA BANJAR JAWA BARAT

INDY FITRIA ADICITA

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

ABSTRACT

STUDY OF POLICY FORMULATION FOR FOOD AND NUTRITIONAL PLANNING BASED ON DESIRABLE DIETARY PATTERN IN BANJAR CITY, WEST JAVA PROVINCE Indy Fitria Adicita, Hidayat Syarief, Yayuk Farida Baliwati The general objective of this research was to formulate policy for food and nutritional planning based on Desirable Dietary Pattern in Banjar City. The particular objectives of the research were to 1) Analyze the situation of food consumption in household level in Banjar City using Desirable Dietary Pattern, 2) Formulate consumption necessity and food supplying directing to the ideal in Banjar City, 3) Determine causing factor (causal model) of food and nutritional problem in Banjar City, 4) Formulate the policy recommendation for food and nutritional planning based on Desirable Dietary Pattern in Banjar City. The research conducted in Banjar City, West Java Province, was a prospective research to reflect the future. Sample was chosen by purposive sampling. Sample for nutritional status and consumption data was 700 households which 176 households in poor category and 524 households in non poor category. The result shows that poverty problem, low income and low education are some of the factors that cause low quantity and quality of energy consumption in household level in Banjar City. It is difficult for poor family to access the food because of food insecurity. Formulating the right policy for food and nutritional planning will support food security in Banjar City.

Keywords: policy, food and nutritional planning, Desirable Dietary Pattern

RINGKASAN
INDY FITRIA ADICITA. Studi Perumusan Kebijakan Perencanaan Pangan dan Gizi Berdasarkan Pola Pangan Harapan di Kota Banjar Jawa Barat. (Dibawah bimbingan HIDAYAT SYARIEF dan YAYUK FARIDA BALIWATI). Penelitian ini secara umum bertujuan untuk merumuskan kebijakan perencanaan pangan dan gizi berdasarkan Pola Pangan Harapan di Kota Banjar. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah 1) Menganalisis situasi konsumsi pangan tingkat rumah tangga Kota Banjar dengan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH) 2) Menentukan faktor penyebab (causal model) masalah pangan dan gizi Kota Banjar 3) Merumuskan kebutuhan konsumsi dan penyediaan pangan menuju ideal di Kota Banjar 4) Merumuskan rekomendasi kebijakan perencanaan pangan dan gizi berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH) di Kota Banjar. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat prospektif untuk memproyeksikan kondisi yang akan datang. Penelitian ini dilakukan di Kota Banjar, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan sampel dilakukan secara purposive. Jenis data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang meliputi: 1) Status gizi dan konsumsi pangan rumah tangga Kota Banjar; 2) Jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk, komposisi penduduk menurut umur, dan jenis kelamin; 3) Jumlah produksi pangan; 4) Kesehatan penduduk dan status gizi; 5) Keadaan geografis. Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari Dinas Kesehatan, Dinas pertanian, Ketahanan Pangan, Perkebunan, dan Kehutanan Kota Banjar, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Badan Pusat Satistik Kota Banjar. Data status gizi dan konsumsi pangan yang dikumpulkan diolah dengan menggunakan program microsoft excell dan software Aplikasi Komputer Analisis kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah Kabupaten/Kota dan Provinsi yang dikembangkan oleh Heryatno, Baliwati, Martianto, & Herawati (2005). Hasil analisis menunjukkan Tingkat Konsumsi Energi penduduk Kota Banjar yaitu sebesar 62.2 persen (1 210 kkal/kapita/hari) dari AKE Kota Banjar 1 944 kkal/kapita/hari. Apabila dibedakan berdasarkan status ekonomi yaitu rumah tangga miskin dan tidak miskin, maka dapat diketahui bahwa Tingkat Konsumsi Energi penduduk rumah tangga tidak miskin Kota Banjar masih kurang jika dibandingkan dengan AKE yang dianjurkan yaitu 64.4 persen (1 252 kkal/kapita/hari) dari AKE Kota Banjar. Tingkat Konsumsi Energi untuk penduduk rumah tangga miskin juga masih di bawah AKE yang dianjurkan yaitu 60.2 persen (1 170 kkal/kapita/hari) dari AKE Kota Banjar. Kota Banjar mempunyai skor PPH sebesar 65.0, dengan kata lain skor PPH Kota Banjar masih jauh di bawah kondisi ideal (100). Salah satu sasaran ketahanan pangan dalam Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009 yang akan dicapai yaitu peningkatan kualitas konsumsi dengan skor PPH minimal 80 (DKP 2006). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa skor PPH Kota Banjar masih belum mencapai sasaran dalam Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009. Apabila PPH Kota Banjar ingin mencapai kondisi ideal (100) pada tahun 2020, maka bila dilakukan proyeksi perlu dilakukan peningkatan skor PPH rata-rata sebesar 2.5 poin setiap tahunnya. Hasil produksi padi sawah (34 875 ton) dan padi gogo (64 ton) tahun 2006 untuk tingkat wilayah Kota Banjar idealnya sudah bisa tercukupi. Akan tetapi, konsumsi kelompok pangan padi-padian (beras) pada tingkat rumah tangga masih kurang. Hal ini disebabkan masih kurangnya akses penduduk terhadap pangan seperti daya beli dan pendapatan yang masih rendah. Seperti

halnya kelompok padi-padian, untuk kelompok pangan umbi-umbian, pangan hewani masih belum mencukupi kebutuhan pangan penduduk Kota Banjar dan perlu ditingkatkan. Masalah kemiskinan, pendapatan rendah, pendidikan rendah merupakan beberapa penyebab ketidaktahanan pangan rumah tangga. Sulitnya memperoleh akses pangan bagi rumah tangga miskin menyebabkan rumah tangga miskin mengalami rawan pangan. Selain itu kurangnya kerjasama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat menyebabkan belum terwujudnya ketahanan pangan di Kota Banjar. Perumusan kebijakan pangan dan gizi yang tepat serta pembentukan lembaga atau unit kerja struktural akan membantu peningkatan ketahanan pangan di Kota Banjar. Kebijakan ketahanan pangan yang dirumuskan mencakup seluruh aspek ketahanan pangan, yaitu kebijakan dalam aspek ketersediaan, aspek konsumsi pangan, aspek distribusi dan aspek status gizi. Kebijakan perencanaan yang dapat dirumuskan berdasarkan permasalahan pangan dan gizi yang terdapat di Kota Banjar yaitu: 1) Peningkatan status gizi dan kesehatan masyarakat 2) Peningkatkan Kuantitas dan Kualitas Konsumsi Pangan Penduduk serta Melaksanakan Diversifikasi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal 3) Peningkatan Kemudahan dan Kemampuan Akses Pangan Rumah Tangga Terhadap Pangan 4) Peningkatan pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan gizi dan pola asuh keluarga, 5) Pemantapan ketersediaan pangan melalui produksi, dan 6) Pemantapan dan Pengembangan Kelembagaan Pangan dan Gizi.

STUDI PERUMUSAN KEBIJAKAN PERENCANAAN PANGAN DAN GIZI BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN DI KOTA BANJAR JAWA BARAT

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

Oleh : INDY FITRIA ADICITA A54103020

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Judul Skripsi

Nama NIM

: Studi Perumusan Kebijakan Perencanaan Pangan dan Gizi Berdasarkan Pola Pangan Harapan di Kota Banjar Jawa Barat : Indy Fitria Adicita : A54103020

Menyetujui, Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Ir. Hidayat Syarief, MS NIP 130 516 871

Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS NIP 131 669 944

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP 131 124 019

Tanggal Lulus :

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Banjar, Jawa Barat pada tanggal 20 Juni 1985. Penulis merupakan anak sulung dari pasangan almarhum Sholeh Iskandar, SH dan Yuyu Yuliawati. Pendidikan Sekolah Dasar ditempuh pada tahun 1991 sampai tahun 1997 di SDN Balokang III Kota Administratif Banjar. Tahun 1997 penulis melanjutkan sekolah di SLTPN I Banjar sampai tahun 2000. Pada tahun 2000 penulis melanjutkan sekolah di SMUN I Banjar dan memperoleh kelulusan pada tahun 2003. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan kepanitian dan organisasi kemahasiswaan. Penulis pernah menjabat sebagai Sekretaris II Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Gizi Pertanian periode 2004/2005, Anggota DKM Alhuriyyah Departemen Sosial dan Kemasyarakatan periode 2004/2005, Sekretaris I Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Gizi Pertanian periode 2005/2006, Anggota Bina Desa Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga IPB, Ketua Biro Pengembangan Sumberdaya Manusia (PSDM) Mahasiswa Peminat Ilmu Gizi Pertanian periode 2006/2007, dan terakhir sebagai Sekretaris Menteri Sosial dan Lingkungan BEM KM IPB periode 2006/2007.

PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke Khadirat Allah SWT atas segala karunianNya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Semoga salawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada teladan kebaikan kita, Nabi Muhammad SAW, keluarganya, para sahabatnya, dan umat pengikutnya. Skripsi ini berjudul Studi Perumusan Kebijakan Perencanaan Pangan dan Gizi

Berdasarkan Pola Pangan Harapan di Kota Banjar Jawa Barat yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Hidayat Syarief, MS. dan Dr. Ir. Yayuk F. Baliwati, MS selaku dosen pembimbing. 2. Ir. Budi setiawan, MS. Phd selaku dosen pemandu seminar. 3. Leily Amalia, STP, MSi selaku dosen penguji yang telah memberikan arahan dan saran perbaikan dalam penulisan skripsi ini. 4. Yayat Heryatno, SP, MPS, Dr. Ir. Drajat Martianto, Dr Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS yang telah membantu dan izin penggunaan software Analisis Konsumsi Pangan Wilayah Kabupaten/Kota dan Provinsi. 5. Bapak Wali Kota Banjar, Bapak Kepala Sekretaris Daerah Kota Banjar, Ibu Shopia beserta staf dari Dinas Kesehatan Kota Banjar, Bapak Tata beserta staf dari Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan, Perkebunan, dan Kehutanan, Kak Teuku beserta staf dari Badan Pusat Statistik Kota Banjar atas kerjasama dan bantuannya selama pengumpulan data. 6. Mamah, Papah (alm), Bapa Cecep, Mama Sri, adik-adikku tercinta (Shinta, Silfi, Shapira dan Hilmi) serta seluruh keluarga atas doa, kasih sayang, dan semangatnya selama penyusunan skripsi. 7. Anna, Desty, Anes Nasrullah, Wida, Bambang, Ahmad, dan Kuswan yang telah memberi semangat dan membantu dalam penyelesaian skripsi ini. 8. Teh Jihad, Teh Anggit, Teh Biwi, Ka Pindut atas kesabaran, bantuan, dan nasihatnya selama ini. 9. Lenny, Aklesta, Alia, dan Bambang selaku pembahas yang telah memberikan kritik, saran, dan masukannya dalam skripsi ini. 10. Rekan-rekan seperjuangan HIMAGITA dan BEM KM IPB atas kerjasama dan kenangan-kenangannya yang tak akan pernah terlupakan.

11. Teman-teman GMSK 40 tercinta yang telah memberikan kenangan terindah. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak, khususnya Pemerintah Daerah Kota Banjar sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan pangan dan gizi. Penulis sangat membutuhkan kritik dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini.

Bogor, Januari 2008

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman PRAKATA....................................................................................................... i DAFTAR ISI.................................................................................................... iii DAFTAR TABEL............................................................................................. iv DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ vi DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... vii PENDAHULUAN Latar Belakang ......................................................................................... 1 Tujuan Penelitian...................................................................................... 3 Kegunaan Penelitian ................................................................................ 3 TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan................................................................................... Indikator Ketahanan Pangan .................................................................... Ketersediaan Pangan ......................................................................... Distribusi Pangan ............................................................................... Konsumsi Pangan .............................................................................. Faktor Penyebab Masalah Pangan dan Gizi ............................................ Akses terhadap Pangan, Kemiskinan, dan Masalah Gizi ................... Perencanaan Pangan dengan Pendekatan Pola Pangan Harapan ......... Status Gizi ................................................................................................ 4 5 6 7 7 9 9 10 14

KERANGKA PEMIKIRAN............................................................................... 16 METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................... Cara Penempatan Sampel ....................................................................... Jenis dan Cara Pengumpulan Data.......................................................... Pengolahan dan Analisis Data ................................................................. Definisi Operasional ................................................................................. HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Wilayah.......................................................................... Geografis dan Topografi..................................................................... Demografi dan Sosial Ekonomi .......................................................... Produksi Pangan Kota Banjar .................................................................. Analisis Situasi Konsumsi Pangan Kota Banjar Tahun 2006 ................... Analisis secara Kuantitatif .................................................................. Analisis secara Kualitatif..................................................................... Komposisi dan Skor Mutu Konsumsi Pangan Berdasarkan PPH....... Proyeksi Skor dan Komposisi PPH .................................................... Situasi Status Gizi di Kota Banjar............................................................. Target Konsumsi Pangan di Kota Banjar ................................................. Target Penyediaan Pangan di Kota Banjar .............................................. Causal Model Masalah Pangan dan Gizi di Kota Banjar .......................... Masalah Pokok Pangan dan Gizi........................................................ Causal Model...................................................................................... 31 31 31 34 38 39 41 43 47 49 52 53 54 54 55 18 18 19 19 30

Kondisi Umum Aspek Kebijakan dan Program Aktual Kota Banjar .... 56 Rekomendasi Kebijakan Pangan dan Gizi di Kota Banjar........................ 58 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan............................................................................................... 64 Saran ........................................................................................................ 65 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 66 LAMPIRAN ..................................................................................................... 68

DAFTAR TABEL
1 2 3 4 5 6 7 8 9 Komposisi energi menurut Pola Pangan Harapan ..................................... 11 Penyempurnaan PPH dan skor PPH penyempurnaan PPH dan skor PPH ............................................................................................................. 12 Daftar jumlah sampel Survey Status dan Konsumsi Gizi Kota Banjar 2006 berdasarkan kecamatan ..................................................................... 18 Jenis dan Sumber data yang digunakan dalam penelitian .......................... 19 Pengelompokan umur kecukupan gizi ........................................................ 23 Faktor Pengali Sprague (FPS) untuk Memecah Kelompok Umur Demografi menjadi Umur Tunggal............................................................... 24 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin untuk setiap kecamatan di Kota Banjar tahun 2006 ........................................................................... 32 Jumlah penduduk miskin dan rumah tangga miskin berdasarkan kecamatan tahun 2005 di Kota Banjar ....................................................... 33 Persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan usaha di Kota Banjar tahun 2005-2006 ....................................................... 33

10 Komposisi energi ideal berdasarkan Pola Pangan Harapan ....................... 34 11 Produksi dan energi kelompok padi-padian menurut kecamatan di Kota Banjar tahun 2006............................................................................... 35 12 Produksi dan energi kelompok umbi-umbian menjadi energi menurut kecamatan di Kota Banjar tahun 2006 ........................................................ 35 13 Produksi pangan hewani (ton/tahun) menurut kecamatan di Kota Banjar tahun 2006 ....................................................................................... 36 14 Produksi pangan hewani dalam bentuk energi menurut kecamatan di Kota Banjar tahun 2006............................................................................... 36 15 Produksi dan energi kelompok kacang-kacangan menjadi energi menurut kecamatan di Kota Banjar tahun 2006 .......................................... 37 16 Produksi sayuran (ton/tahun) menurut kecamatan di Kota Banjar tahun 2006 .................................................................................................. 37 17 Produksi buah-buahan (ton/tahun) menurut kecamatan di Kota Banjar tahun 2006 ....................................................................................... 38 18 Produksi buah-buahan dan total energi menurut kecamatan di Kota Banjar tahun 2006 (lanjutan) ....................................................................... 38 19 Energi sayuran (kkal/kapita/hari) menurut kecamatan di Kota Banjar tahun 20062006 berdasarkan kecamatan........................................ 38 20 AKE Regional Kota Banjar tahun 2005 dan 2006 dengan menggunakan metode Sprangue Multipliers....................................................................... 39 21 AKE Regional Kota Banjar dengan menggunakan software Aplikasi Komputer Analisis kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah Provinsi........... 40 22 Situasi konsumsi energi dan Tingkat Kecukupan Energi di Kota Banjar berdasarkan status ekonomi ....................................................................... 41

23 Skor PPH Kota Banjar, keluarga miskin, dan tidak miskin .......................... 42 24 Konsumsi energi, skor PPH, dan pangan (gram) penduduk Kota Banjar 2006 dibandingkan dengan standar ideal.................................................... 43 25 Sumbangan energi masing-masing kelompok pangan berdasarkan status ekonomi terhadap total konsumsi energi di Kota Banjar 20061)........ 45 26 Kontribusi kelompok pangan pada AKE aktual Kota Banjar 2006 berdasarkan satus ekonomi terhadap AKE Regional Kota Banjar ............. 46 27 Proyeksi skor Pola Pangan Harapan Kota Banjar....................................... 48 28 Proyeksi kontribusi energi menurut kelompok pangan (%) Kota Banjar ..... 48 29 Jumlah dan presentase balita gizi kurang dan buruk menurut kecamatan di Kota Banjar tahun 2006 ........................................................................... 49 30 Jumlah dan persentase penduduk di Kota Banjar yang mengalami keluhan kesehatan, tahun 2005 dan 2006 .................................................. 50 31 Banyaknya tenaga dan sarana kesehatan di Kota Banjar tahun 2006........ 50 32 Jumlah penduduk miskin dan rumah tangga miskin berdasarkan kecamatan tahun 2005 di Kota Banjar ....................................................... 51 33 Jumlah dan persentase penduduk 10 tahun ke atas di Kota Banjar menurut jenis kelamin dan pendidikan tertinggi yang ditamatkan .............. 51 34 Persentase rumahtangga miskin menurut jenis air minum di Kota Banjar tahun 2005 ....................................................................................... 52 35 Persentase rumahtangga miskin menurut jenis jamban/kakus di Kota Banjar tahun 2005 ....................................................................................... 52 36 Proyeksi konsumsi pangan (kg/kapita/tahun) penduduk Kota Banjar ......... 53 37 Proyeksi penyediaan kebutuhan pangan wilayah Kota Banjar.................... 53 38 Masalah pangan dan gizi, kebijakan/program Kota Banjar yang sudah dibuat, serta rekomendasi kebijakan/program, indikator dan stakeholder .. 60

DAFTAR GAMBAR
1 2 3 4 Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan pangan dan gizi................. 17 Cover program aplikasi komputer analisis situasi dan kebutuhan konsumsi pangan wilayah propinsi........................................................... 20 Langkah-langkah penyusunan strategi dan implementasi pangan dan gizi ..................................................................................................... 20 Faktor penyebab masalah kurang gizi pada balita ................................... 28

DAFTAR LAMPIRAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 Peta Kota Banjar ...................................................................................... 70 Luas lahan sawah menurut jenis pengairan di Kota Banjar tahun 2006 .. 71 Produksi padi palawija dan laju produksi menurut jenis tanaman di Kota Banjar tahun 2005 dan 2006............................................................ 71 Luas lahan bukan sawah menurut penggunaan lahan di Kota Banjar tahun 2006 ............................................................................................... 74 Produksi dan laju produksi sayuran menurut jenis tanaman di Kota Banjar tahun 2005 dan 2006 .................................................................... 76 Produksi dan laju produksi buah-buahan menurut jenis tanaman di Kota Banjar tahun 2005 dan 2006............................................................ 78 Energi kelompok pangan buah-buahan (kkal/kap/hari) menurut kecamatan di Kota Banjar tahun 2006 ................................................... 79 Produksi dan laju produksi daging Kota Banjar tahun 2005 dan 2006.......................................................................................................... 70 Produksi dan laju produksi ikan menurut tempat pemeliharaan di Kota Banjar tahun2005 dan 2006............................................................. 71

10 Jumlah konsumsi energi (kkal/kapita/hari) untuk setiap komoditi berdasarkan status ekonomi .................................................................... 72 11 Kontribusi masing-masing kelompok pangan terhadap Angka Kecukupan Energi Kota Banjar 2006 (1944 kkal/kap/hari) ....................... 74 12 Proyeksi konsumsi pangan Kota Banjar (kg/kapita/tahun) untuk setiap komoditi.......................................................................................... 76 13 Proyeksi kebutuhan (ton/tahun) wilayah Kota Banjar untuk setiap komoditi .................................................................................................... 78 14 Bagan causal model masalah pangan dan gizi di Kota Banjar ................ 79

PENDAHULUAN
Latar Belakang Hakikat pangan berdasarkan pertimbangan Undang-undang No 7 tahun 1996 merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi manusia. Legalisasi ini sejalan dengan salah satu pasal dalam Human Right Declaration 1948 dan World Conference on Human Right 1993 (Hardinsyah et al. 2001). Pangan yang aman, bermutu, bergizi, beragam, dan tersedia cukup merupakan prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat. Sebagai komoditas, pangan harus tersedia dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Kondisi kemampuan suatu wilayah untuk pemenuhan kebutuhan pangannya dinyatakan dengan istilah ketahanan pangan (food security) (Hariyadi, Krisnamurti & Winarno 2003). Sebaliknya, kondisi tidak tahan pangan (food insecurity) secara sederhana berarti kondisi pangan yang tidak terpenuhi untuk hidup sehat, aktif, dan produktif. Dalam wujud nyata di masyarakat tercermin dari ketersediaan dan konsumsi pangan yang tidak memadai, hargaharga pangan yang tidak terjangkau, gizi kurang, dan pada tingkat yang parah berupa kelaparan dan kematian. Pemenuhan kebutuhan pangan merupakan salah satu standar pelayanan minimal pemerintah karena pangan adalah kebutuhan dasar dan hak azasi manusia. Keluaran (output) dari pemenuhan kebutuhan pangan tersebut adalah status gizi yang merupakan dasar dari sumber daya manusia. Terpenuhinya konsumsi pangan penduduk baik secara kuantitas maupun kualitas akan mempengaruhi kondisi status gizi penduduk. Pemerintahan berupaya mewujudkan ketahanan pangan hingga tingkat rumah tangga bahkan individu antara lain melalui program perbaikan diversifikasi pangan, penyediaan pangan, dan perbaikan konsumsi pangan. Permasalahan yang dihadapi dalam hal konsumsi pangan, tidak hanya ketidakseimbangan komposisi pangan yang dikonsumsi penduduk, tetapi juga masalah masih belum terpenuhinya kecukupan gizi. Penganekaragaman konsumsi pangan mempunyai tujuan utama untuk peningkatan mutu gizi konsumsi pangan. Berkaitan dengan itu, untuk dasar perencanaan dan untuk mengukur keberhasilan berbagai upaya di bidang produksi, penyediaan dan

konsumsi pangan penduduk baik nasional maupun lokal, diperlukan suatu indikator seperti skor PPH. Kota Banjar merupakan daerah pengembangan yang memiliki potensi daerah pertanian yang cukup tinggi yaitu hampir 60 persen penduduk kota Banjar bermata pencaharian sebagai petani. Sektor pertanian memberikan kontribusi sekitar 21 persen dari total kegiatan ekonomi. Kondisi pertanian yang cukup besar, idealnya mampu memenuhi kebutuhan akan pangan bagi penduduk. Jumlah penduduk Kota Banjar pada tahun 2006 tercatat sebanyak 168 912 jiwa, dengan rincian 84 328 jiwa penduduk berjenis kelamin laki-laki dan sebanyak 84 584 jiwa berjenis kelamin perempuan. Jumlah penduduk miskin masih relatif tinggi, yaitu sebanyak 36 100 jiwa (22.25%). Hal ini akan mempengaruhi pemenuhan kebutuhan pangan, kuantitas dan kualitas konsumsi pangan dan status gizi penduduk. Perwujudan ketahanan pangan pada era otonomi daerah saat ini merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat di daerah yang bersangkutan. Undang-undang Nomor 32 tahun 2003 mengatur tentang kewenangan pemerintah daerah untuk lebih banyak mengatur dan mengelola pembangunan daerahnya masing-masing, termasuk pengaturan tentang ketahanan pangan. Dalam konteks ketahanan pangan, setiap daerah lebih mengenali potensi serta kerawanan pangan yang dihadapi sehingga kebijakan yang diambil akan lebih tepat sasaran. Masing-masing daerah tentunya mempunyai ciri dan keunggulan yang berbeda-beda. Upaya peningkatan produksi dan produktivitas pangan dalam rangka membangun ketahanan pangan nasional perlu pula dilakukan secara lokal, disesuaikan dengan potensi dan kondisi masing-masing daerah setempat. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi setiap daerah (provinsi dan kabupaten/kota) untuk merumuskan suatu kebijakan perencanaan pangan dan gizi untuk mewujudkan ketahanan pangan yang berbasis sumberdaya lokal. Hal inilah yang menjadi latar belakang dilakukannya penelitian tetang studi perumusan kebijakan perencanaan pangan dan gizi di Kota Banjar.

Tujuan Penelitian Tujuan Umum : Merumuskan kebijakan perencanaan pangan dan gizi berdasarkan Pola Pangan Harapan di Kota Banjar. Tujuan Khusus : 1. Menganalisis situasi konsumsi pangan tingkat rumah tangga Kota Banjar dengan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH). 2. Menentukan faktor penyebab berdasarkan (causal model) masalah pangan dan gizi Kota Banjar. 3. Merumuskan kebutuhan konsumsi dan penyediaan pangan menuju ideal dengan Pola Pangan Harapan. 4. Merumuskan rekomendasi kebijakan pangan berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH) dan status gizi di Kota Banjar. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan arahan dan dijadikan sebagai salah satu bahan bagi pemerintah daerah atau pengambil keputusan Kota Banjar dalam memilih alternatif prioritas kebijakan pangan dan gizi, dimana programprogram yang akan diterapkan diharapkan mampu menyentuh kebutuhan dasar masyarakat, berdaya guna dan berhasil guna. Selain itu dapat juga dijadikan sebagai salah satu acuan dalam menyusun arah kebijakan pembangunan ketahanan pangan, dan pada akhirnya kejadian kerawanan pangan dapat diatasi dan diantisipasi sedini mungkin.

TINJAUAN PUSTAKA
Ketahanan Pangan Dasar utama kebijakan ketahanan pangan di Indonesia adalah Undangundang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Ketahanan pangan dalam undang-undang tersebut didefinisikan sebagai suatu kondisi terpenuhinya pangan di tingkat rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah mutunya, aman, merata, dan terjangkau (Sastraatmadja 2006). Sedangkan batasan yang dipakai oleh The World Food Summit (1996) pada saat mencetuskan FIVIMS (Food Insecurity and Vulnerability Information and Mapping Systems) adalah ketahanan pangan merupakan suatu kondisi dimana semua orang, setiap waktu, mempunyai akses fisik, sosial, dan ekonomi pada bahan pangan yang aman dan bergizi sehingga cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh sesuai dengan kepercayaannya sehingga bisa hidup secara aktif dan sehat. Upaya pemantapan ketahanan pangan, sesuai amanat Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, bertujuan untuk mewujudkan ketersediaan pangan bagi seluruh rumah tangga, dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata, serta terjangkau oleh setiap individu (Suryana 2003). Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2002 (Badan Ketahanan Pangan 2002) tentang ketahanan pangan dalam penjelasannya tertuliskan bahwa upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan merupakan tantangan yang harus mendapatkan prioritas untuk kesejahteraan Bangsa Indonesia sebagai negara agraris dan maritim dengan sumberdaya alam dan sosial budaya yang beragam, harus dipandang sebagai karunia Ilahi untuk mewujudkan ketahanan pangan. Upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional harus bertumpu pada sumberdaya pangan lokal yang mengandung keragamanan antar daerah dan harus dihindari sejauh mungkin ketergantungan pada pemasukan pangan. Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan, maka seluruh sektor harus berperan secara aktif dan berkoordinasi secara rapi dengan Pemerintah Pemerintah Pusat, Desa Pemerintah dan Propinsi, untuk Pemerintah meningkatkan Kabupaten/Kota, strategi demi masyarakat

mewujudkan ketahanan pangan nasional. Pengertian ketahanan pangan pada International Food Submit dan International Conference of Nutrition 1992 (FAO 1997) diperluas menjadi kondisi tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan setiap orang setiap saat untuk

hidup sehat, aktif, dan produktif. Makna yang terkandung dalam pengertian ketahanan pangan tersebut mencakup dimensi fisik pangan (ketersediaan), dimensi ekonomi (daya beli), dimensi pemenuhan kebutuhan gizi individu (dimensi gizi) dan dimensi nilai-nilai budaya dan religi (pola pangan yang sesuai untuk hidup sehat, aktif, dan produktif serta halal), dimensi keamanan pangan (kesehatan), dan dimensi waktu (tersedia secara berkesinambungan). Mengingat kompleksnya pembangunan ketahanan pangan yang melibatkan banyak pelaku dan daerah, dengan dinamika perubahan antar waktu, maka koordinasi dan sinergi yang baik merupakan kunci keberhasilan dalam pembangunan ketahanan pangan. Berdasarkan Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009 (BKP 2006) dalam melaksanakan koordinasi dan sinergisme tersebut, maka pemerintah membentuk Dewan Ketahanan Pangan melalui Keppres Nomor 132 Tahun 2001 yang mengatur koordinasi, evaluasi, dan pengendalian upaya-upaya dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah mengatur peran pemerintah yang lebih bersifat sebagai inisiator, fasilitator, dan regulator, sedangkan masyarakat berperan sebagai pelaku utama pembangunan ketahanan pangan. Sejalan dengan itu, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota dan atau pemerintah desa sesuai kewenangannya, menjadi pelaksana fungsi-fungsi inisiator, fasilitator, dan regulator atas penyelenggaraan ketahanan pangan di wilayah masing-masing, namun tetap dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan nasional. Berkaitan dengan itu, maka kebijakan ketahanan pangan nasional menjadi payung kebijakan ketahanan pangan daerah. Sedangkan kebijakan ketahanan pangan daerah menjadi komponen utama dalam kebijakan pangan nasional. Kebijakan ketahanan pangan nasional harus menjamin sinergisme kebijakan antar daerah, sehingga tidak ada kebijakan suatu daerah yang merugikan daerah lain. Untuk itu pemerintah memberikan pedoman, norma, standar, dan kriteria yang harus ditaati pemerintah daerah, melakukan pemantauan dan pengendalian untuk menjaga sinergi pembangunan antar daerah dan mengarahkan proses pembangunan pada tujuan bersama, yaitu mewujudkan ketahanan pangan nasional (DKP 2006). Indikator Ketahanan Pangan Ketahanan pangan mencakup tiga aspek penting yang dapat digunakan sebagai indikator ketahanan pangan, yaitu: (1) Ketersediaan, yang artinya bahwa

pangan tersedia cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik jumlah maupun mutunya, serta aman; (2) Distribusi, dimana pasokan pangan dapat menjangkau seluruh wilayah sehingga harga stabil dan terjangkau oleh rumah tangga; dan (3) Konsumsi, yaitu setiap rumah tangga dapat mengakses pangan yang cukup dan mampu mengelola konsumsi kaidah gizi dan kesehatan, serta preferensinya (DKP 2006). Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergi dan interaksi dari ketiga subsistem ketahanan pangan di atas. Ketersediaan Pangan Subsistem ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan serta keseimbangan antara ekspor dan impor pangan. Ketersediaan pangan harus dikelola sedemikian rupa, sehingga walaupun produksi pangan bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah, volume pangan yang tersedia bagi masyarakat harus cukup jumlah dan jenisnya, serta stabil penyediaannya dari waktu ke waktu (Suryana 2001). Syarief (1992) menyatakan bahwa ketersediaan pangan (food availability) di suatu daerah atau negara ditentukan oleh beberapa faktor seperti keragaan produksi pangan, tingkat kerusakan, dan kehilangan pangan karena penanganan yang kurang tepat, serta tingkat ekspor dan impor pangan. Ketersediaan pangan harus dipertahankan sama atau lebih besar daripada kebutuhan penduduk terhadap pangan. Jika keadaan ini tercapai maka keterjaminan pangan (food security) akan berada pada tingkat yang aman. Peningkatan jumlah penduduk, disamping mengakibatkan peningkatan kebutuhan akan pangan, menyebabkan adanya perubahan ekosistem pertanian. Lahan yang biasanya digunakan untuk memproduksi pangan dapat berubah fungsi menjadi pemukiman, tapak industri, prasarana transportasi atau prasarana lain. Pergeseran fungsi lahan ini dapat menyebabkan penurunan produksi pangan apabila tidak diikuti dengan terobosan teknologi budaya dan kelembagaan. Penurunan produksi pada gilirannya dapat mengancam kelestarian swasembada pangan. Akan tetapi, menurut pandangan Amiruddin (2004) bahwa ketersediaan pangan yang cukup di suatu wilayah (pasar) tidak dapat menjamin hal yang sama di tingkat rumah tangga, karena tergantung pada kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan, dalam arti fisik (daya jangkau) maupun ekonomi (daya beli). Menurut Gsianturi (2003), penyediaan pangan yang cukup, beragam, bergizi dan berimbang, baik secara kuantitas maupun kualitas, merupakan fondasi yang sangat penting dalam pembangunan sumber daya manusia suatu

bangsa. Kekurangan pangan berpotensi memicu keresahan dan berdampak pada masalah sosial, keamanan, dan ekonomi. Besarnya persediaan pangan suatu daerah, baik yang berasal dari produksi domestik maupun impor, adalah satu ukuran yang mencerminkan cukup tidaknya suplai pangan di daerah yang bersangkutan. Salah satu alat yang lazim digunakan untuk menilai tingkat ketersediaan pangan di suatu wilayah, baik negara, provinsi atau kabupaten, dalam kurun waktu tertentu adalah Neraca Bahan Makanan (NBM) yang dalam bahasa asing disebut Food Balance Sheet. Distribusi Pangan Suryana (2001) menyatakan bahwa subsistem distribusi pangan mencakup aspek aksesibilitas atas pangan secara merata, baik secara fisik maupun ekonomi. Hal ini berarti bahwa sistem distribusi bukan semata-mata mencakup aspek fisik dalam arti pangan tersedia di semua lokasi yang membutuhkan, tetapi juga menyangkut keterjangkauan ekonomi yang dicerminkan oleh harga dan daya beli masyarakat. Meskipun ketersediaan pangan secara mikro/nasional maupun per kapita mencukupi, namun belum tentu setiap rumah tangga memiliki akses yang nyata secara sama. Dengan demikian surplus pangan di tingkat wilayah belum menjamin kecukupan pangan bagi individu. Konsumsi Pangan Subsistem konsumsi menyangkut upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mempunyai kemampuan atas pangan, gizi, dan kesehatan yang baik, sehingga dapat mengelola konsumsinya secara optimal. Konsumsi pangan hendaknya memperhatikan konsumsi pangan dan gizi yang cukup dan seimbang sesuai dengan kebutuhan bagi pembentukan manusia yang sehat, kuat, cerdas, dan produktif (Suryana 2001) Konsumsi pangan dengan gizi cukup dan seimbang merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan intelegensia manusia. Volume dan kualitas konsumsi pangan dan gizi dalam rumah tangga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, pengetahuan, dan budaya masyarakat. Permasalahan dan tantangan yang perlu diantisipasi dan diatasi dalam mewujudkan pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi, dan berimbang adalah : (i) besarnya jumlah penduduk miskin dan pengangguran dengan kemampuan akses pangan rendah; (ii) rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap diversifikasi pangan dan gizi; (iii) masih dominannya

konsumsi sumber energi karbohidrat yang berasal dari beras; (iv) rendahnya kesadaran dan penerapan sistem sanitasi dan higienis rumah tangga; dan (v) rendahnya kesadaran masyarakat terhadap keamanan pangan (DKP 2006). Keragaman sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung peningkatan konsumsi masyarakat menuju pangan yang beragam dan bergizi seimbang. Berbagai sumber pangan lokal dan makanan tradisional yang dimiliki oleh seluruh wilayah, masih dapat dikembangkan untuk memenuhi keanekaragaman pangan masyarakat pada wilayah yang bersangkutan. Tingkat pendidikan masyarakat yang semakin tinggi dapat memberikan peluang bagi percepatan proses peningkatan kesadaran gizi, yang diharapkan dapat mengubah perilaku konsumsinya, sehingga mancapai status gizi yang baik. Disamping itu, perkembangan teknologi informatika serta strategi komunikasi publik dapat menyediakan peluang yang tinggi untuk mempercepat proses, serta memperluas jangkauan upaya pendidikan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran gizi masyarakat. Sementara itu, terdapat berbagai institusi (infrastruktur sosial) di tingkat lokal (kecamatan atau bahkan desa), yang dapat menjadi mitra kerja pemerintah maupun lembaga non-pemerintah dalam perbaikan konsumsi pangan dan status gizi. Beberapa contoh institusi lokal tersebut adalah tersedianya posyandu, kantor cabang dinas, balai penyuluhan dan para penyuluh dari berbagai bidang, kelembagaan masyarakat seperti organisasi ibu-ibu PKK, majlis talim, dan sebagainya. Institusi ini dapat berperan aktif dalam mendeteksi masalah, serta memfasilitasi upaya-upaya peningkatan kualitas konsumsi dan perbaikan gizi (DKP 2006). Program-program pengembangan masyarakat, dalam pengentasan kemiskinan, yang mencakup kapasitas masyarakat untuk bekerja sama, peningkatan keterampilan usaha dan peningkatan akses sumberdaya produktif, telah dilaksanakan oleh berbagai kementrian lingkup pemerintahan maupun berbagai organisasi non pemerintah. ekonomi Program ini diharapkan masyarakat mampu miskin. meningkatkan kemampuan keluarga pada

Keberhasilan program tersebut memberikan peluang cukup tinggi bagi keluarga miskin untuk meningkatkan kualitas konsumsinya, ke arah pangan yang lebih beragam dan bergizi seimbang. Peluang ini akan lebih memberikan hasil apabila disertai dengan proses penyadaran kepada mereka atas pentingnya

mengkonsumsi pangan dan gizi yang seimbang, baik untuk kesehatan, produktivitas dan kecerdasan anak-anak generasi penerus mereka (DKP 2006). Faktor Penyebab Masalah Pangan dan Gizi Akses terhadap Pangan, Kemiskinan, dan Masalah Gizi Akses pangan bergantung pada daya beli rumah tangga, yang pada akhirnya merupakan fungsi dari akses mata pencaharian. Akses terhadap matapencaharian berarti terjaminnya penghasilan dalam jangka waktu yang panjang. Dengan kata lain, kemampuan untuk memperoleh pangan bergantung pada akses terhadap mata pencaharian yang tetap. Mereka yang tidak berpenghasilan tetap dan memadai akan tetap miskin. Jumlah penduduk miskin merupakan gambaran dari penduduk yang tidak memiliki akses yang produktif terhadap mata pencaharian yang memadai. Kelompok tersebut juga mempunyai akses yang relatif rendah terhadap infrastuktur dasar seperti jalan, listrik, dan sebagainya. Semakin besar jumlah penduduk miskin, maka semakin rendah pula akses mereka terhadap tingkat yang memadai terhadap pangan dan semakin tinggi tingkat kerawanan pangan di daerah tersebut (Departemen Pertanian 2006). Kemiskinan dalam peta kerawanan pangan 2006 (Deptan 2006) didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam hal ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Sebab utama kemiskinan di Indonesia adalah tata pemerintahan yang buruk, kurangnya alokasi anggaran untuk sektor-sektor utama seperti pendidikan dan kesehatan, kurangnya peluang mata pencaharian yang cukup, dan eksploitasi berlebihan dari sumber daya alam. Dengan situasi ekonomi yang ada, maka statistik relatif yang dikumpulkan mengenai kesuburan (ukuran keluarga) dan kesejahteraan, mencerminkan suatu hubungan timbal balik, dimana semakin tinggi kesuburan maka semakin rendah tingkat kesejahteraan atau semakin miskin suatu keluarga. Statistik mencerminkan bahwa keluarga yang lebih kaya memiliki angka kesuburan yang lebih rendah, lebih berpendidikan dan mempunyai angka kematian bayi yang lebih rendah. Penduduk di daerah pedesaan pada umumnya lebih miskin dan kurang berpendidikan dibandingkan penduduk di daerah perkotaan. Kurangnya informasi, pendidikan, dan kebiasaan/kepercayaan tradisional menghalangi orang untuk menggunakan alat kontrasepsi. Faktor-faktor tersebut, dirangkaikan dengan akses yang lebih rendah ke sumber penghasilan dan rendahnya

10

kapasitas keuangan, mengakibatkan angka kematian bayi yang lebih tinggi dan peningkatan kemiskinan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2006) dalam Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006-2010 menyebutkan bahwa dari berbagai faktor penyebab masalah gizi, kemiskinan dinilai mempunyai peranan dan bersifat timbal balik. Artinya, kemiskinan akan menyebabkan kurang gizi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses kemiskinan melalui tiga cara, yaitu: (1) kurang gizi secara langsung menyebabkan hilangnya produktivitas karena kelemahan fisik; (2) kurang gizi secara tidak langsung menurunkan kemampuan fungsi kognitif dan berakibat pada rendahnya tingkat pendidikan, dan (3) kurang gizi dapat menurunkan tingkat ekonomi keluarga karena meningkatnya pengeluaran untuk berobat. Anggota rumah tangga miskin tidak dapat memenuhi kecukupan gizi sesuai kebutuhan karena asupan makanan yang masih rendah baik kuantitas maupun kualitasnya. Dengan asupan yang tidak mencukupi, anak balita keluarga miskin menjadi lebih rentan terhadap infeksi sehingga sering menderita sakit. Keluarga miskin dicerminkan oleh mata pencaharian dan pendidikan yang rendah sehingga tingkat pengetahuan gizi dan pola asuh keluarga yang kurang berkualitas. Adanya hubungan kemiskinan dan kurang gizi sering diartikan bahwa upaya penanggulangan kekurangan gizi dapat diatasi apabila ekonomi meningkat dan kemiskinan dapat dikurangi. Padahal secara empirik telah dibuktikan bahwa mencegah dan menanggulangi masalah kekurangan gizi tidak harus menunggu sampai masalah kemiskinan dituntaskan. Salah satunya adalah dengan memperbaiki gizi anggota rumah tangga miskin sejak dini. Semakin banyak rakyat miskin diperbaiki gizinya, akan semakin berkurang jumlah rakyat miskin. Investasi pembangunan di bidang gizi tidak mudah dan tidak cepat, tetapi perbaikan gizi memerlukan konsistensi dan kesinambungan program dalam jangka pendek dan jangka panjang (Bappenas 2006). Perencanan Pangan dengan Pendekatan Pola Pangan Harapan Pola Pangan Harapan merupakan jenis dan jumlah kelompok pangan utama yang dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan energi. Terpenuhinya kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan sesuai PPH, secara implisit menunjukkan bahwa kebutuhan zat gizi juga terpenuhi kecuali untuk zat gizi yang sangat defisit dalam suatu kelompok pangan. Oleh karena itu skor pola konsumsi pangan mencerminkan mutu gizi konsumsi pangan dan tingkat keragaman

11

konsumsi pangan. Berdasarkan definisi ini, dikemukakan tingkat konsumsi energi pada setiap wilayah yaitu proporsi konsumsi energi aktual dengan Angka Kecukupan Energi (AKE). Dengan mengacu pada Angka Kecukupan Energi sebesar 2 200 kkal/orang/hari maka dapat diketahui sebaran komposisi dan keragaman konsumsi pangan sehingga dapat dilakukan penilaian skor mutunya dalam bentuk skor PPH. Tingkat konsumsi pangan merupakan akumulasi dari berbagai faktor mulai dari yang bersifat individual sampai dari dari lingkungan baik fisik maupun sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Karakteristik beragam faktor tersebut tentunya berbeda antar wilayah. Oleh karena itu, susunan Pola Pangan Harapan antar wilayah tidak selalu dianggap sama. Informasi mengenai jenis pangan yang dikonsumsi, frekuensi konsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi suatu penduduk secara tidak langsung dapat menggambarkan status gizi penduduk. Survei konsumsi pangan adalah kegiatan survei yang dilakukan untuk mengumpulkan data pangan apa saja yang dikonsumsi suatu penduduk. Berikut ini Tabel 1 komposisi energi menurut Pola Pangan Harapan (PPH). Tabel 1 Komposisi energi, bobot, dan skor pangan dalam Pola Pangan Harapan
Kelompok Pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak dan lemak Buah dan biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total Sumber: Deptan (2001) Energi (kkal) 1000 120 240 200 60 100 100 120 60 2000 % Energi 50.0 6.0 12.0 10.0 3.0 5.0 5.0 6.0 3.0 100.0 Bobot 0.5 0.5 2.0 0.5 0.5 2.0 0.5 5.0 0.0 Skor Pangan 25.0 2.5 24.0 5.0 1.0 10.0 2.5 30.0 0.0 100.0

Konsep PPH dan skor PPH diperkenalkan di Indonesia pada awal dekade 90-an, dimana konsep PPH ini digunakan sebagai basis perencanaan dan penilaian kecukupan gizi seimbang pada tingkat makro. Skor PPH juga telah dijadikan sebagai salah satu indikator output pembangunan pangan dalam kebijakan pembangunan termasuk evaluasi penyediaan , konsumsi pangan , dan diversifikasi pangan. Hal ini merupakan kekuatan dari konsep PPH dan Skor PPH (Hardinsyah et al. 2001) Akan tetapi, kehadiran konsep PPH dan skor PPH tidak lepas dari kelemahan metodologis yaitu bahwa proporsi kalori dalam PPH perlu diadaptasi

12

sesuai kondisi/pola pangan masing-masing negara dan sistem skor yang dikembangkan oleh tim FAO-RAPA belum divalidasi. Justifikasi ilmiah perlu dilakukan untuk mengadaptasi konsep ini seperti yang disarankan oleh tim FAORAPA. Hardinsyah et al. (2001) menyatakan penyempurnaan PPH dan skor PPH yaitu dengan mempertimbangkan 1) AKG energi berdasarkan Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (1998) sebesar 2 000 kkal/kap/hari; 2) persentase energi (pola konsumsi energi) untuk PPH dihitung terhadap AKG energi (2 200 kkal sebagai penyebut); 3) rating/bobot disempurnakan sesuai teori rating; 4) skor maksimum PPH adalah 100 bukan 93; 5) peran pangan hewani, gula, serta sayur dan buah disesuaikan dengan PUGS; 6) peran umbi-umbian ditingkatkan sejalan dengan kebijakan diversifikasi pangan pokok dan pengembangan pangan lokal; 7) peran makanan lainnya terutama bumbu dan minuman lainnya tidak dinihilkan. Penyempurnaan PPH dan skor PPH terdapat dalam Tabel 2 berikut ini. Tabel 2 Penyempurnaan PPH dan skor PPH
Kelompok pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak dan lemak Buah/biji berminyak Kacangkacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Meneg Pangan (1994) % Min-Max % Bobot Skor 40.0 40.0 60.0 50.0 0.5 25.0 5.0 0.0 8.0 5.0 0.5 2.5 20.0 5.0 20.0 15.3 2.0 30.6 10.0 5.0 15.0 10.0 1.0 10.0 3.0 6.0 8.0 5.0 3.0 100 0.0 3.0 2.0 10.0 2.0 15.0 3.0 8.0 0.0 5.0 3.0 5.0 6.7 5.0 0.0 100 0.5 2.0 0.5 2.0 0.0 1.5 10.0 3.4 10.0 0.0 93.0 FAO-RAPA Deptan (2001) Gr/kap/hr % 50.0 6.0 12.0 10.0 3.0 5.0 Bobot 0.5 0.5 2.0 0.5 0.5 2.0 Skor 25.0 2.5 24.0 5.0 1.0 10.0 2.5 30.0 0.0 100.0 300.0 100.0 150.0 25.0 10.0 35.0 30.0 250.0 (25)

5.0 0.5 6.0 5.0 3.0 0.0 100.0

Sasaran pembangunan pangan selama PJP II adalah terwujudnya ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga, yang tercermin pada ketersediaan dan konsumsi pangan dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi dan layak, aman dikonsumsi, merata, serta terjangkau oleh setiap individu. Ketahanan pangan dikembangkan antara lain dengan bertumpu pada keragaman sumberdaya bahan pangan, kelembagaan dan potensi lokal. Oleh karena itu, orientasi penyediaan pangan tidak lagi semata berorientasi pada peningkatan kuantitas, tetapi juga berorientasi pada kualitas, khususnya dinilai dari aspek komposisi/keragaman penyediaan dan konsumsi pangan serta mutu

13

gizi konsumsi pangan dengan menitikberatkan pada potensi sumberdaya setempat. Hariyadi et al. (2003) menyatakan otonomi daerah perlu dimanfaatkan sebagai suatu momentum untuk membangun ketahanan pangan. Untuk itu, pemerintah daerah perlu secara cermat melakukan identifikasi potensi indigenus ungulan daerah dengan memperhatikan sumberdaya potensialnya (lingkungan, teknologi, masyarakat, dan sosial budaya) ke dalam sistem dan struktur ekonomi daerahnya. Hal ini perlu secara tegas sebagai komitmen pemerintahan daerah (struktur politik dan ekonomi). Penyusunan perencanaan pangan guna mewujudkan katahanan pangan yang berbasis sumberdaya lokal di era otonomi, sangatlah penting bagi setiap daerah (provinsi dan kabupaten-kota). Salah satu acuan/pendekatan yang dapat digunakan adalah Pola Pangan Harapan (PPH). Pendekatan ini pertama kali direkomendasikan oleh FAO Kantor Wilayah Asia-Pasifik (FAO-RAPA). Perencanaan pangan nasional dan daerah dengan pendekatan PPH dirumuskan didasarkan pada pertimbangan, aspek legal maupun substansial. Dari segi legal, beberapa produk hukum yang turut mendukung yaitu: 1) TAP MPR No IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999-2004; 2) Undang-undang No.7 tentang pangan; 3) Undang-undang No.25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004, Bab IV Pembangunan Ekonomi, Bagian C Program Pembangunan, nomor 1.4 yaitu Pengembangan Pertanian, Pangan dan Pengairan; 4) Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang otonomi daerah. Sedangkan dari segi substansial perlunya perencanaan pangan untuk mewujudkan ketahanan pangan adalah sebagai berikut: 1) ketahanan pangan merupakan suatu sistem, yang terdiri dari tiga subsistem yang saling berinteraksi dan harmoni, yaitu subsistem ketersediaan, subsistem distribusi dan susistem konsumsi. Pembangunan subsistem konsumsi bertujuan untuk menjamin agar setiap warga mengkonsumsi pangan dalam jumlah dan gizi yang cukup, aman dan beragam. 2) untuk memperbaiki konsumsi pangan masyarakat harus ditunjang oleh produksi dan penyediaan pangan yang mampu memenuhi syarat tersebut (Hardinsyah et al. 2001) Menurut Hardinyah et al. perencanaan penyediaan pangan (2001), dikenal tiga macam pendekatan dalam pembangunan pangan yakni

1) pendekatan kecenderungan (trend) konsumsi dan permintaan; 2) pendekatan kecenderungan produksi; dan 3) pendekatan gizi seimbang dan permintaan

14

(PPH). Sejak tahun 1988, FAO-RAPA merekomendasikan pendekatan yang diharapkan dapat membantu para perencana yang berkecimpung baik dalam bidang produksi maupun konsumsi pangan (FAO-RAPA, 1989). Pendekatan ini dikenal dengan Desirable Dietary Pattern (DDP) atau Pola Pangan Harapan (PPH). Status Gizi Status gizi merupakan muara akhir dari semua subsistem dalam sistem ketahanan pangan. Dengan kata lain status gizi merupakan salah satu indikator yang mencerminkan baik buruknya ketahanan pangan. Terdapat beberapa tolak ukur untuk menilai status gizi, antara lain berat badan dan tinggi badan menurut umur serta prevalensi gangguan pertumbuhan (DKP 2006) Angka kecukupan gizi adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang diperlukan tubuh untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua populasi menurut kelompok umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiologis tertentu (kehamilan dan menyusui). Angka agregasi rata-rata nasional angka kecukupan energi dan angka kecukupan protein, yaitu 2 000 kkal dan 52 g/kap/hr. Sebagai salah satu basis untuk perencanaan ketersediaan pangan, maka AKE dan AKP tingkat konsumsi dikali faktor 1,1 atau ditambah 10 % sehingga menjadi 2 200 kkal dan 57 g protein/kap/hari pada tingkat penyediaan (Suryana 2004) Penilaian pertumbuhan, kesehatan, atau penyakit dengan cara antropometri merupakan praktek yang sudah lama dikerjakan. Metode yang sudah lama dikerjakan adalah pemeriksaan umum (general inspection), terutama penilaian subjektif tentang kekurusan atau kegemukan; pengukuran tunggal (single measurement), sebagai contoh, tinggi badan digunakan dalam seleksi anggota militer; atau pengukuran seri (serial measurement), dalam hal ini, menggunakan berat badan untuk memonitor pertumbuhan anak. Pengukuran antropometri difokuskan pada pengukuran berbagai dimensi, proporsi, dan berbagai aspek komposisi tubuh manusia pada berbagai umur dan derajat gizi yang berbeda (Jelliffe, et. al., 1989). Gibson (1990) menyederhanakan dimensi pengukuran antropometri menjadi dua dimensi, yaitu pertumbuhan dan komposisi tubuh. Pada dimensi pertumbuhan, Jelliffe, et. al., (1989) memisahkan antara komponen pertumbuhan linear (tinggi badan) dan pertumbuhan ponderal atau massa tubuh (berat badan). Menggunakan model dua komponen, lemak tubuh (fat mass) dan bukan lemak (fat-free mass).

15

Pengukuran antropometri yang sering dilakukan di lapangan, yaitu: (1) Berat Badan (BB) untuk mengetahui massa tubuh, (2) Panjang atau Tinggi badan (PB atau TB) untuk mengetahui dimensi linear, dan (3) Tebal lipatan kulit (skinfold thickness) dan Lingkar Atas (LILA) untuk mengetahui komposisi tubuh, serta cadangan energi dan protein. Indikator antropometri tersebut banyak bergantung dengan umur, dan ini merupakan faktor kesulitan utama, terutama pada masyarakat pedesaan atau di negara-negara berkembang yang biasanya sulit untuk mendapatkan data umur anak secara tepat. Hal ini terjadi karena kebiasaan masyarakat yang jarang mencatat tanggal peristiwa kelahiran anak, kecuali pada masyarakat perkotaan yang sudah sadar akan pentingnya data pencatatan kelahiran. Secara umum, pengukuran dengan cara antropometri memiliki beberapa keuntungan (kelebihan) dan kekurangan. Beberapa keuntungan pengukuran secara antropometri (Gibson, 1990) yaitu: (1) Cara penggunaannya sederhana dan aman, (2) Peralatan tidak mahal, portable, tahan lama, dan mudah di dapat, (3) Di ambil petugas yang relatif tidak ahli, (4) Dapat diperoleh informasi tentang riwayat gizi masa lampau, (5) Dapat mengidentifikasi keadaan gizi ringan, sedang, dan buruk, (6) Untuk pemantauan status gizi dari waktu ke waktu, (7) digunakan untuk melakukan screening test. Beberapa kekurangan (kelemahan) pengukuran antropometri (Gibson, 1990) yaitu: (1) relatif kurang sensitive, (2) tidak dapat mendeteksi gangguan status gizi, (3) tidak dapat membedakan gangguan pertumbuhan atau komposisi tubuh yang disebabkan oleh defisiensi zat gizi tertentu, (4) faktor-faktor non gizi dapat mengurangi spesifitas dan sensitivitas pengukuran antropometri, tetapi efek ini dapat dihilangkan atau dipertimbangkan melalui desain percobaan dan sampling yang lebih baik.

16

KERANGKA PEMIKIRAN
Ketahanan pangan diantaranya mencakup berbagai aspek ketersediaan pangan, konsumsi pangan hingga status gizi tingkat rumah tangga dan individu. Keadaan ketahanan pangan sangatlah penting diperhatikan karena dampaknya tidak hanya terjadinya rawan pangan saja tetapi dalam jangka panjang akan berpengaruh negatif pada kualitas sumberdaya manusia. Ketersediaan pangan merupakan prasyarat penting bagi keberlanjutan konsumsi, namun dinilai belum mencukupi dalam konteks ketahanan pangan, karena masih banyak variabel lain yang berpengaruh untuk mencapai ketahanan pangan tingkat daerah dan rumah tangga. Oleh karena itu, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri (domestik). Bila terjadi kelebihan (surplus), pangan tersebut dapat diperdagangkan antar wilayah (ekspor), terutama terhadap wilayah yang

mengalami defisit pangan dan ekspor. Sebaliknya bila terjadi defisit, sebagian pangan untuk konsumsi dalam negeri dapat dipenuhi dari impor (Ariani 2005). Konsumsi pangan dengan gizi cukup dan seimbang merupakan salah satu faktor penting yang menentukan status gizi manusia. Hasan (1993) mengemukakan bahwa mutu gizi makanan penduduk ditentukan oleh jumlah dan macam zat-zat gizi yang dikonsumsi. Makin beragam sumber zat-zat gizi (dari beragam bahan pangan) yang dikonsumsi seseorang, makin besar juga kemungkinan terpenuhi kebutuhan gizinya. Suatu acuan untuk menilai tingkat keragaman konsumsi pangan adalah Pola Pangan Harapan (PPH) dengan skor 100 sebagai pola ideal. Volume dan kualitas konsumsi pangan dan gizi dalam rumah tangga salah satunya dipengaruhi oleh status ekonomi (keluarga miskin dan tidak miskin). Kelompok masyarakat dengan status ekonomi rendah (keluarga miskin) rentan terhadap masalah kerawanan pangan, karena kemampuan daya beli terhadap pangan yang beragam untuk memenuhi kecukupan gizinya sangat rendah. Oleh Karena itu, pemerintah wajib mengupayakan jaminan akses pangan, agar mereka senantiasa terpenuhi haknya untuk memperolah pangan yang cukup. Kebijakan pangan adalah suatu pernyataan tentang kerangka pikir dan arahan yang digunakan untuk menyusun program pangan guna mencapai situasi pangan dan gizi yang lebih baik (Hardinsyah dan Ariani, M., 2000). Dengan

17

demikian, dapat dipahami betapa penting dan strategisnya merumuskan suatu kebijakan pangan dan gizi sampai tingkat kabupaten/kota.

Kebijakan perencanaan pangan dan gizi


Produksi

Ketersediaan pangan
- Ekspor - Impor - Stok

Konsumsi Pangan rumah tangga (PPH)

Status Gizi

Status Ekonomi (pendapatan) - Keluarga miskin - Keluarga tidak miskin

Gambar 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan pangan dan gizi Keterangan: Variabel yang diteliti Va Variabel yang tidak diteliti

18

METODE PENELITIAN
Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Desain penelitian ini adalah Descriptive Study. Penelitian ini bersifat prospektif untuk memproyeksikan kondisi yang akan datang. Penelitian dilakukan di Kota Banjar, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan sampel dilakukan secara purposive dengan alasan: (1) merupakan salah satu wilayah pengembangan baru yang mewakili karakteristik kota dengan potensi pertanian yang masih cukup tinggi, (2) pada tahun 2006 Dinas Kesehatan Kota Banjar melakukan kegiatan Survey Status dan Konsumsi Gizi Masyarakat Kota Banjar. Pengumpulan data dilaksanakan mulai bulan Februari hingga Mei 2007. Cara Penetapan Sampel Cara penetapan sampel data sekunder ini dilakukan dengan purposive. Sampel data Status Gizi dan Konsumsi diperoleh sebanyak 700 Kepala Keluarga (KK) yaitu 176 KK yang dikategorikan miskin dan 524 KK yang dikategorikan tidak miskin. Berikut ini Tabel 3 daftar jumlah sampel Status dan Konsumsi Gizi Kota Banjar. Tabel 3 Daftar jumlah sampel Status dan Konsumsi Gizi Kota Banjar 2006 berdasarkan kecamatan
Nama Kecamatan Purwaharja Jumlah sampel dalam kecamatan (KK) KK Miskin 21 KK tidak miskin 59 Jumlah Sampel Nama Desa KK Miskin Purwaharja Karangpanimbal Raharja Mekarharja Langensari Rejasari Waringinsari Muktisari Bojongkantong Kujangsari Hegarsari Pataruman Mulyasari Batulawang Karyamukti Binangun Banjar Mekarsari Balokang Cibeureum Neglasari Situbatu 8 5 4 4 8 9 8 7 10 11 15 13 9 7 6 4 14 15 8 4 4 3 176 KK tidak miskin 22 13 12 12 24 27 24 18 29 32 45 41 27 19 15 14 44 46 24 12 13 11 524

Langensari

53

154

Pataruman

54

161

Banjar

48

150

Total

19

Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang meliputi: 1) status gizi dan konsumsi pangan rumah tangga Kota Banjar; 2) jumlah dan laju pertumbuhan penduduk, komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin; 3) jumlah produksi pangan; 4) kesehatan dan status gizi penduduk; 5) keadaan geografis. Data sekunder berupa data aktual serta data time series selama dua tahun terakhir (tahun 2005 dan 2006) yang terkait dengan penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari Dinas Kesehatan, Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan, Perkebunan, dan Kehutanan Kota Banjar, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Badan Pusat Satistik Kota Banjar. Berikut adalah uraian jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian yang dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian Data Jenis Data Sumber Status gizi dan konsumsi Sekunder Dinas Kesehatan pangan rumah tangga Kota Banjar 2006 Jumlah dan laju pertumbuhan Sekunder BPS Kota Banjar penduduk, komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin (2005 dan 2006) Jumlah produksi pangan (2005 Sekunder Dinas Pertanian, dan 2006) ketahanan pangan, perkebunan, dan kehutanan, BPS Kesehatan dan status gizi Sekunder Dinas Kesehatan, BPS penduduk (2006) Kota Banjar Keadaan geografis (2006) Sekunder BPS Kota Banjar Data sekunder yaitu data status gizi dan konsumsi pangan rumah tangga Kota Banjar 2006, data jumlah dan laju pertumbuhan penduduk, komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin, jumlah produksi pangan, kesehatan penduduk dan status gizi, keadaan geografis dan sosial diperoleh dengan mengumpulkan data dari Dinas Kesehatan, Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan, Perkebunan, dan Kehutanan Kota Banjar, Bappeda, dan BPS. Pengolahan dan Analisis Data Data sekunder status gizi dan konsumsi pangan yang dikumpulkan akan diolah dengan menggunakan program microsoft excell dan software Aplikasi Komputer Analisis Kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah Kabupaten/Kota dan Provinsi yang dikembangkan oleh Heryatno, Baliwati, Martianto, & Herawati

20

(2005). Sedangkan data jumlah penduduk, komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin, jumlah produksi pangan, jumlah rumah tangga miskin dan penduduk miskin, serta kesehatan penduduk dan gizi buruk digunakan sebagai data pendamping dalam penelitian ini.

Gambar 2

Cover program aplikasi komputer analisis situasi dan kebutuhan konsumsi pangan wilayah propinsi.

Hasil pengolahan data konsumsi pangan Kota Banjar ini kemudian digunakan sebagai dasar dalam merumuskan alternatif kebijakan perencanaan pangan dan gizi berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH) Kota Banjar menurut keadaan ekonomi. Secara berurutan tahapan-tahapan dalam upaya penyusunan strategi dan langkah-langkah implementasi disajikan pada Gambar 3.

21

Data konsumsi Dinkes, 2006 Penyusunan Target Penyediaan Pangan Pada Taraf Konsumsi Kg/Kap/Th (III)

Evalusi Pola Konsumsi dan Skor PPH (I)

Proyeksi Skor dan Komposisi PPH (II)

Data Ketersediaan 1. Produksi 2. Data penduduk 3. Data lainnya

Penyusunan Target Penyediaan Pangan Pada Taraf Produksi Ton/Th (IV)

Penyusunan Strategi dan Langkah-langkah Implementasi (V)

Gambar 3 Langkah-langkah penyusunan strategi dan implementasi pangan dan gizi I. Evaluasi Pola Konsumsi dan Skor PPH Produksi Pangan Kota Banjar Pada tahapan ini diperlukan data jumlah penduduk. Hasil produksi pangan (ton) dikonversi kedalam satuan energi (kkal) dengan menggunakan rumus : Energi (kkal) = Jumlah produksi (ton/thn) x kandungan energi komoditas x BDD(%) 100 gram kemudian energi (kkal) dikonversi lagi menjadi energi (kkal/kapita/hari) dengan menggunakan rumus : Energi (kkal/kap/hari) = Energi (kkal) 356 hari/jumlah penduduk tahun 2006

Selanjutnya hasil akhir konversi dibandingkan dengan standar ideal konsumsi energi 2 200 kkal/kap/hari sehingga dapat diketahui apakah produksi Kota Banjar telah memenuhi kebutuhan konsumsi energi penduduknya atau belum memenuhi kebutuhan.

22

Analisis Situasi Konsumsi Pangan dan Gizi Analisis situasi konsumsi pangan yang akan dilakukan meliputi : a. Analisis secara Kuantitaf Analisis ini diukur dengan menggunakan Tingkat Konsumsi Energi (TKE) yang menggambarkan persentase konsumsi energi terhadap Angka Kecukupan Energi Kota Banjar. Hasil yang diperoleh akan diklasifikasikan menurut kriteria Departemen Kesehatan tahun 1996 (PPKP BKP 2005), sebagai berikut : TKE < 70% TKE 70-79 % TKE 80-90% TKE 120% : defisit berat : defisit tingkat sedang : defisit tingkat ringan : kelebihan/diatas AKE (tahan pangan)

TKE 90-119 % : normal (tahan pangan) AKE Regional Kota Banjar Angka Kecukupan Energi (AKE) untuk Kota Banjar adalah jumlah energi yang harus dipenuhi oleh rata-rata penduduk Kota Banjar agar hampir semua penduduk dapat hidup sehat dalam menjalankan aktivitasnya. Perhitungan Angka Kecukupan Energi Rata-rata Penduduk (AKERP) suatu wilayah memerlukan informasi mengenai komposisi dan jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin (dalam persen), jumlah wanita hamil (dalam persen), dan jumlah wanita menyusui (dalam persen). Perhitungan AKERP dilakukan dengan cara Unit Konsumen Energi (UKE). Pengelompokan umur penduduk berdasarkan demografi yang dikeluarkan oleh BPS berbeda dengan pengelompokan umur untuk perhitungan AKERP, sehingga perlu diubah menjadi pengelompokan umur kecukupan gizi. Informasi yang biasanya tidak tersedia adalah jumlah bayi usia 0.5-1 tahun, jumlah wanita hamil, dan jumlah wanita menyusui. Jumlah bayi umur 0.5-1 tahun diperkirakan sama dengan setengah jumlah bayi 0-1 tahun, wanita hamil sama dengan 10% lebih banyak dari bayi usia 0-1 tahun, dan wanita menyusui sama dengan jumlah bayi umur 0-0.5 tahun (PPKP BKP 2005). Hingga umur tertentu pengelompokan umur penduduk berdasarkan demografi berbeda dengan pengelompokan umur untuk menghitung AKERP. Salah satu penyelesaian masalah ini adalah dengan menggunakan metode Sprangue Multipliers. Metode ini pada prinsipnya yaitu metode yang digunakan untuk memecah jumlah penduduk menurut kelompok umur lima tahunan (yang

23

dikeluarkan BPS) menjadi jumlah penduduk umur tunggal dengan menggunakan Faktor Pengali Sprague (FPS). Tabel 5 Pengelompokan umur kecukupan energi
Jenis Kelamin Kelompok Umur 0.5 -1 13 46 79 10 12 13 15 16 19 20 29 30 59 60 Wanita 10 -12 13 15 16 19 20 29 30 59 60 Tambahan Hamil Menyusui 10% lebih banyak dari bayi usia 0-1 tahun, sama dengan jumlah bayi umur 0-0,5 tahun umur demografi (10-14 th) umur 13 th umur 14 th umur 13 th + umur 14 th + umur 15 th umur demografi (15-19 th) umur 15 th umur demografi (20-24 th) + (25-29 th) umur demografi (30-34 th) + (35-39 th) + (40-44 th) + (45-49 th) + (50-59 th) + (55-59 th) umur demografi (60-64 th) + (65-69 th) + (70-74 th) + 75 th Cara Perhitungan (0.5) x umur 1 th umur demografi (0-4 th) umur 1 th - umur 4 th umur 4 th + umur 5 th + umur 6 th umur demografi (5-9 th) umur 5 th umur 6 th umur demografi (10-14 th) umur 13 th umur 14 th umur 13 th + umur 14 th + umur 15 th umur demografi (15-19 th) umur 15 th umur demografi (20-24 th) + (25-29 th) umur demografi (30-34 th) + (35-39 th) + (40-44 th) + (45-49 th) + (50-59 th) + (55-59 th) umur demografi (60-64 th) + (65-69 th) + (70-74 th) + 75 th

Pria

Sumber : Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan & Departemen GMSK (2005)

Kelompok umur demografi yang perlu dipecah menjadi umur tunggal untuk menghitung AKE penduduk yaitu: (1) kelompok umur 0-4 tahun menjadi 0 dan 4 tahun, sisanya umur (1-3) tahun, tanpa dibedakan jenis kelamin (2) kelompok umur (5-9) tahun menjadi umur 5 dan 6 tahun, sisanya (7-9) tahun, tanpa dibedakan jenis kelamin (3) kelompok umur (10-14) tahun menjadi umur 13 dan 14 tahun, sisanya umur (10-12) tahun yang dibedakan menurut jenis kelamin (4) kelompok umur (15-19) tahun menjadi umur 15 tahun, sisanya umur 16-19) tahun yang dibedakan menurut jenis kelamin. Setelah empat kelompok umur dipecah, kemudian disusun dan dihitung jumlah (persentase) penduduk menurut umur kecukupan gizi. Rumus yang digunakan yaitu: Nj = (FPSi) (Ni) Keterangan:

Nj
FPSi Ni

= jumlah penduduk umur satu tahunan (umur tunggal) pada umur j, dimana j = umur tunggal
= Faktor pengali Sprague pada kelompok umur lima tahunan yang ke i = jumlah penduduk kelompok umur lima tahunan pada kelompok umur ke-i

24

Tabel 6 Umur tunggal (nj)

Faktor Pengali Sprague (FPS) untuk memecah kelompok umur demografi menjadi umur tunggal Kelompok umur interval lima tahunan (Ni) N1 N2 N3 N4 First End Panel (FEP) -0.2768 +0.1488 -0.0366 -0.0760 +0.0400 -0.0080 +0.0400 -0.0320 +0.0080 +0.1360 -0.0720 +0.0160 +0.1968 -0.0848 +0.0176 First Next to End Panel (FNEP) +0.2272 -0.0752 +0.0144 +0.2320 -0.0480 +0.0080 +0.2160 -0.0080 +0.0000 +0.1840 +0.0400 -0.0080 +0.1408 +0.0912 -0.0144 Mid Panel (MP) +0.0848 +0.1504 -0.0240 +0.0144 +0.2224 -0.0416 -0.0336 +0.2544 -0.0336 -0.0416 +0.2224 +0.0144 -0.0240 +0.1504 +0.0848 Last Next to End Panel (LNEP) +0.0912 +0.1408 -0.0176 +0.0400 +0.1840 -0.0160 -0.0080 +0.2160 -0.0080 -0.0480 +0.2320 +0.0080 -0.0752 +0.2272 +0.0336 Last End Panel (LEP) -0.0848 +0.1668 +0.0704 -0.0720 +0.1360 +0.1200 -0.0400 +0.0400 +0.1840 -0.0960 -0.0960 +0.2640 -0.2768 -0.2768 +0.3616 N5 +0.0144 +0.0080 +0.0000 -0.0080 -0.0144 -

n0 n1 n2 n3 n4 n0 n1 n2 n3 n4 n0 n1 n2 n3 n4 n0 n1 n2 n3 n4 n0 n1 n2 n3 n4

+0.3616 +0.2640 +0.1840 +0.1200 +0.0704 +0.0336 +0.0086 -0.0086 -0.0160 -0.0176 -0.0128 -0.0016 +0.0064 +0.0064 +0.0016 -0.0144 -0.0080 +0.0000 +0.0080 +0.0144 +0.0176 +0.0160 +0.0080 -0.0080 -0.0144

Sumber : Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan & Departemen GMSK (2005)

Keterangan : Ni = Jumlah penduduk pada kelompok umur lima tahunan nj = Perkiraan jumlah penduduk umur satu tahunan Faktor Pengali Sprangue (FPS) dikelompokkan menjadi lima kelompok, yaitu First End Panel (FEP), First Next to End Panel (FNEP), Mid Panel (MP), Last Next to End Panel (LNEP) dan Last End Panel (LEP). FPS mana yang akan digunakan tergantung pada kelompok umur mana yang akan dipecah. Bila kelompok umur lima tahunan pertama (N1) yang akan dipecah, maka digunakan FPS FEP, bila kelompok umur lima tahunan kedua (N2) yang akan dipecah maka digunakan FPS FNEP, bila kelompok lima tahunan ketiga (N3) dan keempat (N4)

25

yang akan dipecah maka digunakan FPS MP. Selanjutnya perhitungan AKE regional dihitung dengan cara mengalikan persentase penduduk menurut kelompok umur kecukupan gizi dengan Faktor UKE. Faktor Pengali Sprangue (FPS) untuk memecah kelompok umur demografi menjadi umur tunggal dapat dilihat pada Tabel 6. AKE Regional selain diperoleh dengan menggunakan Multiple Sprangue dapat juga diperoleh dari pengolahan data dengan software Aplikasi Komputer Analisis kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah Kbupaten/Kota dan Provinsi. b. Analisis secara kualitatif Kualitas konsumsi pangan akan diukur dengan skor PPH yang memiliki angka maksimal 100. Semakin tinggi skor PPH , maka kualitas konsumsi pangan semakin baik. Hasil olahan data konsumsi pangan dengan menggunakan software Aplikasi nantinya Komputer akan Analisis kebutuhan dasar Konsumsi dalam Pangan Wilayah kebijakan Kabupaten/Kota dan Provinsi kemudian dianalisis secara deskriptif, yang digunakan sebagai perumusan perencanaan pangan dan gizi Kota Banjar. Berikut ini langkah-langkah untuk menghitung skor dan komposisi PPH aktual : 1). Konversi bentuk, Jenis, dan satuan Pangan yang dikonsumsi rumah tangga terdapat dalam berbagai bentuk. jenis dengan satuan yang berbeda. Oleh karena itu, perlu dilakukan konversi ke dalam satuan dan jenis komoditas yang sama (yang disepakati). 2). Pengelompokan pangan menjadi 9 kelompok a. Padi-padian meliputi beras dan olahannya, jagung dan olahannya, gandum dan olahannya. b. Umbi-umbian meliputi ubi kayu dan olahannya, ubi jalar, kentang, talas, dan sagu (termasuk makanan berpati) c. Pangan hewani meliputi daging dan olahannya, ikan dan olahanya, telur, serta susu dan olahannya. d. Minyak dan lemak meliputi minyak kelapa, minyak sawit, margarin, dan lemak hewani. e. Buah/biji berminyak meliputi kelapa, kemiri, kenari, dan coklat. f. Kacang-kacangan meliputi kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau, kacang merah, kacang polong, kacang mete, kacang tunggak, kacang lain, tahu, tempe, tauco, oncom, sari kedelai, kecap.

26

g. Gula meliputi gula pasir, gula merah, sirup, minuman jadi dalam botol/kaleng. h. Sayur dan buah meliputi sayur segar dan olahannya, buah segar dan olahannya, dan emping. i. Lain-lain meliputi aneka bumbu dan bahan minuman seperti terasi, cengkeh, ketumbar, merica, pala, asam, bumbu mask, terasi, teh dan kopi. 3). Menghitung konsumsi energi menurut kelompok pangan Pada tahap ini perlu dilakukan : a. perhitungan kandungan energi setiap jenis pangan yang dikonsumsi dengan bantuan daftar komposisi bahan makanan (DKBM). b. menjumlahkan kandungan energi setiap jenis pangan yang dikonsumsi menurut kelompok pangan. 4). Menghitung total konsumsi energi dari kelompok pangan 1 sampai dengan 9 Angka ini menunjukkan angka konsumsi pangan wilayah Kota Banjar pada tahun 2006. 5). Menghitung kontribusi energi tiap kelompok pangan ke 1 s/d ke 9 Langkah untuk menilai pola/komposisi konsumsi pangan dengan cara menghitung kontribusi energi menurut AKE dari setiap kelompok pangan. dalam bentuk persen yaitu dengan cara membagi masing-masing energi kelompok pangan dengan AKE sebesar 1 944 kkal/kapita/hari dikalikan 100%. 6). Menghitung Skor PPH

Terdapat perbedaan antara cara perhitungan PPH yang baru (Deptan, 2001) dengan yang lama (Meneg Pangan, 1994). Perhitungan PPH yang lama menggunakan perbandingan antara energi yang dikonsumsi dengan total energinya sedangkan yang baru menggunakan perbandingan antara energi yang dikonsumsi dengan AKEnya. Selain itu, pada perhitungan PPH cara lama tidak dilakukan koreksi terhadap skor maksimal.
a. tahap I b. tahap II : mengalikan % kontribusi energi per AKE dengan bobot/rating : memperhatikan batas skor maksimum. Jika skor AKE lebih tinggi dari skor maksimum. maka yang diambil adalah skor maksimum. Jika skor AKE lebih rendah dari skor maksimum. maka yang diambil adalah skor AKE. Skor PPH setiap kelompok pangan

27

menunjukkan komposisi konsumsi pangan penduduk pada waktu/tahun tertentu. 7). Menghitung Total Skor Mutu Konsumsi Pangan Total skor mutu konsumsi pangan adalah jumlah dari skor kelompok padipadian sampai dengan skor kelompok lain-lain. Angka ini disebut skor konsumsi pangan aktual yang menunjukkan tingkat keragaman konsumsi pangan penduduk pada tahun tertentu. Hasil perhitungan skor dan komposisi PPH aktual (susunan PPH) suatu wilayah pada tahun tertentu. Cara menghitung komposisi pangan aktual dapat digunakan AKE regional berdasarkan UKE (jika datanya tersedia) atau dapat juga menggunakan AKE Nasional berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2004. yaitu sebesar 2 000 kkal/kap/hari. II. Proyeksi Skor PPH dan Komposisi PPH Apabila evaluasi terhadap skor mutu pangan wilayah sudah dilakukan, maka selanjutnya dilakukan penyusunan proyeksi skor mutu PPH yang akan di capai. Diharapkan Kota Banjar mampu mencapai skor PPH 100 pada tahun 2020. Penyusunan proyeksi mutu pangan sebelum tahun 2020 antara lain dapat dilakukan dengan menggunakan interpolasi linier. Titik awal skor mutu adalah hasil perhitungan atau evaluasi skor PPH aktual, sedangkan proyeksi akhir skor mutu adalah skor PPH 2020. Skor mutu pangan tahun proyeksi sampai dengan 2020 dihitung dengan menggunakan interpolasi sederhana dengan rumus berikut : St= S0 + n(S2020-S0)/dt Keterangan: St S0 S2020 dt n = skor mutu pangan tahun t = skor mutu pangan tahun awal = skor mutu pangan tahun 2020 = selisih tahun antara tahun 2020 dengan tahun awal = selisih tahun yang dicari dengan tahun dasar

III. Penyusunan Target Penyediaan Pangan pada Taraf Konsumsi Kg/Kap/Thn Dengan asumsi setahun sama dengan 365 hari, maka kebutuhan konsumsi pangan dalam satuan kg/kap/tahun diperoleh dengan menggunakan rumus : Proyeksi konsumsi (kg/kap/tahun) = gram konsumsi x 365 1 000

28

IV. Penyusunan Target Penyediaan Pangan pada Taraf Produksi Ton/Thn Pada tahapan ini diperlukan data pertumbuhan penduduk. Proyeksi konsumsi pangan dalam satuan ton/tahun dapat dihitung dengan rumus Konsumsi (ton/thn) = 110% x konsumsi (gr/kap/hari) x 365 x jumlah penduduk tahun tersebut 1 000 000 Causal Model Terdapat berbagai macam faktor penyebab terjadinya masalah konsumsi pangan. Beragam faktor penyebab tersebut saling berkaitan dan mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu diperlukan analisis apakah suatu faktor merupakan penyebab langsung atau tidak langsung terjadinya masalah konsumsi pangan?. Analisis dapat dilakukan melalui pengembangan kerangka pikir (conceptual framework) atau model faktor penyebab (causal model) masalah konsumsi pangan. Causal model menggambarkan rangkaian faktor yang menyebabkan masalah konsumsi pangan. Causal model disusun berdasarkan jawaban atas pertanyaan mengapa terjadi faktor penyebab tersebut, dan seterusnya sehingga terjadi suatu rangkaian faktor penyebab terjadinya masalah konsumsi pangan.

KURANG GIZI

ASUPAN ZAT GIZI RENDAH

PENYAKIT INFEKSI TINGGI

Penyebab LANGSUNG

Ketersediaan pangan di tingkat RT yang rendah

Perawatan Anak dan ibu hamil kurang

Pelayanan kesehatan kurang memadai

Penyebab TAK LANGSUNG

KEMISKINAN, PENDIDIKAN RENDAH, KETERSEDIAAN PANGAN, KESEMPATAN KERJA

Masalah UTAMA

KRISIS POLITIK DAN EKONOMI

Masalah DASAR

Gambar 4 Faktor penyebab masalah kurang gizi pada balita

29

Causal Model pada Gambar 4 disusun atas dasar pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut : 1. Mengapa terjadi masalah kurang gizi pada balita? 2. Mengapa terjadi kekurangan asupan zat gizi? Mengapa balita sering menderita penyakit infeksi? 3. Mengapa ketersediaan pangan di tingkat rumahtangga; perawatan anak dan ibu hamil; dan pelayanan kesehatan tidak memadai? 4. Masalah utama tersebut terjadi karena adanya krisis politik dan ekonomi. V. Perumusan Rekomendasi Kebijakan Perencanaan Pangan dan Gizi Tahap perumusan rekomendasi kebijakan pangan dan gizi ini perlunya membandingkan antara konsumsi pangan harapan dan aktual pada setiap kelompok pangan sebagai salah satu acuan dalam menyusun kebijakan perencanaan pangan dan gizi. Selain itu dilakukan pula analisis terhadap kondisi kebijakan pangan dan gizi yang telah ada di daerah, kemudian dibandingkan dengan faktor penyebab pangan dan gizi aktual untuk menentukan rekomendasi kebijakan perencanaan pangan dan gizi Kota Banjar. Apabila kebijakan yang ada masih kurang sesuai dengan permasalahan pangan dan gizi aktual maka perlu direkomendasikan suatu rumusan kebijakan baru sebagai alternatif perbaikan kebijakan yang telah ada.

30

Definisi Operasional Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dimakan seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (recall 24 jam). Pola konsumsi pangan rumah tangga adalah susunan makanan yang mencakup jenis dan jumlah bahan makanan rata-rata per rumah tangga yang umum dikonsumsi dalam jangka waktu tertentu (recall 24 jam). Keluarga Miskin dan Tidak Miskin adalah pengkategorian keluarga yang dapat dilihat dengan menggunakan 14 variabel yang dimiliki oleh suatu rumah tangga. Pola Pangan Harapan adalah komposisi/susunan pangan atau kelompok pangan yang didasarkan pada kontribusi energinya baik mutlak maupun relatif , yang memenuhi kebutuhan gizi secara kuantitas, kualitas maupun keragamannya dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, budaya, agama, dan cita rasa. Skor Pola Pangan Harapan adalah nilai yang menunjukkan kualitas atau tingkat mutu pangan (beragam) yang dikonsumsi oleh rumah tangga Status Gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diukur oleh konsumsi pangan dan antropomentri (BB dan TB). Produksi adalah jumlah keseluruhan hasil masing-masing bahan makanan yang dihasilkan dari sektor pertanian, baik yang belum mengalami proses pengolahan maupun yang sudah mengalami proses pengolahan Ketahanan Pangan adalah suatu kondisi terpenuhinya pangan di tingkat rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Kebijakan konsumsi pangan dan gizi adalah suatu hal yang ditetapkan dan diberlakukan sebagai arahan atau dasar tindakan melalui serangkaian pengambilan keputusan tentang konsumsi pangan dan gizi.

31

HASIL DAN PEMBAHASAN


Keadaan Umum Wilayah Geografis dan Topografi Kota Banjar merupakan kota strategis yang berada pada jalur lintasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Secara geografis terletak diantara 07019 - 07026 Lintang Selatan dan 108026 - 108040 Bujur Timur. Kota Banjar terletak di sebelah timur Provinsi Jawa Barat dan berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah dengan karakteristik daerah sebagai berikut : (1) wilayah selatan merupakan wilayah perbukitan, (2) wilayah utara merupakan wilayah dataran dan perbukitan, (3) wilayah barat merupakan wilayah dataran atau pesawahan, dan (4) wilayah timur merupakan wilayah dataran atau pesawahan. Luas wilayah Kota Banjar yaitu 11 431 ha (114.31 km2) dengan batas wilayah sebagai berikut : (1) sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Cisaga Kabupaten Ciamis, (2) sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Lakbok Kabupaten Ciamis dan Kecamatan Wanareja Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah, (3) sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Lakbok dan Pamarican Kabupaten Ciamis, dan (4) sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Cimaragas dan Cijeungjing Kabupaten Ciamis. Peta Kota Banjar dapat dilihat pada Lampiran 1. Keadaan curah hujan Kota Banjar tahun 2006 pada umumnya sedang dengan hari hujan relatif sedikit. Curah hujan di Kota Banjar berdasarkan data dari Dinas Pekerjaan Umum Kota Banjar tahun 2006 tercatat rata-rata curah hujan dalam setahun mencapai 162.3 milimeter. Bulan Januari, Februari dan April tercatat memiliki curah hujan yang lebih tinggi dibanding bulan lainnya. Selain itu, tingkat kesuburan tanah Kota Banjar pada umumnya tergolong sedang (baik) dengan tekstur tanah sebagian besar halus dengan jenis tanah alufial, kecuali Kecamatan Langensari yang selain memiliki jenis tanah alufial juga berjenis tanah podsonik merah kuning. Demografi dan Sosial Ekonomi Jumlah penduduk Kota Banjar menurut data dari Dinas Catatan Sipil Kependudukan dan KB tahun 2006 tercatat sebanyak 168 912 jiwa dengan rincian 84 328 jiwa penduduk berjenis kelamin laki-laki dan sebanyak 84 584 jiwa berjenis kelamin perempuan, sehingga angka sex ratio (perbandingan penduduk laki-laki dan perempuan) sebesar 99.70 persen. Kecamatan Pataruman

32

merupakan kecamatan yang paling besar penduduknya yaitu sebesar 51 348 jiwa, sedangkan Kecamatan Purwaharja merupakan kecamatan dengan penduduk paling sedikit yaitu sebanyak 19 711 jiwa. Berikut ini Tabel 7 jumlah penduduk menurut jenis kelamin di Kota Banjar akhir tahun 2006. Tabel 7 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin untuk setiap kecamatan di Kota Banjar tahun 2006 Kecamatan Penduduk Laki-laki Perempuan Banjar 24 058 24 365 Purwaharja 9 981 9 730 Pataruman 25 387 25 961 Langensari 24 902 24 528 Kota Banjar 84 328 84 584
Sumber : Pendataan Sosial Ekonomi tahun 2005, BPS 2006

Kota Banjar secara administrasi terbagi menjadi 4 kecamatan dengan 24 desa, 101 dusun, 474 RW dan 1 097 RT. Berdasarkan klasifikasi jenis desa, seluruh desa yang ada yaitu 24 desa seluruhnya tergolong desa swakarya. Persebaran penduduk untuk tiap kecamatan di Kota Banjar secara umum relatif sama. Hal ini disebabkan letak wilayah Kota Banjar yang tidak terlalu menyebar. Pusat kegiatan ekonomi, tempat pendidikan, dan hiburan relatif mudah di jangkau. Angka pertumbuhan penduduk Kota Banjar tahun 2006 sebesar 3.78 persen, lebih tinggi dibanding pertumbuhan tahun sebelumnya yang mencapai 0.88 persen untuk tahun 2005 dan 1.23 persen untuk tahun 2004. Kecamatan Langensari menjadi kecamatan yang paling tinggi pertumbuhannya di banding kecamatan lain yaitu 1.63 persen. Sementara itu, Kecamatan Purwaharja memiliki angka pertumbuhan penduduk yang relatif kecil yaitu sebesar 0.23 persen. Rumah tangga miskin di Kota Banjar tahun 2005 secara keseluruhan adalah 10 908 rumah tangga atau 24.56 persen dari 44 408 rumah tangga yang ada di Kota Banjar. Berdasarkan hasil Pendataan Sosial Ekonomi tahun 2005 atau SLT oleh Badan Pusat Statistik, Kecamatan Banjar merupakan kecamatan yang memiliki rumah tangga miskin terbesar yaitu 34.16 %, diikuti berturut-turut oleh Kecamatan Pataruman, Langensari, dan Purwaharja masing-masing sebesar 32.69%, 22.19%, dan 10.96%. Berikut ini Tabel 8 jumlah penduduk miskin dan jumlah rumah tangga miskin berdasarkan kecamatan. Jumlah penduduk miskin di Kecamatan Banjar mempunyai persentase tertinggi yaitu sebesar 35.20 persen dan Kecamatan Purwaharja mempunyai persentase terendah sebesar 10.85 persen.

33

Tabel 8 Jumlah rumah tangga dan penduduk miskin berdasarkan kecamatan tahun 2005 di Kota Banjar Kecamatan Rumah tangga miskin Penduduk miskin Jumlah Persen Jumlah Persen Banjar 3 726 34.16 12 708 35.20 Purwaharja 1 195 10.96 3 917 10.85 Pataruman 3 566 32.69 11 020 30.53 Langensari 2 421 22.19 8 455 23.42 Kota Banjar 10 908 100.00 36 100 100.00
Sumber : Pendataan Sosial Ekonomi tahun 2005, BPS 2005

Bidang ketenagakerjaan berdasarkan data potensi Kota Banjar tahun 2005 dan Suseda 2006 Kota Banjar (BPS 2006), jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan pekerjaan sebanyak 30.16 persen bergerak di bidang pertanian, 9.66 persen sektor Industri, 8.14 persen di sektor bangunan/konstruksi, 22.55 persen disektor perdagangan selebihnya disektor jasa-jasa dan sektor lainnya masing-masing sebesar 18.43 dan 11.06 persen. Meskipun penduduk yang bergerak disektor pertanian persentasenya paling tinggi, namun bila di banding tahun sebelumnya mengalami penurunan yang signifikan yaitu sebesar 176 persen. Hal ini menunjukkan bahwa makin lama pergeseran lapangan usaha akan semakin mengarah ke sektor selain pertanian seiring dengan perkembangan wilayah perkotaan yang lebih maju. Tabel 9 Persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan usaha di Kota Banjar tahun 2005, 2005, dan 2006 Lapangan Usaha Tahun 2004 2005 2006 Pertanian 30.16 22.80 22.12 Industri 9.66 15.07 13.10 Bangunan 8.14 12.00 11.90 Perdagangan 22.55 22.11 20.41 Jasa-jasa 18.43 24.45 16.44 Lainnya 11.06 3.57 16.03
Sumber : BPS Kota Banjar, Data Potensi dan Suseda 2006 Kota Banjar

Tahun 2006, persentase penduduk perempuan di Kota Banjar yang tidak tamat SD/MI yaitu 25.61% lebih tinggi bila dibandingkan penduduk laki-laki yaitu 20.52%. Persentase penduduk laki-laki yang menamatkan SLTP/MTS/Sederajat dan SMU/MA/Sederajat lebih tinggi yaitu 17.20 persen dan 10.55 persen bila dibandingkan dengan penduduk perempuan yaitu 15.89 persen dan 7.56 persen. Dengan demikian, penduduk perempuan mempunyai kesempatan yang lebih rendah untuk sekolah atau mendapatkan pendidikan dibandingkan dengan penduduk laki-laki.

34

Produksi Pangan Kota Banjar Menurut Departemen Pertanian (2005), pengertian produksi adalah jumlah keseluruhan hasil masing-masing bahan makanan yang dihasilkan dari sektor pertanian (Tanaman Pangan, Hortikultura, Peternakan, Perikanan, dan Perkebunan), baik yang belum mengalami proses pengolahan maupun yang sudah mengalami proses pengolahan. Tabel 10 menunjukkan komposisi energi ideal berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH). Tabel 10 Komposisi energi ideal berdasarkan Pola Pangan Harapan Kelompok Pangan Energi (kkal/kap/hari) % Energi Padi-padian 1100 50 Umbi-umbian 132 6 Pangan hewani 264 12 Minyak dan lemak 220 10 Buah dan biji berminyak 66 3 Kacang-kacangan 110 5 Gula 110 5 Sayur dan buah 132 6 Lain-lain 66 3 Total 2200 100
Sumber: Deptan (2001)

Berikut ini hasil-hasil produksi pertanian di Kota Banjar berdasarkan kelompok pangan (padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, kacang-kacangan, sayuran dan buah-buahan) dalam Pola Pangan Harapan. Padi-padian Produksi kelompok pangan padi-padian Kota Banjar tahun 2006 dapat dilihat dari tiga jenis komoditas yaitu padi sawah, padi gogo, dan jagung. Tabel 11 menunjukkan bahwa energi yang dihasilkan dari kelompok pangan padipadian (1 330 kkal/kap/hari) telah mencukupi proporsi ideal yang dianjurkan untuk kelompok padi-padian yaitu 1 100 kkal/kap/hari (50% dari AKE ketersediaan ideal). Hal ini menunjukkan bahwa dari segi ketersediaan, produksi kelompok padi-padian sudah mencukupi kebutuhan penduduk Kota Banjar. Berdasarkan Tabel 11, daerah produksi padi sawah terbesar tahun 2006 terdapat di Kecamatan Langensari (15 233.0 ton/tahun). Sedangkan daerah produksi jagung terbesar yaitu Kecamatan Pataruman (498.6 ton/tahun). Hal ini disebabkan luas lahan sawah di Kecamatan Langensari lebih luas dibandingkan dengan kecamatan lainnya (Lampiran 2). Jenis tanaman padi-padian yang berpotensi untuk dikembangkan yaitu padi sawah, karena terjadi peningkatan produksi dari tahun 2005 hingga 2006 yaitu 6.3 persen (Lampiran 3)

35

Tabel 11 Produksi dan energi kelompok padi-padian menurut kecamatan di Kota Banjar tahun 2006
Produksi (ton/thn)* Energi (kkal/kap/hari) Padi Padi Jagung Padi Padi Jagung sawah gogo sawah gogo Banjar 5 912.4 0.0 131.1 218 0 7 Purwaharja 5 497.8 10.0 91.0 203 0 5 Pataruman 8 232.0 0.0 498.6 304 0 26 Langensari 15 233.0 54.0 61.3 562 2 3 Total 34 875.2 64.0 782.0 1 287 2 41 Keterangan: * Data Potensi Kota Banjar, Dinas Pertanian Kota Banjar Kecamatan Total 225 208 330 567 1 330

Umbi-umbian Produksi pangan kelompok umbi-umbian Kota Banjar tahun 2006 dapat dilihat dari komoditas ubi kayu dan ubi jalar. Bedasarkan Tabel 12, komoditas ubi kayu dan ubi jalar menyumbangkan energi sebesar 69 kkal/kapita/hari. Hal ini menunjukkan bahwa energi yang dihasilkan oleh kelompok umbi-umbian belum mencukupi proporsi ideal yang dianjurkan untuk kelompok umbi-umbian yaitu 132 kkal/kap/hari (6 % dari AKE ketersediaan ideal). Kontribusi energi terbesar diperolah dari komoditas umbi kayu (91.3 persen dari total energi). Apabila dibedakan menurut kecamatan, daerah produksi kelompok umbi-umbian terbesar yaitu Kecamatan Pataruman yaitu produksi ubi kayu 2 121.6 ton/thn dan ubi jalar 247.9 ton/thn. Penggunaan lahan untuk berkebun dan berladang di Kecamatan Pataruman yang masih luas menyebabkan produksi umbi-umbian lebih tinggi dibanding kecamatan lainnya. Laju produksi ubi kayu Kota Banjar dari tahun 2005 hingga 2006 mengalami peningkatan yang cukup tinggi yaitu sebanyak 1 232.1 persen. Akan tetapi, produksi ubi kayu ini belum mampu memenuhi kebutuhan ideal penduduk Kota Banjar sehingga perlu terus ditingkatkan terutama Kecamatan Pataruman. Tabel 12 Produksi dan energi kelompok umbi-umbian menjadi energi menurut kecamatan di Kota Banjar tahun 2006
Produksi (ton/thn)* Energi (kkal/kap/hari) Kecamatan Ubi kayu Ubi Jalar Ubi kayu Ubi Jalar Total Banjar 773.0 65.1 14 1 15 Purwaharja 198.4 30.0 4 1 15 Pataruman 2 121.6 247.9 38 4 42 Langensari 437.0 10.0 8 0 8 Total 3 530.0 353.0 63 6 69 Keterangan: * Data Potensi Kota Banjar, Dinas Pertanian Kota Banjar

Pangan Hewani Ketersediaan pangan hewani dapat dilihat dari produksi daging sapi, domba, kambing, ikan, ayam, itik, dan telur. Tabel 13 menunjukkan bahwa

36

produksi pangan hewani terbesar terdapat pada komoditas ikan. Kecamatan Pataruman merupakan kecamatan penghasil ikan terbesar di Kota Banjar yaitu 920.7 ton/tahun. Hal ini disebabkan luas lahan yang digunakan untuk kolam/tambak di Kecamatan Pataruman masih cukup besar dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Tabel 13 Produksi pangan hewani (ton/tahun) menurut kecamatan di Kota Banjar tahun 2006
Kecamatan Banjar Purwaharja Pataruman Langensari Total sapi 47.0 250.0 54.2 90.0 441.0 domba 20.0 8.7 5.5 15.0 49.2 Produksi (ton/thn)* Kambing ikan ayam 9.0 213.2 4.8 4.1 102.4 6.2 7.0 920.7 30.3 20.0 352.4 15.8 40.0 1 588.7 57.1 itik 0.3 0.6 0.7 0.9 2.5 Telur 30.0 0 511.8 0 541.8

Berdasarkan Tabel 14, energi yang dihasilkan dari kelompok pangan hewani yaitu 20 persen (49 kkal/kapita/hari) dari proporsi pangan hewani ideal (264 kkal/kapita/hari). Hal ini menunjukkan bahwa produksi pangan hewani di Kota Banjar masih cukup kurang. Energi terbesar dari produksi pangan hewani terdapat pada ikan (18 kkal/kap/hari) dan sapi (15 kkal/kapita/hari). Laju produksi ikan dan sapi dari tahun 2005 hingga 2006 menunjukkan peningkatan (Lampiran 8 dan 9). Apabila dari tahun ke tahun produksi sapi dan ikan terus meningkat maka ketersediaan pangan hewani menuju ideal akan tercapai terutama di daerah Kecamatan Purwaharja dan Pataruman. Tabel 14 Produksi pangan hewani dalam bentuk energi menurut kecamatan di Kota Banjar tahun 2006
Kecamatan Banjar Purwaharja Pataruman Langensari Total sapi 2 8 2 3 15 domba 1 0 0 1 2 Energi (kkal/kap/hari) kambing ikan ayam 0 2 0 0 1 0 0 11 0 1 4 0 1 18 0 itik 0 0 0 0 0 Telur 1 0 12 0 13 Total 6 9 25 9 49

Kacang-kacangan Produksi kelompok kacang-kacangan di Kota Banjar tahun 2006 dapat dillihat dari komoditas kacang kedelai, kacang tanah, kacang hijau, dan kacang merah. Berdasarkan Tabel 15, produksi terbesar terdapat pada kacang merah yaitu 1 512.5 ton/tahun. Kecamatan penghasil kacang merah terbesar yaitu Kecamatan Banjar (1 001.0 ton/tahun). Selain itu, Tabel 15 menunjukkan total energi yang dihasilkan dari kelompok pangan kacang-kacangan sebesar 121 kkal/kap/hari. Sedangkan proposi ideal kelompok kacang-kacangan sebesar 110

37

kkal/kap/hari (5% dari AKE ideal). Hal ini menunjukkan bahwa kelompok kacangkacangan telah mencukupi kebutuhan penduduk Kota Banjar. Laju produksi kacang merah dari tahun 2005 hingga 2006 mengalami peningkatan sebanyak 222.6 persen (Lampiran 5). Hal ini menunjukkan bahwa kacang-kacangan merupakan komoditas yang cukup potensial untuk dikembangkan di Kota Banjar terutama di Kecamatan Banjar. Tabel 15 Produksi dan energi kelompok kacang-kacangan menjadi energi menurut kecamatan di Kota Banjar tahun 2006
Kecamatan Kacang kedelai Banjar 35.0 Purwaharja 3.0 Pataruman 0.0 Langensari 0.0 Total 38.0 Produksi (ton/thn)* Kacang Kacang tanah hijau 23.2 34.7 63.7 33.9 61.0 0.0 22.2 419.4 170.0 488.0 Energi (kkal/kap/hari) Kacang Kacang Kacang Kacang Kacang merah kedelai tanah hijau merah 1 001.0 2 2 2 52 341.5 0 5 2 18 10.0 0 4 0 1 160.0 0 2 23 8 1 512.5 2 13 27 79 Total 58 25 5 33 121

Sayur dan Buah-buahan Produksi pangan kelompok sayuran di Kota Banjar tahun 2006 dapat dilihat dari komoditas kacang panjang, cabe rawit, ketimun, labu siam, kangkung, bayam, melinjo, dan petai. Berdasarkan Tabel 16, produksi terbesar dari kelompok sayuran terdapat pada komoditas petai (603.0 ton/tahun) dan daerah penghasil terbesar petai yaitu Kecamatan Pataruman. Luas lahan dan banyaknya jumlah penduduk di Kecamatan Pataruman (Tabel 7) mempengaruhi besarnya produksi petai. Tabel 16 Produksi sayuran (ton/tahun) menurut kecamatan di Kota Banjar tahun 2006
Kecamatan Banjar Purwaharja Pataruman Langensari Total Kacang panjang 9.5 2.2 1.0 18.0 24.7 Produksi (ton/thn)* Cabe Ketimun Labu Kangkung Bayam Melinjo Petai rawit siam 0.3 186.3 0.0 33.1 9.7 6.9 172.6 0.4 23.2 135.0 0.0 0.0 5.1 8.0 3.0 195.0 0.0 122.4 93.2 0.0 603.0 0.0 3.9 0.0 29.4 7.9 1.7 3.7 3.7 408.4 135.0 184.9 110.8 13.7 787.3

Produksi kelompok buah-buahan dapat dilihat dari alpukat, durian, jambu biji, jambu air, mangga, nangka, pepaya, pisang, rambutan, dan sawo. Produksi buah-buahan terbesar terdapat pada komoditas pisang yaitu 26 825.8 ton/tahun. Sedangkan daerah penghasil pisang terbesar yaitu Kecamatan Langensari (Tabel 18). Laju produksi pisang dari tahun 2005 hingga 2006 mengalami penurunan sebesar 68.5 persen (Lampiran 6). Padahal komoditas pisang diharapkan mampu menjadi pangan lokal yang berpotensi di Kota Banjar. Oleh

38

karena itu, produksi pisang untuk tahun selanjutnya perlu ditingkatkan kembali khususnya di Kecamatan Langensari dan Banjar. Tabel 17 Produksi buah-buahan Banjar tahun 2006
Kecamatan Banjar Purwaharja Pataruman Langensari Total Alpukat 60.6 4.5 55.5 1.1 121.7 Durian 173.9 4.1 250.0 0.9 428.9

(ton/tahun)

menurut kecamatan di Kota


Mangga 615.1 29.1 859.4 315.5 1819.1

Produksi (ton/thn)* Jambu biji Jambu air 4.6 21.4 1.5 4.9 302.6 150.7 14.2 21.0 322.9 198.0

Tabel 18 Produksi buah-buahan dan total energi menurut kecamatan di Kota Banjar tahun 2006 (lanjutan)
Produksi (ton/thn) Total Energi Kecamatan Nangka Pepaya Pisang Rambutan Sawo (kkal/kap/hr)* Banjar 88.9 29.8 11 589.7 1 144.0 82.8 217 Purwaharja 7.5 8.4 182.5 12.1 5.8 3 Pataruman 550.6 65.5 532.8 2 334.8 53.9 32 Langensari 11.5 6.3 14 520.8 7.2 7.6 260 Total 658.5 110.0 26 825.8 3 498.1 150.1 513 Keterangan: * perhitungan energi selengkapnya terdapat pada Lampiran 7

Energi terbesar yang dihasilkan dari kelompok sayuran yaitu komoditas petai (65 kkal/kap/hari). Daerah penghasil energi sayuran terbesar yaitu Kecamatan Pataruman (50 kkal/kap/hari). Sedangkan energi terbesar yang dihasilkan dari kelompok buah-buahan yaitu komoditas pisang (476 kkal/kap/hari). Apabila dibandingkan dengan standar ideal untuk sayur dan buah-buahan (132 kkal/kap/hari) maka jumlah energi kelompok sayuran dan buah-buahan di Kota Banjar telah memenuhi standar ideal. Tabel 19 Energi sayuran (kkal/kapita/hari) menurut kecamatan di Kota Banjar tahun 2006
Kecamatan Banjar Purwaharja Pataruman Langensari Total Kacang panjang 1 0 0 0 1 Cabe Ketimun rawit 0 3 0 0 1 3 0 0 1 6 Energi (kkal/kapita/hari) Labu Kangkung Bayam Melinjo Petai siam 0 1 1 1 14 5 0 0 0 1 0 4 4 0 50 0 1 0 0 0 5 6 5 1 65 Total 21 6 62 1 90

Analisis Situasi Konsumsi Pangan Kota Banjar Tahun 2006 Hardinsyah et.al (2001) menyatakan bahwa analisis konsumsi pangan dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis konsumsi pangan secara kuantitatif ditunjukkan oleh tingkat kecukupan gizi. Analisis situasi konsumsi pangan penduduk di suatu wilayah tidak hanya cukup ditunjukkan oleh peningkatan kuantitas konsumsi saja, tetapi perlu analisis lebih lanjut terhadap

39

aspek kualitas konsumsi. Aspek kualitas konsumsi pangan dinilai dari aspek komposisi atau keragaman dan mutu gizi konsumsi pangan. Pendekatan yang digunakan untuk analisis kualitas konsumsi (skor mutu konsumsi) yaitu berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH). Analisis kualitatif dilakukan dengan melihat mutu pangan berdasarkan keragaman pangan yang ditunjukkan oleh skor PPH. Hasil analisis ini dijadikan sebagai dasar dalam perencanaan kebutuhan konsumsi dan ketersediaan pangan melalui teknik proyeksi secara interpolasi linear. Angka Kecukupan Energi (AKE) adalah nilai yang menunjukkan jumlah energi yang diperlukan tubuh setiap hari untuk dapat hidup sehat bagi hampir semua populasi menurut kelompok umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiologis tertentu seperti hamil dan menyusui. AKE ditetapkan berdasarkan kajian dan kesepakatan antar pakar berdasarkan hasil-hasil penelitian kebutuhan gizi (requirement) individu. Dengan demikian, istilah kebutuhan energi lebih tepat untuk menggambarkan banyaknya energi yang dibutuhkan individu agar dapat hidup sehat, sedangkan kecukupan energi (AKE) lebih menggambarkan banyaknya energi yang dibutuhkan agar sebagian besar populasi bisa hidup sehat. Perhitungan AKE digunakan sebagai nilai rujukan untuk perencanaan dan penilaian konsumsi pangan dan gizi bagi orang yang sehat agar dapat mempertahankan kesehatannya dan terhindar dari kekurangan dan kelebihan gizi. Hasil perbandingan antara konsumsi energi suatu populasi dengan AKE disebut Tingkat Kecukupan Energi (PKKP 2006). Berikut ini hasil analisis situasi konsumsi pangan Kota Banjar 2006 secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis secara Kuantitatif Analisis konsumsi secara kuantitatif dilakukan dengan mengukur Tingkat Kecukupan Energi (TKE) yang akan menggambarkan persentase konsumsi energi terhadap Angka Kecukupan Energi (AKE). Tabel 20 menunjukkan hasil perhitungan AKE Regional Kota Banjar dengan menggunakan metode Sprague Multipliers. mengambil dua titik yaitu tahun 2005 dan 2006. Tabel 20 AKE Regional Kota Banjar tahun 2005 dan 2006 dengan menggunakan metode Sprangue Multipliers Tahun Tahun Rata-rata AKE 2005 2006 AKERP 1 985 1 984 1 985 AKE Konsumsi 1 985 1 984 1 985 AKE Ketersediaan 2 184 2 182 2 183

40

Angka Kecukupan Energi (AKE) untuk Kota Banjar adalah jumlah energi yang harus dipenuhi oleh rata-rata penduduk Kota Banjar agar hampir semua penduduk dapat hidup sehat dan menjalankan aktivitasnya. AKE konsumsi Kota Banjar tahun 2005 dan 2006 dengan menggunakan metode di atas masingmasing sebesar 1 985 dan 1 984 kkal/kap/hari. Apabila AKE konsumsi kedua tahun ini dirata-ratakan akan diperoleh hasil sebesar 1 984.5 1 985 yang merupakan AKE konsumsi Kota Banjar yang dianjurkan. Berbeda dengan AKE Regional hasil perhitungan di atas, AKE Regional Kota Banjar hasil olahan data dengan menggunakan software Aplikasi Komputer Analisis kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah Provinsi adalah sebesar 1944 kkal/kapita/hari. Selanjutnya, seluruh perhitungan dalam pembahasan ini menggunakan AKE regional hasil olahan dengan software Aplikasi Komputer Analisis kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah Provinsi dengan tujuan untuk memudahkan dalam perhitungan. Berikut ini tabel 21 AKE Regional berdasarkan software Aplikasi Komputer Analisis kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah Provinsi. Tabel 21 AKE Regional Kota Banjar dengan menggunakan software Aplikasi Komputer Analisis kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah Provinsi Kecukupan Energi Kelompok/Jenis Pangan (Kkal/Kapita/Hari) 1. Padi-padian 972 2. Umbi-umbian 117 3. Pangan Hewani 233 4. Minyak dan Lemak 195 5. Buah/Biji Berminyak 58 6. Kacang-kacangan 97 7. Gula 97 8. Sayur dan Buah 117 9. Lain-Lain 58 Total 1 944 Hasil analisis terhadap data survei konsumsi pangan Dinas Kesehatan Kota Banjar 2006 dengan menggunakan software Aplikasi Komputer Analisis kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah Provinsi menunjukkan bahwa jumlah konsumsi energi penduduk Kota Banjar yaitu sebesar 1 210 kkal/kapita/hari (TKE 62.2 persen) dari AKE konsumsi yang dianjurkan yaitu 1944 kkal/kapita/hari. Apabila dibedakan berdasarkan status ekonomi yaitu rumah tangga miskin dan tidak miskin, maka dapat diketahui bahwa jumlah konsumsi energi rumah tangga miskin sebesar 1170 kkal/kapita/hari (TKE 60.2 persen) masih kurang dari AKE yang dianjurkan. Sama halnya dengan rumah tangga miskin, jumlah konsumsi

41

energi rumah tangga tidak miskin yaitu sebesar 1251.6 kkal/kapita/hari (TKE 64.4 persen) masih di bawah AKE konsumsi yang dianjurkan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 22 di bawah ini. Tabel 22 Situasi konsumsi energi dan Tingkat Kecukupan Energi di Kota Banjar berdasarkan status ekonomi * Status Ekonomi Situasi Konsumsi Miskin & Tidak Miskin Tidak miskin miskin Energi (kkal/kap/hari) 1170 1251 1210 Tingkat Kecukupan Energi 60.2 64.4 62.2 (%AKE) * Jumlah konsumsi energi (kkal/kapita/hari) untuk setiap komoditi terdapat pada Lampiran 10 Salah satu faktor penyebab utama rendahnya konsumsi energi penduduk Kota Banjar adalah masih cukup tingginya jumlah rumah tangga miskin sebanyak 10 908 atau 24.56 persen dari 44 408 rumah tangga yang ada (BPS 2005). Semakin besar jumlah penduduk miskin, maka semakin rendah pula akses mereka terhadap pangan dan semakin tinggi tingkat kerawanan pangan. Selain itu, ketersediaan pangan di Kota Banjar yang cukup tinggi tidak akan menjamin bahwa setiap individu atau rumah tangga akan tahan pangan. Hal ini terkait dengan kemampuan masing-masing individu atau rumah tangga untuk mengakses bahan pangan tersebut. Kemampuan daya beli merupakan salah satu faktor yang dapat mendukung seseorang untuk mendapatkan bahan pangan dengan mudah (Martianto et. al. 2006). Oleh karena itu, pemerintah Kota Banjar perlu memperhatikan kemampuan daya beli setiap penduduk yaitu salah satunya peningkatan pendapatan penduduk. Analisis secara Kualitatif Analisis konsumsi pangan secara kualitatif dilakukan dengan melihat mutu pangan berdasarkan keragaman pangan yang ditunjukkan oleh skor PPH. Hasil analisis terhadap data konsumsi pangan Dinas Kesehatan Kota Banjar 2006 berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH), dapat diketahui bahwa skor PPH Kota Banjar adalah sebesar 65. Sedangkan skor PPH untuk rumah tangga tidak miskin dan rumah tangga miskin masing-masing sebesar 71.1 dan 58.8. Analisis ini menunjukkan bahwa tingkat keragaman konsumsi Kota Banjar belum mencapai ideal (100).

42

Salah satu sasaran ketahanan pangan dalam Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009 yaitu peningkatan kualitas konsumsi dengan skor PPH minimal 80 (DKP 2006). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa skor PPH Kota Banjar masih belum sesuai dengan sasaran Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009. Kualitas konsumsi pangan yang rendah disebabkan oleh tingkat pendapatan penduduk Kota Banjar yang masih rendah, ditunjukkan dengan persentase rumah tangga miskin yang masih cukup banyak, yaitu 24.56 %. Tingkat pendapatan seseorang atau rumah tangga sangat mempengaruhi pilihan seseorang atau rumah tangga untuk mendapatkan bahan pangan yang beragam (Hariyadi 2003). Peningkatan produksi yang tidak diiringi dengan peningkatan pendapatan akan mempersulit upaya keragaman pangan yang dikonsumsi. Keluarga miskin yang mempunyai pendapatan rendah hanya memiliki jumlah skor PPH sebesar 58.8. Skor PPH rumah tangga tidak miskin lebih besar jika dibandingkan dengan rumah tangga miskin yaitu sebesar 71.1. Akan tetapi, apabila dibandingkan dengan skor PPH ideal (100), skor PPH rumah tangga tidak miskin belum mencapai ideal. Tabel 23 Skor PPH Kota Banjar, keluarga miskin, dan tidak miskin
Kelompok Pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Total Miskin 20.0 0.4 9.0 0.4 0.1 10.0 0.3 18.7 0.0 58.8 Skor PPH Tidak Miskin 19.2 0.4 20.5 0.6 0.2 10.0 0.3 19.9 0.0 71.1 Kota Banjar 19.6 0.4 14.8 0.5 0.1 10.0 0.3 19.3 0.0 65.0

Tabel 24 menunjukkan pencapaian konsumsi energi, skor PPH serta konsumsi pangan (gram) penduduk Kota Banjar tahun 2006 dibandingkan standar ideal. Skor PPH Kota Banjar (65) jika dibandingkan dengan standar ideal (100) masih jauh 35 poin di bawah standar ideal. Begitu pula halnya dengan energi (kkal) yang dikonsumsi penduduk Kota Banjar yaitu 1 210 kkal jika dibandingkan dengan standar ideal 2 000 kkal, maka konsumsi energi kota Banjar perlu ditingkatkan lagi sebanyak 790 kkal.

43

Tabel 24 Konsumsi energi, skor PPH, dan pangan (gram) penduduk Kota Banjar 2006 dibandingkan dengan standar ideal
Kelompok pangan Padipadian Umbiumbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacangkacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Total Energi 1) (kkal) 763 15 144 20 5 161 11 75 16 1210 2006 Skor PPH 19.6 0.4 14.8 0.5 0.1 10.0 0.3 19.3 0.0 65.0 Gram 211.6 14.6 134.3 2.2 5.2 48.4 2.9 252.6 7.4 Standar Ideal Energi Skor Gram (kkal) PPH 1000 25.0 275 120 240 200 60 100 100 120 60 2000 2.5 24.0 5.0 1.0 10.0 2.5 30.0 0.0 100 100 150 20 10 35 30 250 0 Energi (kkal) -237 -105 -96 -180 -55 61 -89 -45 -44 -790 Selisih*) Skor PPH -5.4 -2.1 -9.2 -4.5 -0.9 0 -2.2 -10.7 0 -35 Gram -63.4 -85.4 -15.7 -17.8 -4.8 13.4 -27.1 2.6 7.4

1)

Untuk setiap komoditas disajikan pada Lampiran 10 Hardinsyah et.al. 2001 menyatakan bahwa untuk mengkoreksi

pertumbuhan konsumsi yang negatif ini perlu dirumuskan dan dilakukan upaya peningkatan penyediaan berbagai komoditas pangan ini yang disertai dengan peningkatan akses penduduk (secara ekonomi, fisik dan informasi) untuk memperoleh dan mengkonsumsi beranekaragam pangan ini. Namun, peningkatan penyediaan pangan dalam arti fisik saja belum menjamin peningkatan konsumsi pangan, karena pangan yang tersedia belum tentu dibeli karena rendahnya daya beli/pendapatan. Sementara peningkatan penyediaan pangan dan pendapatan keluarga saja juga belum sepenuhnya mendorong keluarga dapat mewujudkan pemenuhan konsumsi pangan, bila tidak disertai dengan upaya peningkatan kesadaran dan perilaku gizi yang baik terutama dalam pemilihan dan pengolahan pangan. Oleh karena itu, upaya perbaikan konsumsi pangan perlu dicermati secara komprehensif, baik dari dimensi fisik penyediaan pangan maupun dari dimensi ekonomi dan kesadaran gizi, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Komposisi dan Skor Mutu Konsumsi Pangan Berdasarkan PPH Komposisi konsumsi pangan memberikan berbagai informasi yaitu: (1) kontribusi berbagai jenis pangan dalam suatu kelompok pangan; (2) kontribusi kelompok pangan terhadap total energi yang dikonsumsi; serta (3) kontribusi kelompok pangan terhadap anjuran energi yang sebaiknya dikonsumsi. Informasi pertama dan kedua menunjukkan komposisi aktual

44

konsumsi pangan penduduk. Informasi pertama dapat dimanfaatkan sebagai landasan untuk menghitung jumlah kebutuhan konsumsi dan ketersediaan pangan penduduk pada tahun-tahun mendatang (dengan asumsi pola konsumsi penduduk atau kontribusi jenis pangan setiap kelompok pangan tidak berubah). Informasi ketiga mencerminkan posisi komposisi aktual terhadap komposisi ideal yang sebaiknya dikonsumsi penduduk. Dengan memperhatikan rating setiap kelompok pangan akan diperoleh skor PPH aktual. Analisis terhadap data konsumsi pangan dan gizi Kota Banjar menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi energi untuk setiap kelompok pangan berbeda antara keluarga tidak miskin dan keluarga miskin. Tabel 16 menggambarkan rata-rata konsumsi energi setiap kelompok pangan keluarga miskin dan tidak miskin. Sebagian besar konsumsi energi keluarga tidak miskin diperoleh dari padi-padian yaitu 755 kkal/kap/hari, tidak berbeda jauh dengan keluarga miskin sebesar 770 kkal/kap/hari. Jenis bahan pangan dari kelompok padi-padian yang menyumbangkan energi terbesar yaitu beras (lihat lampiran 5) masing-masing untuk rumah tangga tidak miskin dan miskin sebesar 731 kkal/kap/hari dan 688 kkal/kap/hari. Besarnya konsumsi berbagai jenis bahan pangan dapat dilihat pada Lampiran 10. Sumbangan energi kelompok umbi-umbian juga tidak berbeda jauh antara rumah tangga tidak miskin (16 kkal/kap/hari) dan rumah tangga miskin (14 kkal/kap/hari). Jenis bahan pangan dari kelompok umbi-umbian yang menyumbangkan energi terbesar yaitu ketela pohon. Selanjutnya untuk kelompok pangan hewani pada rumah tangga tidak miskin lebih besar (201 kkal/kap/hari) daripada rumah tangga miskin (87 kkal/kap/hari). Jenis pangan yang mendominasi untuk kelompok pangan hewani yaitu ikan. Kelompok pangan minyak dan lemak pada rumah tangga tidak miskin, miskin dan Kota Banjar masing-masing menyumbangkan sebesar 25 kkal/kap/hari, 14 kkal/kap/hari, dan 20 kkal/kap/hari dengan jenis pangan yang mendominasi yaitu minyak sawit. Sumbangan energi kelompok pangan buah/biji berminyak pada rumah tangga tidak miskin, miskin, dan Kota Banjar yaitu masing-masing sebesar 7 kkal/kap/hari, 4 kkal/kap/hari, dan 5 kkal/kap/hari dengan jenis pangan yang mendominasi yaitu kelapa. Kelompok kacang-kacangan pada rumah tangga miskin menyumbangkan energi lebih besar yaitu 184 kkal/kap/hari dibandingkan dengan rumah tangga tidak miskin sebesar 139 kkal/kap/hari. Jenis bahan pangan yang dari kelompok

45

kacang-kacangan didominasi oleh kacang kedelai. Selanjutnya untuk kelompok pangan gula pada rumah tangga tidak miskin tidak berbeda jauh dengan rumah tangga miskin dan Kota Banjar yaitu masing-masingn 12 kkal/kap/hari, 10 kkal/kap/hari, dan 11 kkal/kap/hari. Sumbangan energi kelompok pangan sayur dan buah pada rumah tangga tidak miskin, miskin, dan Kota Banjar yaitu masing-masing sebesar 78 kkal/kap/hari, 72 kkal/kap/hari, dan 75 kkal/kap/hari. Selanjutnya untuk kelompok lainnya pada rumah tangga tidak miskin, miskin, dan Kota Banjar masing-masing menyumbangkan energi sebesar18 kkal/kap/hari, 15 kkal/kap/hari, dan 75 kkal/kap/hari. Apabila diurutkan berdasarkan kelompok pangan penyumbang energi terbesar, maka kelompok pangan padi-padian pada rumah tangga miskin, tidak miskin maupun Kota Banjar penyumbang pertama terbesar yaitu lebih dari 60% dari jumlah energi total Kota Banjar yang dikonsumsi (1210 kkal/kap/hari). Kelompok penyumbang kedua yaitu pangan hewani (7.2% 16.1%). Adapun kelompok kacang-kacangan merupakan penyumbang energi ketiga (11.1% 15.2%). Selanjutnya untuk sumbangan dari kelompok pangan lain (pangan sayur dan buah, minyak dan lemak, Tabel 25 lain-lain, gula, umbi-umbian, dan buah/biji berminyak) terhadap jumlah konsumsi energi kurang dari 6.4%. Sumbangan energi masing-masing kelompok pangan berdasarkan status ekonomi terhadap total konsumsi energi di Kota Banjar 20061) Kelompok Pangan Tidak Miskin Miskin Kota Banjar 2006 Energi % Energi % Energi % Padi-padian 755 62.4 770 63.6 763 63.1 Umbi-umbian 16 1.3 14 1.2 15 1.2 Pangan Hewani 201 16.6 87 7.2 144 11.9 Minyak dan Lemak 25 2.1 14 1.2 20 1.7 Buah/Biji Berminyak 7 0.6 4 0.3 5 0.4 Kacang-kacangan 139 11.5 184 15.2 161 13.3 Gula 12 1.0 10 0.8 11 0.9 Sayur dan Buah 78 6.4 72 5.9 75 6.2 Lain-lain 18 1.5 15 1.2 16 1.3 Total 1251 103.4 1170 96.7 1210 100.0 1) jumlah energi untuk setiap komoditi dapat dilihat dalam lampiran 10 Menurut Ariyani 2005, daya beli masyarakat yang menurun karena pendapatan yang rendah akan mengakibatkan pengurangan jenis pangan yang harganya mahal dan mensubstitusi dengan jenis pangan dengan harga yang relatif murah. Berdasarkan tabel 16 di atas konsumsi pangan hewani pada rumah tangga miskin Kota Banjar lebih kecil bila dibandingkan dengan kacang-

46

kacangan dalam hal ini konsumsi kacang kedelai (tahu dan tempe). Hal ini menunjukkan bahwa rumah tangga miskin mensubstitusi pangan yang relatif mahal (kelompok pangan hewani) dengan tahu dan tempe ( kelompok kacangkacangan). Sedangkan untuk rumah tangga tidak miskin yang memiliki pendapatan cukup tidak melakukan substitusi dengan pangan yang murah, tetapi mereka tetap mengkonsumsi pangan hewani. Berdasarkan Tabel 26 menunjukkan bahwa kelompok pangan padipadian wilayah Kota Banjar 2006 memberikan kontribusi energi terhadap AKE yang lebih kecil bila dibandingkan dengan standar ideal (AKE Regional Kota Banjar), yaitu sebesar 39.2 % sedangkan standar ideal sebesar 50 % dari AKE Regional Kota Banjar. Pemerintah Kota Banjar perlu membuat suatu kebijakan bagi penduduk Kota Banjar agar lebih mudah untuk mengakses pangan, khususnya kelompok padi-padian dalam hal ini pangan beras, misalnya bantuan beras untuk rumah tangga miskin (Raskin). Tabel 26 Kontribusi kelompok pangan pada AKE aktual Kota Banjar 2006 berdasarkan satus ekonomi terhadap AKE Regional Kota Banjar
Tidak Miskin Kelompok Pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacangkacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Total Energi 755 301 189 25 5 139 12 78 18 1 252 % AKE 38.8 0.8 10.3 1.3 0.4 7.2 0.6 4.0 Miskin Energi 770 14 87 14 4 184 10 72 % AKE 39.6 0.7 4.5 0.7 0.2 9.5 0.5 3.7 Kota Banjar 2006 % Energi AKE 763 39.2 15 0.8 144 7.4 20 5 161 11 75 1.0 0.3 8.3 0.6 3.9 0.8 62.2 AKE Regional Kota Banjar % Energi AKE 972 50.0 117 6.0 233 12.0 194 58 97 97 117 58 1 944 10.0 3.0 5.0 5.0 6.0 3.0 100.0

0.9 15 64.4 1 170

0.8 16 60.2 1 210

Kontribusi kelompok umbi-umbian rumah tangga miskin (0.7%), tidak miskin (0.8 %) dan agregat (0.8 %) masih dibawah standar ideal yaitu sebesar 6 %. Perlunya peningkatan produksi pangan umbi-umbian di koata Banjar, misalnya ganyong dan gadung. Kontribusi pangan hewani Kota Banjar terhadap AKE regional masih dibawah 12 % yaitu sebesar 7.4 %. Semakin tinggi pendapatan maka semakin tinggi pula pengeluaran rumah tangga untuk membeli pangan hewani. Harga pangan hewani yang relatif mahal yang menjadi

47

pertimbangan rumah tangga miskin untuk mengurangi konsumsi pangan hewani. Kelompok pangan minyak dan lemak Kota Banjar 2006 memberikan kontribusi energi masih dibawah standar ideal 10% yaitu sebesar 1.0 %. Selanjutnya untuk kelompok pangan buah/biji berminyak memberikan kontribusi terhadap AKE Regional sebesar 0.3 %, masih di bawah 3.0%. Kelompok pangan kacang-kacangan, baik pada rumah tangga miskin, tidak miskin dan Kota Banjar memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap AKE Regional (diatas 5 %) yaitu masing-masing 9.6%, 7.1% dan 8.3%. Tingkat pendapatan yang rendah mengakibatkan terjadinya pengalihan konsumsi pangan hewani yang relatif mahal terhadap kelompok pangan kacang-kacangan, khususnya pangan kacang kedelai (tahu dan tempe). Selanjutnya untuk kontribusi energi Kota Banjar 2006 yang berasal dari kelompok pangan gula, kelompok sayur dan buah serta lain-lain juga masih dibawah standar ideal masing-masing 0.6%, 3.9%, dan 0.8%. Dimana standar ideal untuk gula 5%, sayur dan buah 6%, dan kelompok lain-lain 3%. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Dinas Kesehatan, disebutkan bahwa Survey konsumsi pangan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan tahun 2006 ini mempunyai beberapa kelemahan yaitu sekitar 28% enumerator bukan berlatar belakang gizi hanya mengikuti pelatihan saja. Kemungkinan hal ini salah satu yang menyebabkan belum tergalinya seluruh informasi tentang siapa saja yang makan di rumah dan yang makan diluar rumah. Hal ini akan berpengaruh terhadap kontribusi masing-masing kelompok pangan terhadap AKE Regional dan jumlah energi yang dikonsumsi oleh penduduk Kota Banjar tahun 2006. Proyeksi Skor dan Komposisi PPH Skor PPH ideal yaitu 100 diharapkan dapat tercapai pada tahun 2020 sesuai dengan target yang ditetapkan secara nasional. Proyeksi skor PPH secara total maupun pada setiap kelompok pangan perlu dilakukan setiap tahunnya. Berdasarkan tabel 27 mengenai proyeksi skor PPH Kota Banjar, apabila dilakukan peningkatan skor PPH rata-rata sebesar 2.5 poin setiap tahun, maka PPH ideal Kota Banjar dapat tercapai. Skor PPH seluruh kelompok pangan harus ditingkatkan kecuali kacang-kacangan tidak ditingkatkan karena konsumsi kacang-kacangan telah melebihi skor PPH nasional.

48

Tabel 27 Proyeksi skor Pola Pangan Harapan Kota Banjar Kelompok Pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Skor PPH Skor Pola Pangan Harapan 2006 2007 2008 2009 2010 2015 2020 19.6 20.0 20.4 20.8 21.2 23.1 25.0 0.4 0.5 0.7 0.8 1.0 1.7 2.5 14.8 15.5 16.1 16.8 17.4 20.7 24.0 0.5 0.8 1.1 1.5 1.8 3.4 5.0 0.1 0.2 0.3 0.3 0.4 0.7 1.0 10.0 10.0 10.0 10.0 10.0 10.0 10.0 0.3 0.4 0.6 0.8 0.9 1.7 2.5 19.3 20.0 20.8 21.6 22.3 26.2 30.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 65.0 67.5 70.0 72.5 75.0 87.5 100.0

Analisis terhadap pola konsumsi pangan di masing-masing daerah sangat penting untuk dilakukan, sebagai acuan untuk melakukan proyeksi kebutuhan pangan di masa yang akan datang. Berikut ini adalah gambaran mengenai proyeksi kontribusi energi menurut kelompok pangan (%) beberapa kelompok pangan (Tabel 28). Tabel 28 Proyeksi kontribusi energi menurut kelompok pangan (%) Kota Banjar
Kelompok Pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Angka Kecukupan Energi (kkal/Kap/Hari) Kontribusi Energi Menurut Kelompok Pangan (%) 2006 2007 2008 2009 2010 2015 39.2 40.0 40.8 41.5 42.3 46.2 0.8 1.1 1.5 1.9 2.3 4.1 7.4 7.7 8.1 8.4 8.7 10.4 1.0 1.6 2.3 2.9 3.6 6.8 0.3 0.5 0.7 0.9 1.1 2.0 8.3 8.1 7.8 7.6 7.4 6.2 0.6 0.9 1.2 1.5 1.8 3.4 3.9 4.0 4.2 4.3 4.5 5.2 0.8 1.0 1.1 1.3 1.5 2.2 62.2 64.9 67.6 70.3 73.0 86.5 2020 50.0 6.0 12.0 10.0 3.0 5.0 5.0 6.0 3.0 100.0

Proyeksi kontribusi energi dari setiap kelompok pangan bertujuan untuk mengetahui kelompok pangan mana saja yang harus ditingkatkan atau diturunkan serta besar kontribusinya dalam persen AKE. Berdasarkan tabel 19, hampir semua kelompok pangan kontribusinya perlu ditingkatkan, sedangkan kelompok pangan yang kontribusinya perlu diturunkan hingga ideal yaitu kelompok pangan kacang-kacangan. Penurunan kontribusi konsumsi kacangkacangan setiap tahun agar mencapai ideal adalah sebesar 0.2%. Kelompok pangan padi-padian yang merupakan kelompok pangan penyumbang energi terbesar masih harus ditingkatkan tiap tahunnya sebesar 0.8%. Kelompok pangan umbi-umbian perlu ditingkat tiap tahunnya sebesar

49

0.4% agar mencapai standar ideal tahun 2020. Selanjutnya kelompok pangan hewani harus ditingkatkan sebesar 0.3% setiap tahunnya. Peningkatan kontribusi energi juga masih perlu dilakukan untuk kelompok pangan minyak dan lemak, buah/biji berminyak, gula, sayur dan buah serta kelompok pangan lain-lain masing masing sebesar 0.6 persen, 0.2 persen, 0.3 persen, 0.1 persen, dan 0.2 persen. Situasi Status Gizi di Kota Banjar Status gizi adalah output dari sistem ketahanan pangan, artinya baik buruknya ketahanan pangan suatu wilayah akan dicerminkan oleh status gizinya. Suatu wilayah dikatakan mempunyai masalah status gizi apabila persentase gizi buruknya lebih dari 1 persen dan gizi kurang lebih dari 5 persen. Situasi status gizi penduduk di Kota Banjar salah satunya dapat dilihat dari persentase balita yang mengalami gizi kurang dan buruk. Berdasarkan data sekunder dari Dinas Kesehatan tahun 2006, persentase balita yang mengalami gizi buruk yaitu 1.01 persen sedangkan balita yang mengalami gizi kurang yaitu 5.36 persen (Tabel 29). Tabel 29 Jumlah dan presentase balita gizi kurang dan buruk kecamatan di Kota Banjar tahun 2006 Jumlah Kecamatan Jumlah balita tiap kecamatan Buruk % Kurang Banjar 5704 68 0.35 531 Pataruman 5705 44 0.23 219 Purwaharja 2204 9 0.05 56 Langensari 5465 72 0.38 216 Total 19078 193 1.01 1022 menurut

% 2.78 1.16 0.29 1.13 5.36

Sumber : Dinas Kesehatan

Tingginya penyakit infeksi merupakan salah satu faktor penyebab yang mempengaruhi status gizi seseorang. Jumlah penduduk Kota Banjar yang mengalami keluhan kesehatan pada tahun 2005 dan 2006 yaitu masingmasing 51461 jiwa (30.95%) dan 46639 jiwa (29.39%). Hal ini menunjukkan adanya penurunan persentase penduduk yang mengalami keluhan kesehatan. Adanya kebijakan program pelayanan kesehatan gratis di Kota Banjar merupakan salah satu yang mempengaruhi penurunan persentase penduduk yang sakit. Kebijakan tersebut tentunya harus diimbangi dengan kesadaran penduduk untuk berperilaku hidup sehat.

50

Tabel 30 Jumlah dan persentase penduduk di kota banjar yang mengalami keluhan kesehatan, Tahun 2005 dan 2006 Tahun Keluhan 2005 2006 Jumlah % Jumlah % Ada Keluhan 51461 30.95 46639 29.39 Tidak ada keluhan 114836 69.05 123647 72.61 Jumlah 166297 100.00 170286 100.00
Sumber : BPS, Susenas 2004-2006, Suseda Kota Banjar 2006

Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Banjar untuk menurunkan persentase penduduk yang sakit dan meningkatkan kesehatan penduduk diantaranya dilakukan dengan meningkatkan ketersediaan dan keterjangkauan sarana dan fasilitas kesehatan serta kualitas pelayanannya. Sarana, fasilitas, dan tenaga kesehatan yang memadai akan mendukung terlaksananya pelayanan kesehatan yang baik. Berdasarkan tabel 21, terlihat bahwa jumlah dokter di Kecamatan Langensari hanya 1 orang dokter masih kurang jika dibandingkan dengan Kecamatan Pataruman yaitu 35 orang. Tabel 31 Banyaknya tenaga dan sarana kesehatan di Kota Banjar tahun 2006
Kecamatan Banjar Purwaharja Pataruman Langensari Kota Banjar Tenaga Kesehatan Dokter Perawat Bidan 7 3 35 1 46 12 4 184 14 214 13 5 31 9 58 Sarana Kesehatan Puskesmas Puskesmas Posyandu Pembantu 2 1 47 1 1 22 2 2 46 2 42 7 4 157

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Banjar Jumlah rumah tangga miskin di Kota Banjar sebanyak 10 908 rumah tangga, dimana Kecamatan Banjar merupakan daerah yang mempunyai jumlah rumah tangga miskin tertinggi yaitu 34.16%, sedangkan Kecamatan Purwaharja memiliki jumlah rumah tangga miskin terendah yaitu 10.96%. Jumlah rumah tangga miskin di suatu wilayah akan mempengaruhi kualitas gizi penduduk suatu wilayah. Jumlah rumah tangga miskin yang masih banyak akan mempengaruhi kualitas status gizi penduduk. Masalah kurang gizi akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses pemiskinan yaitu menyebabkan kelemahan fisik, menurunkan fungsi kognitif, dan menurunkan ekonomi keluarga (Bappenas 2006).

51

Tabel 32 Jumlah penduduk miskin dan rumah tangga miskin berdasarkan kecamatan Tahun 2005 di Kota Banjar Kecamatan Banjar Purwaharja Pataruman Langensari Kota Banjar Rumah tangga miskin Jumlah 3 726 1 195 3 566 2 421 10 908 Persen 34.16 10.96 32.69 22.19 100.00 Penduduk miskin Jumlah 12 708 3 917 11 020 8 455 36 100 Persen 35.20 10.85 30.53 23.42 100.00

Sumber : Pendataan Sosial Ekonomi tahun 2005, BPS 2005

Pendidikan yang rendah akan mengakibatkan pola asuh yang kurang, sehingga akan mempengaruhi kualitas status gizi anak. Selain itu, pendidikan yang rendah akan mempengaruhi pola konsumsi suatu keluarga. Apabila dibandingkan dengan penduduk laki-laki (20.52%), maka persentase penduduk perempuan yang tidak tamat SD/MI lebih banyak yaitu 25.61%. Persentase penduduk perempuan dengan yang penduduk menamatkan laki-laki. SLTP/MTS/Sederajat demikian, dan SMU/MA/Sederajat lebih rendah yaitu 15.89 persen dan 7.56 persen bila dibandingkan Dengan penduduk perempuan mempunyai kesempatan yang lebih rendah untuk sekolah atau mendapatkan pendidikan dibandingkan dengan laki-laki. Minimalnya sumberdaya perempuan yang berpendidikan tinggi memerlukan perhatian yang khusus dari Pemerintah Kota Banjar, karena ibu memegang peranan yang sangat penting dalam keluarga, termasuk pola asuh pada anak dan kualitas gizi keluarga. Semakin tinggi pengetahuan ibu, maka kualitas gizi keluarga akan semakin bagus. Tabel 33 Jumlah dan persentase penduduk 10 tahun ke atas di Kota Banjar menurut jenis kelamin dan pendidikan tertinggi yang ditamatkan
Pendidikan yang ditamatkan Laki-laki % 20.52 40.98 17.20 10.55 6.77 3.98 100.00 Perempuan Jumlah 18 207 30 562 11 301 5 378 3 138 2 516 71 105 % 25.61 42.98 15.89 7.56 4.41 3.55 100.00 Jumlah Tdk/Belum Tamat 14 313 SD/MI SD/MI 28 587 SLTP/MTS/Sederajat 12 000 SMU/MA/Sederajat 7 363 SM Kejuruan 4 724 Diploma I-IV/S1/S2/S3 2 774 Jumlah 69 761 Sumber : Suseda Kota Banjar 2006 Laki-laki dan perempuan Jumlah % 32 520 23.09 59 149 23 301 12 741 7 862 5 290 140 863 41.99 16.54 9.04 5.58 3.76 100.00

Sanitasi merupakan salah satu faktor yang juga mempengaruhi status gizi penduduk, sanitasi yang buruk akan berakibat mudahnya mengalami penyakit

52

infeksi yang akan menurunkan kualitas gizi seseorang. Umumnya rumah tangga miskin identik dengan sanitasi yang buruk. Tabel 34 menunjukkan bahwa dari seluruh rumah tangga miskin, hampir 76.12% masih menggunakan jenis air minum yang kurang bersih. Apabila dibedakan menurut kecamatan, Kecamatan Pataruman merupakan kecamatan yang tertinggi menggunakan jenis air yang kurang bersih yaitu 86.43 persen. Penggunaan air minum yang kurang bersih dapat menyebabkan seseorang terkena penyakit infeksi, seperti diare. Tabel 34 Persentase rumahtangga miskin menurut jenis air minum di Kota Banjar tahun 2005 Kecamatan Banjar Purwaharja Pataruman Langensari Kota Banjar
Sumber : PSE05 Kota Banjar

Jenis Air Minum Bersih Kurang Bersih 33.46 66.54 35.01 64.99 13.57 86.43 18.50 81.50 23.88 76.12

Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

Tabel 35 menunjukkan bahwa dari seluruh rumah tangga miskin, yang masih menggunakan kakus/jamban bersama yaitu sebanyak 77.21%. Kecamatan Pataruman dan Langensari merupakan kecamatan yang persentase penggunaan jamban/kakus tertinggi yaitu masing-masing 89 persen dan 87.65 persen. Hal ini menggambarkan sanitasi yang masih cukup rendah. Rendahnya sanitasi akan mengakibatkan mudahnya penduduk mengalami penyakit infeksi. Tabel 35 Persentase Rumahtangga Miskin Menurut Jenis Jamban/Kakus di Kota Banjar Tahun 2005 Kecamatan Jumlah Jenis Jamban/Kakus Sendiri Bersama Banjar 40.52 59.48 100.00 Purwaharja 23.18 76.82 100.00 Pataruman 11.00 89.00 100.00 Langensari 12.35 87.65 100.00 Kota Banjar 22.79 77.21 100.00 Sumber : PSE05 Target Konsumsi Pangan di Kota Banjar Proyeksi konsumsi pangan penduduk Kota Banjar dapat dilihat pada Tabel 36. Setiap tahunnya, jumlah pangan yang dibutuhkan untuk konsumsi semakin meningkat. Akan tetapi, khusus untuk kelompok pangan kacangkacangan, kebutuhannya semakin menurun untuk beberapa tahun ke depan. Hal ini terjadi karena tahun 2006, kontribusi energi kelompok pangan kacangkacangan sudah melebihi kontribusi ideal yang dianjurkan (> 5%).

53

Tabel 36 Proyeksi Konsumsi Pangan (kg/kapita/tahun) Penduduk Kota Banjar


Proyeksi Konsumsi Pangan (kg/kapita/tahun)1) 2006 2007 2008 2009 2010 2015 2020 Padi-Padian 77.2 78.7 80.2 81.6 83.1 90.3 97.6 Umbi-umbian 5.3 7.2 9.1 11.0 12.9 22.4 31.9 Pangan Hewani 49.0 49.1 49.1 49.2 49.2 49.4 49.7 Minyak dan Lemak 0.8 1.4 2.0 2.5 3.1 6.0 8.9 Buah/Biji berminyak 1.9 2.0 2.1 2.3 2.4 3.0 3.5 Kacang-kacangan 17.7 17.3 16.9 16.5 16.2 14.3 12.4 Gula 1.1 1.8 2.4 3.1 3.8 7.2 10.6 92.2 91.4 90.7 89.9 89.2 85.4 81.6 Sayur dan Buah 2.7 2.9 3.1 3.3 3.4 4.4 5.3 Lain-lain Untuk setiap komoditas dapat dilihat dalam Lampiran 12 Kelompok Pangan

1)

Proyeksi kebutuhan penyediaan pangan merupakan implikasi dari kebutuhan konsumsi pangan. Jumlah pangan yang dibutuhkan untuk dikonsumsi oleh penduduk berbeda dengan jumlah pangan yang harus disediakan oleh suatu wilayah. Jumlah pangan yang disediakan harus lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah yang akan dikonsumsi, dengan asumsi adanya pangan yang tercecer atau digunakan untuk hal-hal lain selain untuk dikonsumsi. Target Penyediaan Pangan di Kota Banjar Proyeksi kebutuhan penyediaan pangan ini merupakan jumlah pangan yang harus tersedia untuk mecukupi kebutuhan konsumsi pangan penduduk Kota Banjar beberapa tahun ke depan menuju harapan (Lampiran 13). Angka konversi 110% dari proyeksi kebutuhan konsumsi pangan merupakan angka save level yang memperhatikan kerusakan atau kehilangan dalam distribusi pangan (Martianto 2006). Proyeksi penyediaan pangan wilayah Kota Banjar (ton/tahun) yang dapat dilihat pada Tabel 27 menunjukkan bahwa proyeksi penyediaan pangan setiap tahunnya meningkat. Salah satu penyebabnya adalah meningkatnya laju pertumbuhan penduduk Kota Banjar setiap tahun. Tabel 37 Proyeksi penyediaan kebutuhan pangan wilayah Kota Banjar
Kelompok pangan Padi-Padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain 2006 14 353 993 9 108 150 355 3 283 199 17 129 500 Proyeksi penyediaan kebutuhan pangan (ton/tahun) 2007 2008 2009 2010 2015 2020 15 175 16 039 16 947 17 900 23 430 30 471 1 397 1 830 2 293 2 789 5 821 9 972 9 461 9 828 10 209 10 605 12 826 15 512 266 392 526 670 1 554 2 770 391 429 469 512 769 1 108 3 335 3 386 3 436 3 485 3 708 3 878 339 488 649 821 1 875 3 324 17 631 18 145 18 674 19 217 22 152 25 485 555 614 676 742 1 137 1 662

54

Kegiatan ekonomi Kota Banjar hampir 60 persen adalah sektor pertanian. Bahkan sektor pertanian juga merupakan salah satu lapangan pekerjaan utama penduduk Kota Banjar yang cukup diminati yaitu 21.89 persen (Suseda 2006). Hal ini dikarenakan masih banyaknya lahan pertanian yang mendominasi kawasan lahan di Kota Banjar. Lahan pertanian yang masih banyak idealnya akan menyediakan produksi pertanian yang cukup tinggi pula sehingga kebutuhan pangan penduduk dapat terpenuhi. Menurut Martianto et. al. 2006, meskipun jumlah pangan yang tersedia dalam suatu wilayah tercukupi, namun tidak menjamin bahwa setiap individu atau rumah tangga akan tahan pangan. Hal ini terkait dengan kemampuan masing-masing individu atau rumah tangga untuk mengakses bahan pangan tersebut. Kemampuan daya beli merupakan salah satu faktor yang dapatmendukung seseorang untuk mendapatkan bahan pangan dengan mudah. pendapatan penduduk. Oleh karena itu, pemerintah perlu memperhatikan kemampuan daya beli setiap penduduk yaitu salah satunya peningkatan

Causal Model Masalah Pangan dan Gizi Kota Banjar


Penyebab utama masalah kurangnya konsumsi pangan dan kurang gizi penduduk Kota Banjar adalah pendapatan yang rendah, pendidikan dan pengetahuan tentang gizi yang rendah, dan kemiskinan. Masalah pokok pangan dan gizi 1. Penyebab langsung kurang gizi, Berdasarkan hasil pendataan Dinas Kesehatan Kota Banjar tahun 2006, dari jumlah balita/balita di Kota Banjar yaitu 19078 jiwa, yang mengalami gizi buruk sebanyak 193 jiwa (1.01%) dan yang mengalami gizi kurang sebanyak 1022 jiwa (5.36%) yaitu: a. Asupan energi di Kota Banjar masih dibawah 70% Angka Kecukupan Gizi (AKG) Regional Kota Banjar, yaitu konsumsi energi sebesar 1210 kkal/kap/hari (62.2%) b. Skor PPH Kota Banjar 2006 belum mencapai standar ideal yaitu 65. c. Prevalensi penduduk Kota Banjar yang mengalami keluhan kesehatan pada tahun 2006 sebesar 29.39% d. Tahun 2006 ini jumlah tenaga kesehatan dokter sebanyak 46 orang, perawat 214 orang dan tenaga bidan sebanyak 58 orang tersebar di seluruh kecamatan. Sedangkan jumlah puskesmas mencapai 7 unit, puskesmas pembantu 4 unit, dan posyandu sebanyak 157 unit.

55

2. Penyebab tidak langsung terhadap masalah kurang gizi di Kota Banjar antara lain karena: a. Ketersediaan pangan tingkat rumah tangga yang tidak mencukupi. Faktor penyebab tidak langsung kurangnya ketersediaan pangan tingkat rumah tangga yaitu akses pangan yang masih kurang karena Pendapatan dan daya beli penduduk yang masih rendah, khususnya bagi rumah tangga miskin yang berjumlah 10 908 KK (24.56%) b. Pola asuh anak kurang baik, yang disebabkan oleh jumlah dan persentase penduduk 10 tahun ke atas masih banyak yaitu penduduk yang berpendidikan tidak tamat SD sebanyak 32520 jiwa (23.09 %) dan tamat SD 59149 jiwa (41.99%) c. Kurangnya hygiene dan sanitasi di tingkat rumah tangga Di Kota Banjar, terdapat sebanyak 77.21 persen rumah tangga miskin yang memiliki fasilitas tempat buang air besar bersama/umum, sedangkan sisanya sebanyak 22.79 persen memiliki fasilitas tempat buang air besar sendiri. Rumah tangga miskin di Kota Banjar dengan sumber air minum kurang bersih sebanyak 76.12 persen, sedangkan sisanya sebanyak 23.88 persen memiliki sumber air minum bersih. Causal Model Status gizi masyarakat Kota Banjar yang bisa dilihat dari prevalensi balita yang gizi kurang dan buruk dipengaruhi oleh dua faktor penyebab langsung yaitu konsumsi pangan dan penyakit infeksi. Rendahnya konsumsi pangan Kota Banjar yang tercermin dari skor PPH sebesar 65 (masih jauh di bawah standar minimal nasional yaitu 80). Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya tingkat pendidikan rata-rata yang masih rendah yaitu prevalensi penduduk di atas 10 tahun yang tidak/belum tamat SD masih tinggi sebesar 23.09%, ketersediaan pangan, keamanan pangan, daya beli dan pola asuh yang juga masih rendah. Faktor-faktor tersebut secara umum masih berada di bawah standar ideal. Tingkat ketersediaan pangan yang masih rendah dipengaruhi oleh produksi pertanian, cadangan pangan wilayah dan rumah tangga serta ekspor-impor yang tidak sesuai dengan kebutuhan wilayah. Ketersediaan pangan dipengaruhi oleh besarnya produksi pertanian, cadangan pangan wilayah dan rumah tangga, dan laju ekspor impor beras. Ketersediaan pangan Kota Banjar hanya dapat dilihat

56

dari produksi pangan yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan keterbatasan data ketersedian pangan yang tersedia di Kota Banjar, khususnya data ekspor impor. Penyakit infeksi dipengaruhi oleh sanitasi lingkungan dan pelayanan kesehatan. Secara umum pelayanan kesehatan di Kota Banjar sudah baik, terlihat dari pelayanan kesehatan gratis di semua puskesmas di Kota Banjar. Akan tetapi prevalensi rumah tangga miskin yang masih cukup tinggi menyebabkan sanitasi lingkungan yang masih relatif rendah. Sanitasi lingkungan penduduk yang rendah mengakibatkan prevalensi penduduk yang mengalami keluhan kesehatan (penyakit infeksi) masih tinggi yaitu sebesar 29.39%. Secara umum, situasi pangan dan gizi wilayah Kota Banjar sangat terkait dengan keberadaan kelembagaan pangan dan gizi di wilayah Kota Banjar, sebagai pembuat kebijakan yang sangat menentukan program pangan dan gizi menuju ketahanan pangan daerah berbasis sumberdaya lokal. Situasi pangan dan gizi Kota Banjar berdasarkan Causal Model masalah pangan dan gizi dapat di lihat pada bagan Causal model dalam Lampiran 14. Kondisi Umum Aspek Kebijakan dan Program Pemantapan ketahanan pangan yang ingin diwujudkan oleh pemerintahan Kota Banjar berdasarkan Renstra Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan, Kehutanan, dan Perkebunan Kota Banjar (program kerja bidang ketahanan pangan dan penyuluhan) yaitu mewujudkan ketahanan pangan pangan rumah tangga, yang tentunya secara kumulatif akan menopang ketahanan pangan Kota Banjar. Sehubungan dengan itu, strategi yang dikembangkan dalam upaya pemantapan ketahanan pangan adalah: 1) Pengembangan kapasitas produksi pangan melalui rehabilitas kemampuan dan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam (lahan, air dan perairan) 2) Peningkatan keberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam keseluruhan sistem ketahanan pangan, melalui berbagai bentuk kerja sama dan kemitraan usaha 3) Pengembangan dan peningkatan intensitas jaringan kerja sama lintas pelaku, lintas wilayah, dan lintas waktu dalam suatu sistem koordinasi guna mensinergiskan kebijakan, program, dan kegiatan pemantapan ketahanan pangan 4) Penintgkatan efektivitas dan kualitas kinerja pemerintahan dalam memfasilitasi masyarakat berpartisi pasi dalam pemantapan ketahanan pangan 5) Pengembangan agribisnis pangan yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi.

57

Tujuan program ketahanan pangan di Kota Banjar adalah untuk meningkatkan keanejaragaman produksi, ketersediaan, dan konsumsi pangan bersumber pada pangan asal ternak, ikan, tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, kehutanan beserta produk-produk olahannya. Selain itu, tujuan program ketahanan pangan untuk mengembangkan kelembagaan pangan yang menjamin peningkatan produksi, serta konsumsi yang lebih beragam, mengembangkan usaha bisnis pangan, menjamin ketersediaan gizi pangan bagi masyarakat, dan optimalisasi pemanfaatan sumber daya. Sasaran dari kebijakan dan program ini adalah 1) Meningkatkan produksi pangan yang berbasis pada sumberdaya lokal, guna mempertahankan standar kecukupan ketersediaan energi perkapita minimal 2 550 kkal/hari, dan ketersediaan protein perkapita minimal 55 gram/hari dengan proporsi protein hewani 25% 2) Meningkatnya kemampuan pengelolaan cadangan pangan masyarakat 3) Meningkatnya jangkauan jaringan distribusi dan pemasaran pangan yang berkeadilan keseluruh bagi produsen dan konsumen 4) Meningkatnya kemampuan pemanfaatan dan konsumsi pangan perkapita untuk memenuhi kecukupan energi 2 200 kkal/hari dan protein 50 ggram/hari dengan proporsi protein hewani 25% 5) Meningkatnya kemampuan pemerintah dan masyarakat dalam mengenali dan mengantisipasi secara dini masalah kerawanan pangan dan keamanan pangan. Kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan meliputi a) Pembinaan Ketahanan pangan masyarakat Kota Banjar b) Peningkatan kelembagaan tani meleluia pemberian Bantuan Modal Usaha Ekonomi Produktif (LUEP) c) Peningkatan ketahanan pangan melalui pangadaan sarana dan prasarana pertanian d) Pendampingan kegiatan SPFS e) Kegiatan Penigkatan Pendapatan Petani Kecil (P4K) f) Diversifikasi Pangan g) Pengembangan lahan pekarangan h) Pengembangan SPFS i) Kegiatan Pra Mandiri Pangan j) Pemantapan Dewan Ketahanan Pangan k) Peringatan Hari Pangan Sedunia (Promosi Pangan lokal). Kondisi Umum dan Permasalahan Aspek Penelitian, Teknologi, Kelembagaan dan keterlibatan Swasta Kota Banjar yaitu sebagai berikut: 1. Belum adanya alat ukur keberhasilan konsumsi pangan Kota Banjar. PPH yang biasanya digunakan sebagai alat ukur belum dijadikan sebagai acuan dalam perencanaan konsumsi pangan dan gizi 2. Kelembagaan yang secara khusus menangani bidang ketahanan pangan belum ada. Dewan Ketahanan pangan Kota Banjar belum dibentuk,

58

bidang ketahanan pangan Kota Banjar sementara ini masih berada di bawah Dinas Pertanian Kota Banjar. 3. Belum optimalnya kemitraan pemerintah kota dengan swasta/industri dan Lembaga Swadaya Masyarakat serta belum maksimalnya peran berbagai stakeholder di luar pemerintahan. Rekomendasi Kebijakan Pangan dan Gizi Kota Banjar Berdasarkan kondisi dan permasalahan ketahanan pangan dan gizi di Kota Banjar, maka studi ini merekomendasikan beberapa hal yaitu sebagai berikut: 1. Peningkatan status gizi dan kesehatan masyarakat Kebijakan yang mendorong terjadinya peningkatan status gizi masyarakat dan perilaku hidup sehat yaitu melalui peningkatan pengetahuan gizi dan kesehatan pada masyarakat. Selain itu, dibuat kebijakan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan baik sarana ataupun tenaga kesehatan bagi seluruh masyarakat Kota Banjar. Berikut ini program-program yang mendorong peningkatan status gizi dan kesehatan masyarakat, yaitu melalui: a. Pengembangan Isyarat dini dan penangggulangan keadaan rawan pangan dan gizi (SKPG) b. Revitalisasi posyandu dan puskesmas c. Menyediakan fasillitas pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau khususnya bagi rumah tangga miskin d. Penambahan tenaga kerja kesehatan yang terlatih hingga tingkat pedesaan e. Peningkatan pendidikan dan pengetahuan tentang perilaku hidup sehat, sanitasi, dan penyakit 2. Peningkatkan Kuantitas dan Kualitas Konsumsi Pangan Penduduk serta Melaksanakan Diversifikasi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal Perlunya kebijakan dalam rangka meningkatkan jumlah konsumsi pangan berbasis sumberdaya lokal yaitu untuk kelompok jenis umbi-umbian (ubi jalar, ubi kayu, dan ganyong), kelompok protein hewani (daging sapi, domba, kambing, ayam, dan telur), sayuran dan buah-buahan (bayam, labu siam, alpukat, jeruk, jambu biji, jambu air, dan pepaya) agar tercapai Angka Kecukupan Energi yang sesuai ideal 2 000 kkal/kap/hari. Selain jumlah yang cukup, kualitas pangan yang dikonsumsi penduduk perlu diperhatikan.

59

Semakin beragam jenis pangan yang dikonsumsi, maka semakin baik kualitas gizi seseorang. Pelaksanaan program diversifikasi pangan perlu dilakukan mengingat masih rendahnya skor PPH Kota Banjar (masih rendahnya keragaman konsumsi pangan). Upaya yang dapat dilakukan antara lain melalui: a. Peningkatan sosialisasi keanekaragaman pangan (diversifikasi pangan) yang berkualitas misalnya kampanye Aku Cinta Makanan Indonesia yang beragam, bergizi dan berimbang (3B). b. Pengembangan teknologi pengolahan dan penyajian pangan lokal, khususnya untuk umbi-umbian dan pisang yang produksinya cukup banyak di Kota Banjar. Peningkatan nilai tambah dan status sosialekonomi komoditas ini perlu dilakukan untuk meningkatkan demand dari konsumen. Misalnya pengolahan pisang menjadi tepung pisang yang selanjutnya dibuat jenis olahan pangan baru. Hasil olahan pangan baru ini diharapkan mampu menjadi pangan lokal Kota Banjar 3. Peningkatan Kemudahan dan Kemampuan Akses Pangan Rumah Tangga Terhadap Pangan Setiap rumah tangga memiliki kemampuan yang berbeda dalam memenuhi kebutuhan akan pangan. Rumah tangga miskin dengan pendapatan yang rendah akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan dibandingkan rumah tangga yang tidak miskin. Oleh karena itu, pemerintah pemerintah Kota Banjar perlu membuat suatu kebijakan yang dapat menjamin setiap rumah tangga dapat mengakses pangan yang tersedia. Berikut ini beberapa upaya yang perlu dilakukan oleh pemerintahan Kota Banjar, yaitu: (a) Kestabilan harga pangan pokok agar bisa terjangkau oleh setiap rumah tangga; (b) Peningkatan efisiensi dan efektivitas program Rakyat miskin (Raskin) sehingga tepat sasaran. Mengingat beras adalah pangan pokok yang paling banyak di konsumsi oleh penduduk Kota Banjar, maka prioritas utama pemerintah adalah menjamin agar setiap rumah tangga dan individu mampu mengakses beras dalam jumlah yang mencukupi. 4. Peningkatan pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan gizi dan pola asuh keluarga, khususnya pendidikan untuk perempuan melalui program: a. Pendidikan gizi berupa penyuluhan dan kampanye di sekolah, kelompok pengajian, PKK, karang taruna, dan sebagainya

60

b. Pemanfaatan lahan pekarangan untuk peningkatan gizi keluarga c. Peningkatan keluarga sadar gizi 5. Pemantapan ketersediaan pangan melalui produksi Peningkatan produksi beberapa jenis pangan lokal terutama kelompok pangan hewani (itik, kambing, domba, dan ayam), kelompok umbi-umbian (ubi kayu dan ubi jalar), dan kelompok sayuran (kacang panjang, labu siam, dan bayam) dan buah-buahan (alpukat, jeruk, jambu, dan pepaya). Program yang dapat dilakukan yaitu melalui: a. Pengembangan dan penyediaan benih, bibit unggul dan alsintan b. Pengembangan permodalan yang kondusif bagi petani c. Peningkatan Efisiensi penanganan pasca panen dan pengolahan d. Penguatan penyuluhan, kelembagaan petani dan kemitraan 6. Pemantapan dan Pengembangan Kelembagaan Pangan dan Gizi Kelembagaan pangan dan gizi sangat berperan dalam mengkoordinir seluruh sektor yang terkait dalam pembangunan pangan dan gizi. Oleh karena itu, perlunya suatu kebijakan pemantapan atau penguatan kelembagaan ketahanan pangan (menjadikannya suatu badan) agar program yang mengarah pada pembangunan ketahanan pangan dapat berjalan optimal dan tepat sasaran. Berikut ini kegiatan yang dikoordinir oleh kelembagaan pangan dan gizi, yaitu: a. Pengumpulan, pengolahan, analisis data pangan dan gizi (Data konsumsi dan ketersediaan) b. Advokasi hasil analisis data pangan dan gizi kepada pejabat berwenang c. Penyusunan kebijakan pembangunan ketahanan pangan

d. Peningkatan kerjasama institusi pendidikan, lembaga penelitian di bidang


pangan dan gizi Tabel 38 menunjukan masalah pangan dan gizi, kebijakan/program Kota Banjar yang sudah dibuat, serta rekomendasi kebijakan/program, indikator dan stakeholder.

61

Tabel 41 Masalah pangan dan gizi, kebijakan Kota Banjar yang sudah dibuat, serta rekomendasi kebijakan/program, indikator dan Sakeholder
No 1. Masalah Pangan dan Gizi Masih banyaknya jumlah bayi/balita yang mengalami gizi kurang dan buruk, yaitu yang mengalami gizi buruk sebanyak 193 jiwa (1.01%) dan yang mengalami gizi kurang sebanyak 1022 jiwa (5.36%) Prevalensi penduduk Kota Banjar yang mengalami keluhan kesehatan pada tahun 2006 sebesar 29.39% Kebijakan /program yang sudah ada Rekomendasi Kebijakan/program Peningkatan upaya pemeliharaan, perlindungan, keselamatan, peningkatan kesehatan dalam rangka peningkatan status kesehatan dan status gizi terutama miskin dan kelompok rentan; Peningkatan upaya pencegahan dan penyembuhan penyakit menular dan tidak menular terutama untuk percepatan penurunan kematian ibu dan bayi; Peningkatan upaya pemenuhan kecukupan dan profesionalisme serta daya saing petugas kesehatan melalui peningkatan mutu dan profesionalisme sumber daya manusia dan pelatihan (teknis, manajemen dan komunikasi) petugas kesehatan; Peningkatan lingkungan sehat kecamatan, desa dan permukiman kumuh padat dan miskin, serta perlindungan kesehatan keluarga miskin termasuk ketersediaan air bersih dan jamban keluarga. Peningkatan status gizi masyarakat, dengan melaksanakan program: 1. Pengembangan Isyarat dini dan penangggulangan keadaan rawan pangan dan gizi (SKPG) 2. Revitalisasi posyandu Peningkatan status gizi dan kesehatan masyarakat, dengan melaksanakan program: 1. Menyediakan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau khususnya bagi keluarga miskin 2. Penambahan tenaga kerja kesehatan yang terlatih hingga tingkat pedesaan Peningkatan status gizi dan kesehatan masyarakat, dengan melaksanakan program: 1. Menyediakan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau khususnya bagi keluarga miskin 2. Penambahan tenaga kerja kesehatan yang terlatih hingga tingkat pedesaan Peningkatan status gizi dan kesehatan masyarakat, melalui program : Peningkatan pendidikan dan pengetahuan tentang perilaku hidup sehat, sanitasi, dan penyakit Rekomendasi Indikator 1. Menurunnya persentase keluarga yang rawan pangan da gizi 2. Meingkatnya posyandu yang aktif 1. Menurunnya prevalensi penduduk yang mengalami keluhan kesehatan 2. Meningkatnya tenaga kerja yang terlatih di tiap desa 1. Menurunnya prevalensi penduduk yang mengalami keluhan kesehatan 2. Meningkatnya tenaga kerja yang terlatih di tiap desa Stakeholder Dinas Kesehatan dan Dinas Pertanian Dinas pertanian dan Dinas kesehatan

2.

3..

4.

Tahun 2006 ini jumlah tenaga kesehatan dokter sebanyak 46 orang, perawat 214 orang dan tenaga bidan sebanyak 58 orang tersebar di seluruh kecamatan. Sedangkan jumlah puskesmas mencapai 7 unit, puskesmas pembantu 4 unit, dan posyandu sebanyak 157 unit. Kurangnya sanitasi di tingkat rumah tangga, khususnya keluarga miskin

Dinas Kesehatan

Meningkatnya perilaku hidup sehat di masyarakat, khususnya keluarga miskin

Dinas Kesehatan

61

62

No 5

6.

Masalah Kebijakan /program yang sudah ada Pangan dan Gizi Konsumsi pangan yang masih 1. Meningkatnya kemampuan rendah, baik jumlah maupun pengelolaan cadangan pangan jenisnya. masyarakat 1. Asupan energi di Kota Banjar 2. Meningkatnya kemampuan masih dibawah 70% Angka pemanfaatan dan konsumsi pangan Kecukupan Gizi (AKG) perkapita untuk memenuhi kecukupan Regional Kota Banjar, yaitu energi 2 200 kkal/hari dan protein 50 konsumsi energi sebesar 1210 ggram/hari dengan proporsi protein kkal/kap/hari (62.2%) hewani 25% 2. Keragaman pangan masih kurang tercermin dari skor PPH Kegiatan yang akan dilaksanakan yaitu: Kota Banjar 2006 masih Diversifikasi Pangan dan Peringatan rendah yaitu 65 Hari Pangan Sedunia (Promosi Pangan 3. Konsumsi protein hewani, lokal) sayur dan buah rendah Masih kurangnya kesadaran 1) Peningkatan perluasan dan masyarakat terhadap masalah gizi pemerataan pendidikan dasar yang dan pola asuh anak kurang baik, berkualitas; yang disebabkan oleh: masih 2) Peningkatan perluasan dan banyak penduduk yang pemerataan pendidikan menengah berpendidikan tidak tamat SD yaitu yangberkualitas; 32520 (23.09 %) dan tamat SD 3) Peningkatan kerjasama dengan 59149 (41.99%). perguruan tinggi, swasta dan dunia industri; 4) Peningkatan kualitas maupun kuantitas lembaga pendidikan anak usia dini. Akses pangan masih kurang di tingkat rumah tangga karena pendapatan dan daya beli penduduk yang masih rendah, khususnya bagi rumah tangga miskin yang berjumlah 10 908 KK (24.56%) Peningkatkan ketersediaan, distribusi dan konsumsi pangan dalam mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga. Untuk mencapai keadaan tersebut secara operasional dilakukan melalui program Peningkatan Ketahanan Pangan.

Rekomendasi Rekomendasi Kebijakan/Program Indikator Peningkatkan kuantitas dan kualitas konsumsi 1. Tingginya pemahaman pangan penduduk serta melaksanakan masyarakat akan pentingnya Diversifikasi Pangan berbasis sumberdaya konsumsi pangan yang lokal, dengan melaksanakan program: beragam, bergizi, dan a. Peningkatan sosialisasi keragaman seimbang (3B) pangan(diversifikasi pangan) yang 2. Tetap terjaganya keragaman berkualitas misalnya kampanye Aku Cinta konsumsi pangan yang Makanan Indonesia yang beragam, bergizi seimbang dan berimbang (3B) b. Pengembangan teknologi pengolahan dan penyajian pangan lokal

Stakeholder Dinas Pertanian dan Dinas Kesehatan

Peningkatan pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat, khususnya pendidikan untuk perempuan melalui program: 1. Pendidikan gizi berupa penyuluhan dan kampanye di sekolah, kelompok pengajian, PKK, karang taruna, dan sebagainya 2. Pemanfaatan lahan pekarangan untuk peningkatan gizi keluarga 3. Peningkatan keluarga sadar gizi

7.

Peningkatan kemudahan dan kemampuan akses pangan rumah tangga terhadap pangan, yaitu melalui: 1. Kestabilan harga pangan pokok agar bisa terjangkau oleh setiap rumah tangga 2. Peningkatan efisiensi dan efektivitas program Beras miskin (Raskin)

1. Menurunnya persentase masyarakat yang tidak tamat sekolah 2. Meningkatnya jumlah kelompok di masyarakat yang mendiskusikan masalah pangan dan gizi 3. Meningkatnya jumlah keluarga yang memanfaatkan pekarangan untu memenuhu kebutuhan pangan keluarga 4. Meningkatnya presentase keluarga sadar gizi Distribusi pangan bersubsidi yang efisien dan tepat sasaran

Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, PKK

Bulog, Dinas Pertanian, LSM

62

63

No 8.

Masalah Pangan dan Gizi Ketersediaan kelompok pangan umbi-umbian, pangan hewani, sayur dan buah-buahan di wilayah Kota Banjar masih kurang yang dapat dilihat dari rendahnya jumlah produksi.

Kebijakan /program yang sudah ada Pengembangan kapasitas produksi pangan melalui rehabilitas kemampuan dan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam (lahan, air dan perairan)

9.

Lembaga/unit kerja struktural Ketahanan Pangan Kota Banjar belum ada (masih berada di bawah Dinas Pertanian Kota Banjar) dan keterbatasan data-data mengenai pangan dan gizi.

Pengembangan dan peningkatan intensitas jaringan kerja sama lintas pelaku, lintas wilayah, dan lintas waktu dalam suatu sistem koordinasi guna mensinergiskan kebijakan, program, dan kegiatan pemantapan ketahanan pangan

Rekomendasi Rekomendasi Kebijakan/Program Indikator Meningkatnya produksi Menjamin Ketersediaan Pangan Kota Banjar kelompok pangan umbi-umbian, melalui program: 1. Pengembangan dan penyediaan benih, pangan hewani, sayur dan buah-buahan di Kota Banjar bibit unggul dan alsintan 2. Pengembangan permodalan yang kondusif bagi petani 3. Peningkatan Efisiensi penanganan pasca panen dan pengolahan 4. Penguatan penyuluhan, kelembagaan petani dan kemitraan Terbentuknya Dewan Pemantapan dan pengembangan Ketahanan Pangan Kota Banjar kelembagaan pangan dan gizi melalui dan tersedia data pangan dan program : 1. Pembentukan Dewan Ketahanan Pangan gizi terutama data konsumsi, Kota Banjar ketersediaan, dan harga) 2. Pengumpulan, pengolahan, analisis data pangan dan gizi (data konsumsi dan ketersediaa 3. Advokasi hasil analisis data pangan dan gizi kepada pejabat berwenang

Stakeholder Dinas Pertanian, LSM

DRRD, Dinas Pertanian, Sekretaris Daerah, Asisten Daerah, dan Badan Kepegawaian

63

64

KESIMPULAN DAN SARAN


KESIMPULAN Tingkat konsumsi energi penduduk Kota Banjar yaitu sebesar 1 210 kkal/kapita/hari atau 62.2% dari AKE kota Banjar 1985 kkal/kapita/hari. Apabila dibedakan berdasarkan status ekonomi yaitu rumah tangga miskin dan tidak miskin, maka dapat diketahui bahwa tingkat konsumsi pangan penduduk rumah tangga tidak miskin Kota Banjar masih kurang jika dibandingkan dengan AKE Kota Banjar yang dianjurkan yaitu sebesar 1 251 kkal/kapita/hari atau 64.4% dari AKE Kota Banjar. Tingkat konsumsi energi untuk penduduk rumah tangga miskin juga masih di bawah AKE yang dianjurkan yaitu sebesar 1 170 kkal/kapita/hari atau 60.2% dari AKE Kota Banjar. Kota Banjar mempunyai skor PPH sebesar 65.0, dengan kata lain skor PPH kota Banjar masih jauh di bawah kondisi ideal (100). Salah satu sasaran ketahanan pangan dalam Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009 yang akan dicapai yaitu peningkatan kualitas konsumsi dengan skor PPH minimal 80 (DKP 2006). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa skor PPH kota Banjar masih belum sesuai dengan sasaran Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 20062009. Apabila PPH kota Banjar ingin mencapai kondisi ideal (100) pada tahun 2020, maka bila dilakukan proyeksi perlu dilakukan peningkatan skor PPH ratarata sebesar 2.5 poin setiap tahunnya. Masalah kemiskinan, pendapatan rendah, pendidikan rendah merupakan beberapa penyebab ketidaktahanan pangan rumah tangga. Sulitnya memperoleh akses bagi keluarga miskin menyebabkan rumah tangga miskin mengalami rawan pangan. Selain itu kurangnya kerjasama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat menyebabkan belum terwujudnya ketahanan pangan di Kota Banjar. Perumusan kebijakan pangan dan gizi yang tepat serta pembentukan suatu badan khusus ketahanan pangan akan membantu peningkatan ketahanan pangan di kota Banjar. Kebijakan ketahanan pangan yang dirumuskan mencakup seluruh aspek ketahanan pangan, yaitu kebijakan dalam aspek ketersediaan, aspek konsumsi pangan, aspek distribusi dan aspek status gizi.

65

SARAN Upaya pengentasan kemiskinan di Kota Banjar harus terus dilakukan sebagai salah satu cara dalam upaya perbaikan konsumsi pangan penduduk. Selain itu peningkatan pendapatan juga perlu terus dilakukan khususnya pada penduduk miskin agar dapat meningkatkan akses konsumsi pangan yang bergizi dan berimbang. Pembentukan suatu badan ketahanan pangan di Kota Banjar perlu dilakukan untuk mengkoordinir seluruh sektor yang terkait dalam pembangunan ketahanan pangan. Pelengkapan data yang mendukung kebijakan pangan harus dilakukan agar program kebijakan pangan dan gizi dapat berjalan lancar dan tepat sasaran. Perlunya penelitian mengenai pola ketersediaan dari berbagai segi (produksi, ekspor, impor dan stok) di kota Banjar untuk mengetahui pangan yang tersedia secara aktual dalam menentuka pembangunan ketahanan pangan Kota Banjar

66

DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin, N., A.B. Tawali. 2004. Pengembangan Ketahanan Pangan Berbasis Potensi Lokal : Kasus Di Sulawesi Selatan dalam Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta: BPS, Depkes, Badan POM, Bappenas, Deptan, RISTEK, Persagi, Pergizi-Pangan, PDGMI Ariani M. 2005. Penguatan Ketahanan Pangan Daerah Untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional dalam Penguatan Ketahanan Pangan Rumah Tangga dan Wilayah sebagai Basis Ketahanan Pangan Nasional. Bogor : Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. [BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2002. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2002 Tentang Ketahanan Pangan. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan-Departemen Pertanian. [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2006. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006-2010. Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. Banjar: BPS. 2005. Kota Banjar dalam angka tahun 2005.

,Badan Perencanaan Daerah. 2005. Indeks Pembangunan Manusia Kota Banjar Tahun 2005. Banjar: BPS. Bapeda , Badan Perencanaan Daerah. 2005. Penduduk Miskin dan Indeks Kemahalan Konstruksi di Kota Banjar Tahun 2005. Banjar: BPS. Bapeda [Dintan] Dinas Pertanian, ketahanan pangan, perkebunan, dan kehutanan. 2005. Laporan tahunan dinas pertanian tahun 2005. Banjar: Dinas Pertanian. ,Dinas Pertanian, ketahanan pangan, perkebunan, dan kehutanan. 2005. Program Kerja dinas pertanian, ketahanan pangan, perkebunan, dan kehutanan 2007. Banjar: Dinas Pertanian. Departemen Pertanian. 2006. Peta Kerawanan Pangan Indonesia. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan-Departemen Pertanian. [DKP] Dewan Ketahanan Pangan. 2002. Hasil Konferensi Dewan Ketahanan Pangan 2002. Jakarta :Sekretariat Dewan Ketahanan pangan. . 2006. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009. Jakarta : Dewan Ketahanan Pangan. Gibson, R.S. 1990. Principles of Nutritional Assessment. Oxpord: Oxpord University Press.

67

Gsianturi. 2003. Arti Strategis Neraca Bahan Pangan Regional. http://www.suarapembaruan.com/News/2003/07/08/index.html. [21 April 2007] Hardinsyah, Y.F. Baliwati, D. Martianto, H.S. Rachman, A. Widodo, & Subiyakto. 2001. Pengembangan Konsumsi Pangan dengan Pendekatan Pola Pangan Harapan. Bogor: Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG)-IPB dan Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan, Badan Bimas Ketahanan Pangan (BKP)-Departemen Pertanian. Hariyadi P. 2003. Pengindustrian Aneka Ragam Pangan: Menuju Ketahanan Pangan Nasional Berbasis Sumberdaya Indigenus dalam Penganekaragaman Pangan (Prakarsa Swasta dan Pemerintahan Daerah). Jakarta: Forum Kerja Penganekaragaman Pangan. Pusat Konsumsi dan Keamanan Pangan & Departemen Gizi Masyarakat. 2006. Analisis Kebutuhan Konsumsi Pangan. Bogor : Departemen Gizi Masyarakat, IPB. Rachman HPS., Mewa Ariani&T.B. Purwantini. 2005. Distribusi Provinsi di Indonesia Menurut Derajat Ketahanan Pangan Rumah Tangga dalam Penguatan Ketahanan Pangan Rumah Tangga dan Wilayah sebagai Basis Ketahanan Pangan Nasional. Bogor : Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Sastraatmadja, Entang. 2006. Untukmu Dewan Ketahanan Pangan. Bandung : Masyarakat geografi Indonesia. Suryana, A. 2001. Tantangan dan Kebijakan ketahanan pangan. Dalam Pemberdayaan masyarakat untuk mencapai ketahanan pangan dan pemulihan ekonomi (Ed) Hardinsyah, A. Rahardjo, D. Martianto, M.N. Andrestian. Jakarta : Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi, Agrindo Aneka Consult. . 2003. Refleksi 40 Tahun dan Perspektif Penganekaragaman Pangan dalam Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional dalam Penganekaragaman Pangan (Prakarsa Swasta dan Pemerintahan Daerah). Jakarta: Forum Kerja Penganekaragaman Pangan. Syarief, H. 1992. Metode Statistik untuk Pangan dan Gizi Masyarakat. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.

Lampiran 1 Peta Kota Banjar

Lampiran 2 Luas Lahan Sawah Menurut Jenis Pengairan Di Kota Banjar Tahun 2006 Jenis irigasi (ha) Kecamatan Teknis Semi teknis Tadah hujan Banjar 559 Purwaharja 492 47 Pataruman 181 216 373 Langensari 1279 169 Total 1 952 263 1 101

Lampiran 3 Produksi padi palawija dan laju produksi menurut jenis tanaman di Kota Banjar tahun 2005 dan 2006
Jenis tanaman Padi Sawah Padi Gogo Jagung Kedelai Kacang Tanah Kacang Hijau Ubi kayu Ubi Jalar Sorgum Talas Ganyong Irut Produksi (ton/tahun) 2005 2006 32 818 34 875 581 64 1 288 782 118 38 586 170 22 488 265 3 530 503 353 5 24 40 21 Laju produksi (%) 6.3 -89.0 -39.3 -67.8 -71.0 2 118.2 1 232.1 -29.8 -

Lampiran 4 Luas Lahan Bukan Sawah Menurut Penggunaan Lahan di Kota Banjar Tahun 2006 Penggunaan lahan (ha) Kecamatan Pekarangan/tanah Tegal/kebun/ladang Kolam/tambak bangunan Banjar 135 98 60 Purwaharja 78 278 17 Pataruman 946 1 526 89 Langensari 761 657 42 Total 1 920 2 559 208

Lampiran 5 Produksi dan laju produksi sayuran menurut jenis tanaman di Kota Banjar tahun 2005 dan 2006
Jenis tanaman Bawang merah Bawang putih Bawang daun Kentang Kubis Kembang kol Petsai Wortel Lobak Kacang merah Kacang panjang Cabe merah Cabe rawit Jamur Tomat Terong Buncis Ketimun Labu siam Kangkung Bayam Melinjo Petai 2005 1.8 40 15 46.9 227.5 7.6 9.1 122.3 1.3 219.4 8.1 68.7 1.8 51.8 28.3 8.3 85.8 Produksi (ton) 2006 7.6 20 151.3 142 30 36.6 2.4 29.3 9 408.4 135 184.9 110.8 13.8 787.3 Laju 322.2 -50.0 222.6 -37.6 294.7 302.2 -98.0 -86.6 11.1 494.5 7400.0 256.9 291.5 66.3 817.6

Lampiran 6 Produksi dan laju produksi buah-buahan menurut jenis tanaman di Kota Banjar tahun 2005 dan 2006
Produksi (ton) 2005 2006 Laju Alpukat 3 852.8 221.7 -94.2 Belimbing 322.5 11.7 -96.4 Dukuh 3 884.0 45.6 -98.9 Durian 163.0 428.9 163.1 Jambu biji 664.3 322.9 -51.4 Jambu air 120.0 198 65.0 Jeruk siam 4.1 19.9 385.4 Jeruk besar 0.3 1.0 233.3 Mangga 42.6 1 819.1 4 170.2 Manggis 0.0 0.0 0.0 Nangka 5 193.2 658.5 -87.3 Nenas 39.3 28.0 -28.8 Pepaya 8 132.9 110.0 -98.6 Pisang 85 073.9 26 825.8 -68.5 Rambutan 4 211.1 3 498.1 -16.9 Salak 10 474.9 44.2 -99.6 Sawo 7 297.2 150.1 -97.9 Markisa 0.0 0.0 0.0 Sirsak 542.5 20.0 -96.3 Sukun 593.8 70.4 -88.1 Melon 0.0 0.2 0.0 Sumber : Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan, Perkebunan dan Kehutanan Kota Banjar Jenis tanaman

Lampiran 7 Energi kelompok pangan buah-buahan (kkal/kap/hari) menurut kecamatan di Kota Banjar tahun 2006
Kecamatan Banjar Purwaharja Pataruman Langensari Total Energi (kkal/kapita/hari) Alpukat Durian Jambu Jambu Mangga Nangka Pepaya Pisang Rambutan Sawo biji air 1 1 0 0 3 0 0 206 5 1 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 0 1 2 1 4 3 1 9 10 1 0 0 0 0 2 0 0 258 0 0 1 2 2 1 9 3 1 476 16 2

Lampiran 8 Produksi dan laju produksi daging Kota Banjar tahun 2005 dan 2006
Produksi (ton) 2005 2006 Laju Daging sapi 13.81 441.20 3095.5 Daging kerbau 0.01 Daging kuda 0.00 Daging domba 3.99 49.20 1133.1 Daging kambing 3.16 40.05 1166.2 Ayam ras pedaging 0.04 0.04 1.9 Ayam buras 0.02 0.02 2.2 Itik 0.00 0.00 Sumber : Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan, Perkebunan dan Kehutanan Kota Banjar Jenis tanaman

Lampiran 9 Produksi dan laju produksi ikan menurut tempat pemeliharaan di Kota Banjar tahun2005 dan 2006
Jenis tanaman Perikanan laut Tambak Kolam Sawah (Mina padi) Keramba/Jaring apung Kolam Air Deras Perairan Umum 2005 1488.1 35 Produksi (ton) 2006 1527.5 40.2 Laju 2.6 14.9 -

Lampiran 10 Jumlah konsumsi energi (kkal/kapita/hari) untuk setiap komoditi berdasarkan status ekonomi Kelompok Pangan 1.Padi-padian Beras giling Jagung Pipilan Tepung Terigu Subtotal padi-padian 2.Umbi-umbian Ketela Pohon Ubi Jalar Sagu Kentang Talas Subtotal umbi-umbian 3.Pangan Hewani Daging Ruminansia Daging Unggas Telur Susu Ikan Subtotal pangan hewani 4.Minyak dan Lemak Minyak Kelapa Minyak Sawit Lemak Minyak Ikan Subtotal minyak dan lemak 5.Buah/Biji Berminyak Kelapa Kemiri Biji Jambu Mete Melinjo Subtotal buah/biji berminyak 6.Kacang-kacangan Kacang Tanah Kacang Kedelai Kacang Hijau Kacang Merah Subtotal kacang-kacangan 7.Gula Gula Pasir Gula Aren Gula Kelapa Subtotal gula Konsumsi Energi (kkal/kapita/hari) Miskin 731.5 0.0 38.3 769.8 12.4 0.6 0.0 0.5 0.0 13.5 4.4 7.2 18.1 7.1 49.7 86.5 6.0 8.0 0.0 0.0 14.1 3.9 0.0 0.0 0.1 4.0 3.3 177.6 0.0 2.8 183.8 1.4 8.4 0.0 9.7 Tidak Miskin 688.1 0.3 66.9 755.4 12.2 0.2 0.0 3.8 0.0 16.2 26.5 27.9 50.1 24.5 72.3 201.4 16.4 8.5 0.0 0.0 24.9 4.2 0.2 0.0 2.3 6.7 6.1 125.7 2.5 4.8 139.1 4.0 7.5 0.4 11.9 Kota Banjar 709.8 0.2 52.6 762.6 12.3 0.4 0.0 2.1 0.0 14.8 15.5 17.5 34.1 15.8 61.0 143.9 11.2 8.3 0.0 0.0 19.5 4.0 0.1 0.0 1.2 5.3 4.7 151.7 1.2 3.8 161.4 2.7 7.9 0.2 10.8

Kelompok/jenis pangan 8.Sayur dan Buah Sayur-Sayuran Buah-Buahan Subtotal sayur dan buah 9. Lain-Lain Minuman Bumbu Lainnya Subtotal lain-lain Total Keseluruhan

Konsumsi Energi (Kkal/Kapita/Hari) Miskin 57.3 14.5 71.8 0.4 0.0 14.1 14.5 1167.7 Tidak Miskin 51.7 26.4 78.1 1.2 0.9 15.9 18.1 1251.6 Kota Banjar 54.5 20.5 74.9 0.8 0.5 15.0 16.3 1209.6

Lampiran 11

Kontribusi masing-masing kelompok pangan terhadap Angka Kecukupan Energi Kota Banjar 2006 (1944 kkal/kap/hari)
Tidak Miskin Miskin Energi 770 14 87 14 4 184 10 72 15 1170 % AKE 39.6 0.7 4.5 0.7 0.2 9.5 0.5 3.7 0.8 60.2 Kota Banjar 2006 % Energi AKE 763 39.2 15 0.8 144 7.4 20 5 161 11 75 16 1210 1.0 194 5 139 12 78 18 1252 0.4 7.2 0.6 4.0 0.9 64.4 0.3 58 8.3 0.6 3.9 0.8 62.2 97 97 117 58 1944 5.0 5.0 6.0 3.0 100.0 3.0 10.0 AKE Regional Kota Banjar % Energi AKE 972 50.0 117 6.0 233 25 1.3 12.0

Kelompok Pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacangkacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Total

Energi 755 301 189

% AKE 38.8 0.8 10.3

Lampiran 12 Proyeksi konsumsi pangan Kota Banjar (kg/kapita/tahun) untuk setiap komoditi
Kelompok/jenis pangan 1.Padi-padian Beras giling Jagung Pipilan Tepung Terigu 2.Umbi-umbian Ketela Pohon Ubi Jalar Sagu Kentang Talas 3.Pangan Hewani Daging Ruminansia Daging Unggas Telur Susu Ikan 4.Minyak dan Lemak Minyak Kelapa Minyak Sawit Lemak Minyak Ikan 5.Buah/Biji Berminyak Kelapa Kemiri Biji Jambu Mete Melinjo 2006 77.2 71.9 0.0 5.3 5.3 4.4 0.1 0.0 0.8 0.0 49.0 5.3 6.0 11.6 5.4 20.8 0.8 0.5 0.3 0.0 0.0 1.9 1.4 0.0 0.0 0.4 2007 78.7 73.3 0.0 5.4 7.2 6.0 0.2 0.0 1.0 0.0 49.1 5.3 6.0 11.6 5.4 20.8 1.4 0.8 0.6 0.0 0.0 2.0 1.5 0.0 0.0 0.5 Proyeksi Konsumsi (Kg/Kapita/tahun) 2008 2009 2010 80.2 81.6 83.1 74.6 76.0 77.3 0.0 0.0 0.0 5.5 5.6 5.7 9.1 11.0 12.9 7.6 9.2 10.7 0.3 0.3 0.4 0.0 0.0 0.0 1.3 1.6 1.9 0.0 0.0 0.0 49.1 49.2 49.2 5.3 5.3 5.3 6.0 6.0 6.0 11.6 11.6 11.7 5.4 5.4 5.4 20.8 20.8 20.9 2.0 2.5 3.1 1.1 1.5 1.8 0.8 1.1 1.3 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 2.1 2.3 2.4 1.6 1.7 1.8 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.5 0.5 0.5 2015 90.3 84.1 0.0 6.2 22.4 18.6 0.6 0.0 3.2 0.0 49.4 5.3 6.0 11.7 5.4 21.0 6.0 3.4 2.5 0.0 0.0 3.0 2.2 0.1 0.0 0.7 2020 97.6 90.8 0.0 6.7 31.9 26.5 0.9 0.0 4.6 0.0 49.7 5.3 6.1 11.8 5.5 21.0 8.9 5.1 3.8 0.0 0.0 3.5 2.7 0.1 0.0 0.8

74

Kelompok/jenis pangan 6.Kacang-kacangan Kacang Tanah Kacang Kedelai Kacang Hijau Kacang Merah 7.Gula Gula Pasir Gula Aren Gula Kelapa 8.Sayur dan Buah Sayur-Sayuran Buah-Buahan 9. Lain-Lain Minuman Bumbu Lainnya

2006 17.7 0.5 16.6 0.1 0.4 1.1 0.3 0.8 0.0 92.2 67.0 25.2 2.7 0.1 0.1 2.5

2007 17.3 0.5 16.3 0.1 0.4 1.8 0.4 1.3 0.0 91.4 66.5 25.0 2.9 0.1 0.1 2.7

Proyeksi Konsumsi (Kg/Kapita/tahun) 2008 2009 2010 16.9 16.5 16.2 0.5 0.5 0.5 15.9 15.5 15.2 0.1 0.1 0.1 0.4 0.4 0.4 2.4 3.1 3.8 0.6 0.8 0.9 1.8 2.3 2.8 0.0 0.1 0.1 90.7 89.9 89.2 65.9 65.4 64.8 24.8 24.5 24.3 3.1 3.3 3.4 0.1 0.2 0.2 0.1 0.1 0.1 2.8 3.0 3.2

2015 14.3 0.4 13.4 0.1 0.3 7.2 1.8 5.3 0.1 85.4 62.1 23.3 4.4 0.2 0.1 4.0

2020 12.4 0.4 11.7 0.1 0.3 10.6 2.6 7.8 0.2 81.6 59.3 22.3 5.3 0.3 0.2 4.9

75

Lampiran 13 Proyeksi kebutuhan (Ton/tahun) wilayah Kota Banjar untuk setiap komoditi
Kelompok/jenis pangan 1.Padi-padian Beras giling Jagung Pipilan Tepung Terigu 2.Umbi-umbian Ketela Pohon Ubi Jalar Sagu Kentang Talas 3.Pangan Hewani Daging Ruminansia Daging Unggas Telur Susu Ikan 4.Minyak dan Lemak Minyak Kelapa Minyak Sawit Lemak Minyak Ikan 5.Buah/Biji Berminyak Kelapa Kemiri Biji Jambu Mete Melinjo 2006 14353 13360 3 990 993 824 27 0 142 0 9108 978 1110 2158 1001 3860 150 86 63 0 0 355 267 6 0 82 2007 15175 14125 3 1047 1397 1158 38 0 200 0 9461 1016 1153 2242 1040 4010 266 153 113 0 0 391 294 7 0 90 Proyeksi Kebutuhan (Ton/tahun) 2008 2009 2010 16039 16947 17900 14929 15774 16661 3 4 4 1107 1169 1235 1830 2293 2789 1517 1902 2313 50 63 76 0 0 0 262 329 400 0 0 0 9828 10209 10605 1056 1096 1139 1198 1244 1293 2329 2419 2513 1080 1122 1165 4166 4327 4495 392 526 670 225 303 386 166 223 284 0 0 0 0 0 0 429 469 512 323 353 385 7 8 9 0 0 0 99 108 118 2015 23430 21808 5 1617 5821 4827 159 0 834 0 12826 1378 1563 3039 1409 5436 1554 894 660 0 0 769 578 13 0 177 2020 30471 28362 7 2102 9972 8270 273 0 1429 0 15512 1666 1891 3676 1705 6575 2770 1594 1176 0 0 1108 834 19 0 256

76

Kelompok/jenis pangan 6.Kacang-kacangan Kacang Tanah Kacang Kedelai Kacang Hijau Kacang Merah 7.Gula Gula Pasir Gula Aren Gula Kelapa 8.Sayur dan Buah Sayur-Sayuran Buah-Buahan 9. Lain-Lain Minuman Bumbu Lainnya 2006 3283 96 3085 25 77 199 50 146 4 17129 12454 4676 500 24 14 461 2007 3335 97 3134 25 79 339 84 248 6 17631 12818 4812 555 27 16 512

Proyeksi Kebutuhan (Ton/tahun) 2008 2009 2010 3386 3436 3485 99 100 101 3182 3229 3275 26 26 27 80 81 82 488 649 821 121 161 204 358 475 601 9 12 15 18145 18674 19217 13192 13577 13971 4953 5097 5245 614 676 742 30 33 36 18 19 21 566 624 685

2015 3708 108 3485 28 87 1875 466 1373 35 22152 16105 6047 1137 55 33 1049

2020 3878 113 3644 30 91 3324 827 2435 62 25485 18528 6956 1662 81 48 1534

Lampiran 14 Bagan Causal Model Masalah Pangan dan Gizi di Kota Banjar

STATUS GIZI tahun 2006 Balita Gizi kurang 1022 (5.36%)*) Gizi buruk 193 (1.01%)**)

Konsumsi***) (PPH=65; 62.2% AKG Regional)

Infeksi : Prevalensi penduduk yang mengalami keluhan kesehatan (29.39%) Daya beli rendah (Keluarga miskin =10908 (24.56 %)resiko tinggi)**) Pola Asuh Sanitasi lingkungan : KK miskin memiliki WC umum (77.21%) dan sumber air minum krg bersih (76.12%) Pelayanan kesehatan gratis, jumlah dokter 46 org, perawat 214 org dan bidan 58 org

Tingkat Pendidikan/Pengetahua

Ketersediaan Pangan****)

Keamanan Pangan

Produksi Pertanian: Padi: 33 393 ton PSB: Palawija ton Sayuran ton Peternakan 2003 ton Perikanan ton

Cadangan Pangan Wilayah dan

Ekspor Impor Beras (belum ada data tertulis)

KELEMBAGAAN PANGAN DAN GIZI 77

Anda mungkin juga menyukai