Anda di halaman 1dari 4

Idealisme Abad 19 danTekstualisme Abad 20

Dalam pembahasan bab ini, penulis sebenarnya ingin memaparkan empat hal tentang Idealisme yang berkembang di abad 19 dan tekstualisme yang berkembang di abad 20; yang pertama adalah soal persamaan dan perbedaan keduanya; yang kedua soal argumentasi penulis bahwasanya idealisme dan tekstualisme adalah dua paham yang berkembang dan runtuh secara bersama-sama; ketiga adalah soal relasi antara tekstualisme sebagai post-philosopical romantisisme dan pragmatisme; dan yang terakhir soal kritisisme yang diusung penulis terhadap dua paham tersebut. Yang pertama yang akan dibicarakan adalah mengenai persamaaan dan perbedaan antara idealisme dan tekstualisme. Persamaan pertama adalah bahwasanya kedua gerakan tersebut sama-sama antagonistis terhadap sains. Keduanya mengatakan bahwa para ilmuwan sejatinya tidak boleh dijadikan tokoh budaya mengingat sains bukanlah hal yang sungguh-sungguh dapat dianggap penting, karena di dunia ini ada sudut pandang yang lebih tinggi dari pada sains yang dapat dijadikan tempat kita berpijak. Keduanya juga berpendapat bahwa kita tidak akan pernah bisa membandingkan pikiran atau bahasa kita dengan realitas yang ada di depan mata kita begitu saja. Bekeley sebagai seorang idealis mengklaim bahwa tidak ada 'idea' kecuali dengan adanya 'idea' lain. Sehubungan dengan hal itu, para tekstualis juga mengklaim bahwa semua masalah, topik, distingsi adalah relatif dalam bahasa. Kedua paham itu menggunakan titik tolak ini untuk menempatkan sains pada tempatnya. Mengenai konsep dalam ilmu alam, para idealis seperti Kant mengatakan bahwasanya ilmu alam hanya merupakan alat yang pikiran kita gunakan untuk mensinstesiskan impresi yang tertangkap oleh indera kita, yang mana dalam term yang digunakan tekstualis, dikatakan bahwa istilah sains merupakan satu diantara yang lainnya dan hanya merupakan suatu istilah yang digunakan dalam memprediksi dan mengkontrol alam. Poin inilah yang digunakan kedua paham itu untuk meagungkan fungsi seni. Bagi idealis, seni dapat mengantarkan kita untuk bertemu dengan bagian dari diri kita yang lain - nomena, bagian spiritual - yang tidak dapat kita lihat. Bagi tekstualis, kesadaran literal dari seorang seniman bahwasanya pekerjaannya adalah membuat sesuatu bukan menemukan sesuatu, adalah yang membuat seniman lebih tinggi dari pada ilmuwan.

Disamping persamaan-persamaan diatas, tentu terletak juga perbedaan. Para idealis mendasarkan pemikirannya pada sebuah tesis metafisis, namun tekstualisme tidak. Idealis berpendapat bahwa sebuah kerangka tertentu mengenai interkoneksi ide-ide kita seperti kebenaran korespondensial, bahasa sebagai gambar, literatur sebagai imitasi, haruslah ditinggalkan. Hal ini bukan bermaksud bahwa mereka telah mengklaim telah ditemukannya kebenaran yang sejati diluar dari ketiga hal di atas, namun hanya untuk mengatakan bahwa pencarian kebenaran sejati dengan cara yang sensual adalah bagian dari kerangka kerja intelektual yang harus kita tinggalkan. Telah dijelaskan bahwa idealisme dan tekstualisme memiliki pandangan oposisif terhadap klaim sains yang dijadikan paradigma dalam kehidupan manusia, kedua, bahwa antara idealisme dan tekstualisme, sehubungan dengan disiplin filsafat, dapat dikatakan bahwa yang satu adalah sebuah doktrin filosofis dan satunya lagi merupakan sebuah ekspresi dari kecurigaan terhadap filsafat. Jadi, dapat dikatakan bahwa jika idealisme ingin menggantikan sains dengan filsafat sebagai pusat cara pandang budaya, tekstualisme ingin menempatkan literatur sebagai pusat, dan untuk mentreat sains dan filsafat sebagai genre literatur. Permasalahan yang diangkat penulis selanjutnya yaitu mengenai statement nya yang menyatakan bahwa idealisme dan tekstualisme berkembang dan runtuh secara bersamaan. Maurice mandelbaum dalam karyanya, Man and Reason, berkata bahwa pada periode pasca-pencerahan, berkembanglah suatu bentuk baru dari pemikiran yang menjadi standar bagi evaluasi, yang bermulai dari periode inilah dua pemikiran filsafat mainstream pada abad 19 muncul, yaitu idealisme dan positivisme. Pandangan idealisme yang menyatakan realitas alamiah yang utama adalah terungkapnya hal-hal yang membedakan manusia sebagai makhluk spiritual bukanlah hanya sebuah kemungkinan semata; namun, itu adalah kemungkinan satusatunya yang idealisme yakini. Meskipun dalam Berkeley atau Kant, idealisme menjadi sedikit berbeda dari tradisi yang dimulai dari Anaxagoras dan berkembang melalui Plato dan berbagai bentuk Platonisme. Bagi Berkeley, idealisme itu cara aman untuk berhadapan dan melampaui kesulitan yang telah dibangun oleh doktrin saintifik bahwasanya pikiran kita hanya memahami sesuatu dalam idea nya sendiri. Sampai disini, idealisme merupakan sebuah cerminan dari rasa penasaran intelektual. Berkeley tidak hanya menawarkan sebuah solusi pada permasalahan relasi antara sensasi dengan objek-objek eksternal, tetapi juga solusi untuk permasalah seni,

agama dan moralitas. Disini, filsafat berusaha ingin menggantikan sains karena memiliki cakupan yang lebih luas dari sains, termasuk hal-hal yang tidak dapat dibahas oleh sains, seperti agama dan moralitas, dimana moralitas dan agama dapat dibahas hanya dengan reasoning, penemuan dalam dunia filsafat yang melampaui sains. Pada awal dekade abad 19, idealisme terlihat seperti kebenaran yang dapat didemonstrasikan. Ini terlihat dari ambivalensi antara pemikiran Kant dan Hegel tentang permasalahan relasi antara sains dan seni, agama juga moral yang muncul sebagai reaksi dari pemikiran Newton dan Locke tentang permasalahan persepsi pada awal abad 19. Perkembangan idealisme selanjutnya setelah itu merupakan awal dari akhir perjalanan idealisme dan filsafat. Hegel akhirnya memutuskan bahwa filsafat itu spekulatif bukan reflektif. Jika Kant memahami fenomenologi, ia akan tahu bahwa sebenarnya filsafat selama ini hanya berjalan di jalur aman dari sains. Pada akhir abad 19, filsafat dianggap sebagai sesuatu yang klasik dan psikologis saja. Idealisme bukan lagi pendapat seseorang, namun menjadi bagian dari sejarah yang dibaca seseorang. Pembahasan selanjutnya adalah mengenai relasi antara tekstualisme sebagai post-philosopical romantisisme dan pragmatisme. Menganai hal ini, pertanyaan yang penulis ajukan pertama-tama adalah apa yang bertahan dari ketidaknampakan idealisme metafisis sebagai yang saintifis? Jawabanya adalah romantisisme. Romatisisme merupakan sebuah tesis dimana dalam sebuah proposisi, seseorang tidak mencari benar atau salah, namun mengenai vocabulary apa yang harus kita gunakan. Mungkin ini sedikit kabur dan tentatif, namun romantisis melihat ini sebagai ekspresi kebebasan dari proposisi yang ditawarkan sains. Ada tendensi bahwa prinsip utama yang gaungkan idealisme sebenarnya adalah kemampuan budaya literatur untuk dapat berdiri sebagai bagian dari sains, untuk memasukan superioritas spiritualnya ke dalam sains, untuk mengklaim apa yang paling penting bagi manusia. Berbeda dengan romantisisme yang Hegel bawa bahwa literatur dapat juga menjadi pengganti filsafat. Langkah selanjutnya untuk mendirikan otonomi dan supremasi budaya literatur diusung oleh Nietsche dan William James. Kontribusi mereka adalah dengan menggantikan romantisisme dengan pragmatisme. Dari pada berkata bahwa penemuan vocabulary dapat mengungkap rahasia yang tersembunyi, mereka berpendapat yang lebih penting lagi adalah memahami bahwasanya menemukan cara baru berbicara dapat membantu kita untuk

mendapatkan apa yang kita inginkan. Dari pada berkata bahwa literatur dapat menggantikan filsafat, mereka menyerah pada posisi bahwa kenyataan itu koresponden dengan realitas. Nietsche dan James menempatkan the ultimate nature of reality yang diusung idealisme sebagi term psikologis semata, namun mereka berhenti disitu dan tidak mencari formulasi baru atasnya. Mereka menolak filsafat sebagai sesuatu yang melampaui sains.

Anda mungkin juga menyukai