Anda di halaman 1dari 6

Asas Geen Straf Zonder Schuld (Asas Tiada Hukuman Tanpa Kesalahan)

Artinya tak seorangpun dapat dijatuhi pidana jika tidak ada kesalahan yang ia perbuat2. ---- Lihat Ketentuan Ps. 44 jo Pasal 45 KUHP.

Asas Hukum Pidana atau Criminal Law diantaranya adalah AsasGeen Straf Zonder Schuld (Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan) Asas ini berkaitan dengan criminal responsibility atau criminal liability (Moeljatno, 2000). Criminal responsibility merupakan bentuk pertanggungjawaban pidana yang diperjelas oleh Masruchin Ruba`i (2001) sebagai berikut "Pemidanaan baru dapat dilakukan apabila orang yang melakukan tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana". Asas tiada pidana tanpa kesalahan yang disebut juga dengan istilah Geen Straf Zonder Schuld ini di Indonesia tidak dituangkan di dalam KUHP, tetapi tercantum di dalam pasal 6 ayat (2) Undang-Undang pokok Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi : "Tiada seorangpun yang dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-Undang, mendapat keyakinan, bahwa seorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduh atas dirinya".

Pengertian kemampuan bertanggung jawab atau seorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, tidak dirumuskan secara eksplisit di dalam KUHP. Pengertian tentang kemampuan bertanggung jawab ini dapat dicari pada doktrin atau ilmu pengetahuan hukum yang dikemukakan oleh beberapa pakar antara lain : 1. Simon mengemukakan bahwa kemampuan bertanggung jawab merupakan keadaan psikis sedemikian yang membenarkan penerapan suatu upaya pemidanaan. Atau dengan perkataan lain, seseorang mampu bertanggung jawab kalau jiwanya sehat, sehingga : a. Dia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum. b. Dia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut. 2. Von Hammel mendefinisikan kemampuan bertanggung jawab adalah suatu keadaan normalitas psikis dan kematangan (kecerdasan) yang membawa tiga kemampuan, yaitu :

a. Mampu untuk mengerti nilai-nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri. b. Mampu untuk menyadari bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak diperbolehkan. c. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatan itu. Walaupun pengertian tentang kemampuan bertanggung jawab ini tidak dirumuskan dalam KUHP, tetapi KUHP masih memberikan solusi dengan rumusan KUHP yang mengemukakan alasan-alasan yang dapat digunakan untuk menyatakan bahwa diri si petindak / pelaku tidak mampu bertanggung jawab. Rumusan KUHP ini oleh Masruchin Ruba`i disebut sebagai syarat negatif yang tercantum didalam pasal 44 KUHP yang berbuunyi : "Barangsiapa melakukan perbuatan tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau jiwanya terganggu karena penyakit tidak dapat dipidana". Berdasarkan rumusan di dalam pasal 44 KUHP tersebut dapat disimpulkan bahwa dua alasan yang dapat digunakan untuk menentukan seseorang dapat diminta pertanggung jawaban dalam hukum pidana atau tidak yang terdiri dari : 1. Jiwanya cacat dalam pertumbuhannya, misalnya retardasi mental, bisu, tuli, buta atau cacat lain yang mempengaruhi ketidak sempurnaan pertumbuhan jiwanya. 2. Jiwanya terganggu karena penyakit, misalnya SOO (Syndroma Otak Organik) akibat trauma otak atau penyebab lain, psychosa atau schizophrenia dan beberapa penyakit lain yang menyebabkan gangguan jiwa. Ruba`i (2001) berpendapat bahwa keadaan mabuk, kadang-kadang tidak dapat diminta pertanggung jawaban dalam hukum pidana, tetapi adakalanya bisa tetap diminta pertanggung jawaban. Adapun orang yang tidak mampu bertanggung jawab antara lain adalah orang yang minum minuman keras sebagai kebiasaan kemudian melakukan perbuatan pidana pada saat mabuk berat dimana orang tersebut sama sekali tidak menyadari apa yang dilakukannya. Sedangkan orang yang sengaja minum minuman keras untuk menambah ketabahan (courage drinken) maupun keberanian dalam melakukan kejahatan, tetap dipertanggung jawabkan dalam hukum pidana. Demikian juga seseorang yang dalam keadaan mabuk ringan yang masih dapat menyadari perbuatannya tetap harus bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya. Sumber : Anny Isfandyarie dan Fachrizal Afandi, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter, Buku ke II, Prestasi Pustaka Publisher, h.57-59.

Geen Straf Zonder Schuld dalam arti luas dan sempit PEMBAHASAN Pasal-pasal KUHP mengenai tindak-tindak pidana yang masuk golongan kejahatan termuat dalam Buku II KUHP selalu mengandung unsur kesalahan dari pihak pelaku tindak pidana, yaitu kesengajaan. Lain halnya dengan tindak-tindak pidana yang masuk golongan pelanggaran, termuat dalam Buku III KUHP. Di situ tidak ada suatu penyebutan unsur kesalahan, baik kesengajaan maupun kealpaan. Dari perumusan pasal-pasal Buku III KUHP tidak ditemukan unsur kesalahan. Kenyataan ini dulu menimbulkan suatu pendapat, yang dalam hal pelanggaran menganggap seorang dapat dihukum karena melakukan perbuatan belaka tanpa kesalahan (materiel feit, fait meterielle) Pendapat ini sejak semula ditentang oleh banyak orang, yang berpendapat bahwa tidak mungkin seorang dihukum tanpa kesalahan sedikitpun. Pada tanggal 14 Februari 1916 ada suatu putusan dari Pengadilan Tertinggi di Belanda (Hoge Raad), yang secara tegas membenarkan pendapat yang kedua ini, yang menganut semboyan tiada hukuman pidana tanpa kesalahan Geen straf zonder schuld. A. GEEN STRAF ZONDER SCHULD DALAM ARTI LUAS Berdasarkan asas hukum tersebut, untuk dapat menjatuhkan pidana kepada seseorang, maka hakim wajib memiliki keyakinan bahwa terdakwa telah terbukti berbuat kesalahan, sebab seseorang tidak dijatuhi pidana tanpa kesalahan. Apakah yang dimaksud dengan kesalahan itu? Dari pendapat beberapa hukum pidana, dapat dinyatakan bahwa batasan kesalahan adalah perbuatan yang mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Jadi orang yang bersalah melakukan sesuatu perbuatan, itu berarti bahwa perbuatan itu dapat dicelakan kepadanya. Pencelaan dalam hal ini bukanlah pencelaan berdasarkan kesusilaan, melainkan pencelaan berdasarkan hukum yang berlaku untuk adanya kesalahan. Sudarto, dalam bukunya: Hukum Pidana I menjelaskan mengenai arti kesalahan, yaitu: 1. kesalahan dalam arti seluas luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana ; didalamnya terkandung makna dapat dicelanya (verwijtbaarheid ) si pembuat atas perbuatannnya. Jadi, orang bersalah melakukan sesuatu tindak pidana berarti bahwa dapat dicela atas perbuatannya. Dengan diterimanya pengertian kesalahan ( dalam arti luas ) sebagai dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya, maka pengertian kesalahan yang psychologis menjadi pengertian kesalahan yang normatif ( normativer schuldbegriff ). a. Pengertian kesalahan psychologis. Dalam arti ini kesalahan hanya dipandang sebagai hubungan psychologis (batin) antara pembuat dan perbuatannya. Hubungan batin tersebut bisa berupa kesengajaan dan pada kealpaan. Jadi dalam hal ini yang digambarkan adalah keadaan batin si pembuat, sedang yang menjadi ukurannya adalah sikap batin yang berupa kehendak terhadap perbuatan atau akibat perbuatan

b. Pengertian kesalahan yang normatif Pandangan yang normatif tentang kesalahan ini menentukan kesalahan seseorang tidak hanya berdasar sikap batin atau hubungan batin antara pembuat dengan perbuatannya, tetapi juga ada unsur penilaian atau unsur normatif terhadap perbuatannya. Saat menyelidiki bathin orang yang melakukan perbuatan, bukan bagaimana sesungguhnya keadaan bathin orang itu yang menjadi ukuran, tetapi bagaimana penyelidik menilai keadaan batinnya, dengan menilik fakta fakta yang ada. Secara sederhana Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) Indonesia pada buku I bab II Pasal 44 menyatakan, Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam tubuhnya, atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. Kemampuan bertanggung jawab adalah suatu keadaan normalitas psikis dan kematangan atau kecerdasan yang membawa tiga kemampuan. 1) Mampu mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri. 2) Mampu menyadari bahwa perbuatannya dilarang menurut pandangan masyarakat tidak diperbolehkan. 3) Mampu menentukan kehendak atas perbuatannya itu. 2. Kesalahan dalam arti bentuk kesalahan ( schuldvorm ) yang berupa : a. Kesengajaan (dolus) Dalam pergaulan hidup di masyarakat sehari-hari, sering seseorang melanggar peraturan yang mengakibatkan suatu kerusakan. Untuk menghindarkan dirinya dari celaan masyarakat, hampir selalu dikatakannya tidak saya sengaja. Dan biasanya, apabila kerusakan itu tidak begitu berarti, perbuatan yang tidak dengan sengaja itu dimaafkan oleh pihak yang menderita kerugian; tidak dikenakan hukuman apapun. Kesengajaan harus mengenai ketiga unsur dari tindak pidana, yaitu satu, perbuatan yang dilarang. Kedua, akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larangan itu, dan ketiga bahwa perbuatan itu melanggar hukum. Hal yang dimaksud kesengajaan ada tiga macam. Yang pertama, kesengajaan yang bersifat suatu tujuan untuk mencapai sesuatu. Kedua, kesengajaan yang bukan mengandung suatu tujuan, melainkan disertai keinsafan, bahwa suatu akibat pasti akan terjadi. Ketiga, kesengajaan yang disertai keinsafan hanya ada kemungkinan, bahwa suatu akibat akan terjadi (atau kesengajaan secara keinsafan kemungkinan).6 b. Kealpaan (culpa) Perbuatan yang berupa kealpaan (culpa) juga merupakan perbuatan yang memenuhi unsur kesalahan. Biasanya tindak pidana berunsur kesengajaan, tetapi ada kalanya juga diakibatkan karena dia alpa atau lalai terhadap kewajiban-kewajiban yang dalam hal tersebut yang oleh masyarakat dipandang seharusnya dijalankan olehnya. Dalam hal ini celaan bukan disebabkan oleh kenapa melakukan perbuatan padahal mengerti (mengetahui) sifat jeleknya perbuatan seperti dalam hal kesengajaan, tapi disebabkan oleh kenapa tidak menjalankan kewajiban-kewajiban yang seharusnya dilakukan olehnya, sehingga karenanya masyarakat dirugikan.

Misalnya, orang yang mengendarai mobil sesuai dengan kewajibankewajiban yang diharuskan kepadanya, namun ada seorang anak yang tibatiba menyeberang jalan sehingga ditabrak oleh mobil dan meninggal dunia. Dalam hal ini ia tidak dapat dicela karena perbuatan yang menyebabkan anak itu mati sama sekali tidak disengaja olehnya ataupun terjadi karena kealpaannya. B. GEEN STRAF ZONDER SCHULD DALAM ARTI SEMPIT Dalam lingkup ini, dapat diartikan sama yakni tidak ada pidana tanpa kesalahan. Namun yang perlu digaris bawahi di sini yaitu, kita dapat mengartikan kesalahan dalam arti sempit, yaitu kesalahan yang berupa kealpaan (culpa) saja seperti yang disebutkan di atas. Akan lebih baik jika kita menggunakan istilah kealpaan saja untuk kesalahan dalam arti sempit. Jadi, di sini asas Geen Straf Zonder Schuld dalam arti sempit diartikan bahwa tidak ada pidana jika kesalahan tersebut berupa kealpaan. Sering dikatakan bahwa kesengajaan adalah kesalahan yang besar, sedangkan kealpaan kesalahan yang kecil. Karenanya dalam KUH Pidana kita sistemnya ialah bahwa delik-delik dolus diancam dengan pidana yang jauh lebih besar daripada ancaman bagi yang culpa. Contohnya pasal 338 mengenai pembunuhan (dolus) diancam 15 tahun, pasal 359 menyebabkan mati karena kealpaan diancam 5 tahun penjara atau kurungan 1 tahun, pasal 354 penganiyayaan berat diancam 8 tahun dan jika sampai mengakibatkan mati diancam penjara 10 tahun. Memang, kita tidak begitu saja dapat mengatakan bahwa kesengajaan adalah bentuk kesalahan yang besar dan kealpaan dipandang sebagai bentuk kesalahan yang kecil. Jika dipandang dari perspektif orang yang melakukan perbuatan, mungkin memang demikian. Karena orang yang melakukan perbuatan dan mengerti bahwa itu dilarang, menunjukkan sikap batin yang lebih jahat daripada sikap batin orang yang karena alpa atau lalai tentang kewajibankewajiban, sehingga menimbulkan perbuatan pidana. Dengan kata lain terdakwa bukanlah penjahat melainkan hanya lalai, kurang berhatihati. Jika dilihat dari segi masyarakat yang dirugikan karena perbuatan tadi, keduanya adalah sama beratnya, tidak ada yang besar dan tidak ada yang kecil. Dari pengertian-pengertian yang telah diuraikan di atas, maka kesalahan terdiri atas beberapa unsur, yakni: 1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat, artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal 2. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa) yang disebut bentuk bentuk kesalahan. 3. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf

PENUTUP Secara umum Geen straf zonder schuld bermakna tidak ada hukuman tanpa kesalahan. Kesalahan yang bagaimana? Pertanyaan tersebut dapat terjawab dalam artinya secara luas dan sempit, sebagai berikut. Dalam arti luas, (ditinjau dari arti kesalahan yang luas) asas Geen straf zonder schuld berarti tidak ada hukuman tanpa kesalahan, yang mana kesalahan di sini meliputi unsur kesengajaan dan kealpaan.

Sedangkan arti sempit (ditinjau dari arti kesalahan yang sempit) dari asas Geen straf zonder schuld adalah tidak ada hukuman tanpa kesalahan, yang mana kesalahan di sini hanya meliputi unsur kealpaan saja.

Anda mungkin juga menyukai