Anda di halaman 1dari 5

Asas Asas Sistem Ekonomi Islam

JUN 19 Posted by M. Taufik N.T

Pendahuluan John Perkins, seorang penulis asal Amerika Serikat (AS) mengungkapkan kejahatan korporatrokasi, yakni jaringan yang memetik laba dari dunia ketiga termasuk Indonesia melalui korupsi, kolusi dan nepotisme. Pada buku pengakuannya yang pertama, Confession Of an Economic Hit Man (2004) Perkins menyebut dirinya sebagai bandit ekonomi yang bekerja di perusahaan konsultan MAIN di Boston, AS. Buku kedua (2007), berbicara tentang sepak terjangnya di Indonesia. Tugas pertama Perkins adalah membuat laporan untuk IMF dan World Bank (Bank Dunia) agar mengucurkan utang luar negeri kepada dunia ketiga, termasuk Indonesia. Sebagai ekonom utama di MAIN, ia juga merekomendasikan jumlah utang yang harus disalurkan IMF dan World Bank, disisi lain syaratnya pemerintah yang mengutang harus memberikan proyek pembangunan ke kontraktor-kontraktor AS dengan porsi terbesar dari utang tersebut. Tugas kedua, Perkins membangkrutkan negara pengutang, setelah tersandera dengan utang yang menggunung barulah mereka meminta balas jasa dengan misalnya mendukung kebijakan AS, membuka pangkalan militer AS di negara pengutang atau memaksa negara-negara pengutang menjual ladang-ladang minyak mereka kepada perusahaan MNC milik negara-negara barat dan kepentinga lain mereka. Kita bisa melihat utang luar negeri Indonesia pada masa Soekarno sekitar USD 2,5 milyar, dan pada masa akhir Soeharto, utang luar negeri sudah USD 137,424 Milyar (catatan BI, Maret 1998), sementara total utang Indonesia 2010 naik menjadi Rp 1.618,24 triliun (USD 167,9543 Milyar), tinggal selangkah lagi Indonesia menuju peringkat utang tertinggi yang biasa disebut investment grade menurut siaran pers yang dipublikasikan Fitch Ratings dari Singapura (Kompas, Senin, 25/1/2010). Oleh karena itu, sebenarnya tidak ada pilihan lain selain kembali kepada sistem Islam dalam semua urusan termasuk dalam sistem ekonominya.

ASAS-ASAS SISTEM EKONOMI ISLAM


Asas-asas sistem ekonomi Islam ada tiga, yaitu kepemilikan ( ,) pengelolaan kepemilikan ( ,) distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat ()
ASAS PERTAMA: KEPEMILIKAN

Kepemilikan adalah tatacara yang ditempuh oleh manusia untuk memperoleh kegunaan dari suatu jasa ataupun barang. Adapun definisi kepemilikan menurut syara adalah idzin dari al-syaari (pembuat hukum) untuk memanfaatkan suatu al-ain (dzat). Al-Syaari di sini adalah Allah swt.

Adapun al-ain adalah sesuatu yang bisa dimanfaatkan. Sedangkan izin adalah hukum syara. Jenis-jenis kepemilikan ada tiga, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. 1. Kepemilikan Individu (al milkiyyah al fardiyyah). Kepemilikan individu adalah izin dari Allah swt kepada individu untuk memanfaatkan sesuatu. Hak individu dan kewajiban negara terhadap kepemilikan individu: a. Hak kepemilikan individu adalah hak syariy bagi individu. Seorang individu berhak memiliki harta yang bergerak maupun tidak bergerak seperti mobil, tanah, dan uang tunai. Hak ini dijaga dan diatur oleh hukum syara. b. Pemeliharaan kepemilikan individu adalah kewajiban negara. Oleh karena itu, hukum syara telah menetapkan adanya sanksi-sanksi sebagai tindakan preventif (pencegahan) bagi siapa saja yang menyalahgunakan hak tersebut. Sebab-sebab Kepemilikan Individu Syariaat Islam telah membatasi sebab-sebab kepemilikan harta oleh individu dengan lima sebab, yaitu : a. Bekerja dalam perdagangan, industri, dan pertanian b. Warisan c. Kebutuhan kepada harta sekedar untuk mempertahankan hidup. d. Pemberian harta oleh negara kepada rakyatnya. e. Harta yang diperoleh seorang individu tanpa ada kompensasi apapun, seperti pemberian (hibah), hadiah, diyat, mahar dan shadaqah. 2. Kepemilikan Umum (al-milkiyyah al-aammah) Kepemilikan umum adalah izin dari al-Syaari kepada al- jamaaah(masyarakat) untuk secara bersama-sama memanfaatkan sesuatu. Kepemilikan umum ini terbagi menjadi tiga, yakni: a. Segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital bagi masyarakat, yang akan menyebabkan persengketaan tatkala ia lenyap; seperti air, padang rumput, dan api. Rasulullah saw bersabda:

Manusia berserikat dalam 3 hal yaitu air, padang rumput, dan api.[1]

Yang juga termasuk setiap peralatan yang digunakan untuk mengelola fasilitas umum, seperti alat pengebor air yang dibutuhkan oleh masyarakat umum, beserta pipa-pipa yang digunakan untuk menyulingnya (menyalurkannya). Demikian juga peralatan yang digunakan sebagai pembangkit listrik yang memanfaatkan air milik umum (PLTA), tiang-tiang, kabel-kabel, dan stasiun distribusinya. b. Segala sesuatu yang secara alami, mencegah untuk dimanfaatkan hanya oleh individu secara perorangan; seperti, jalanan, sungai, laut, danau, mesjid, sekolah-sekolah negeri, dan lapangan umum. Sabda Rasulullah saw:

Tidak ada pagar pembatas kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya. [2](HR. Bukhori, Abu Dawud, Ahmad) Makna hadits ini adalah, tidak ada hak bagi seorangpun untuk memberikan batasan atau pagar (mengkapling) segala sesuatu yang diperuntukkan bagi masyarakat umum. c. Barang tambang yang depositnya sangat besar. Dalilnya, adalah hadits riwayat Ibnu Majah (2466) dan Ad Darimi (2494) dengan sanad hasan, dari Abyadh bin Hamal bahwa ia telah meminta kepada Rasul saw untuk mengelola tambang garam disuatu daerah yg tidak berair (dekat bendungan marib). Rasulullah memberikannya. Setelah ia pergi, Al Aqra` bin Habis At Taimi berkata;

"Wahai Nabiyullah, sesungguhnya aku telah mendatangi garam itu pada masa Jahiliyah, yaitu dilahan yang tidak ada airnya, lalu orang-orangpun datang dan mengambilnya. Garam tersebut seperti air yang tidak habis-habisnya." Nabi shallallahu alaihi wasallam lalu meminta agar pemberian garam kepadanya dibatalkan, Rasul bersikap demikian karena sesungguhnya tambang garam tersebut adalah barang tambang seperti air mengalir yang tidak terbatas depositnya. 3. Kepemilikan Negara (al-milkiyyah al-daulah) Kepemilikan negara adalah setiap harta yang pengelolaannya diwakilkan pada khalifah sebagai kepala negara. Jenis-jenis harta tersebut adalah seperti; ghanimah (rampasan perang), jizyah (pajak untuk orang kafir), kharj, pajak, harta orang-orang murtad, harta orang yang tidak memiliki ahli waris, panti-panti dan wisma-wisma bagi aparat pemerintahan yang dibuka oleh daulah Islam, dan tanah-tanah yang dimiliki oleh negara.
ASAS KEDUA: PENGELOLAAN KEPEMILIKAN

Pengelolaan kepemilikan adalah tata cara yang seorang muslim wajib terikat dengan tata cara tersebut tatkala ia mempergunakan harta. Syariat Islam telah membatasi tata cara ini dengan hukum-hukum syara; dalam dua perkara, yaitu; pengembangan kepemilikan danpengeluaran harta. 1. Pengembangan Kepemilikan () Islam telah mensyariatkan hukum-hukum tertentu bagi pengembangan kepemilikan, baik dalam perdagangan, pertanian, ataupun industri. Dalam urusan perdagangan Islam telah memperbolehkan jual-beli, ijaarah (upah mengupahi) dan syirkah(perseroan). Selain itu, Islam telah mengharamkan riba, penimbunan (ihtikaar), penipuan, perjudian, dan lain-lain. Dalam masalah pertanian, Islam membolehkan untuk memiliki tanah untuk ditanami. Di sisi lain, Islam telah mengizinkan mengambil tanah tersebut dari pemiliknya jika ia tidak mengelolanya selama 3 tahun berturut-turut. Dalam persoalan industri, Islam membolehkan seorang muslim memiliki pabrik, memproduksi, dan menjual hasil-hasil produksinya. Akan tetapi produk tersebut terbatas pada hal-hal (benda/barang) yang dihalalkan. 2. Pengeluaran Harta (infaaq ul maal) Syara telah menetapkan beberapa cara untuk mengeluarkan harta, yang antara lain adalah: 1. Zakat, sebagai kewajiban bagi setiap individu yang terkena beban kewajiban ini. 2. Membelanjakan harta untuk keperluan dirinya dan untuk orang-orang yang harus di beri nafkah seperti istri, kedua orang tua, anak-anak, yang hukumnya adalah wajib. 3. Silaturahim dengan saling memberi hadiah, yang hukumnya adalah sunnah. 4. Shodaqoh untuk orang-orang fakir dan orang-orang yang membutuhkan, yang hukumnya adalah sunnah. 5. Mengeluarkan harta untuk keperluan jihad, yakni membeli senjata, mempersiapkan tentara, sebagaimana yang pernah dilakukan para shahabat Nabi shahabat saat perang Tabuk dan perang lainnya, yang dalam hal ini hukumnya adalah fardhu kifayah. Selain itu, Islam telah mengharamkan beberapa macam cara pengeluaran harta, yakni: 1. Israaf (melampaui batas) dan tabdzr (mubadzir), yakni mengeluarkan harta dalam hal yang diharamkan dan dalam rangka kemaksiatan.[3] 2. Risywah (sogok), yaitu pemberian harta kepada orang-orang yang memiliki wewenang untuk melaksanakan suatu urusan tertentu diantara urusan-urusan rakyat, seperti pegawai pemerintahan dan para penguasa, agar mereka (orang yang memiliki wewenang) melaksanakan urusan tersebut (padahal seharusnya urusan tersebut wajib dilaksanakan tanpa mendapatkan imbalan)

3. Kikir (al bukhl) dan pelit (taqtiir), yakni tidak mengeluarkan harta yang diwajibkan atas seorang muslim. Misalnya tidak mengeluarkan zakat dan nafkah yang wajib baginya untuk ditunaikan kepada orang yang kesusahan. Firman Allah swt: ][ Dan orang-orang tidak (pula) kikir dan adil (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara demikian (TQS. Al Furqaan: 67). Pengeluaran harta oleh daulah Islam dilakukan pada sebuah kondisi yang mengharuskan negara melakukan tugas-tugas wajib bagi kaum muslim secara keseluruhan, misalnya memberi makan orang-orang yang menderita kelaparan, sebagaimana yang pernah terjadi padam ar ramadh (tahun paceklik) di masa Umar bin Khaththab.
ASAS KETIGA: DISTRIBUSI KEKAYAAN DIANTARA MANUSIA

Terdapat 3 cara, yaitu: 1. Kewajiban Zakat. 2. Negara mendistribusikan hartanya kepada individu rakyat yang membutuhkan tanpa imbalan, seperti sebidang tanah yang diberikan kepada orang yang mampu (kuat) untuk mengelolanya (menanaminya), dan mengeluarkan harta kepada mereka (orang yang membutuhkan) yang diambil dari harta kharaaj dan jizyah. Syariat Islam melarang penimbunan emas dan perak dalam kapasitasnya sebagai alat tukar -harga untuk membeli barang dan jasa--, agar uang tetap terinvestasikan di dalam lapangan pertanian, perdagangan dan industri. Dengan demikian, niscaya pengangguran akan dapat dihapuskan, sekaligus akan sangat membantu pendistribusian kekayaan. 3. Islam telah menetapkan aturan mengenai pembagian harta warisan di antara para ahli waris. Dengan demikian, niscaya akan dapat terdistribusikan bentuk-bentuk kekayaan yang berskala besar. Allahu Taala Alam.

Anda mungkin juga menyukai