Anda di halaman 1dari 16

PROMOSI & PREVENTIF BAGI KESEHATAN JIWA FASE KRONIS BENCANA

Pada hal, bencana, konflik, dan tindakan kekerasan lain sering kali menyisakan persoalan psikologis yang dapat berjangka panjang, yaitu timbulnya Gangguan Stress Pasca Trauma - GSPT (Post Traumatic Stress Disorder - PTSD). Menurut Ibrahim (Pitaloka, 2006) kemungkinan terjadinya PTSD ini dapat sampai dengan jangka 30 tahun. Bahkan menurut Rice (Fahrudin, 2005) dapat berlangsung sepanjang hayat.

PTSD
Gangguan stres pascatrauma (GSPT/PTSD) adalah gangguan psikologis yang terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami suatu peristiwa yang tragis atau luar biasa. Peristiwa pemicu PTSD biasanya bersifat luar biasa, tiba-tiba dan sangat menekan. Menurut Scheraldi (2000) pemicu stress atau kecemasan biasa disebut ordinary stressor, sedangkan peristiwa pemicu PTSD dikategorikan sebagai traumatic stressor.

Gejala PTSD
Menurut American Psychiatric Association (1994) ada 6 indikator bahwa seseorang

mengalami PTSD, yaitu:


a. Gejala pemunculan stressor, terjadi pada : o Orang yang mengalami, menyaksikan, atau mempelajari peristiwa yang melibatkan kematian yang tragis, kecelakaan serius atau kekejaman pada diri sendiri dan orang lain. o Orang yang mengalami ketakutan, ketidakberdayaan atau ketakutan hebat (pada anak-anak, respon tersebut mengakibatkan perilaku kacau atau memprovokasi).

b. Gejala dari peristiwa yang dialami lagi, ditunjukan oleh: o Perilaku mengungkit kembali peristiwa mengganggu. o Mengingat kembali mimpi buruk suatu peristiwa o Berperilaku atau seolah-olah trauma tersebut muncul kembali (ilusi, halusinasi, dan kembali ke masa lalu yang bersifat disosiatif) o Distress psikologis yang hebat atas munculnya tanda-tanda internal atau eksternal yang mensimbolkan dengan suatu aspek dari trauma tersebut. o Reaksi psikologis yang muncul berulang-ulang seperti pada gejala diatas.

c. Gejala dari indikator penghindaran, meliputi : o Upaya-upaya untuk menghindari pikiran, perasaan atau hal lain yang dapat mengingatkan kembali pada peristiwa traumatis. o Upaya-upaya untuk menghindarkan diri dari aktivitas, tempat, atau orang yang terkait dengan peristiwa traumatis. o Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa traumatik. o Berkurangnya minat atau partisipasi secara nyata pada aktivitas yang dahulunya merupakan aktivitas yang menyenangkan. d. Gejala indikator pemunculan, diantaranya : o Perasaan terasing. o Rentang afeksi terbatas o Merasa masa depan suram. e. Gejala gangguan kehidupan. Yaitu gangguan yang menyebabkan distress dalam fungsi sosial atau bidang penting lainnya.

Faktor Penyebab PTSD


Menurut Schiraldi (1999) ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya GSPT, yaitu : 1. Faktor kesengajaan manusia 2. Faktor ketidaksengajaan manusia 3. Faktor bencana alam Angin ribut Angin topan Tornado Banjir Gempa bumi Salju longsor, dan Tsunami.

Rice (Fahrudin, 2005) menjelaskan tiga periode yang berbeda yaitu, yaitu: (1) impact period, berlangsung sepanjang kejadian bencana (2) (2) recoil period, berlangsung dalam beberapa hari selepas kejadian (3) (3) post-trauma period, yang dapat berlangsung lama dan bahkan sepanjang hayat. Hal ini berarti bencana selalu menyisakan masalah, bahkan untuk jangka lama.

Prevalensi
Leach (Andi Fakhrudin, 2005) menegaskan bahwa berdasarkan atas pola-pola respon korban terhadap dampak bencana dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : 1. Kelompok I Kelompok ini biasanya relatif bersahaja, pemikiran mereka masih jelas, dan penuh perhitungan dalam tindakan. Mereka ini kerapkali dinamakan sebagai "supercool". Dari keseluruhan korban biasanya terdapat 10% - 20%. 2. Kelompok II Kelompok ini menunjukkan gejala sangat bingung dan membingungkan. Proses berfikir mereka bertipikal salah atau keliru, dan tidak mampu membuat rencana dengan cara yang masuk akal. Tingkah lakunya memperlihatkan simptom-simptom fisik dan psikologikal yang nyata, khususnya berupa anxiety yang tinggi. Korban yang termasuk ke dalam kategori ini sekitar 75%. 3. Kelompok III Kelompok ini selalu menunjukkan beberapa tingkah laku yang tidak sesuai, beberapa diantaranya ada yang menjadi tidak berdaya (helplessness) dan membeku (cooled) pada situasi dan tempat tertentu, perasaannya mudah berganti, dan beberapa diantaranya cenderung bertingkah laku yang sangat membahayakan dirinya dan orang lain. Prevalensinya antara 10% hingga 15%.

Stres pascatrauma (posttraumatic stress disorder (PTSD)) merupakan kelainan psikologis yang umum diteliti setelah terjadinya bencana. Angka kejadian PSTD pada korban yang mengalami bencana langsung yang selamat kurang lebih 30% sampai 40%. Pengamatan pada 262 korban tsunami di Aceh menunjukkan bahwa 83,6% mengalami tekanan emosi berat dan 77,1% menunjukkan gejala depresi.

Periode post-traumatik berlangsung tatkala korbankorban bencana mulai berjuang untuk melupakan pengalamanpengalaman traumatiknya yang ditandai dengan munculnya gejala gangguan PTSD, yang dapat berlangsung dalam jangka panjang.

Dampak PTSD
Wilson (Schiraldi, 1999) menjelaskan bahwa PTSD dapat berdampak kepada kapasitas-kapasitas psikologi, konsep diri, perkembangan dan hubungan seseorang. Jika tidak ditangani, PTSD akan bertambah parah dan memberikan dampak munculnya gangguan aspek fisik, emosi, mental, perilaku, spiritual. Gejala yang muncul pada aspek fisik di antaranya adalah kelelahan, suhu badan meninggi, menggigil, badan lesu, mual-mual, pening, sesak napas, dan panik. Aspek emosi di antaranya iritasi, hilangnya gairah hidup, ketakutan, dikendalikan emosi, merasa rendah diri. Aspek mental di antaranya kebingungan, ketidakmampuan menyelesaikan masalah, tidak dapat berkonsentrasi, tidak mampu mengingat dengan baik. Aspek perilaku di antaranya adalah sulit tidur, kehilangan selera makan, makan berlebihan, banyak merokok, minum alcohol, menghindar, sering menangis, tidak mampu berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak gerak, mudah marah, ingin bunuh diri, menggerakan anggota tubuh secara berulang-ulang, rasa malu berlebihan, mengurung diri, menyalahkan orang lain. Aspek spiritual di antaranya adalah putus asa, hilang harapan, menyalahkan Tuhan, berhenti ibadah, tidak berdaya, meragukan keyakinan, tidak tulus, dll.

Penanganan PTSD
Sara (2005) menyarankan bahwa metode dalam menangani PTSD haruslah bersifat eklektik atau kombinasi dari berbagai pendekatan, meliputi medikasi, konseling, dan spiritual. Sesuai kompleksitas permasalahan penderita GSPT, maka diperlukan pendekatan bersifat komprehensif dan profesional.
Medikasi adalah pemberian obat-obatan seperti anti depresan. Konseling merupakan pemberian pelayanan baik konseling perorangan ataupun kelompok. Spiritual adalah pendampingan dalam berdoa bersama, pengajian, dan sejenisnya. Pentingnya kehadiran konseling dalam penanganan GSPT juga tercermin dari berbagai pendapat ahli dalam menyikap terjadinya Tsunami tahun 2004, yang menegaskan bahwa penanganan terhadap korban trauma perlu dilakukan segera melalui konseling.

Pengobatan
Penanganan pasien PTSD meliputi psikoterapi dan terapi obat. Psikoterapi insight-oriented membantu psikiater memahami dan kemudian membantu pasien menghilangkan perasaan gundah dan galau dalam dirinya. Obat penenang atau antidepresan dapat pula diberikan. Jenis-jenis obat seperti selective serotonin reuptake inhibitors (SSR), obat antidepresi trisiklik, dan monoamine oxidase inhibitors (MAO) sungguh membantu. Namun masalah potensial dengan terapi obat adalah bahwa pasien kemungkinan menganggap perbaikan klinis yang terjadi disebabkan oleh obat dan bukan karena mereka sendiri. Obat tidak mampu memberikan efek kesembuhan secara total karena terapi obat hanya mengobati gejala, bukan inti dari masalah trauma itu sendiri. Gangguan PTSD kronis tidak dapat hilang seutuhnya, tetapi dapat berkurang seiring waktu bahkan tanpa pengobatan. Meskipun demikian, beberapa orang menjadi cacat tetap dengan gangguan tersebut.

Prevensi
Bencana adalah sesuatu yang terjadi amat tibatiba sehingga tidak dapat diprediksi kapan atau dalam bentuk apa ia akan datang. Gangguan PTSD kronis yang disebabkan hal tersebut diatas menjadi hal yang sulit untuk dicegah. Yang terbaik yang dapat dilakukan adalah pendekatan spiritual setiap saat dan membekali diri dengan karakter fisik dan psikologis yang kuat agar kesehatan jiwanya dapat pulih secara cepat saat bencana datang

Daftar Pustaka
Martan, Irma S. 2009. Pulih Newsletter : Mengenali Trauma Pasca Bencana. Jakarta: Yayasan Pulih Post Traumatic Stress Disorder. http://www.hypnosis45.com/trauma.htm. diakses tanggal 17 Maret 2012, pukul 11:33 AM. Sunardi. 2007. Gangguan Stres Pasca Trauma (Post Traumatic Stress Disorder) Dalam Perspektif Konseling. PLB FIP UPI.

Terima Kasih :3

Anda mungkin juga menyukai