Anda di halaman 1dari 17

a.

Dasar hukum atau instrumen hukum yang mengatur tentang Perencanaan Pembangunan Partisipatif di Kota Solo (UU, Perda, Perwali, SK Walikota, dsb)

PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF ANTARA TANTANGAN DAN HARAPAN Oleh: Djoko Purwanto Seiring dengan penerapan UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah atau yang lebih dikenal dengan otonomi daerah, maka peran daerah menjadi sangat penting artinya bagi upaya meningkatkan peran serta dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Semangat seperti itulah yang saat ini terus bergulir ditengah-tengah masyarakat, meskipun dalam prakteknya belum sebagaimana yang diharapkan banyak pihak. Barangkali itulah proses yang harus dilalui secara bertahap dan berkesinambungan untuk bisa menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Kalau merujuk pada UU No 22 Tahun 1999, yang dimaksud otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain bahwa otonomi daerah memberikan keleluasaan daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri, termasuk bagaimana suatu daerah melakukan perencanaan pembangunan di daerahnya masing-masing. Perencanaan Pembangunan Partisipatif Salah satu pola pendekatan perencanaan pembangunan yang kini sedang dikembangkan adalah perencanaan pembangunan partisipatif. Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta sejak tahun 2001 telah mencoba melakukan perencanaan pembangunan partisipatif didalam kerangka menggali aspirasi yang berkembang di masyarakat melalui musyawarah tingkat RT, RW, kelurahan, kecamatan dan kota. Sebuah langkah positif yang patut dikembangkan lebih lanjut, apalagi hal seperti itu masih dalam taraf pembelajaran yang tentu saja disana-sini masih terdapat kelemahan baik dalam tataran konsep maupun implementasinya di masyarakat. Perencanaan pembangunan partisipatif merupakan pola pendekatan perencanaan pembangunan yang melibatkan peran serta masyarakat pada umumnya bukan saja sebagai obyek

tetapi sekaligus sebagai subyek pembangunan, sehingga nuansa yang dikembangkan dalam perencanaan pembangunan benar-benar dari bawah (bottom-up approach). Nampaknya mudah dan indah kedengarannya, tetapi jelas tidak mudah implementasinya karena banyak factor yang perlu dipertimbangkan, termasuk bagaimana sosialisasi konsep itu di tengah-tengah masyarakat. Meskipun demikian, perencanaan pembangunan yang melibatkan semua unsur / komponen yang ada dalam masyarakat tanpa membeda-bedakan ras, golongan, agama, status sosial, pendidikan, tersebut paling tidak merupakan langkah positif yang patut untuk dicermati dan dikembangkan secara berkesinambungan baik dalam tataran wacana pemikiran maupun dalam tataran implementasinya di tengah-tengah masyarakat. Sekaligus, pendekatan baru dalam perencanaan pembangunan ini yang membedakan dengan pola-pola pendekatan perencanaan pembangunan sebelumnya yang cenderung sentralistik. Nah, dengan era otonomi daerah yang tengah dikembangkan di tengah-tengah masyarakat dengan asas desentralisasi ini diharapkan kesejahteraan masyarakat dalam pengertian yang luas menjadi semakin baik dan meningkat. Lagipula, pola pendekatan perencanaan pembangunan ini sekaligus menjadi wahana pembelajaran demokrasi yang sangat baik bagi masyarakat. Hal ini tercermin bagaimana masyarakat secara menyeluruh mampu melakukan proses demokratisasi yang baik melalui forum-forum musyawarah yang melibatkan semua unsur warga masyarakat mulai dari level RT (Rukun Tetangga), RW (Rukun Warga), Kelurahan, Kecamatan, sampai Kota. Penggerak Pembangunan Dalam pola pendekatan perencanaan pembangunan partisipatif yang sedang dikembangkan ini pada dasarnya yang menjadi ujung tombak dan sekaligus garda terdepan bagi berhasilnya pendekatan perencanaan pembangunan partisipatif tiada lain adalah sejauhmana keterlibatan warga termasuk pengurus RT dan RW dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan program-program pembangunan yang ada di lingkup RT dan RW tersebut. Lembaga organisasi RT dan RW sebagai sebuah lembaga masyarakat yang bersifat pengabdian yang dikelola oleh pengurus RT dan RW ini benar-benar patut diacungi jempol karena pengabdian, ketulusan dan keikhlasan yang dilakukan bagi kepentingan masyarakat sematamata dan jauh dari berbagai kepentingan pribadi. Barangkali pada level-level seperti inilah pembelajaran demokratisasi warga diimplementasikan bagi kepentingan warga masyarakat sekitarnya. Warga masyarakat yang mengajukan usulan program kegiatan, warga masyarakat

pulalah yang melakukan dan sekaligus melakukan pengawasannya. Kesederhanaan, kebersamaan, dan kejujuran diantara warga yang sangat majemuk barangkali menjadi kata kunci perekat diantara mereka. Bukanlah rahasia lagi bahwa yang namanya pengurus RT dan RW ini sudah biasa kalau harus berkorban tenaga, pikiran, dan dana ketika melakukan berbagai program kegiatan yang ada di lingkup ke-rt-an maupun ke-rw-an, apalagi kalau menyambut adanya event-event tertentu. Bahkan tidak jarang mereka harus berhadapan langsung dengan berbagai permasalahan sosial kemasyarakatan, seperti masalah keributan / perkelahian antar warga, keamanan warga, dan sebagainya yang kadangkala jiwa menjadi taruhannya. Mudah-mudahan jiwa dan semangat pengabdian mereka tetap terjaga dengan baik. Harapan dan Tantangan Nuansa demokratis benar-benar nampak diberbagai forum musyawarah tingkat RT dan RW. Kesadaran dan kebersamaan yang tumbuh dan berkembang dengan baik pada organisasi paling bawah ini paling tidak merupakan modal dasar yang sangat berharga bagi pembangunan masyarakat di daerah pada umumnya. Tetapi, kondisi yang ada di lingkup ke-rt-an maupun ke-rwan sekaligus bisa menjadi kendala atau ganjalan manakala aspirasi yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat level bawah ini terabaikan begitu saja. Jangan sampai manis di mulut tetapi sepi dalam realitas. Apabila hal ini terjadi, maka pola pendekatan perencanaan pembangunan partisipatif hanya tinggal sebagai sebuah slogan yang manis dibicarakan, namun pahit dalam tataran pelaksanaannya. Sebagai sebuah gambaran sederhana, misalnya ketika akan diselenggarakan Musyawarah Kelurahan Membangun (Muskelbang) maka setiap RT dan RW harus mempersiapkan usulanusulan program yang akan dilakukan untuk suatu periode tertentu baik berupa usulan kegiatan yang bersifat phisik maupun nonphisik. Usulan program yang diajukan oleh RT dan RW tersebut selanjutnya dibawa ke level kelurahan untuk dibahas lebih lanjut ke forum Muskelbang. Forum inilah diharapkan menjadi ajang pembelajaran demokratisasi para warga di level kelurahan. Nah, sebelum sampai pada forum Muskelbang, sesuai dengan SK Walikota Surakarta Nomor: 410/45-A/1/2002 tentang pedoman teknis penyelenggaraan Musyawarah Kelurahan Membangun, Musyawarah Kecamatan Membangun dan Musyawarah Kota Membangun Kota

Surakarta tahun 2002, disebutkan bahwa sebelum dilaksanakan Muskelbang terlebih dahulu dilakukan Pra-Muskelbang I dan II. Secara garis besar, pada dasarnya apa yang dilakukan dalam kegiatan Pra-Muskelbang I dan II merupakan tahapan-tahapan persiapan yang perlu dilakukan agar Muskelbang yang akan diselenggarakan berjalan dengan baik dan dapat mencapai tujuannya. Selanjutnya, apa yang telah dihasilkan dalam forum Muskelbang ini akan dibahas ke forum musyawarah tingkat Kecamatan (Muscambang) dan selanjutnya ke forum musyawarah Kota (Muskotbang). Musyawarah yang dilakukan mulai level Kelurahan, Kecamatan, dan Kota tiada lain dimaksudkan untuk menjaring semua aspirasi yang berkembang dari berbagai komponen masyarakat yang ada tanpa terkecuali untuk ikut serta merencanakan, melaksanakan, dan melakukan pengawasan program pembangunan daerahnya masing-masing. Apa yang dimusyawarahkan pada forum-forum tersebut bukan saja usulan program kegiatan yang bersifat program fisik tetapi juga yang bersifat non-fisik, termasuk didalamnya sejumlah indicator keberhasilan dan besaran dana yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Pertanyaan yang sering muncul dari warga masyarakat lapisan bawah ini adalah apakah program kegiatan yang diusulkan yang bersumber dari musyawarah di tingkat RT dan RW tersebut nantinya akan terealisir? Pertanyaan polos dan lugas yang muncul dari lubuk hati yang paling dalam warga masyarakat tersebut tentunya wajar dan sah-sah saja. Oleh karena, umumnya mereka sangat berharap bahwa apa yang diusulkan tersebut dapat terealisir, sehingga akan mampu memperbaiki kondisi lingkungan masyarakat di sekitarnya. Akan tetapi, di sisi yang lain pemerintah kota memiliki kendala klasik yaitu keterbatasan anggaran bagi pembangunan daerah. Bahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2002 porsi dana yang disediakan untuk pembangunan sangatlah minim. Disamping itu, masyarakat sendiri juga tidak pernah tahu seberapa besar pemerintah kota (pemkot) mampu menghasilkan penerimaan (pendapatan) bagi APBDnya dan akan dialokasikan pada kegiatan apa. Ini berarti bahwa sosialisasi memiliki arti yang sangat penting bagi warga masyarakat. Mengingat berbagai keterbatasan yang ada (sumber dana), maka pemerintah biasanya menggunakan strategi penetapan Daftar Skala Prioritas (DSP). Dalam artian bahwa pemerintah hanya akan melaksanakan atau membiayai program kegiatan yang memang menjadi skala prioritas utama pembangunan di daerah. Nah, bagaimana dengan program kegiatan yang memiliki bobot prioritas nomor-nomor berikutnya? Pertanyaan ini pernah muncul dalam suatu forum pelatihan

fasilitator di sebuah hotel di Solo beberapa waktu yang lalu sebagai sebuah respon dari instruktur yang mewakili pemerintah kota (pemkot). Kalau yang diterima dan dibiayai APBD hanya usulan kegiatan yang memperoleh prioritas utama, sementara prioritas nomor berikutnya tersisihkan dan harus diusulkan lagi untuk periode berikutnya, maka hal ini memberikan dampak yang kurang baik bagi para pengusul program kegiatan yang sudah bersusah dan berpayah-payah menyusun usulan program tersebut. Pertama: penentuan pola DSP seperti itu tidak efisien, karena pengusul (RT dan RW) harus mengusulkan lagi untuk tahun berikutnya. Kedua, salah satu dampak yang sangat tidak diharapkan adalah munculnya sikap para pengusul yang lebih cenderung asal-asalan dalam mengajukan usulan kegiatan, karena merasa toh pada akhirnya usulannya nanti tidak terealisir juga. Sikap seperti ini bisa saja muncul sebagai sebuah akumulasi kekecewaan yang lama. Ketiga, sikap lainnya yang barangkali perlu diantisipasi adalah munculnya sikap masa bodoh, cuek atau tidak mau tahu terhadap pembangunan masyarakat di lingkungannya. Sikap-sikap tersebut jelas akan menghambat gerak pembangunan di suatu daerah. Oleh karenanya, salah satu gagasan yang barangkali dapat membantu meredam kekecewaan masyarakat adalah dengan menempatkan skala prioritas pembangunan berdasarkan periodisasi (jenjang waktu), katakanlah tahun pertama, kedua dan seterusnya. Kalau periodisasi ini bisa dilakukan maka masyarakat akan tetap memiliki motivasi yang tinggi karena mereka tahu bahwa usulan kegiatannya akan tetap dapat dilaksanakan, meskipun tidak periode sekarang (misalnya). Disisi lain, masyarakat akan memiliki apresiasi yang baik dan positif terhadap pemerintah bahwa ternyata pemerintah benar-benar memiliki komitmen yang tinggi terhadap masyarakat pada umumnya. Ini merupakan modal dasar pembangunan yang sangat berharga bagi pembangunan masyarakat kedepan, tumbuhnya kepercayaan terhadap pemerintahannya sendiri (pemkot). Sebagai warga masyarakat awam hanya bisa berharap, mudah-mudahan pola pendekatan perencanaan pembangunan partisipatif ini benar-benar bisa menumbuhkan kesadaran dan kebersamaan diantara warga masyarakat dalam membangun daerahnya sesuai dengan visi dan misi kota Solo tercinta ini. Bagaimana realisiasinya, tunggu tanggal mainnya! PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN Oleh: Muhamad Amin- Konsorsium Solo PENGANTAR Perencanaan pembangunan partisipatif merupakan issue penting pembangunan yang menjadi tuntutan masyarakat. Hal ini terkait dengan hasil evaluasi bahwa pendekatan pembangunan yang

bersifat top-down dinilai kurang menjawab persoalan dasar dan kebutuhan masyarakat. Temuan tersebut melahirkan pemikiran tentang model pembangunan partisipatif yang menempatkan masyarakat sebagai subyek keseluruhan proses kegiatan. Perencanaan partisipatif merupakan usaha yang sistematis, dimana masyarakat dapat terlibat aktif memecahkan masalah yang dihadapi agar mencapai kondisi berdasarkan kebutuhannya. LANDASAN HUKUM MUSRENBANG Dasar hukum keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan pengangaran daerah dijamin UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, meletakkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, menciptakan rasa memiliki masyarakat dalam pengelolaan pemerintahan daerah, menjamin adanya tranparansi, akuntabilitas, dan kepentingan umum, perumusan program dan pelayanan umum yang memenuhi aspirasi masyarakat. UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, melembagakan musrenbang di semua tingkatan pemerintahan dan perencanaan jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan. Di dalamnya juga terkandung pentingnya sinkronisasi lima pendekatan perencanaan yaitu, pendekatan politik, partisipatif, teknokratis bottom-up dan top-down dalam perencanaan pembangunan daerah. Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional dan Menteri Dalam Negeri tentang petunjuk teknis Penyelenggaraan Musrenbang, mengatur titik masuk partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah. Surat edaran bersama ini juga berisi pedoman tata cara, capaian, prosedur, proses, dan mekanisme penyelenggaraan musrenbang dan forum pemangku kepentingan SKPD. Dengan kerangka legal di atas, pemerintah telah menciptakan kerangka bagi musrenbang untuk dapat mensinkronisasikan perencanaan bottom-up dan top-down dan merekonsiliasi berbagai kepentingan dan kebutuhan pemerintah daerah dan pemangku kepentingan dalam perencanaan pembangunan daerah. ALUR PELAKSANAAN MUSRENBANG Implementasi perencanaan pembangunan partisipatif adalah musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang). Musrenbang adalah forum multipihak terbuka yang secara bersama mengidentifikasi dan menentukan prioritas kebijakan pembangunan masyarakat. Kegiatan ini berfungsi sebagai proses negosiasi, rekonsiliasi, dan harmonisasi perbedaan antara pemerintah dan pemangku kepentingan sekaligus mencapai konsensus bersama mengenai prioritas kegiatan pembangunan berikut anggaran. Pada tingkat masyarakat kelurahan, musrenbang bertujuan untuk mencapai kesepakatan tentang prioritas program Satuan Kerja perangkat Daerah (SKPD) yang akan dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan belanja Daerah (APBD) dan Dana pembangunan Kelurahan (DPK) serta memilih wakil- wakil masyarakat musrenbang tingkat kecamatan.

Pada tingkat kecamatan, peran dan fungsi musrenbang untuk mencapai konsensus dan kesepakatan mengenai: pertama, prioritas program dan kegiatan SKPD untuk dibahas dalam forum SKPD dan kedua, penentuan perwakilan dari kecamatan yang akan menghadiri musrenbang tingkat kota. Pada tingkat kota, musrenbang bertujuan untuk mencapai konsensus dan kesepakatan tentang draft final Rencana Kerja pemerintah Daerah (RKPD). Dokumen ini berisikan: pertama, arah kebijakan pembangunan daerah; kedua, arah program dan kegiatan prioritas SKPD berikut perkiraan anggarannya atau rencana kerja SKPD; keempat, kerangka ekonomi makro dan keuangan; kelima, prioritas program dan kegiatan yang akan dibiayai oleh APBD, APBD propinsi dan sumbersumber biaya lainnya; keenam, rekomendasi dukungan peraturan dari pemerintah propinsi dan pusat; ketujuh, alokasi anggaran untuk Dana Pembangunan Kelurahan (DPK). Pada tingkat sektoral, musrenbang atau dikenal dengan Diskusi Kelonpok Terbatas (DKT) merupakan musyawarah antara SKPD dengan komunitas sektoral atau pihak- pihak yang terkait langsung dengan fungsi SKPD untuk menyepakati rancangan awal rencana kerja SKPD. Selain itu terdapat forum SKPD yakni forum musyawarah antara para pemangku kepentingan pembangunan untuk membahas rumusan kegiatan pembangunan hasil musrenbang tingkat kecamatan dan rumusan kegiatan komunitas sektoral dalam rangka menyepakati Daftar Skala Prioritas kegiatan dalam rencana kerja SKPD. PELAKSANAAN MUSRENBANG DI KOTA SURAKARTA Di Kota Surakarta perencanaan pembangunan partisipatif telah dimulai sejak tahun 2001 hingga tahun 2004, dikenal dengan musyawarah kelurahan membangun (muskelbang), musyawarah kecamatan membangun (muscambang), dan musyawarah kota membangun (muskotbang). Musyawarah di tiga tingkatan ini melibatkan lintas pemangku kepentingan diikuti dua basis komunitas, yaitu basis teritorial (keterwakilan masyarakat RT, RW dan tokoh masyarakat) dan basis sektoral (keterwakilan komunitas, misalnya paguyuban becak, pedagang kaki lima, pengamen dan sebagainya). Pelibatan basis sektoral dalam perencanaan pembangunan agar mereka dapat menyampaikan gagasan yang berkaitan dengan persoalan dan kebutuhan yang dihadapi. Setelah terbit Surat Edaran Bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional dan Menteri Dalam Negeri maka musyawarah kelurahan membangun (muskelbang) diubah menjadi musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang). Semenjak musrenbang tahun 2005 hingga 2008 partisipasi masyarakat mengalami penurunan setiap tahunnya. Penurunan partisipasi tersebut disebabkan oleh: pertama. tidak diakomodirnya usulan program yang diperjuangkan dari kelurahan hingga kota tanpa ada penjelasan; kedua anggapan bahwa musrenbang hanya sebuah ritual dan rutinitas tahunan sehingga usulan perencanaan program hanya sekedar meng-copy program tahun lalu dan tidak dimaknai sebagai upaya membangun sistem pemerintahan yang demokratis; ketiga, penyelenggara musrenbang tidak pernah ada kaderisasi (stering comite, orgainising comite, tingkat kelurahan, kecamatan dan kota) sehingga terkesan bahwa Kota Surakarta tidak mempunyai potensi dan inovasi. MENINGKATKAN KUALITAS MUSRENBANG DI KOTA SURAKARTA

Agar musrenbang di Kota Surakarta dapat mengadopsi kepentingan berbagai pihak maka semangat berpartispasi masyarakat harus dihidupkan lagi. Ada beberapa hal yang harus dilakukan agar musrenbang mendapatkan tempat dan menjadi forum tertinggi perencanan pembangunan tingkat masyarakat, yakni: a. Membangun kembali pemahaman partisipasi masyarakat dalam musrenbang. b. Mendorong peran aktif masyarakat untuk terlibat dalam musrenbang terutama komunitas miskin. c. Memetakan dan menumbuhkan fasilitator masyarakat yang mampu menstrukturkan dan merumuskan kebutuhan masyarakat. d. Melakukan pendampingan kepada masyarakat agar pelaksanaan pembangunan tepat sasaran dan sesuai kebutuhan. Sebelumnya: Riset : Peran Kelompok Sektoral dalam Perencanaan Pembangunan Kota Solo Selanjutnya : Urgensi TKPKD

PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 12

TAHUN 2010 TENTANG

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KOTA SURAKARTA TAHUN 2010-2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURAKARTA, Menimbang : a. bahwa untuk memberikan arah dan tujuan dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan pembangunan daerah sesuai dengan visi dan misi Walikota, perlu disusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah kurun waktu 5 (lima) tahun mendatang; b. bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Surakarta merupakan dasar pelaksanaan program-program pembangunan masyarakat yang akan terwujud dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah; c. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, perlu menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Surakarta Tahun 2010-2015 yang merupakan perwujudan visi, misi dan Program Walikota yang memuat kebijakan penyelenggaraan Pembangunan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Surakarta Tahun 2010-2015;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Kota Besar Dalam Lingkungan Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 45); 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); 3. Undang-Undang Nomor 10 undangan (LembaranNegara Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerundangTahun 2004 Nomor 139, Tambahan Republik Indonesia

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389); 4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421); 5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 6. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438); 7. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700); 8. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); 9. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038);

10. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Republik Indonesia Nomor 5049); 11. Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 4575); Nomor 55

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik 12. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4576); 13. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578); 14. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4585); 15. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593); 16. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Laporan Keuangan Dan Kinerja Instansi Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nom or 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4614); 17. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian Dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4663); 18. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 97, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4664); 19. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pedoman Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Dan Informasi Laporan 4

Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Kepada Masyarakat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2007 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4693); 20. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 21. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negera Republik Indonesia Nomor 4741); 22. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negera Republik Indonesia Nomor 4697); 23. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian Dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4698); 24. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4826); 25. Peraturan Pemerintah 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833); 26. Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan Dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan; 27.Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014; 28. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah Dan Pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Provinsi Jawa Tengah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 Nomor 8 Seri E Nomor 1);

29. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 3 Tahun 2008 Daerah Provinsi Jawa Tengah

tentang

Rencana

Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 2025 (Lembaran Tahun 2008 Nomor 3 Seri E Nomor 3, Tambahan LembaranDaerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 9); 30. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 4 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008 2013 (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 Nomor 4); 31. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Tahun 2009-2029 (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 1010 Nomor 6, Tambahan Lembaran Derah Provinsi Jawa Tengah Nomor 28); 32.Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 8 Tahun 1993 tentang Rencana Umum Tata Ruang Kota Kotamadya Daerah Tingkat I I Surakarta Tahun 1993-2013 (Lembaran Daerah Kota Surakarta Tahun 1998 Nomor 4 Seri D Nomor 4); 33. Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2001 tentang Visi Misi Kota Surakarta (Lembaran Daerah Kota Surakarta Tahun 2001 Nomor 24 Seri D Nomor 20); 34.Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 4 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Pemerintahan Daerah (Lembaran Daerah Kota Surakarta Tahun 2008 Nomor 4); 35.Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 6 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah KotaSurakarta (Lembaran Daerah Kota Surakarta Tahun 2008 Nomor 6); 36.Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kota Surakarta Tahun 2005-2025 (Lembaran Daerah Kota Surakarta Tahun 2010 Nomor 2); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA SURAKARTA Dan WALIKOTA SURAKARTA MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KOTA SURAKARTA TAHUN 2010-2015. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Kota Surakarta. 2. 2. Pemerintah Daerah adalah Walikota dan Perangkat Daerah sebagai unsur 3. penyelenggara pemerintahan daerah. 4. 3. Walikota adalah Walikota Surakarta. 5. 4. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah yang selanjutnya 6. disingkat RPJP Daerah adalah Rencana Pembangunan Jangka Panjang 7. Daerah Kota Surakarta Tahun 2005-2025. 8. 5. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang selanjutnya 9. disingkat RPJM Daerah adalah Rencana Pembangunan Jangka Menengah 10. Daerah Kota Surakarta Tahun 2010-2015. 11. 6. Rencana Kerja Pemerintah Daerah yang selanjutnya disingkat RKPD 12. adalah Rencana Kerja Pemerintah Daerah Kota Surakarta yang disusun 13. setiap tahun sekali. 14. 7. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah 15. Sekretariat DPRD, Badan, Dinas, Kantor, Kecamatan, dan Kelurahan di 16. lingkungan Pemerintah Kota yang mempunyai tugas mengelola anggaran 17. dan barang daerah. 18. 8. Rencana Strategi Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang selanjutnya 19. disingkat Renstra SKPD adalah dokumen perencanaan pembangunan dari 20. masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah Kota Surakarta untuk 21. periode 5 (lima) tahun yang merupakan penjabaran dari RPJM Kota 22. Surakarta sesuai masing masing tugas pokok dan fungsi dari SKPD. BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH Pasal 2 RPJM Daerah merupakan dokumen perencanaan pembangunan daerah sebagai landasan dan pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam melaksanakan pembangunan 5 (lima) tahun terhitung sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2015 dan pelaksanaan lebih lanjut dituangkan dalam RKPD. Pasal 3

Sistematika RPJM Daerah disusun sebagai berikut : a. BAB I : Pendahuluan; b. BAB II : Gambaran Umum Kota Surakarta; c. BAB III : Gambaran Pengelolaan Keuangan Daerah dan Kerangka Pendanaan Program; d. BAB IV : Analisis Isu-isu Strategis e. BAB V : Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran; f. BAB VI : Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan; g. BAB VII : Kebijakan Umum dan Program Pembangunan Daerah; h. BAB VIII : Penetapan Indikator Kinerja Daerah; i. BAB IX : Pedoman Transisi dan kaidah Pelaksanaan; Pasal 4 RPJM Daerah beserta matrik program-program pembangunan daerah RPJM Daerah Kota Surakarta Tahun 2010-2015 sebagaimana tercantum dalam Lampiran merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Pasal 5 RPJM Daerah menjadi pedoman bagi SKPD dalam menyusun Renstra SKPD dan sebagai acuan bagi seluruh pemangku kepentingan di Daerah dalam melaksanakan kegiatan pembangunan selama kurun waktu 2010 2015. Pasal 6 RPJM Daerah BAB III KETENTUAN PERALIHAN Pasal 7 Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, maka RPJM Daerah menjadi pedoman penyusunan rencana pembangunan sampai dengan Tahun 2015, dan dapat diberlakukan sebagai RPJM Daerah transisi sebagai pedoman penyusunan RKPD Tahun 2016 sebelum tersusunnya RPJM Daerah Tahun 2015 2020 yang memuat visi dan misi Walikota terpilih. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 8 wajib dilaksanakan oleh Walikota dalam rangka penyelenggaraan pembangunan di Daerah.

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku maka Peraturan Walikota Surakarta Nomor 26 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Surakarta Tahun 2010-2015 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 9 Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota. Pasal 10 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Surakarta. Ditetapkan di Surakarta pada tanggal 24 November 2010 WALIKOTA SURAKARTA, Ttd. JOKO WIDODO Diundangkan di Surakarta pada tanggal SEKRETARIS DAERAH KOTA SURAKARTA, Ttd. BUDI SUHARTO LEMBARAN DAERAH KOTA SURAKARTA TAHUN 2010 NOMOR 12 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KOTA SURAKARTA TAHUN 2010-2015 I. UMUM Bahwa dalam rangka memberikan arah dan tujuan dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan pembangunan daerah sesuai dengan visi, misi Kepala Daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali

diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, perlu disusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah kurun waktu 5 tahun mendatang. RPJM Daerah Kota Surakarta Tahun 2010-2015 merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Walikota yang penyusunannya berpedoman pada RPJP Daerah dengan memperhatikan RPJM Nasional dan RPJM Provinsi. RPJM Daerah memuat arah dan kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum dan program Satuan Kerja Perangkat Daerah, lintas Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana-rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. Penyusunan RPJM Daerah Kota Surakarta Tahun 2010-2015 dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan pembangunan, serta mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. RPJM Daerah Kota Surakarta Tahun 2010-2015, akan digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan RKPD Kota Surakarta pada setiap tahun anggaran. Selain itu juga dijadikan acuan bagi penyusunan dokumen perencanaan pembangunan Kota Surakarta. Berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut di atas, maka perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Surakarta Tahun 2010-2015. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7

Dokumen RPJMD Tahun 2010-2015 ini dapat diberlakukan sebagai Dokumen RPJMD Transisi untuk pedoman dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Tahun 2016 sebelum RPJMD Tahun 2015-2020 disusun dan ditetapkan menjadi Peraturan Daerah. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas.

Anda mungkin juga menyukai