Anda di halaman 1dari 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Sikap 1. Pengertian Sikap Sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, obyek atau isue (Petty, cocopio, 1986 dalam M. Dewi, dkk (2010:27). Thomas & Znaniecki (1920) dalam M. Dewi, dkk (2010:27) menegaskan bahwa sikap adalah predisposisi untuk melakukan atau tudak melakukan suatu perilaku tertentu, sehingga sikap bukan hanya kondisi internal psikologis yang murni dari individu (purely psychic inner state), tetapi sikap lebih merupakan proses kesadaran yang sifatnya individual. Artinya proses ini terjadi secara subjektif dan unik pada diri setiap individu. Keunikan ini dapat terjadi oleh adanya perbedaan individual yang berasal dari nilai-nilai dan norma yang ingin dipertahankan dan dikelola oleh individu. 2. Komponen Sikap Menurut Baron dan Byrne juga Myers dan Gerungan dalam M. Dewi, dkk (2010:32) menyatakan bahwa ada 3 komponen yang membentuk sikap yaitu : a. Komponen kognitif (komponen perseptual), yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan yaitu hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana orang mempersepsi terhadap sikap. b. Komponen afektif (komponen emosional), yaitu komponen yang

berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap objek sikap. Rasa senang merupakan hal yang positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan hal yang negatif. Komponen ini menunjukkan arah sikap, yaitu positif dan negatif. c. Komponen konatif (komponen perilaku, atau action component), yaitu komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap.

3.

Tingkatan Sikap Sikap terdiri dari berbagai tingkatan diantaranya yakni (Soekidjo

Notoatmojo 1996, dalam M. Dewi, dkk (2010:33) : a. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek). b. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi sikap karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan. Lepas pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang itu menerimaide tersebut. c. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. d. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah mempunyai sikap yang paling tinggi. 4. Sifat Sikap Sikap dapat pula bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif (Heri Purwanto 1998, dalam A. Wawan & Dewi M, 2010:34) : a. Sikap positif kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan obyek tertentu. b. Sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai obyek tertentu. 5. Ciri-Ciri Sikap Ciri-ciri sikap adalah (Heri Purwanto 1998, dalam A. Wawan & Dewi M, 2010:34) : a. Sikap bukan dibawa sejak lahir melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan itu dalam hubungan dengan obyeknya. Sifat ini

membedakannya dengan sifat motif-motif biogenis seperti lapar, haus, kebuutuhan akan istirahat.

b.

Sikap dapat berubah-ubah karena itu sikap dapat dipelajari dan sikap dapat berubah pada orang-orang bila terdapat keadaankeadaan dan syarat-syarat tertentu yang mempermudah sikap pada orang itu.

c.

Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu terhadap suatu objek dengan kata lain, sikap itu terbentuk, dipelajari atau berubah senantiasa berkenaan dengan suatu objek tertentu yang dapat dirumuskan dengan jelas.

d.

Objek sikap itu merupakan suatu hal tertentu tetapi dapat juga merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut.

e.

Sikap mempunyai segi-segi motivasi dan segi-segi perasaan, sifat alamiah yang mebedakan sikap dan kecakapan-kecakapan atau pengetahuanpengatahuan yang dimiliki orang. Kimball Young (1957) dalam A. Wawan & Dewi M, (2010:35)

menyatakan bahwa ciri-ciri adalah An attitude is essentially a from of anticipatory response, a beginning of action which is nor necessary completed. This readines to react moreover, implies some kind of stimulating situation, either, specific orgeneral. Also, attitude tend to have stability and persistence. Dari yang dipaparkan di atas, sikap itu mempunyai kecenderungan stabil, sekalipun sikap itu dapat mengalami perubahan. Sikap itu dibentuk atau pun dipelajari dalam hubungannya dengan objek-objek tertentu. Berhubung dengan hal-hal tersebut diatas, maka akan terlihat pentingnya faktor pengalaman dalam rangka pembentukan sikap. 6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap keluarga terhadap obyek sikap antara lain : a. Pengalaman Pribadi

Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional.

b.

Pengaruh orang lain yang dianggap penting

Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut. c. Pengaruh Kebudayaan

Tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman individu-individu masyarakat asuhannya. d. Media Massa

Dalam pemberitaan surat kabar mauoun radio atau media komunikasi lainnya, berita yang seharusnya faktual disampaikan secara obyektif cenderung dipengaruhi oleh sikap penulisnya, akibatnya berpengaruh terhadap sikap konsumennya. e. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama

Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan lembaga agama sangat menentukan sistem kepercayaan tidaklah mengherankan jika kalau pada gilirannya konsep tersebut mempengaruhi sikap. f. Faktor Emosional

Kadang kala, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. (Azwar 2005, dalam A. Wawan & Dewi M, 2010:36).

B. Tinjauan

Umum

Tentang

Perawat

Sebagai

Pemberi

Asuhan

Keparawatan 1. Definisi Peran Perawat Perawat adalah seseorang yang lulus pendidikan perawat, baik didalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Kepmenkes RI No. 02.02 tahun 2010). Dalam menjalankan praktik keperawatan perawat harus senantiasa meningkatkan mutu pelayanan profesinya,

10

dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan tugasnya. Dalam melaksanakan praktik keperawatan, perawat juga dituntut melakukan peran dan fungsi sebagaimana yang diharapkan oleh profesi dan masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan keperawatan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999), peran merupakan seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang, sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Sedangkan menurut Kusnanto (2004), peran perawat adalah memberikan perhatian kepada pasien dalam segala situasi yang berhubungan dengan kesehatannya. 2. a. Peran dan Fungsi Perawat Kalisfikasi peran perawat Menurut Doheny (1982) dalam Hidayat, (2008:30) mengidentifikasikan beberapa elemen peran perawat profesional sebagai berikut : 1) Sebagai pemberi asuhan keperawatan (Care giver) Sebagai pelaku/pemberi asuhan keperawatan, perawat dapat memberikan pelayanan keperawatan secara langsung dan tidak langsung kepada klien, menggunakan pendekatan proses keperawatan yang meliputi : melakukan pengkajian dalam upaya mengumpulkan data dan informasi yang benar, menegakkan diagnosa keperawatan berdasarkan hasil analisis data, merencanakan intervensi keperawatan sebagai upaya mengatasi masalah yang muncul dan membuat langkah/cara pemecahan masalah, melaksanakan tindakan keperawatan sesuai dengan rencana yang ada dan melakukan evaluasi berdasarkan respon klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilakukan. 2) Sebagai pembela untuk melindungi pasien (Client advocate) Sebagai advokat klien, perawat berfungsi sebagai penghubung antara pasien dengan tim kesehatan lain dalam upaya pemenuhan kebutuhan pasien, membela kepentingan pasien dan pasien memahami semua informasi dan upaya kesehatan yang diberikan oleh tim kesehatan dengan pendekatan tradisional maupun profesional. Peran advokasi sekaligus mengharuskan perawat bertindak sebagai narasumber dan fasilitator dalam tahap pengambilan keputusan terhadap upaya kesehatan yang harus dijalani oleh pasien. Dalam menjalankan peran

11

sebagai advokat (pembela klien) perawat harus dapat melindungi dan memfasilitasi keluarga dan masyarakat dalam pelayanan keperawatan. 3) Sebagai pemberi bimbingan/konseling pasien (Counselor) Tugas utama perawat adalah mengidentifikasi perubahan pola interaksi pasien terhadap keadaan sehat-sakitnya. Adanya pola interaksi ini merupakan dasar dalam merencanakan metode untuk meningkatkan kemampuan adaptasinya. Memberikan konseling/bimbingan kepada klien, keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan sesuai prioritas. Konseling diberikan kepada individu/keluarga dalam mengintegrasikan pengalaman kesehatan dengan pengalaman yang lalu, pemecahan masalah difokuskan pada masalah keperawatan, mengubah perilaku hidup kearah perilaku hidup sehat. 4) Sebagai pendidik pasien (Educator) Sebagai pendidik pasien, perawat membantu pasien meningkatkan kesehatannya melalui pemberian pengetahuan yang terkait dengan keperawatan dan tindakan medik yang diterima sehingga pasien/keluarga dapat menerima tanggung jawab terhadap hal-hal yang diketahuinya. Sebagai pendidik, perawat juga dapat memberikan pendidikan kesehatan kepada kelompok keluarga yang beresiko tinggi, kader kesehatan, dan lain sebagainya. 5) Sebagai anggota tim kesehatan yang dituntut untuk dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain (Collaborator) Perawat bekerjasama dengan tim kesehatan lain dan keluarga dalam menentukan rencana maupun pelaksanaan asuhan keperawatan guna memenuhi kebutuhan kesehatan pasien. 6) Sebagai koordinator agar dapat memanfaatkan sumber-sumber potensi pasien (Coordinator) Perawat memanfaatkan semua sumber-sumber dan potensi yang ada, baik materi maupun kemampuan pasien secara terkoordinasi sehingga tidak ada intervensi yang terlewatkan maupun tumpang tindih. Dalam menjalankan peran sebagai koordinator, perawat dapat melakukan hal-hal sebagai berikut : a) Mengkoordinasi seluruh pelayanan keperawatan

b) Mengatur tenaga keperawatan yang akan bertugas c) Mengembangkan sistem pelayanan keperawatan

12

d) Memberikan informasi tentang hal-hal yang terkait dengan pelayanan keperawatan pada sarana kesehatan 7) Sebagai pembaharu yang selalu dituntut untuk untuk mengadakan perubahanperubahan (Change agent) Sebagai pembaharu, perawat menggadakan invasi dalam cara berfikir, bersikap, bertingkah laku dan meningkatkan keterampilan klien/keluarga agar menjadi sehat. Elemen ini mencakup perencanaan, kerjasama, perubahan yang sistematis dalam berhubungan dengan pasien dan cara memberikan perawatan kepada pasien. 8) Sebagai sumber informasi yang dapat membantu memecahkan masalah pasien (Consultan) Elemen ini secara tidak langsung berkaitan dengan permintaan pasien terhadap informasi tentang tujuan keperawatan yang diberikan. Dengan peran ini dapat dikatakan perawat adalah sumber informasi yang berkaitan dengan kondisi spesifik pasien. b. Klasifikasi fungsi perawat Fungsi merupakan suatu pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan perannya. Fungsi tersebut dapat berubah disesuaikan dengan keadaan yang ada. Dalam menjalankan perannya, menurut Hidayat, (2008:32) perawat akan melaksanakan berbagai fungsi diantaranya: 1) Fungsi Independen Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang lain, dimana perawat dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara sendiri dengan keputusan sendiri dalam melakukan tindakan. 2) Fungsi Dependen Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatannya atas peran atau interuksi dari perawat lain. Sehingga sebagai tindakan pelimpahan tugas yang diberikan. Hal ini biasa dilakuakan oleh perawat spesialis kepada perawat umum, atau dari perawat primer ke perawat pelaksana.

13

3) Fungsi Interdependen Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling ketergantungan diantara tim satu dengan lainnya. Fungsi ini dapat terjadi apabila bentuk pelayanan membutuhkan kerja sama tim dalam memberikan pelayanan. 3. Perawat Sebagai Pemberi Asuhan Keperawatan Kebutuhan Spiritual Selama beberapa dekade terakhir, keperawatan telah mengalami perubahan-perubahan yang mengagumkan, terutama melalui munculnya gerakan reformasi profesional pada tahun 1970-an yang disebut Keperawatan Baru (Salvage, 1992). Unsur sentral dari ideologi keperawatan baru adalah hubungan antara perawat dengan pasien. Fokus perawatan beralih dari pendekatan yang berorientasi pada medis-penyakit ke model yang berfokus pada orang dan bersifat pribadi. Disini pasien dilihat sebagi partisipan yang aktif dan bukan penerima perawatan yang pasif. Dalam konteks yang sama, peran pengasuhan dari perawat tidak lagi berpusat pada fungsi-fungsi biologis pasien tetapi telah meluas ke aspek-aspek psiko-sosial individu. Gerakan ini tidak hanya ditujukan pada sifat interaksi antara pasien dengan perawat, tetapi juga pada status dan wewenang perawat. Stereotip perawat sebagai pembantu dokter telah mendapat tantangan. Tuntutan untuk kesetaraan dan otonomi dari perawat telah meningkat sejalan dengan ditetapkannya teori keperawatan dan model-model keperawatan. Perawat mulai melihat dirinya sebagai praktisi dengan hak tersendiri, mempunyai dan menerima tanggung jawab untuk membuat keputusan tentang praktik keperawatan. Hubungan perawatpasien diidentifikasikan sebagai tanda dari keperawatan profesional (Potter & Perry, 2009:20). Perawat adalah orang yang memberikan pelayanan/asuhan keperawatan berdasarkan data hasil pengkajian sampai pada evaluasi hasil baik medik maupun bio, psiko, sosial, spiritual (Hidayat, 2008:3). Untuk memudahkan dalam memberikan asuhan keperawatan dengan memperhatikan kebutuhan spiritual penerima pelayanan keperawatan, maka perawat mutlak perlu memiliki kemampuan mengidentifikasi atau mengenal karakteristik spiritualitas seperti sembahyang, perlengkapan keagamaan dan bersatu dengan alam. Secara ringkasnya dapat dinyatakan bahwa seseorang terpenuhi kebutuhan spiritualnya

14

apabila mampu: merumuskan arti persoalan yang positif tentang tujuan keberadaannya di dunia/kehidupan, mengembangkan arti penderitaan dan meyakini hikmah dari suatu kejadian atau penderitaan, menjalin hubungan positif dan dinamis melalui keyakinan, rasa percaya dan cinta, Membina integritas personal dan merasa diri berharga, merasakan kehidupan yang terarah terlihat melalui harapan, mengembangkan hubungan antar manusia yang positif (Hamid, 2009:4). Keyakinan spiritual sangat penting bagi perawat karena dapat

mempengaruhi tingkat kesehatan dan perilaku self care klien. Dalam Hamid (2009:11) beberapa pengaruh dari keyakinan spiritual yang perlu dipahami adalah sebagai berikut : Menentukan kebiasaan hidup sehari-hari Praktik penentu pada umumnya yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan mungkin mempunyai makna keagamaan bagi klien. Sebagai contoh, ada agama yang menetapkan makanan diet yang boleh dan tidak boleh dimakan. Begitu pula metode keluarga berencana ada agama yang melarang cara tertentu untuk mencegah kehamilan termasuk terapi medik atau pengobatan. Sumber dukungan Pada saat mengalami stress, individu akan mencari dukungan dari keyakinan agamanya. Dukungan ini sangat diperlukan untuk dapat menerima keadaan sakit yang dialami, khususnya jika penyakit tersebut memerlukan proses penyembuhan yang lama dengan hasil yang belum pasti. Sembahyang atau berdoa, membaca kitab suci dan praktik keagamaan lainnya sering membantu memenuhi kebutuhan spiritual yang juga merupakan suatu perlindungan terhadap tubuh. Sumber kekuatan dan penyembuhan Menurut Taylor, Lilis dan Le Mone (1997), nilai dari keyakinan agama tidak dapat dengan mudah dievaluasi. Walaupun demikian pengaruh keyakinan tersebut dapat diamati oleh tenaga kesehatan dengan mengetahui bahwa individu cenderung dapat menahan distress fisik yang luar biasa karena mempunyai keyakinan yang kuat. Keluarga klien akan mengikuti semua proses penyembuhan

15

yang memerlukan upaya luar biasa, karena keyakinan bahwa semua upaya tersebut akan berhasil. Sumber konflik Pada suatu situasi tertentu, bisa terjadi konflik antar keyakinan agama dengan praktik kesehatan. Ada agama tertentu yang menganggap manusia sebagai makhluk yang tidak berdaya dalam mengendalikan lingkungannya, oleh karena itu penyakit diterima sebagai nasib bukan sebagai sesuatu yang harus disembuhkan. Menurut Taylor, Lilis & Le Mone (1997) dan Craven & Hirnle (1996) dalam Hidayat (2009:10) faktor penting yang dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang salah satunya adalah pemberian asuhan keperawatan yang kurang tepat. Ketika memberikan asuhan keperawatan kepada pasien, perawat diharapkan untuk peka terhadap kebutuhan spiritual pasien, tetapi dengan berbagai alasan ada kemungkian perawat justru menghindar untuk memberikan asuhan spiritual. Alasan tersebut antara lain karena perawat merasa kurang nyaman dengan kehidupan spiritualnya, kurang menganggap penting kebutuhan spiritual, tidak mendapatkan pendidikan tentang aspek spiritual dalam keperawatan, atau merasa bahwa pemenuhan kebutuhan spiritual bagi pasien bukan menjadi tugasya tetapi tanggung jawab pemuka agama. Lima isu nilai yang mungkin timbul antara perawat dengan pasien, adalah : Pluralisme, perawat dan pasien menganut kepercayaan dan iman dengan spektrum yang luas. Fear, berhubungan dengan ketidakmampuan mengatasi situasi, melanggar privacy pasien, atau merasa tidak pasti dengan sistem kepercayaan dan nilai diri sendiri. Kesadaran tentang pertanyaan spiritual, apa yang memberikan arti dalam kehidupan, tujuan, harapan dan merasakan cinta dalam kehidupan pribadi perawat. Bingung, terjadi karena adanya perbedaan antara agama dan konsep spiritual. Berbagai perilaku dan ekspresi yang dimanifestasikan pasien seharusnya diwaspadai oleh perawat, karena mungkin saja pasien sedang mengalami masalah spiritual. Individu yang mengalami gangguan fungsi spiritual biasanya memverbalisasikan distress yang dialaminya atau mengekspresikan kebutuhan

16

untuk mendapatkan bantuan. Biasanya pasien meminta perawat untuk berdoa bagi kesembuhannya atau memberitahukan kepada pemuka agama untuk

mengunjunginya. Perawat juga perlu peka terhadap keluhan pasien tentang kematian atau merasa tidak berharga dan kehilangan arti hidup. Kepekaan perawat sangat penting dalam menarik kesimpulan dari verbalisasi klien tentang distress yang dialami pasien. Perubahan perilaku juga dapat merupakan manifestasi gangguan fungsi spiritual. pasien yang merasa cemas dengan hasil pemeriksaan atau menunjukkan kemarahan setelah mendengar hasil pemeriksaan mungkin saja sedang menderita distress spiritual. Oleh karena itulah perawat kiranya hadir sebagai care giver bagi pasien yang sedang mengalami masalah tersebut (Hamid, 2009:13).

C. Tinjauan Umum tentang Aspek Spiritualitas Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan yang Maha Kuasa. Sebagai contoh, orang yang percaya kepada Allah sebagai Pencipta atau sebagai Maha Kuasa. Menurut Burkhardt (1993) dalam Hamid (2009:2), spiritualitas meliputi aspek sebagai berikut : 1. Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam kehidupan. 2. 3. Menemukan arti dan tujan hidup. Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri. 4. Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan Yang Maha Tinggi. Agama merupakan petunjuk perilaku karena didalam agama terdapat ajaran baik dan larangan yang dapat berdampak pada kehidupan dan kesehatan seseorang. Sebagai contoh, orang sakit dapat memperoleh kekuatan dengan menyerahkan diri atau memohon pertolongan 2009:254). Perkembangan spiritual seseorang menurut Westerhoffs dalam Hidayat (2009:254) dibagi kedalam empat tingkatan berdasarkan kategori umur, yaitu : dari Tuhannya (Hidayat,

17

1.

Usia anak-anak, merupakan tahap perkembangan kepercayaan berdasarkan pengalaman. Perilaku yang didapat, antara lain adanya pengalaman dari interaksi dengan orang lain dengan keyakinan atau kepercayaan yang dianut. Pada masa ini, anak belum mempunyai pemahaman salah atau benar. Kepercayaan atau keyakinan yang ada pada masa ini mungkin hanya mengikuti ritual atau meniru oranng lain, seperti berdoa sebelum tidur, makan, dan lain-lain. Pada masa prasekolah, kegiatan keagamaan yang dilakukan belum bermakna pada dirinya, perkembangan spiritual mulai mencontoh aktivitas keagamaan orang sekelilingnya, dalam hal ini keluarga, arti doa, serta mencari jawaban tentang kegiatan keagamaan.

2.

Usia remaja akhir, merupakan tahap perkumpulan kepercayaan yang ditandai dengan adanya partisipasi aktif pada aktivitas keagamaan. Pengalaman dan rasa takjub membuat mereka semakin merasa memiliki dan berarti akan keyakinannya. Perkembangan spiritual pada masa ini sudah mulai pada keinginan akan pencapaian kebutuhan spiritual seperti keinginan melalui meminta atau berdoa kepada penciptanya, yang berarti sudah mulai membutuhkan pertolongan melalui keyakinan atau kepercayaan. Bila pemenuhan kebutuhan spiritual tidak terpenuhi, akan timbul kekecewaan.

3.

Usia awal dewasa, merupakan masa pencarian kepercayaan diri, diawali dengan proses pernyataan akan keyakinan atau kepercayaan yang dikaitkan secara kognitif sebagai bentuk yang tepat untuk mempercayainya. Pada masa ini, pemikiran sudah bersifat rasional. Segala pertanyaan tentang kepercayaan harus dapat dijawab secara rasional. Pada masa ini, timbul perasaan akan penghargaan terhadap kepercayaan.

4.

Usia pertengahan dewasa, merupakan tingkatan kepercayaan dari diri sendiri, perkembangan ini diawali dengan semakin kuatnya kepercayaan diri yang dipertahankan walaupun menghadapi perbedaan keyakinan yang lain dan lebih mengerti akan kepercayaan dirinya.

18

D. Tinjauan Umum Tentang Kebutuhan Spiritual pasien 1. Pengertian Kebutuhan Spiritual Menurut Carson (1989) dalam Hamid (2009:3) kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai, menjalin hubungan penuh rasa percaya dengan Tuhan. Maka dapat disimpulkan kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan untuk mencari arti dan tujuan hidup, serta menemukan rasa dan keterikatan dengan diri sendiri dan yang maha tinggi. 2. Faktor-faktor Kebutuhan Spiritual Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan spiritual antara lain: a. Perkembangan

Usia perkembangan dapat menentukan proses pemenuhan kebutuhan spiritual, karena setiap tahap perkembangan memeliki cara meyakini kepercayaan terhadap Tuhan. b. Keluarga

Keluarga memiliki peran yang cukup strategis dalam memenuhi kebutuhan spiritual, karena keluarga memiliki ikatan emosional yang kuat dan selalu berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. c. Ras/suku

Ras/suku memiliki keyakinan/kepercayaan yang berbeda, sehingga proses pemenuhan kebutuhan spiritual pun berbeda sesuai dengan keyakinan yang dimiliki. d. Agama yang dianut

Keyakinan pada agama tertentu yang dimiliki oleh seseorang dapat menentukan arti pentingnya kebutuhan spiritual. e. Kegiatan keagamaan

Adanya kegiatan keagamaan dapat selalu mengingatkan keberadaan dirinya dengan Tuhan dan selalu mendekatkan diri kepada Penciptanya (Hidayat, 2009:255).

19

3.

Kebutuhan Bantuan Spiritual Pasien Beberapa orang yang membutuhkan bantuan spiritual antara lain (hidayat,

2009:256) : a. Pasien kesepian

Pasien dalam keadaan sepi dan tidak ada yang menemani akan membutuhkan bantuan spiritual karena mereka merasakan tidak ada kekuatan selain kekuatan Tuhan, tidak ada yang menyertainya selain Tuhan. b. Pasien ketakutan dan cemas

Adanya ketakutan atau kecemasan dapat menimbulkan perasaan kacau, yang dapat membuat pasien membutuhkan ketenangan pada dirinya dan ketenangan yang paling besar adalah bersama Tuhan. c. Pasien menghadapi pembedahan

Menghadapi pembedahan adalah sesuatu yang sangat mengkhawatirkan karena akan timbul perasaan antara hidup dan mati. Pada saat itulah keberadaan pencipta dalam hal ini adalah Tuhan sangat penting sehingga pasien selalu membutuhkan bantuan spiritual. d. Pasien yang harus mengubah gaya hidup

Perubahan gaya hidup dapat membuat seseorang lebih membutuhkan keberadaan Tuhan (kebutuhan spiritual). Pola gaya hidup dapat membuat kekacauan keyakinan bila ke arah yang lebih buruk, maka pasien akan lebih membutuhkan dukungan spiritual. Masalah yang sering terjadi pada pemenuhan kebutuhan spiritual adalah distress spiritual, yang merupakan suatu keadaan ketika individu atau kelompok mengalami atau beresiko mengalami gangguan dalam kepercayaan atau sistem nilai yang memberikannya kekuatan, harapan dan arti kehidupan, yang ditandai dengan pasien meminta pertolongan spiritual, mengungkapkan adanya keraguan dalam sistem kepercayaan, adanya keraguan yang berlebihan dalam mengartikan hidup, mengungkapkan perhatian yang lebih pada kematian dan sesudah hidup, adanya keputusan, menolak kegiatan ritual dan terdapat tanda-tanda seperti menangis, menarik diri, cemas dan marah, kemudian ditunjang dengan tandatanda fisik seperti nafsu makan terganggu, kesulitan tidur dan tekanan darah meningkat (Hidayat, 2009:256)

20

Bagan 2.1 Kerangka Teori

Anda mungkin juga menyukai