Tutor :
Aulia Dyah Febrianti Mina Rahmanda Putri Octi Guchiani Suci Nuryanti Rahmat Husein Maulana Rizqi Yuniar Yuni Hanifah Aris Wibowo Arfin Heri Indarto Sabhrina Resi Putri Erli Nur R
G1A009002 G1A009011 G1A009026 G1A009067 G1A009072 G1A009089 G1A009097 G1A009108 G1A009117 G1A009126 G1A008029
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU ILMU KESEHATAN JURUSAN KEDOKTERAN 2012
BAB I PENDAHULUAN
Proses belajar memiliki berbagai metode pembelajaran dalam rangka mencapai sasaran belajar dan kompetensi yang diharapkan untuk mahasiswa yang bersangkutan. Salah satu metode pembelajaran tersebut adalah dengan metode Problem Based Learning, yakni suatu metode belajar dengan model diskusi pembelajaran bersama terhadap skenario kasus tertentu yang menuntut mahasiswa berperan aktif secara individu. Tujuan dari pbl ini yaitu : a. Mengembangkan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah kesehatan dari skenario masalah yang berisi patient problem. b. Melatih kemampuan generic learning skills, dan memahami serta menghubungkan basic sciences dengan clinical sciences. c. Meningkatkan penguasaan soft skills yang meliputi kepemimpinan, profesionalisme, ketrampilan komunikasi, kemampuan untuk bekerja sama dan bekerja dalam tim, ketrampilan untuk berpikir secara kritis,serta kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi d. Melatih karakter student centred learning,self directed learning dan adult learning. Dalam memahami dan mendalami permasalahan yang telah tersedia melalui penerapan seven jumps, yaitu: 1. Klarifikasi istilah 2. Batasan masalah 3. Analisa masalah 4. Pembahasan masalah 5. Kesimpulan Pada kasus PBL (Problem Based Learning) kedua blok NSS ini, kami membahas mengenai meningoencephalitis tuberculosis. Pada
pembahasan kali ini, kami harus benar-benar memahami mulai dari apa itu encephalitis dan meningitis, mengapa kuman tuberculosis bisa menjadi penyebab terjadinya penyakit ini, fakor predisposisi, patogenesis,
patofisiologi,
penegakkan
diagnosis,
penatalaksanaan,
komplikasi,
RPS Tn M. Usia 38 tahun datang ke IGD diantar keluarganya dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 1 jam yang lalu ketika sedang tiduran. Sebelumnya 6 jam sebelum masuk rumah sakit, pagi hari setelah bangun tidur pasien mengeluh sakit pada kepalanya yang semakin lama semakin hebat hingga pasien muntah, keluhan ini tidak hilang dengan mengonsumsi obat penghilang rasa sakit. Sehingga oleh keluarganya Tn.M dibawa ke rumah sakit, ditengah perjalanan Tn.M mengalami kejang selama 10 menit. Sesampainya di IGD pasien mengalami kejang kembali selama 5 menit. Seminggu sebelum masuk rumah sakit pasien merasa demam. Pasien mempunyai riwayat 1 bulan yang lalu, pasien mengeluh batuk, sering berkeringat pada malam hari dan pasien merasakan berat badannya turun sehingga dengan keluhan ini pasien berobat ke dokter. Oleh dokter, pasien dilakukan foto rontgen dan diketahui terdapat infeksi pada paru-parunya. Pasien diharuskan meminum obat yang tidak boleh putus sama sekali selama 6 bulan, akan tetapi karena keterbatasan biaya pasien tidak berobat kembali.
RPD a. Riwayat hipertensi disangkal b. Riwayat DM disangkal c. Riwayat penyakit jantung disangkal d. Riwayat kejang sebelumnya disangkal e. Riwayat trauma kepala disangkal
Vital sign
: TD N
RR : 24 x/menit S Orientasi a. Waktu b. Orang c. Tempat Kepala dan leher a. Kepala b. Leher c. Mata Jantung Paru : mesochepal, tanda trauma ( jejas ) (-) : kaku kuduk (+) : dbn : dbn : stridor : jelek : jelek : jelek
STATUS NEUROLOGIS 1. Pemeriksaan nervus kranialis a. N III : ODS OS : bentuk pupil bulat isokor diameter 3mm : reflek cahaya langsung dan tidak langsung
(+) sedikit berkurang b. N VI c. N VII 2. 3. Pemeriksaan sensibilitas Pemeriksaan neurologis a. Tes kaku kuduk b. Tes brudzinki c. Tes kernig 4. Pemeriksaan fisiologis 5. Kekuatan motorik keempat ekstrimitas 6. Pemeriksaan patologis : (+) : (+) : (+) : (+) meningkat : sulit dinilai, kesan kelemahan pada : kesan parese N VIII bilateral : parese facial sinistra tipe sentral : sulit dinilai
a. Reflek babinsky
: +/+
PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Darah lengkap (Hb. Leukosit, Ht, trombosit, hitung jenis) GDS, ureum kreatinin, elektrolit a. Hb b. Leukosit c. Trombosit d. Hematokrit e. GDS f. Ureum g. kreatinin h. kalium i. natrium j. Klorida 2. TB ICT 3. Foto Thorax 4. Brain CT scan a. gambaran tuberculoma b. tidak tampak hidrocephalus c. tidak tampak infark 5. Lumbal pungsi a. Warna b. Leukosit c. Neutrofil : xantokrom : 750 x 10 3 /ml : <75 % : 14 gr/dl : 17000/mm3 : 150.000 mm3 : 42 % : 145 mg/dl : 23 mg/ dl : 0,7 mg/dl : 4 meq/l : 140 meq/l : 101 meq/l : (+) : gambaran TB milier paru kanan kiri
N III, N VI, parese N VII sinistra tipe sentral Diagnosis topis Diagnosis etiologi Diagnosis banding : meningeal, encephalon : meningoencephalitis e.c tuberkulosa : menigoencephalitis e.c virus
Meningoencephalitis e.c parasit Prognosis Fungsional Vitam Sanam TERAPI a. IVFD Asering 20 tpm b. O2 liter/menit c. Dexamethason IV bolus 0,3 mg/ kgbb/hari d. Diazepam 10 mg iv pelan e. Phenitoin 3 x 100 mg iv f. Paracetamol 3 x 500 mg ( jika panas) g. Causa i. Tahap I ( 2 bulan) a) isoniazid 300 mg b) rifampisin 600 mg c) pirazinamid 2 gram d) etambutol 750 mg ii. Tahap lanjut ( 7 10 bulan) a. Isoniazid 300 mg b. Rifampicin 600 mg : : dubia ad malam : dubia ad malam : dubia ad malam
A. KLARIFIKASI ISTILAH 1. Kejang : Kejang adalah suatu kejadian paroksismal yang disebabkan oleh lepas muatan hipersinkron abnormal dari suatu kumpulan SSP(Price, 2006). Kejang juga merupakan suatu kondisi dimana otot tubuh berkontraksi dan relaksasi secara cepat dan berulang, oleh karena abnormalitas sementara dari aktivitas elektrik di otak, dapat karena kelainan intrakranial, ekstrakranial, atau metabolik (Nelson, 2000). 2. Penurunan Kesadaran : Kesadaran dapat didefinisikan sebagai keadaan yang mencerminkan pengintegrasian semua impuls aferen dan impuls
eferen. Jumlah impuls aferen menentukan derajat kesadaran, sedangkan cara pengolahan impuls aferen yang menelurkan pola-pola impuls eferen menentukan kualitas kesadaran (Sidharta, 2009). 3. Tingkat kesadaran : adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan menjadi : No. Istilah 1. Sadar Karakteristik 1. Sadar penuh akan sekeliling 2. Orientasi dikatakan baik terhadap orang, tempat dan waktu 3. Kooperatif 4. Dapat mengulang beberapa angka beberapa menit setelah diberi tahu 2. Otomatisme 1. Tingkah laku relatif normal ( misal mampu makan sendiri) 2. Dapat berbicara dalam kalimat tetapi kesulitan mengingat dan memberi penilaian 3. Tidak ingat peristiwa peristiwa sebelum periode hilangnya kesadaran 4. Dapat mengajukan pertanyaan yang sama berulang kali 5. Beritindak secara otomatis tanpa dapat mengingat apa yang baru saja atau telah dilakukannya
6. Dapat mematuhi perintah sederhana 3. Konfusi 1. Melakukan aktivitas yang bertujuan ( misal, menyuapkan makanan ke mulut) dengan gerakan yang canggung 2. Disorientasi waktu, tempat dan / atau orang ( bertindak seakan-akan tidak sadar) 3. Gangguan daya ingat, tidak mampu mempertahankan ekspresi atau pikiran
4. Biasanya sulit dibangunakan 5. Tidak kooperatif 4. Delirium 1. Disorientasi waktu, tempat dan ruang 2. Tidak kooperatif 3. Agitasi, gelisah, bersifat selalu menolak ( mungkin berusaha keluar dan turun dari tempat tidur, gelisah di tempat tidur, membuka baju) 3. Sulit dibangunkan 5. Stupor 1. Diam, mungkin tampaknya tidur 2. Berespon terhadap rangsang suara yang keras 3. Terganggu oleh cahaya 4. Berespon baik terhadap rasangan rasa sakit 6. Stupor dalam 1. Bisu 2. Sulit dibangunkan ( sedikit respon terhadap rangsang nyeri) 3. Berespon terhadap nyeri dengan gerakan otomatis yang tidak bertujuan 7. Koma 1. Tidak sadar 2. Tubuh Flaksid 3. Tidak berespon terhadap rangsangan nyeri maupun verbal 4. Refleks masih ada : muntah, lutut, kornea 8. Koma ireversibel 1. Refleks hilang dan kematian 2. Pupil terfiksasi dan dilatasi 3. Pernapasan dan denyut jantung berhenti
B.
Faktor memperberat : (-) Faktor memperingan : (-) Gejala penyerta : Kejang selama 10 menit
- Kejang selama 5 menit - Sakit kepala - Muntah RPD : - Seminggu sebelum masuk RS pasien merasa demam - 1 bulan yang lalu pasien mengeluh batuk, sering berkeringat pada malam hari, BB turun - Foto rontgen terdapat infeksi pada paru-paru, pasien diharuskan minum obat yang tidak boleh putus sama sekali selama 6 bulan, tapi pasien tidak berobat kembali.
C. ANALISIS MASALAH 1 1. Penjelasan lebih lanjut tentang kesadaran 2. Patofis dari gejala (kejang, sakit kepala,muntah) 3. Pasien sakit kepala, tetapi knapa tidak berkurang setelah minum obat penghilang sakit kepala? 4. Macam-macam nyeri kepala 5. Proses infeksi 6. Mengapa pada encephalitis hanya kaku kuduk saja yang positif? 7. Berdasarkan pemeriksaan fisik tingkat kesadaran yang didapat apa? 8. Spesifikasikan kejang dan apa saja yang terjadi saat kejang, dan secara anatomi, apa yang terkena sehingga bsa menimbulkan kejang 9. Pemeriksaan tanda2 refleks dan patologis beserta alasan dilakukan pemeriksaan tersebut 10. Perbedaan meningitis dengan encephalitis
D. ANALISIS MASALAH 2 1. Definisi, etiologi, faktor resiko, diagnosis differential meningoencephalitis tuberculosis 2. Patofisiologi dan patogenesis meningoencephalitis tuberculosis 3. Penegakan diagnosis meningoencephalitis tuberculosis 4. Penatalaksanaan tuberculosis 5. Komplikasi dan prognosis meningoencephalitis tuberculosis 6. Tunjukkan gambaran tuberculoma (farmako dan non farmako) meningoencephalitis
E. PEMBAHASAN ANALISIS MASALAH 1 1. Kesadaran Kesadaran dapat didefinisikan sebagai keadaan yang
mencerminkan pengintegrasian semua impuls aferen dan impuls eferen. Jumlah impuls aferen menentukan derajat kesadaran, sedangkan cara pengolahan impuls aferen yang menelurkan pola-pola impuls eferen menentukan kualitas kesadaran (Sidharta, 2009). Reseptor-reseptor pancaindera mengirimkan impuls aferen melalui jaras spinothalamicus, trigeminothalamicus, lemniskus medialis, dan lemniskus lateralis ke nucleus-nukles di thalamus yang kemudian mengirimkan impuls aferen ke korteks tertentu. Daerah korteks penerima impuls aferen itu dikenal sebagai daerah reseptif primer. Penghantaran impuls aferen itu berlangsung dari titik ke titik secaraspesifik sehingga dinamakan jaras sensorik spesifik (Sidharta, 2009). Pada jaras sensorik non-spesifik, setiap impuls yang dikirimkan oleh jaras sensorik spesifik dialirkan ke neuron-neuron di substansia retikularis melalui kolateran lintasan sensorik spesifik. Neuon-neuron substansia retikularis menyusun lintasan sensorik non-spesifik, yang menghantarkan setiap impuls aferen ke korteks cerebri kedua hemisphere. Jaras ascenden ini, yang dibentuk oleh neuron-neuron substansia retikularis sepanjang medulla spinalis dan batang otak, akan berakhir di
inti intralaminar thalami. Secara anatomi, lintasan ascenden non-spesifik ini dinamakan diffuse ascending reticular system (DARS). Pada lintasan ascenden ini, setiap impuls aferen dari sisi manapun dihantarkan ke ujung substansia retikularis thalami kedua sisi yaitu ke nucleus intralaminaris thlami kedua sisi. Inti tersebut yang akan mengirimkan impuls ke kortks cerebri ipsilateral (Sidharta, 2009). Lintasan sensorik spesifik akan menghantarkan impuls aferen ke area reseptif primer, sedangkan lintasan sensorik non-spesifik yang melalui DARS akan menghantarkan impuls aferen dari titik manapun ke korteks cerebri kedua sisi (Sidharta, 2009). Penilaian kesadaran yang dapat digunakan selain Glasgow coma scale adalah AVPU (Alert-Verbal-PainUnresponssive). A: Alert, pasien dalam kondisi sadar penuh V: Verbal, mampu merespon rangsal verbal yang diberikan P: Pain, mampu merespon rangsal nyeri yang diberikan U: Unresponssive, tidak merespon berbagai rangsang yang diberikan, termasuk rangsang nyeri dalam.
2. Patofisiologi dari gejala a. Kejang Peningkatan TIK akibat adanya inflamasi di otak atau meningens maupun sebab lain akan dikompensasi tubuh dengan mengurangi volume LCS. Ketika kompensasi ini gagal, tubuh akan mengurangi pasokan darah ke otak. Saat pasokan darah ke otak tinggal 40 % dari normal atau adanya inflamasi yang menyebabkan gangguan metabolism sel-sel otak terjadi penurunan ATP. ATP digunakan untuk menjalankan pompan Na+/K+ yang berada di membrane sel. Akibat penurunan ATP pompa Na+/K+ tidak dapat berfungsi normal sehingga K+ intrasel tidak dapat keluar, akibatnya terjadi depolarisasi terus menerus. Saat terjadi depolarisasi, terjadi influk Ca2+ yang memicu pelepasan neurotransmitter eksitatorik seperti asetilkolin. Karena depolarisasi berlebih, asetilkolin yang dilepaskan pun menjadi sangat
tinggi sedangkan neurotransmitter inhibitor seperti GABA jumlahnya justru menurun sehingga terjadi kontraksi terus menerus yang bermanifestasi kejang. Lokasi kejang dipengauruhi oleh lokasi lesi di otak (Ginsberg, 2008; Price, 2005).
b. Nyeri kepala Beberapa struktur otak yang peka akan nyeri adalah a. meningeal media, sinus venosus, bridging vein, dura mater, dan berbagai pembuluh darah besar di otak. Saat terjadi peningkatan TIK, terjadi pembendungan dan pergeseran mekanoseptor yang peka nyeri sehingga timbulah nyeri kepala. Begitu pula ketika terjadi inflamasi pada bagian yang peka nyeri yang dapat dideteksi oleh nosiseptor akan menimbulkan nyeri kepala. Nyeri kepala biasanya timbul pada pagi hari karena selama tidur PCO2 meningkat akibat depresi pernafasan. Saat bangun pagi hari, tubuh mengkompensasi tingginya PCO2 dengan meningkatkan aliran darah otak sehingga terjadi peningkatan TIK yang dapat menyebabkan nyeri kepala (Ginsberg, 2008; Price, 2005).
aferen
eferen
muntah
3. Kenapa sakit kepalanya tak kunjung hilang walaupun sudah minum obat? Karena pada pasien ini keluhan sakit kepalanya itu terjadi karena adanya bakteri yang menumpuk diselaput otak sehingga bakteri itu akan menyebabkan peradangan dan penyumbata sinus-sinus disekitarnya sehingga cairan LCS yang seharusnya dialirkan melalui sinus malah tertumpuk dilapisan selaput otak, karena cairan LCS it uterus menumpuk lama kelamaan akan terjadi tegangan dan cairan LCS yang menumpuk itu akan mendesak duramater dimana pada duramater itu ada banyak sekali
pembuluh darah dan serabut saraf sehingga menimbulkan nyeri. Pada kasus ini obat yang diminum pasien adalah obat NSAID dimana obat itu bekerja hanya pada reseptor nyeri.
4. Macam-macam nyeri kepala Nyeri kepala terbagi menjadi 2 bagian, yaitu nyeri kepala primer dan nyeri kepala sekunder. Beberapa nyeri kepala yang penting diketahui: a. Nyeri Kepala Primer Migraine a) Common migraine : nyeri kepala yang pasling sering ditemukan, sifat nyeri berdenyut dengan interval bebas dan disertai gejala otonom seperti mual dan muntah. b) Classic migraine : disebabkan oleh adanya depolarisasi neuron. Disertai gejala visual seperti halusinasi dan gangguan visus. c) Benign paroximal vertigo : nyeri kepala disertai dangguan keseimbangan, dan adanya nistagmus. Tension type headache Nyeri kepala yang timbul akibat neurobiologis. Dengan sifat nyeri yang tidak berdenyut tidak unilateral, dan tidak bertambah berat ketika beraktivitas, dan tidak menunjukan gejala otonom seperti mual dan muntah. Biasanya timbul akibat adanya penekanan pada otot perikranial. Biasanya dilakukan penekanan pada otot ftontal, maseter, temporal, pterygoideus, splenius dan trapezius. Cluster Headche Nyeri pada daerah orbita, supraorbita, temporal. Serangan antara 15-180 menit. Biasanya disertai gejala unilateral berupa injeksi konjunctiva, lacrimasi, kongesti hidung, rinorea,
b. Nyeri kepala sekunder Nyeri kepala akibat tumor dan infeksi selaput otak
Tumor otak : berdasarkan lokasinya, tumor otak bisa terletak di supratentorial dan infra tentorial. Nyeri kepala disebabkan oleh adanya desakan tumor yang menyebabkan peningkatan tekanan intra cranial. Bias disertai gangguan keseimbangan gangguan visual, gangguan motorik tergantung letak tumor pada otak.
Meningitis : pada meningitis nyeri kepala timbul akibat adanya infeksi bakteri maupun virus yang dapat dilihat dari rangsang meningeal lengkap.
5. Proses Infeksi Tahap-tahap infeksi: a. Tahap 1 Mikroba patogen bergerak menuju tempat yang menguntungkan (pejamu/penderita) transmission). Penularan langsung Melalui droplet nuclei yang berasal dari petugas, keluarga/pengunjung, dan penderita lainnya. melalui mekanisme penyebaran (mode of
Kemungkinan lain melalui darah saat transfusi darah. Penularan tidak langsung a) Vehicle-borne, yaitu penyebaran/penularan mikroba patogen melalui benda-benda mati. b) Vector-borne, yaitu penyebaran/penularan mikroba patogen dengan perantara vektor seperti lalat. c) Food-borne, yaitu penyebaran/penularan mikroba patogen melalui makanan dan minuman. Mikroba patogen dapat ikut menyertainya sehingga menimbulkan gejala dan keluhan gastrointestinal, baik ringan maupun berat. d) Water-borne, kemungkinan terjadinya penularan/penyebaran penyakit infeksi melalui air. e) Air-borne, infeksi melalui udara
b. Tahap II Upaya berikutnya dari mikroba patogen adalah melakukan invasi ke jaringan/organ pejamu (penderita) dengan cara mencari akses masuk untuk masing-masing penyakit (port dentree) seperti adanya kerusakan/lesi kulit atau mukosa dari rongga hidung, rongga mulut, orificium urethrae, dan lain-lain. Mikroba patogen masuk ke jaringan/organ melalui lesi kulit. Hal ini dapat terjadi sewaktu melakukan insisi bedah atau jarum suntik. Mikroba patogen yang dimaksud antara lain virus Hepatitis B (VHB). Mikroba patogen masuk melalui kerusakan/lesi mukosa saluran urogenital karena tindakan invasif, seperti: a) tindakan kateterisasi, sistoskopi b) pemeriksaan dan tindakan ginekologi (curretage) c) pertolongan persalinan per-vaginam patologis, baik dengan bantuan instrumen medis, maupun tanpa bantuan instrumen medis. Dengan cara inhalasi, mikroba patogen masuk melalui rongga hidung menuju saluran napas. Partikel in feksiosa yang menular berada di udara dalam bentuk aerosol. Penularan langsung dapat terjadi melalui percikan ludah (droplet nuclei) apabila terdapat individu yang mengalami infeksi saluran napas melakukan ekshalasi paksa seperti batuk atau bersin. Dari penularan tidak langsung juga dapat terjadi apabila udara dalam ruangan terkontaminasi. Lama kontak terpapar (time of exposure) antara sumber penularan dan penderita akan meningkatkan risiko penularan. Contoh: virus Influenza dan Al. tuberculosis. Dengan cara ingesti, yaitu melalui mulut masuk ke dalam saluran cerna. Terjadi pada saat makan dan minum dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi. Contoh: Salmonella, Shigella, Vibrio, dan sebagainya.
c. Tahap III Setelah memperoleh akses masuk, mikroba patogen segera melakukan invasi dan mencari jaringan yang sesuai (cocok). Selanjutnya melakukan multiplikasi/berkembang biak disertai dengan tindakan destruktif terhadap jaringan, walaupun ada upaya perlawanan dad pejamu. Sehingga terjadilah reaksi infeksi yang mengakibatkan perubahan morfologis dan gangguan fisiologis/ fungsi jaringan. Infeksivitas kemampuan mikroba patogen untuk berinvasi yang merupakan langkah awal melakukan serangan ke pejamu melalui akses masuk yang tepat dan selanjutnya mencari jaringan yang cocok untuk melakukan multiplikasi. Virulensi Langkah mikroba patogen berikutnya adalah melakukan tindakan destruktif perusaknya. terhadap jaringan dengan kerusakan menggunakan jaringan atau enzim cepat
Besar-kecilnya
lambatnya kerusakan jaringan ditentukan oleh potensi virulensi mikroba patogen. Antigenitas Selain memiliki kemampuan destruktif, mikroba patogen juga memiliki pertahanan kemampuan tubuh merangsang melalui timbulnya terbentuknya mekanisme antibodi.
pejamu
Terbentuknya antibodi ini akan sangat berpengaruh terhadap reaksi infeksi selanjutnya. Toksigenitas Selain memiliki kemampuan destruktif melalui enzim perusaknya, beberapa jenis mikroba patogen dapat menghasilkan toksin yang sangat berpengaruh terhadap perjalanan penyakit. Patogenitas Sifat-sifat infeksivitas, virulensi, serta toksigenitas mikroba patogen pada satu sisi, dan sifat antigenitas mikroba patogen pada sisi yang lain, menghasilkan gabungan sifat yang disebut
patogenitas. Jadi sifat patogenitas mikroba patogen dapat dinilai sebagai deralat keganasan mikroba patogen atau respons pejamu terhadap masuknya kuman ke tubuh pejamu. Infeksi menjalar dari paru scara hematogen sampai ke otak. Penyebaran melalui hematogen secara tidak langsung melewati arteri meningeal yang kemudian akan menginvasi daerah otak. Perkembangan kuman dan mikroorganisme akan menghasilkan zat toksik, hal tersebut dikarenakan adanya reaksi tubuh yang melakukan perlindungan diri. (Nol W et al, 2002)
6. Mengapa pada encephalitis hanya kaku kuduk yang positif? Sebab pada pemeriksaan kernigs dan brudzinsky tes kalau terjadi gangguan sampai ke medulla spinalis, sedangkan pada meningitis hanya pada meningens. Etiologi terjadinya kaku kuduk dapat disebabkan oleh neuritis bakterialis plexus brachialis, meningitis, dan encephalitis. Untuk membedakan menigeal sign perlu dilakukan pengecekan brudzinski leg signs yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya kelainan di meningens.
7. Berdasarkan pemeriksaan fisik tingkat kesadaran yang didapat apa? KU: penurunan kesadaran Kesadaran: E2M3V2 Oriantasi: jelek (waktu,orang,dan tempat) total skor GCS: 7 Klasifikasi total skor GCS : a. Skor 14-15 : compos mentis b. Skor 12-13 : apatis c. Skor 11-12 : somnolent d. Skor 7-10 : stupor e. Skor < 7 : koma
Tingkat kesadaran: Stupor Stupor: gerakan spontan, menjawab secara refleks terhadap rangsangan nyeri, pendengaran dengan suara keras dan penglihatan kuat. Verbalisasi mungkin terjadi tapi terbatas pada satu atau dua kata saja. Non verbal dengan menggunakan kepala.
8. Spesifikasikan kejang dan apa saja yang terjadi saat kejang, dan secara anatomi, apa yang terkena sehingga bsa menimbulkan kejang. Kejang adalah kelainan akibat gangguan neurologis yang disebakan oleh lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari suatu populasi neuron yang sangat mudah terpicu atau disebut juga fokus kejang. Kejang dapat diakibatkan oleh beberapa hal berikut ini, ( Price, 2005) : a. Perubahan keseimbangan asam basa atau elektrolit b. Gangguan metabolism c. Infeksi intrakranium d. Gejala putus obat
e. Intoksikasi obat f. Ensefalopati hipertensi Tabel klasifikasi kejang ( Price, 2005) No Klasifikasi 1. PARSIAL Karakteristik Kesadaran utuh walaupun mungkin berubah ; fokus hanya disuatu bagian tapi dapat menyebar ke bagian lain a. Parsial Sederhana 1.Dapat bersifat motorik (gerakan abnormal unilateral) 2.Dapat bersifat sensorik ( merasakan, membaui,
mendengar sesuatu yang abnormal) 3.Dapat Bersifat Autonomik ( takikardia, bradikardia, takipnu, kemerahan, rasa tidak enak di epigastrium) 4. Dapat bersifat psikis ( disfagia, gangguan daya ingat) 5. Biasanya berlangsung kurang dari 1 menit
b.
Parsial Kompleks
1.Dimulai dari kejang parsial sederhana kemudian berkembang menjadi kejang yang disertai oleh a. Gejala motorik, gejala sensorik, otomatisme ( mengecap-ecapkan bibir, mengunyah, menariknarik baju) b. Beberapa kejang parsial komplek mungkin berkembang menjadi kejang generalisata c. Biasanya berlangsung 1-3 menit
2. Kejang Umum ( generalisata) 1. Kejang absens Gangguan kewaspadaan dan responsivitas Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung kurang dari 15 detik Awalan dan akhiran cepat, setelah itu kembali waspada dan konsentrasi penuh Umumnya dimuali pada usia antara 4 dan 14 tahun dan sering sembuh dengan sendirinya pada usia 18 tahun. 2. Kejang Mioklonik Kedutan kedutan involunter pada otot atau sekelompok otot yang terjadi mendadak. Sering terjadi pada orang sehat selama tidur, tetapi bila patologik, berupa kedutan- kedutan singkron dari leher, bahu, lengan atas, dan kaki. Umumnya berlangsung kurang dari 15 detik dan terjadi didalam kelompok. Kehilangan kesadaran hanya sesaat.
3. Kejang Tonik-Klonik Diawali dengan hilangnya kesadaran disaat tonik, kaku umum pada otot ekstremitas, batang tubuh dan wajah, yang langsung kurang dari 5 menit. Dapat disertai dengan hilangnya control kandung kemih dan usus. Tidak ada respirasi dan sianosis.
Saat tonik diikuti dengan gerakan klonik pada ekstremitas atas dan bawah. Letargi, konflusi, dan tidur dalam fase postical.
4. Kejang Atonik Hilangnya tonus secara mendadak sehingga menyebabkan kelopak mata turun, kepala menunduk atau jatuh ke tanah. Singkat, dan terjadi tampa peringatan ( Price, 2005)
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari suatu populasi neuron yang sangat mudah terpicu (fokus kejang) sehingga mengganggu fungsi normal otak. Tetapi, kejang juga bisa terjadi dari jaringan otak normal di bawah kondisi patologik tertentu, seperti perubahan keseimbangan asam-basa atau elektrolit (Price dan Wilson, 2005). Patofisiologi kejang a. Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. b. Aktivitas kejang bergantung pada lokasi lepas muatan berlebihan tersebut: lesi di otak tengah, thalamus, dan korteks cerebri kemungkinan besar bersifat epileptogenik; sedangkan lesi di cerebellum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. c. Fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi di tingkat sel, sebagai berikut: Instabilitas membrane sel saraf, sehingga lebih mudah mengalami pengaktifan Neuron-neuron hipersensitif dengan threshold (ambang) untuk melepaskan muatan yang apabila neuron-neuron tersebut terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan Kelainan polarisasi yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defeisiensi asam gama aminobutirat (GABA)
Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada depolarisasi neuron (kelebihan neurotransmitter eksitatorik atau kekurangan neurotransmitter inhibitorik) (Price dan Wilson, 2005).
9. Pemeriksaan tanda - tanda refleks dan patologis beserta alasan dilakukan pemeriksaan tersebut a. Kaku kuduk Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk melihat rangsang meningeal. Kaku kuduk dapat ditemukan pada beberapa penyakit yaitu meningitis, encephalitis, neuritis plexus brachialis infeksiosa. Untuk membedakan antara neuritis plexus dengan infeksi selaput otak perlu dilakukan meningeal sign. Dengan pemeriksaan burdzinski neck sign dapat dinilai bahwa (+) apabila timbul flexi reflektorik dari kedua sendi lutut dan panggul penderita, menandakan bahwa hal itu bukan merupakan neuritis plexus brachialis. Pemeriksaan meningeal sign kaku kuduk dinilai untuk mengetahui secara sederhana letak lesi yang artinya bernilai positif apabila ada infeksi di meningen otak, sedangkan burdzinski bernilai positif menandakan bahwa infeksi meningens sudah mencapai selaput di medulla spinalis. b. Pemeriksaan Kernig Cara pemeriksaan: Posisikan pasien untuk tidur terlentang Fleksikan sendi panggul tegak lurus (90)dengan tubuh, tungkai atas dan bawah pada posisi tegak lurus pula. Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut sampai membentuk sudut lebih dari 135 terhadap paha. Bila teradapat tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang dari sudut 135, karena nyeri atau spasme otot hamstring / nyeri sepanjang N.Ischiadicus, sehingga panggul ikut fleksi dan juga bila terjadi fleksi involuter pada lutut kontralateral maka dikatakan Kernig sign positif. (Sidharta, 1999)
Tujuan dilakukan pemeriksaaan : Untuk mengetahui adanya iritasi di selaput medulla spinalis dengan melakukan penarikan pada n. Ischiadicus yang nantinya akan menyebabkan perangsangan serabut-serabut sensorik radiks posterior L4-S3. Jika ada lesi disana maka pasien akan merasakan nyeri dan akan terajadi fleksi reflektoris lutut kontralateral. (Sidharta, 1999) c. Reflekk Babinski Refleks ini normal jika dijumpai pada neonates hingga anak usia 2 tahun, namun rata-rata reflek babinski menghilang pada usia 1 tahun. Hal ini terjadi karena pada traktus kortikiospinal telah matur. Pada dewasa normal, adanya reflek babinski menunjukan adanya lesi di UMN. Normalnya, pada pemeriksaan reflek babinski akan terdeteksi rangsang oleh nosiseptor di dermatom S1. Rangsang kemudian dibawa melaluli n. tibialis menuju radiks L5-S1 yang kemudian akan bersinaps dengan motor neuron. Respon akan dibawa melalui n. tibialis ke jari kaki yang akan menimbulkan plantar fleksi. Jika ada fleksi, tubuh akan merespon dengan ekstensi, pada dewasa normal respon ini disupresi oleh UMN. Jika terjadi gangguan pada UMN khususnya traktus piramidalis, tubuh akan kehilangan control lengkung reflek untuk mensupresi respon ekstensi. Sehingga terjadi dorso fleksi jari kaki.
Adanya dorso fleksi jari kaki menunjukan adanya lesi di UMN (Juwono, 1990).
10. Perbedaan antara meningitis bakterialis dengan encephalitis Meningitis Bakterialis adalah peradangan pada meningen (selaput otak), arachnoid, piameter dan cairan cerebrospinal di dalam sistem ventrikel.yang disebabkan oleh bakteri. Meningitis paling sering menyerang anak-anak usia 1 bulan- 2 tahun. Lebih jarang terjadi pada dewasa, kecuali mereka yang memiliki faktor resiko khusus. Karena terdapat peradangan tersebut, akibatnya akan terjadi infiltrasi sel radang disertai reaksi radang dari jaringan dan pembuluh darah didalamnya. Juga terjadi eksudasi dari fibrinogen yang sesudah beberapa waktu akan menjadi fibrin. Hal diatas yang disebabkan oleh toksin yang dibuat bakteri akan memberikan gejala SINDROMA MENINGITIS yaitu berupa: a. Demam b. Nyeri kepala hebat c. Gangguan kesadaran d. Kejang kejang Dan ditandai pula dengan adanya tanda RANGSANGAN
MENINGEAL, berupa : a. Kaku kuduk b. Tes brudzinsky positif c. Tes kernig yang positif Berdasarkan pada kasus tersebut disebutkan bahwa pasien sebelumnya mempunyai riwayat 1 bulan yang lalu, mengeluh batuk, sering berkeringat pada malam hari dan pasien merasakan berat badannya turun sehingga dengan keluhan ini pasien berobat ke dokter. Oleh dokter, pasien dilakukan foto rontgen dan diketahui terdapat infeksi pada paru-parunya. Pasien diharuskan meminum obat yang tidak boleh putus sama sekali selama 6 bulan, akan tetapi karena keterbatasan biaya pasien tidak berobat kembali.
Sehingga
dapat
disimpulkan
sementara
bahwa
pasien
menderita
Tuberculosis. Komplikasi dari penyakit tuberculosis sendiri salah satunya dapat mengakibatkan meningitis, sebab Mycobacterium tuberculosis dapat menyebar ke meningens maupun parenkim otak melalui jalur hematogen. Gejala klinis meningitis tuberculosa disebabkan 4 macam efek terhadap sistem saraf pusat yaitu , (Tunkel A. 2004) : a. Iritasi mekanik akibat eksudat meningen, menyebabkan gejala perangsangan meningens, gangguan saraf otak dan hidrosefalus. b. Perluasan infeksi ke dalam parenkim otak, menyebabkan gejala penurunan kesadaran, kejang epileptik serta gejala defisit neurologi fokal. c. Arteritis dan oklusi pembuluh darah menimbulkan gejala defisit neurologi fokal. d. Respons alergi atau hipersensitifitas menyebabkan edema otak hebat dan tekanan tinggi intrakranial tanpa disertai hidrosefalus. Gambaran klasik meningitis tuberkulosa terdiri dari : a. Stadium Prodromal Stadium ini berlangsung selama 1 3 minggu dan terdiri dari keluhan umum seperti : Kenaikan suhu tubuh yang berkisar antara 38,2 38,90 C Nyeri kepala Mual dan muntah Tidak ada nafsu makan Penurunan berat badan Apati dan malaise Kaku kuduk dengan brudzinsky dan kernig tes positif Defisit neurologi fokal : hemiparesis dan kelumpuhan saraf otak Gejala TTIK seperti edema papil, kejang kejang, penurunan kesadaran sampai koma, posisi dekortikasi atau deserebrasi. b. Stadium perangsangan meningen
c. Stadium kerusakan otak setempat d. Stadium akhir atau stadium kerusakan otak difus Pembagian stadium meningitis tuberkulosis menurut Medical Research Council of Great Britain ( 1948 ) : a. Stadium I : Penderita dengan sedikit atau tanpa gejala klinik
meningitis. Tidak didapatkan kelumpuhan dan sadar penuh. Penderita tampak tak sehat, suhu subfebris, nyeri kepala. b. Stadium II fokal c. Stadium III : Gejala diatas disertai penurunan kesadaran. Standar pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien tersebut adalah dengan melakukan pungsi lumbal. Sedangkan encephalitis sendiri merupakan infeksi jaringan otak yang disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme. (Tunkel A. 2004) Encephalitis mengindikasikan adanya inflamasi di parenkim otak, dan bisa dibedakan dengan meningitis dari gejala-gejala gangguan fungsi otak yang muncul pada encephalitis. Sebagian besar kasus menunukan gejala gangguan status mental, defesit sensorik atau motorik, ataupun kelinan pergerakan. Manifestasi klinis yang khas dari encephalitis adalah munculnya trias encephalitis, yaitu demam, nyeri kepala, dan gangguan kesadaran. Beberapa gejala tambahan pada encephalitis seperti disorientasi, gangguan fungsi bicara dan perilaku, dan gangguan neurologis seperti kejang atau hemipharesis (Gould dan Lautenbach, 2004). Encephalitis sebagian besar disebabkan oleh virus, seperti Herpes Simplex Virus type 1 (HSV-1) dan arbovirus. Encephalitis yang disebabkan oleh HSV-1 menyebabkan demam pada 90% kasus. Lesi oleh virus ini bisa mengenai salah satu atau kedua lobus temporal otak, manifestasi klinis yang muncul pertama adalah perubahan personality, dan selanjutnya menjadi afasia, anosmia, hemipharesis, dan kejang (Gould dan Lautenbach, 2004 ). : Selain gejala diatas bisa didapat gejala defisit neurologi
Sedangkan, encephalitis yang disebabkan oleh arbovirus dimulai dengan gejala non-spesifik seperti demam, nyeri kepala, serta mual dan muntah. Gejala-gejala gangguan system saraf pusat muncul di hari kedua atau ketiga seperti hemipharesis, tremor, kejang, dan gangguan nervus cranialis (Gould dan Lautenbach, 2004 ).
F.
PEMBAHASAN ANALISIS MASALAH 2 1. Definisi, etiologi, faktor resiko, dan diagnosis differential meningoencephalitis tuberculosis a. Definisi dan etiologi Meningoencephalitis tuberculosis adalah suatu reksi peradangan akibat infeksi sekunder bakteri tuberculosis yang mengenai parenkim otak, satu atau semua lapisan selaput yang membungkus jaringan otak dan sumsum tulang belakang, yang menimbulkan eksudasi berupa pus atau serosa (Mardjono, 2008). b. Faktor Resiko Faktor resiko dari meningoencephalitis tuberculosis antara lain adanya fraktur terbuka di daerah kepala sehingga meningkatkan kemungkinan untuk terpapar agen penyebab infeksi.. Selain itu, adnya infeksi di daerah lain seperti sinusitis, otitis media, mastoiditis, dan tuberculosis. Pada orang-orangh dengan imunocompromise seperti pada penderita HIV juga sangat rentan terkena meningoencephalitis (Mardjono, 2008). c. Diagnosis Banding Meningoencephalitis Tuberculosis Tumor otak Karena ada gejala-gejala peningkatan tekanan intracranial (muntah di pagi hari, nyeri kepala sangat hebat) sehingga curiga ada pendesakan di ruang intracranial. Tuberculosis Hal ini di dasarkan pada anamnesis diketahui bahwa 1 bulan yang lalu pasien didiagnosis menderita infeksi pada paru-parunya dan
diharuskan meminum obat tanpa putus selama 6 bulan. Selain itu pasien juga mengeluh batuk, sering berkeringat pada malam hari dan
pasien merasakan berat badannya turun yang menunjukkan adanya tuberculosis paru. Karena pengobatan terputus kurang dari 1 bulan pengobatan, maka kemungkinan pasien masih menderita tuberkulosis paru. Untuk dapat menegakkan diagnosis diperlukan pemeriksaan visik, tes darah lengkap, foto thorak, tes SPS (Hariadi, 2010). Meningitis Meningitis merupakan radang pada selaput otak. Kondisi pasien yang menderita TB paru merupakan salah satu faktor resiko timbulnya meningitis, karena TB paru dapat menimbulkan komplikasi berupa meningitis TB akibat penyebaran kuman TB dari paru ke meningens secara hematogen. Saat terjadi penyebaran muncul gejala prodormal berupa demam yang juga dirasakan oleh pasien 1 minggu sebelumnya. Gejala klinis meningitis yang juga ada pada pasien adalah penurunan kesadaran, kejang, sakit kepala. Untuk dapat menegakkan diagnosis ini diperlukan pemeriksaan tambahan berupa pemeriksaan fisik, tes babinsky, tes darah lengkap, CT scan, lumbal pungsi, tes kaku kuduk, tes brudzinski, tes kernig. Meningoencephalitis Meningitis sering dijumpai bersama dengan encephalitis. Tidak menutup kemungkinan pasien menderita encephalitis yang diakibatkan perluasan infeksi dari meningens. Tanda dan gejala pada encephalitis tidak jauh beda dengan meningitis. Untuk menegakan diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan seperti pada meningitis ditambah pemeriksaan nervus kranialis untuk memastikan adanya lesi di otak. 2. Patofisiologi dan pathogenesis meningoencephalitis tuberculosis
Lokal invasi
Bakterimia
Kaku kuduk
Inflamasi Subarachnoid
Serebral vaskulitis
Edem vasogenik
Edema intertisial Sefalgia Herniasi Peningkatan TIK Muntah Penurunan aliran darah otak Epilepsi Iskemia jaringan otak
b. Pathogenesis meningoencephalitis tuberculosis Pada meningoencephalitis kasus ini terjadi infeksi meningitis terlebih dahulu oleh Mycobacterium tuberculosis yang kemudian berlanjut menyebabkan inflamasi yang pada parenkim oleh otak. bakteri Patogenesis Tuberculosis
menigoencephalitis
disebakan
mycobacterium ini terjadi dalam dua langkah. Langkah pertama adalah ketika bakteri masuk ke dalam tubuh melalui inhalasi droplet, dan langkah kedua adalah ketika fokus bakteri rupture dan menyebar melalui spatium subarachnoidea. inhalasi droplet yang mengandung Mycobacterium tuberculosis
M. tuberculosis terbawa sampai paru, dan membentuk kompleks primer melalui penyebaran secara limfatogen regional
bakterimia
meningitis
meningitis seperti demam, sakit kepala, kekakuan pada leher, vomiting, diikuti oleh penurunan kesadaran, konvulsi, dan kadangkadang tanda-tanda neurologik, tanda peningkatan tekanan intrakranial atau gejala-gejala psikiatri. Mungkin juga gejala-gejala yang muncul berhubungan dengan infeksi di bagian tubuh lain. Gejala gejala ensephalitis yang muncul berupa gejala peningkatan tekanan intrakranial seperti sakit kepala, vertigo, nause, konvulsi dan perubahan mental. Gejala lain yang mungkin timbul termasuk photophobia, perubahan sensorik, dan kekakuan leher. Penegakan diagnosis dilakukan dengan prosedur seperti yang dilakukan pada meningitis dan eksefalitis diantaranya pemeriksaan cairan
serebrospinal; pemeriksaan darah termasuk didalamnya kultur; pemeriksaan imaging, diantaranya CT scan, MRI dan
elektroencephalogram. b. Diagnosis meningoensephalitis pada pasien dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik serta penunjang yang dilakukan pada pasien. pada pasien didapatkan keluhan demam yang berlangsung selama 5 hari, merupakan salah satu keluhan atau gejala pada meningitis, selain demam juga didapatkan adanya keluhan mual tapi tidak sampai muntah ini menunjukkan adanya peningkatan tekanan intrakranial pada pasien: Agen penyebab reaksi local pada meninges inflamasi meninges peningkatan permiabilitas kapiler kebocoran cairan dari intravaskuler ke interstisial peningkatan volume cairan interstisial edema Postulat Kellie Monroe, kompensasi tidak adekuat peningkatan tekanan intra cranialmenurunkan kesadaran. c. Pada pemeriksaan Kernigs sign (+) dan Brudzinsky sign (+) menandakan bahwa infeksi atau iritasi sudah mencapai ke medulla spinalis bagian bawah. Pada pemeriksaan Kernig sign terdapat penarikan nervus Ischiadicus yang akan merangsang radix
posterior L4 apabila ditemukan ada kelainan di medula spinalis timbul nyeri. d. Hasil pemeriksaan dan laboratorium yang menunjukkan adanya leukositosis menunjang terjadinya demam pada pasien, hasil pemeriksaan fisik juga menunjukkan adanya infeksi pada meningen yang belum mencapai medulla spinalis, oleh karena itu gejala yang didapat pada pasien ditunjang dengan pemeriksaan fisik dan penunjang maka sesuai dengan diagnosis meningitis. untuk mengetahui penyebab pastinya dibutuhkan adanya kultur. e. Pemeriksaan penunjang Laboratorium; Pungsi lumbal penting sekali untuk pemeriksaan bakteriologik dan laboratorium lainnya. Likuor serebrospinalis berwarna jernih, opalesen atau kekuning-kuningan (xantokrom). Tekanan dan jumlah sel meninggi namun umumnya jarang melebihi 1.500/3 mm3 dan terdiri terutama dari limfosit. Kadar protein meninggi sedangkan kadar glukosa dan klorida total menurun. Bila cairan otak didiamkan maka akan timbul fibrinous web (pelikel), tempat yang sering ditemukannya basil
tuberkulosis.Pungsi lumbal ulangan dapat memperkuat diagnosis. Tabel 1. Interpretasi Analisa Cairan Serebrospinal
Tes
Meningitis Bakterial
Tekanan Meningkat LP Keruh Warna > 1000/ml Jumlah sel Predominan PMN
Sedikit meningkat
Biasanya normal
Meningkat Rendah
Normal/menurun Glukosa Kontraindikasi pungsi lumbal: a. Infeksi kulit di sekitar daerah tempat pungsi. Oleh karena kontaminasi dari infeksi ini dapat menyebabkan meningitis. b. Dicurigai adanya tumor atau tekanan intrakranial meningkat. Oleh karena pungsi lumbal dapat menyebabkan herniasi serebral atau sereberal. c. Kelainan pembekuan darah. d. Penyakit degeneratif pada join vertebra, karena akan menyulitkan memasukan jarum pada ruang interspinal. 4. Penatalaksanaan tuberculosis Pengobatan medika medika mentosa sesuai rekomendasi American Academy of Pediatries 1994. Pemberian 4 macam obat selama 2 bulan, diteruskan dengan pemberian LNH dan Rifampisin selama 10 bulan. a. Isoniazid (INH) 5-10 mg/kgBB/hari, dosis maksimum 300 mg/hari. b. Rifampisin 10-20 mg/kgBB/hari, dosis masksimum 600 mg /hari. c. Pirazinamid 20-40 mg/kgBB/hari, dosis maksimum 2000 mg/hari. d. Etambutol 15-25 mg/kgBB/hari, dosis maksimum 2500 mg/hari. e. Prednizon 1-2 mg/kgBB/hari selama 2-3 minggu, dilanjutkan dengan lapering-off.. Jika didapatkan hidrosefalus dapat dilakukan pemasangan VP-Shunt. Pengobatan suportif meliputi restrksi cairan, posisi kepala lebih tinggi dan fisioterapi pasif. (Caroline, 2010) Steroid diberikan untuk : a. Menghambat reaksi inflamasi (farmako dan non farmako) meningoencephalitis
b. Mencegah komplikasi infeksi c. Menurunkan edema serebri d. Mencegah perlekatan e. Mencegah arteritis / infark otak Indikasi pemakaian steroid : 1. Penurunan kesadaran 2. Defisit nemologis fokal Steroid yang biasa dipakai yaitu dexametason Pengobatan simptomatis a. Menghentikan kejang: Diazepam 0,2-0,5 mg/KgBB/dosis IV atau 0,4-0,6 mg/KgBB/dosis rektal suppositoria, kemudian dilanjutkan dengan: Phenytoin 5 mg/KgBB/hari IV/PO dibagi dalam 3 dosis atau Phenobarbital 5-7 mg/Kg/hari IM/PO dibagi dalam 3 dosis
b. Menurunkan panas: Antipiretika: Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen 10 mg/KgBB/dosis PO diberikan 3-4 kali sehari Kompres air hangat/biasa
Pengobatan suportif a. Cairan intravena b. Oksigen. Usahakan agar konsentrasi O2 berkisar antara 30-50%. Perawatan: a. Pada waktu kejang: Longgarkan pakaian, bila perlu dibuka Hisap lender Kosongkan lambung untuk menghindari muntah dan aspirasi Hindarkan penderita dari rudapaksa (misalnya jatuh)
b. Bila penderita tidak sadar lama: Beri makanan melalui sonde Cegah dekubitus dan pnemonia ortostatik dengan merubah posisi penderita jam Cegah kekeringan kornea dengan boorwater/salep antibiotika sesering mungkin, minimal ke kiri dan ke kanan setiap 6
c. Bila mengalami inkontinensia urin lakukan pemasangan kateter d. Bila mengalami inkontinensia alvi lakukan lavement e. Pemantauan ketat Tekanan darah Pernafasan Nadi Produksi air kemih Faal hemostasis untuk mengetahui secara dini ada DIC
5. Komplikasi dan prognosis meningoencephalitis tuberculosis a. Komplikasi akut: Edema otak Hipertenis intrakranial Ventrikulitis Kejang Meningkatnya tekanan intracranial (Tsumoto, 2001) b.Komplikasi intermediet : Efusi dubdural Abses otak Hidrosefalus
c. Komplikasi kronik Memburuknya funsgi kognitif Ketulian Kecacatan motorik (Tsumoto, 2001) Prognosis Tergantung dari : 1. umur penderita 2. Jenis kuman penyebab 3. Berat ringan infeksi 4. Lama sakit sebelum mendapat pengobatan 5. Kepekaan kuman terhadap antibitik yang diberikan 6. Adanya penyulit penanganan (Tsumoto, 2001)
Pada beberapa slice CT Scan tampak gambaran tuberkuloma yang berada di lobus frontalis.
Edem vasogenik
tuberculoma
Slice pada CT Scan yang menunjukan adanya tuberkuloma di lobus frontalis. Tampak tuberkuloma berwarna putih dikelilingi oleh edem vasogenik. Secara histopatologi, tuberkuloma mempunyai inti berupa sel datia langhans yang dikelilingi nekrosis kaseosa. Nekrosis kaseosa dikelilingi oleh sel epiteloid. Terdapat berbagai jenis leukosit disekitar tuberkuloma, baik leukosit
polimorfonuklear maupun limfosit. Selait itu, terdapat fibroblast di sekitar tuberkuloma (Robbins, 2007).
epiteloid
DAFTAR PUSTAKA
Anonim,
2008.
Tuberculoma
of
the
Brain.
Avaible
from
http://www.drvaishnav.com/tuberculoma_brain.htm
Caroline, 2010. Presentasi Kasus Meningo Encefalitis Tuberculosis. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Gould, Carolyn V. dan Lautenbach, Ebbing. 2004. Evidence Based infectious Diseases. Available at : www.scribd.com/doc/32597478/MedicineEvidence-Based-Infectious. Accessed at: March, 18 2012
Hariadi, Slamet. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair RSUD Dr. Soetomo
Juwono. 1990. Pemeriksaan Klinik Neurologik Dalam Praktek. Jakarta: EGC Mardjono dan Sidharta. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Cetakan ke-12. Jakarta: Dian Rakyat Nelson, 2000. Ilmu kesehatan anak volume 1 edisi 15. Jakarta : EGC Nol W, Hassanzadeh G, Raes G et al. 2002. Infection stage-dependent
modulation of macrophage activation in Trypanosoma congolenseresistant and -susceptible mice. Department of Immunology, Parasitology and Ultrastructure, Flemish Interuniversity Institute for Biotechnology, Free University Brussels, B-1640 St-Genesius-Rode, Nov;70(11):6180-7. Available at : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12379696. Accessed at : March, 19 2012 Olesen, Jes, Andre Bes. 2004. Cephalgia International Journal of headache Volume 24 Supplement 1. Available at : www.ihs-
Price dan Wilson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses Penyakit. Ed: 6. Jakarta: EGC. Hal 1047, 1159 Price dan Wilson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses Penyakit. Ed: 6. Jakarta: EGC. Hal 1047, 1159 Price, Sylvia Anderson. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 1. Jakarta : EGC Price, Sylvia. Lorraine Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC
Ramachandran, Tarakad S. 2011. Tuberculous Meningitis. [online]. Available at URL: http://emedicine.medscape.com/article/1166190-overview#showall. Diakses pada tanggal 19 Maret 2011.
Sidharta, Priguna. 2009. Neurologi Klinis dalam Prektek Umum. Jakarta: Dian Rakyat. Hlm 496-7
Sidharta, Priguna.1999. Pemeriksaan Neurologis dasar. Jakarta: Dian Rakyat Tsumoto, S. 2001. Guideline to meningoencephalitis Diagnosis. JSAI KKD Chalenge Tunkel A. 2004. Practice The guideline for the management of the bacterial meningitis. Clinical Infectious Disease Society of America Phyladelphia Robbins, Stanlay. Vinay Kumar. 2007. Buku Ajar Patologi. Jakarta: EGC