Anda di halaman 1dari 2

Oleh

Saiful

Imam

Guru SMKN I Tulangbawang Tengah Alumnus Magister Kimia ITS Surabaya Peringkat indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia melorot tajam di posisi 124 dari 187 negara pada tahun 2011 (Lampung Post, 4 November 2011). Sebagai pendidik, berita tersebut sangatlah tidak mengenakan. IPM menjadi alat untuk menilai kualitas sumber daya manusia dengan tolok ukur bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan ekonomi. Menurut Menko Kesra Agung Laksono bidang pendidikanlah yang memberikan kontribusi melorotnya peringkat IPM Indonesia. Dalam dunia pendidikan, sebenarnya ada harapan baru dari Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional serta UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Kedua UU tersebut menjadi payung hukum bagi dunia pendidikan dan guru serta diharapkan memberi manfaat positif bagi penyelenggaraan pendidikan di negeri ini. UU Sisdiknas membuka ruang bagi pelaksanaan pendidikan yang tidak sentralistik. Ada nuansa reformasi pendidikan yang bergulir melalui desentralisasi dan dikelola daerah secara otonom. Dalam tataran sekolah, semangat desentralisasi ini mengarah pada manajemen berbasis sekolah. Pelaksanaannya lebih pada partisipasi masyarakat lokal untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi. UU Sisdiknas juga memberikan kepastian anggaran pendidikan. Sementara UU Guru dan Dosen membawa semangat bagi guru sebagai profesi yang sejajar dengan dosen. Guru tak lagi dianggap sebagai pahlawan tanpa tanda jasa dalam pengertian negatif, tetapi menjadi seseorang yang pantas dan layak dihargai karena profesionalismenya. Melalui konsep desentralisasi, wewenang dan tanggung jawab pendidikan diserahkan kepada pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota). Distribusi Guru Desentralisasi dan otonomi pendidikan telah dilaksanakan sekitar tujuh tahun. Namun, manajemen pelayanan pendidikan belum sepenuhnya efektif dan efisien. Hal ini karena belum mantapnya pembagian peran dan tanggung jawab antara Pemerintah Pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Pada umumnya pemerintah daerah belum memberi kontribusi memadai dalam penyediaan anggaran pendidikan. Selain itu, standar pelayanan minimal yang seharusnya dilaksanakan kabupaten/kota juga belum efektif. Demikian pula peran serta masyarakat dalam pendidikan masih belum optimal, termasuk fungsi Dewan Pendidikan dan komite sekolah/madrasah. Guru sebagai salah satu komponen penting dalam pendidikan masih menjadi andalan untuk terwujudnya pendidikan yang berkualitas. Hal ini tidak dapat dilepaskan juga dari permasalahan internal guru secara umum, meliputi kuantitas, kualitas, dan distribusi guru. Pada era desentralisasi dan otonomi daerah, seyogianya persoalan-persoalan tersebut dapat terselesaikan. Tetapi, desentralisasi pendidikan justru menimbulkan persoalan baru yaitu guru tidak dapat melakukan mobilitas geografis (pindah antardaerah) akibat dari kuatnya ego kedaerahan. Dampaknya terjadi ketimpangan dalam distribusi guru karena daerah-daerah yang kelebihan guru tidak mudah untuk melepaskan gurunya pindah ke daerah lain, sebab guru adalah aset politik. Sebaliknya daerah-daerah yang kekurangan guru juga tidak mudah menerima guru pindahan karena itu akan berdampak pada peningkatan anggaran. Kondisi tersebut kurang menguntungkan guru. Berkaitan dengan kebijakan sertifikasi, guru harus mengajar minimal 24 jam seminggu. Di daerah yang kekurangan guru, 24 jam seminggu mudah dipenuhi. Tetapi bagi guru yang bertugas di daerah yang inflasi guru, angka 24 jam itu tidak mudah diperoleh. Hal inilah yang membuka peluang ketidakjujuran. Salah satu solusi untuk pemerataan tersebut, Pemerintah Pusat bisa menarik lagi urusan penempatan guru dengan menarik guru ke daerah yang masih membutuhkan. Lulus 100% Selain persoalan internal guru, desentralisasi pendidikan harus mempercepat terwujudnya tiga hal. Pertama, penerapan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (school based management) yang memberikan kewenangan bagi sekolah untuk merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu. Desentralisasi pendidikan

memang berhasil memperpendek rentang kendali dan pengawasan. Ini seharusnya menjadi modal untuk membangun independensi dan akuntabilitas pendidikan. Tetapi, justru desentralisasi menempatkan sekolah menjadi subordinasi stuktural dan sering menempatkan sekolah dan kepala sekolah tidak memiliki posisi tawar sama sekali. Dalam hal kelulusan, misalnya, pemerintah daerah lebih mengedepankan kepentingan politik sesaat dengan memasang target lulus 100%. Target lulus total tersebut menjadi harga mati dan bila ada sekolah yang tidak bisa mengamankan maka kepala sekolahnya bakal dicopot. Polemik semakin seru jika sudah menyangkut anggaran pendidikan. Oleh sebab itu, muncul intermezo di kalangan kepala sekolah, dalam penggalan doanya mereka memohon agar jangan mati saat masih menjabat kepala sekolah. Sebab, kebaikannya tak cukup untuk menutupi perannya dalam melembagakan kebohongan dan ketidakjujuran yang terstruktur. Kedua, pendidikan yang berbasis partisipasi komunitas (community based education). Dengan pola ini akan terjadi interaksi yang positif antara sekolah dan masyarakat. Sekolah sebagai pusat komunitas belajar, termasuk membangun kesadaran masyarakat bahwa ketidaknaikan dan ketidaklulusan merupakan bagian dari proses belajar. Hal itu bertujuan agar sekolah dapat leluasa menilai dari kondisi objektif menuju keputusan yang adil dan jujur. Ketiga, penggunaan paradigma belajar (learning paradigm) yang akan menjadikan pelajar menjadi manusia yang diberdayakan. Konsep ini berangkat dari pemahaman bahwa pendidikan adalah upaya sadar untuk memanusiakan manusia. Karena itulah keterlibatan orang tua dan masyarakat sangat penting untuk mengawal agar pendidikan tidak mereduksi kemanusiaan peserta didik. Tujuan akhirnya mencetak manusia yang pintar, terampil, dan memiliki hati. . (Sumber: Lampung Post, 16 Nopember 2011).

Anda mungkin juga menyukai