Anda di halaman 1dari 26

10

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN A. Landasan Teori 1. Tinjauan Tentang Belajar dan Pembelajaran IPA Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) adalah mata pelajaran yang secara umum bertujuan agar siswa memahami konsep IPA dan keterkaitannya dengan kehidupan sehari-hari, memiliki keterampilan untuk mengembangkan pengetahuan tentang proses alam sekitar, mampu menerapkan berbagai konsep IPA untuk menjelaskan gejala alam dan mampu menggunakan teknologi sederhana untuk memecahkan masalah yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Secara umum mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam mempelajari berbagai bidang ilmu seperti: a. Fisika yaitu mempelajari gejala alam yang tidak hidup atau materi dalam lingkup ruang dan waktu. b. Biologi adalah ilmu mengenai kehidupan c. Kimia adalah ilmu yang mempelajari mengenai komposisi dan sifat zat atau materi dari skala atom hingga molekul serta perubahan atau transformasi serta interaksi mereka untuk membentuk materi yang ditemukan sehari-hari. Ciri utama pembelajaran IPA adalah dimulai dengan pertanyaan atau masalah dilanjutkan dengan menggali informasi, mengkonfirmasikan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki dan mengarahkan pada tujuan apa

11

yang belum dan harus diketahui. Pengetahuan dan keterampilan diperoleh dengan jalan menemukan dan menggeneralisasi sendiri sebagai hasil kemandiriannya. Jadi siswa akan menemukan sendiri jawaban dari masalah atau pertanyaan yang timbul diawal pembelajaran. Inti dari proses pendidikan di sekolah adalah proses belajar mengajar. Belajar merupakan proses perubahan perilaku berkat pengalaman dan latihan. Artinya, tujuan kegiatan adalah perubahan tingkah laku, baik yang menyangkut pengetahuan, keterampilan maupun sikap. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lester D. Crow yang dikutip oleh Sagala (2003:13) menjelaskan bahwa belajar ialah upaya untuk memperoleh kebiasaankebiasaan, pengetahuan, dan sikap-sikap. Jadi seseorang dikatakan mengalami proses belajar apabila ada perubahan pada dirinya. Proses pembelajaran diupayakan mengikutsertakan peserta didik aktif agar dapat mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya. Sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Dimyati dan Mudjiono dalam Sagala (2003:62) bahwa pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat peserta didik belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. Tujuan pembelajaran tentu saja akan dapat tercapai jika peserta didik berusaha secara aktif untuk mencapainya. Keaktifan peserta didik dalam proses belajar mengajar tidak hanya dari segi fisik saja, tetapi juga dari sisi kejiwaan. Dua aktivitas ini memiliki hubungan yang erat seperti yang diungkapkan J. Piaget dalam Rohani (2004:7) bahwa seorang anak

12

berpikir sepanjang ia berbuat. Tanpa berbuat anak tak berpikir. Agar ia berpikir sendiri (aktif) ia harus diberi kesempatan berbuat sendiri. 2. Tinjauan Tentang Bahan Ajar Bahan ajar adalah bahan-bahan atau materi pelajaran yang disusun secara sistematis, yang digunakan guru dan siswa dalam proses pembelajaran. Bahan ajar itu bersifat sangat unik dan spesifik. Unik artinya bahan ajar tersebut hanya dapat digunakan untuk audiens tertentu dalam suatu proses pembelajaran tertentu. Spesifik artinya isi bahan ajar dirancang sedemikian rupa hanya untuk mencapai tujuan tertentu dari audiens tertentu dan sistematika penyampaian disesuaikan dengan karakteristik mata pelajaran dan karakteristik siswa yang menggunakannya. Bahan ajar dalam proses pembelajaran sangat penting artinya. Tanpa bahan ajar akan sulit bagi guru untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran. Demikianpun bagi siswa, tanpa bahan ajar akan sulit bagi peserta didik untuk menyesuaikan diri dalam belajar dan tidak mampu menelusuri kembali apa yang telah diajarkan gurunya. Peran bahan ajar bagi peserta didik adalah: b. Peserta didik dapat belajar tanpa harus ada guru atau teman lain c. Peserta didik dapat belajar kapan saja dan dimana saja ia kehendaki d. Peserta didik dapat belajar sesuai dengan kecepatannya sendiri

13

e. Peserta didik dapat belajar menurut urutan yang dipilihnya sendiri f. Membantu potensi peserta didik untuk menjadi pelajar mandiri Bahan ajar terbagi atas dua macam yaitu: a. Bahan ajar cetak Kemp dan Dayton (1985) dalam Belawati (2003:1.14) mendefenisikan bahan ajar cetak sebagai sejumlah bahan yang disiapkan dalam kertas, yang dapat berfungsi untuk keperluan pembelajaran atau penyampaian informasi. Yang termasuk kategori bahan ajar cetak diantaranya; modul, handout, lembar kerja siswa b. Bahan ajar noncetak Yang termasuk bahan ajar noncetak diantaranya; Overheat

Transparancies (OHT), Audio, Video, Slide, Computer Based Materials. c. Bahan ajar display Yang termasuk bahan ajar display adalah chart, poster, foto, realia. 4. Tinjauan Tentang Modul Modul adalah salah satu contoh bahan ajar cetak. Modul merupakan suatu unit yang lengkap yang berdiri sendiri dan terdiri atas suatu rangkaian kegiatan belajar yang disusun untuk membantu siswa mencapai sejumlah tujuan yang dirumuskan secara khusus dan jelas. Modul terdiri dari bermacam-macam bahan tertulis yang digunakan untuk belajar mandiri.

14

Rowntree dalam Belawati (2003:3.4) memberikan empat tahapan yang perlu dilakukan dalam pengembangan modul,yaitu: a. Mengidentifikasi tujuan instruksional Tujuan instruksional harus mengandung aspek ABCD (Audience, Behaviour, Condition, dan Degree). A merujuk pada siapa yang menjadi target, sasaran, atau peserta didik. B menjelaskan kompetensi yang diharapkan akan dikuasai peserta didik setelah mempelajari modul. C merujuk pada situasi dimana tujuan diharapkan akan tercapai. D adalah tingkatan kemampuan yang kita ingin dikuasai pembaca. b. Memformulasikan garis besar materi Berdasarkan tujuan instruksional, tentukan garis besar materi yang sesuai namun tetap memperhatikan aspek ABCD dari tujuan instruksional. Artinya materi harus disesuaikan dengan target pembaca, tingkah laku pembaca yang diharapkan akan dikuasai setelah mempelajari modul, kondisi tingkah laku dan tingkat kemampuan yang diharapkan akan tercapai. c. Menulis materi Berdasarkan garis besar materi, kemudian merinci materi dan mulai merencanakan menulis modul. Ada tiga pertanyaan yang harus dijawab untuk menentukan keluasan dan kedalaman materi yang ditulis pada modul. 1) Apa yang harus diketahui pembaca setelah selesai membaca materi? 2) Apa yang sebaiknya diketahui pembaca setelah membaca materi?

15

3) Apakah ada manfaatnya jika pembaca selesai membaca materi? Modul harus mencakup jawaban dari ketiga pertanyaan ini. d. Menetukan format dan tata letak Aspek yang juga perlu diperkirakan pada saat mengembangan modul adalah tata letak (layout). Suatu modul bagaimanapun kecilnya, mengandung hal-hal tersebut di atas dan merupakan satuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Apabila dikelompokkan, suatu modul terdiri atas empat komponen, yaitu: a. Petunjuk guru Guru minimal mengetahui dan menguasai bahan yang akan diajarkannya dan prinsip-prinsip penyampaiannya. Demikian juga dengan modul yang akan dipergunakan dalam situsi mengajar belajar harus benar-benar dipahami oleh guru. Karena itu ada petunjuk yang khusus untuk guru. Dalam petunjuk tersebut terdapat 2 hal. Pertama uraian umum tentang keadaan atau kedudukan modul tertentu dalam rangka program pendidikan yang lebih besar, kemampuan peserta didik yang harus dimiliki terlebih dahulu sebagai prasyarat untuk mengikuti modul dan penjelasan singkat, istilah-istilah yang mungkin belum biasa

dipergunakan dan akan dipergunakan dalam modul yang bersangkutan. Kedua, uraian khusus tentang topik modul, untuk kelas berapa modul itu, berapa jam waktunya, apa tujuan instruksionalnya, pokok-pokok materi yang akan dipelajari oleh peserta didik, prosedur mengajar

16

belajar baik kegiatan guru, peserta didik, maupun alat-alat dan sumber yang akan dipergunakan, pedoman evaluasi baik prosedur maupun alat yang dipergunakan. b. Program kegiatan siswa Pada komponen ini terdapat beberapa hal: pertama, identifikasi modul yang tampak pada sampul atau jilid mengenai nama dan nomor modul, kelas dan waktu yang disediakan. Kedua, petunjuk untuk anak yang berupa penjelasan tentang topik yang diberikan, pengarahan tentang langkah-langkah yang hendak dilakukan dan waktu yang disediakan untuk menyelesaikan modul. Ketiga, tujuan pelajaran yang hendak dicapai oleh peserta didik, pokok-pokok materi yang harus dipelajari, alat-alat peraga yang akan dipergunakandan petunjuk tentang kegiatan belajar baik untuk membaca, mengerjakan tugas-tugas maupun cara-cara mengisi lembaran kerja. c. Lembaran kerja Lembaran ini memungkinkan peserta didik belajar sendiri baik dalam bentuk pedoman observasi maupun tempat mengerjakan tugastugas. Dalam lembar kerja itu tampak topik-topik berupa persoalan yang harus dikerjakan di dalam format-format tertentu. Lembar kerja yang telah diisi dapat berfungsi sebagai umpan balik bagi peserta didik, umpan balik bagi guru dan sebagai catatan peserta didik untuk belajar di luar pelajaran nanti. d. Alat evaluasi

17

Suatu modul yang lengkap disertai pula dengan alat evaluasi. Alat ini dapat berupa blanko observasi maupun tes (soal-soal yang harus dikerjakan/dijawab). Dalam blanko observasi terdapat petunjuk atau pedoman observasi dan lembaran observasi. Tes berisikan pedoman penggunaan, lembaran tes, lembaran jawaban dan kunci jawaban. Tes dapat dilakukan diawal maupun diakhir pelajaran, sehingga dengan dua kali tes dapat dilihat kemajuan peserta didik antara sebelum dan sesudah mempelajari modul tertentu. Mulyasa (2006:233) mengemas komponen-komponen modul dalam format modul sebagai berikut: a. Pendahuluan. Bagian ini berisi deskripsi umum seperti materi yang disajikan, pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang akan dicapai setelah belajar; termasuk kemampuan awal yang harus dimiliki untuk mempelajari modul tersebut. b. Tujuan Pembelajaran. Bagian ini berisi tujuan-tujuan pembelajaran khusus yang harus dicapai oleh setiap peserta didik setelah mempelajari modul. Dalam bagian ini dimuat pula tujuan terminal dan tujuan akhir, serta kondidi untuk mencapai tujuan. c. Tes Awal. Tes ini berguna untuk menetapkan posisi peserta didik, dan mengetahui kemampuan awalnya, untuk menentukan dari mana ia harus memulai belajar, dan apakah perlu untuk mempelajari modul tersebut atau tidak. d. Pengalaman Belajar. Pada bagian ini disajikan tentang sumber-sumber belajar yang dapat ditelusuri dan digunakan oleh peserta didik. Penetapan sumber belajar ini perlu dilakukan dengan baik oleh pengembang modul, sehingga peserta didik tidak kesulitan memperolehnya. e. Tes Akhir. Tes akhir ini instrumennya sama dengan isi tes awal, hanya lebih difokuskan pada tujuan terminal setiap modul. Pembelajaran modul adalah pembelajaran yang sebagian atau seluruhnya didasarkan atas modul. Tujuan pembelajaran modul ialah

18

membuka kesempatan bagi peserta didik untuk belajar menurut kecepatan masing-masing, karena mereka menggunakan teknik yang bebeda-beda untuk memecahkan masalah tertentu berdasarkan latar belakang

pengetahuan dan kebiasaan masing-masing. Pemanfaatan modul dalam proses pembelajaran diantaranya: a. Sumber belajar yang telah tersusun dan terencana b. Petunjuk untuk memahami materi yang diberikan dan cara

memahaminya c. Motivator untuk terus membaca dan memahami materi d. Alat untuk mengukur tingkat pencapaian dalam belajar Nasution (1982:205) mengatakan bahwa manfaat modul bagi peserta didik diantaranya, adanya feedback atau balikan yang banyak dan segera, penguasaan bahan lebih tuntas, tujuan peserta didik mempelajari materi jelas, peserta didik lebih termotivasi untuk menyelesaikan modulnya sendiri sesuai dengan kemampuannya, serta terjalinnya kerjasama yang baik antara guru dengan peserta didik. Keuntungan modul bagi tenaga pengajar antara lain, guru dapat langsung melakukan pendekatan secara individu kepada peserta didik tanpa mengganggu lingkungan di sekitar peserta didik, meningkatkan profesi keguruan guru itu sendiri karena pengajaran modul menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang merangsang guru untuk berfikir dan mendorongnya bersikap lebih ilmiah tentang profesinya. Modul harus melalui proses uji coba terlebih dahulu sebelum digunakan pada pembelajaran. Uji coba ini dilakukan untuk menguji valid atau tidaknya suatu modul dan untuk ini juga dibutuhkan validator yang

19

memiliki kompetensi dalam hal pengembangan modul. Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa penggunaan modul dalam pembelajaran sangat besar manfaat dan pengaruhnya bagi peserta didik. Selain sebagai sumber informasi, modul juga menjadikan peserta didik aktif dalam proses pembelajaran, sehingga diharapkan peserta didik mampu mencapai hasil belajar yang lebih baik. 5. Tinjauan Tentang Hasil Belajar Hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki peserta didik setelah melakukan kegiatan belajar. Untuk mengetahui hasil belajar peserta didik dilakukan evaluasi. Penilaian adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat penilaian untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana hasil belajar peserta didik atau ketercapaian kompetensi (rangkaian kemampuan) peserta didik. Penilaian menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau prestasi belajar seorang peserta didik. Jadi penilaian dilakukan untuk mengetahui sejauh mana perubahan yang terjadi melalui kegiatan belajar mengajar. Slameto (1988:5) mengatakan bahwa perubahan yang dinginkan oleh program pengajaran ialah peningkatan kemampuan, baik kemampuan kognitif-intelektual, sosio-emosional

maupun kemampuan keterampilan-motorik sehingga penilaian harus berorientasi pada ketiga kemampuan ini. Penilaian hasil belajar dalam KTSP dapat dilakukan dengan penilaian kelas, tes kemampuan dasar, penilaian akhir satuan pendidikan dan sertifikasi, dan penilaian program. Penilaian hasil belajar tersebut

20

dilakukan untuk mengetahui kemampuan dan kemajuan peserta didik, mendiagnosa kesulitan belajar, memperoleh gambaran mengenai ketuntasan belajar peserta didik, untuk melihat keberhasilan kurikulum, dan melihat kesesuaian kurikulum (KTSP) dengan dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional, serta kesesuaian dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Salah satu alat evaluasi hasil belajar adalah tes, secara bahasa kata tes berasal dari bahasa Perancis kuno: testum dengan arti piring untuk menyisihkan logam-logam mulia dalam bahasa Inggris ditulis dengan test yang dalam bahasa Indonesia diartikan dengan tes, ujian atau percobaan dan dalam bahasa Arab: Secara umum, ada dua macam fungsi yang dimiliki oleh tes (Sudijono, 2006: 67), yaitu: a. Sebagai alat pengukur terhadap peserta didik. Maksudnya tes ini mengukur tingkat perkembangan atau kemajuan yang telah dicapai oleh peserta didik setelah mereka menempuh proses belajar-mengajar dalam jangka waktu tertentu. b. Sebagai alat pengukur keberhasilan program pengajaran, sebab melalui tes tersebut akan dapat diketahui sudah seberapa jauh program pengajaran yang telah ditentukan, telah dapat dicapai. Dengan demikian hasil belajar dapat diperoleh siswa setelah

melaksanakan tes hasil belajar, tes hasil belajar yang diberikan kepada siswa ini sesuai dengan materi yang telah dipelajarinya. Adapun jenis tes hasil belajar ini ada tiga yaitu: tes lisan, tes tertulis dan tes tindakan atau perbuatan. Pada tes lisan, soal-soal tes diajukan secara lisan dan dijawab juga secara lisan. Pada tes tertulis, soal-soal tes dituangkan dalam bentuk tertulis dan jawaban tes juga tertulis. Adapun pada tes perbuatan, bentuk

21

soal tesnya adalah pemberian perintah atau tugas yang harus dilaksanakan peserta didik atau orang yang mengikuti tes, dan cara penilaiannya dilakukan terhadap proses penyelesaian tugas dan hasil akhir yang dicapai setelah melaksanakan tugas atau perintah tersebut. Sebagai alat pengukur perkembangan dan kemajuan belajar peserta didik, tes tertulis dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu tes hasil belajar bentuk uraian dan tes hasil belajar bentuk obyektif. a. Tes hasil belajar bentuk uraian Tes uraian (essay test), yang juga sering dikenal dengan istilah tes subyektif (subjective test) merupakan salah satu jenis tes hasil belajar yang mempunyai karakteristik (Sudijono, 2006: 100) sebagai berikut: 1) Te s ter se bu t be rb ent uk pe rta ny aa n ata u pe rin tah ya ng me ng

22

he nd aki ja wa ba n be ru pa ur aia n ata u pa pa ra n kal im at ya ng pa da u m u m ny a cu ku p pa nja ng . 2) Be nt uk be nt uk

23

pe rta ny aa n ata u pe rin tah me nu nt ut ke pa da tes tee un tu k me m be rik an pe nje las an, ko me nta r, pe na fsi ra n, me m ba nd in gk

24

an, me m be da ka n da n se ba gai ny a. 3) Ju ml ah bu tir so aln ya u m u m ny a ter bat as, ya ng be rki sar ant ara li ma sa m pai de ng an

25

se pu lu h bu tir b. Tes hasil belajar bentuk obyektif Tes obyektif (objective test) yang juga dikenal dengan istilah tes jawaban pendek (short answer test), tes ya-tidak (yes-no test) dan tes model baru (new type test), adalah salah satu jenis tes yang terdiri dari butir-butir soal yang dapat dijawab dengan jalan memilih salah satu diantara beberapa kemungkinan jawaban yang telah dipasangkan pada masing-masing butir soal, atau dengan jalan menuliskan (mengisikan) jawabannya berupa kata-kata atau simbol-simbol tertentu pada tempat atau ruang yang telah disediakan, untuk masing-masing butir soal. Sebagai salah satu jenis tes hasil belajar, tes obyektif dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu: 1) Tes obyektif bentuk benar-salah (True-False Test) 2) Tes obyektif bentuk Matching 3) Tes obyektif bentuk Fill In 4) Tes obyektif bentuk Completion 5) Tes obyektif bentuk Multiple Choice Item Test Dari beberapa macam bentuk tes yang telah diuraikan diatas maka untuk melihat hasil belajar IPA siswa pada penelitian ini digunakan tes

26

objektif bentuk Multiple Choice Item Test. Tes objektif bentuk Multiple Choice Item Test sering dikenal dengan istilah tes objektif bentuk pilihan ganda, yang terdiri atas: (1) Item atau soal, yang dapat berbentuk pertanyaan atau pernyataan, (2) Option atau alternatif, yaitu kemungkinankemungkinan jawaban yang dapat dipilih oleh testee. Option atau alternatif terdiri atas satu jawaban betul yang biasa disebut kunci jawaban dan beberapa pengecoh. Sudijono (2006: 133) juga memberikan beberapa keunggulan dari tes uraian yaitu sebagai berikut: 1) Tes objektif sifatnya lebih representatif dalam hal mencakup dan mewakili materi yang telah diajarkan kepada peserta didik atau telah diperintahkan kepada peserta didik untuk mempelajarinya. 2) Tes objektif lebih memungkinkan bagi tester untuk bertindak lebih objektif, baik dalam mengoreksi lembaranlembaran jawaban soal, menentukan bobot skor atau dlam menentukan nilai hasil tesnya. 3) Mengoreksi hasil tes objektif adalah jauh lebih mudah dan lebih cepat ketimbang mengoreksi hasil tes uraian. 4) Berbeda dengan tes uraian, maka tes objektif memberikan kemungkinan kepada orang lain untuk ditugasi atau dimintai bantuan guna mengoreksi hasil tes tersebut. 5) Butir-butir soal pada tes objektif, jauh lebih mudah dianalisis, baik analisis dari segi derajat kesukaran, daya pembeda, validitas maupun reliabilitasnya. Selain memiliki keunggulan dan kelebihan tes objektif juga memiliki kekurangan atau kelemahan. Adapun kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh tes objektif (Sudijono, 2006:135) adalah sebagai berikut: 1) Menyusun butir-butir soal tes objektif adalah tidak semudah seperti halnya menyusun tes uraian. 2) Tes objektif pada umumnya kurang dapat mengukur atau mengungkap proses berpikir yang tinggi atau mendalam. 3) Dengan tes objektif, terbuka kemungkinan bagi testee

27

untuk bermain spekulasi, tebak terka, adu untung dalam memberikan jawaban soal. 4) Cara memberikan jawaban soal pada tes objektif, dimana dipergunakan simbol-simbol huruf yang sifatnya seragam, seperti A, B, C, D dan E atau B-S dan sebagainya, maka hal seperti ini dapat membuka peluang bagi testee untuk melakukan kerja sama yang tidak sehat dengan sesama testee lainnya. Berdasarkan keunggulan dan kelemahan tes objektif di atas maka beberapa petunjuk operasional yang dapat dijadikan pedoman dalam penyusunan butir-butir soal tes objektif menurut Sudijono (2006: 104) adalah sebagai berikut: 1) Untuk dapat menyusun butir-butir soal tes objektif yang bermutu tinggi, pembuat soal tes (dalam hal ini guru, dosen dan lain-lain) harus membiasakan diri dan sering berlatih, sehingga dari waktu ke waktu ia akan dapat merancang dan menyusun butir-butir soal tes objektif dengan lebih baik dan lebih sempurna. 2) Setiap kali alat pengukur hasil belajar berupa tes objektif itu selesai dipergunakan, hendaknya dilakukan penganalisaan item, dengan tujuan dapat mengidentifikasi butir-butir item mana yang sudah termasuk dalam kategori baik dan butir-butir item mana yang masih termasuk dalam kategori kurang baik dan tidak baik. 3) Dalam rangka mencegah timbulnya permainan spekulasi dan kerja sama yang tidak sehat dikalangan testee, perlu disiapkan terlebih dahulu suatu norma yang memperhitungkan faktor tebakan. 4) Agar tes objektif disamping mengungkapkan aspek ingatan atau hafalan juga dapat mengungkapkan aspek-aspek berpikir lebih mendalam, maka dalam merancang dan menyusun butir-butir item tes objektif hendaknya tester mengunakan alat bantu berupa tabel spesifikasi soal yang sering dikenal dengan istilah kisi-kisi soal atau blue print. 5) Dalam menyusun kalimat soal-soal objektif, bahasa atau istilah-istilah yang dipergunakan hendaknya cukup sederhana, ringkas, jelas dan mudah dipahami oleh testee. 6) Untuk mencegah terjadinya silang pendapat atau perdebatan antara testee dengan tester, dalam menyususn butir-butir soal tes objektif hendaknya diusahakan sungguh-sungguh agar tidak ada butir-butir yang dapat menghasilkan penafsiran ganda atau kerancuan dalam

28

pemberian jawaban. 7) Cara memenggal atau memutus kalimat, membubuhkan tanda-tanda baca seperti titik, koma dan sebagainya, penulisan tanda-tanda aljabar seperti kuadrat, akar dan sebagainya, hendaklah ditulis secara benar, usahakan agar tidak terjadi kesalahan ketik atau kesalahan cetak, sehingga tidak mengganggu konsentrasi testee dalam memberikan jawaban soal. 8) Dengan cara bagaimanakah testee memberikan jawaban terhadap butir-butir soal yang diajukan dalam tes, hendaknya diberikan pedoman atau petunjuknya secara jelas dan tegas, sehingga testee dapat bekerja sesuai dengan petunjuk atau perintah yang telah ditentukan dalam petunjuk umum atau petunjuk khusus yang dicantumkan dalam lembar soal tes. Rohani mengungkapkan bahwa Benjamin S. Bloom beserta para penerus gagasan-gagasannya pada garis besarnya mengklasifikasikan tujuan pengajaran kedalam tiga ranah (domain) yaitu: a. Domain kognitif (pengetahuan atau yang mencakup kecerdasan bahasa dan kecerdasan logika - matematika). Benyamin S. Bloom membagi ranah kognitif dalam 6 kategori secara hierarkis yaitu: 1) Knowledge (Pengetahuan) 2) Comprehension (Pemahaman) 3) Application (Penerapan) 4) Analysis (Analisis) 5) Syntesis (Sintesis) 6) Evaluation (Evaluasi) b. Domain afektif (sikap dan nilai atau yang mencakup kecerdasan antarpribadi dan kecerdasan intrapribadi, dengan kata lain kecerdasan emosional). Benyamin S. Bloom membagi ranah kognitif dalam 5

29

kategori secara hierarkis yaitu: 1) Receiving (Penerimaan) 2) Responding (Partisipasi) 3) Valuing (Penilaian/Penentuan Sikap) 4) Organization (Organisasi) 5) Characterization by a Value or Value Complex (Pembentukan Pola Hidup) c. Domain psikomotor (keterampilan atau yang mencakup kecerdasan kinestetik, kecerdasan visual-spasial, dan kecerdasan musikal). Benyamin S. Bloom membagi ranah kognitif dalam 7 kategori secara hierarkis yaitu: 1) Perception (persepsi) 2) Set (Kesiapan) 3) Gueded Response (Gerakan Terbimbing) 4) Mechanical Response (Gerakan Terbiasa) 5) Complex Response (Gerakan yang Komplek) 6) Adjusment (Penyesuaian Pola Gerakkan) 7) Creativity (Kreativitas) Sudrajat (2008) mengungkapkan bahwa data hasil penelitian multi kecerdasan menunjukkan bahwa kecerdasan bahasa dan kecerdasan logikamatematika yang termasuk dalam domain kognitif memiliki kontribusi hanya sebesar 5%. Kecerdasan antarpribadi dan kecerdasan intrapribadi yang termasuk domain afektif memberikan kontribusi yang sangat besar

30

yaitu 80%. Sedangkan kecerdasan kinestetik, kecerdasan visual-spatial dan kecerdasan musikal yang termasuk dalam domain psikomotor memberikan sumbangannya sebesar 5%. Namun, dalam praktis pendidikan di Indonesia yang tercermin dalam proses belajar-mengajar dan penilaian, yang amat dominan ditekankan justru domain kognitif. Domain ini terutama direfleksikan dalam 4 kelompok mata pelajaran, yaitu bahasa, matematika, sains, dan ilmu-ilmu sosial. Domain psikomotor yang terutama

direfleksikan dalam mata-mata pelajaran pendidikan jasmani, keterampilan, dan kesenian cenderung disepelekan. Demikian pula, hal ini terjadi pada domain afektif yang terutama direfleksikan dalam mata-mata pelajaran agama dan kewarganegaraan.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/05/01/penilaian-hasil-belajar Dari kutipan di atas dapat disimpulkan, bahwa hasil belajar merupakan indikator keberhasilan seseorang dalam mengikuti kegiatan belajar. Hasil belajar terlihat dari perubahan yang di dapat setelah melalui kegiatan belajar mengajar. Perubahan tersebut berupa perubahan pada aspek intelektual, aspek sikap ataupun aspek keterampilan motorik. Kriteria hasil belajar minimal harus melewati Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). KKM ditentukan berdasarkan tiga hal yaitu kompleksitas, daya dukung dan intake siswa. Pada penelitian ini peneliti menggunakan KKM yang sudah ditetapkan sekolah yaitu 60. Siswa dikatakan tuntas dalam belajar apabila hasil belajarnaya melewati KKM yang sudah ditetapkan.

31

6. Tinjauan Tentang Pembelajaran Konvensional Istilah konvensional berarti adat (yang berlaku) atau sesuatu yang telah menjadi kebiasaan atau kelaziman. Pembelajaran

konvensional yang dimaksud disini adalah pembelajaran yang dilakukan guru di sekolah menurut tuntutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

32

Mulyasa (2007:109) mengatakan bahwa pada KTSP yang ditentukan hanyalah Standar kompetensi dan Kompetensi Dasar (SKKD) sebagai acuan oleh para guru. Dengan demikian tugas utama guru dalam KTSP adalah menjabarkan, menganalisis, mengembangkan indikator dan menyesuaikan SKKD dengan karakteristik dan perkembangan peserta didik, situasi dan kondisi sekolah, serta kondisi dan kebutuhan daerah. Selanjutnya mengemas hasil analisis kedalam KTSP yang didalamnya mencakup silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Pada umumnya pelaksanaan pembelajaran pada KTSP mencakup tiga hal: pre tes, pembentukan kompetensi, dan post tes. Pelaksanaan pembelajaran konvensional yang selama ini

dilaksanakan di sekolah-sekolah adalah peserta didik sebagai penerima informasi dari guru, materi pembelajaran kurang dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari, metode yang digunakan guru adalah metode ceramah. Jadi dapat dikatakan bahwa, pembelajaran konvensional lebih menitikberatkan pada keaktifan guru daripada keaktifan peserta didik. Abubakar dalam Yasin Setiawan (2006:4) mengatakan bahwa: Pembelajaran konvensional ini dapat menimbulkan kejenuhan pada peserta didik, peserta didik tidak memperoleh kesempatan berfikir melainkan hanya mendengar dan mencatat saja, salah paham karena salah tafsiran, membuat peserta didik bosan, tidak memberi kesempatan pada peserta didik untuk belajar dengan berbuat.

Hasil Belajar Hasil Belajar Pembelajaran dengan modul Pembelajaran Konvensional Bandingkan 33 Proses Belajar Mengajar (PBM)

B. Kerangka Konseptual Usaha yang dilakukan guru untuk meningkatkan motivasi belajar IPA peserta didik sehingga mendapatkan hasil belajar yang memuaskan bisa dilakukan dengan berbagai metode pembelajaran. Salah satu

diantaranya adalah dengan pembelajaran dengan modul. Pembelajaran dengan sistem modul ini adalah salah satu metode pembelajaran dimana peserta didik dituntut aktif dan kreatif dalam memecahkan persoalan yang disediakan guru dalam bentuk modul dan mengembangkan kemampuannya, karena peserta didik terlibat langsung dalam proses pembelajaran sedangkan guru hanya memberi pengarahan dan mengawasi saja. Dengan demikian setiap peserta didik mendapat kesempatan untuk menyelesaikan modulnya sendiri-sendiri sesuai kemampuan mereka. Berdasarkan latar belakang masalah dan landasan teori, maka dapat dibuat kerangka konseptual sebagai berikut:

Kesimpulan 34

Gambar 2. Skema kerangka penelitian 1. Penelitian Terkait Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Rika Mega Sari tahun 2007 yang berjudul Pembuatan Modul Untuk Pembelajaran Kimia Pada Pokok Bahasan Reaksi Reduksi Oksidasi Kelas X SMAN 9 Padang. Kesimpulan yang diperoleh adalah tingkat pemahaman siswa terhadap materi kimia dengan metode Modul lebih baik dan tuntas dari hasil belajar kimia siswa tanpa modul. Bertolak dari penelitian diatas penulis tertarik melakukan penelitian tentang pembelajaran dengan modul. Penelitian yang penulis lakukan lebih menekankan pada pengaruh penggunaan Modul terhadap hasil belajar IPA Fisika siswa kelas VII di MTsN Pauh Kambar Kecamatan Nan Sabaris Kabupaten Padang Pariaman. C. Hipotesis Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang kebenarannya harus diuji secara empiris. Berdasarkan landasan teori maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: Hipotesis nol (H0) : Tidak terdapat pengaruh berarti penggunaan Modul terhadap hasil belajar IPA siswa kelas VII MTsN Pauh Kambar Hipotesis kerja (H1) : Terdapat pengaruh berarti penggunaan Modul terhadap

35

hasil belajar IPA siswa kelas VII MTsN Pauh Kambar

Anda mungkin juga menyukai