Anda di halaman 1dari 4

kekerasan itu bernama Korupsi

Gejala kekerasan (violence), kebiadaban (barbarity), kekejaman (cruelty), dan

segala bentuk tindakan yang melampaui batas kemanusiaan (inhumanity) yang muncul

dalam kehidupan umat manusia, pada hakikatnya telah tua, setua perjalanan panjang

sejarah manusia itu sendiri.

Jika dirunut, masih banyak masalah korupsi (KKN) di negara ini yang dalam

proses hukumnya berhenti di tengah jalan. Berikut salah satu kasus KKN besar yang

menunggu untuk diselesaikan, tapi entah kapan?.

Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Kasus BLBI pertama kali

mencuat ketika Badan Pemeriksa Keuangan mengungkapkan hasil auditnya pada Agustus

2000. Laporan itu menyebut adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp 138,4

triliun dari total dana senilai Rp 144,5 triliun. Di samping itu, disebutkan adanya

penyelewengan penggunaan dana BLBI yang diterima 48 bank sebesar Rp 80,4 triliun.

Bekas Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono dianggap bertanggung

jawab dalam pengucuran BLBI. Sebelumnya, mantan pejabat BI lainnya yang terlibat

pengucuran BLBI? Hendrobudiyanto, Paul Sutopo, dan Heru Soepraptomo? telah dijatuhi

hukuman masing-masing tiga, dua setengah, dan tiga tahun penjara, yang dianggap

terlalu ringan oleh para pengamat. Ketiganya kini sedang naik banding. Bersama tiga

petinggi BI itu, pemilik-komisaris dari 48 bank yang terlibat BLBI, hanya beberapa yang

telah diproses secara hukum. Antara lain: Hendrawan Haryono (Bank Aspac), David

Nusa Widjaja (Bank Servitia), Hendra Rahardja (Bank Harapan Santosa), Sjamsul

Nursalim (BDNI), dan samadikun Hartono (Bank Modern).


Yang jelas, hingga akhir 2002, dari 52 kasus BLBI, baru 20 dalam proses

penyelidikan dan penyidikan. Sedangkan yang sudah dilimpahkan ke pengadilan hanya

enam kasus. (Data dari Wikipedia)

Setelah dana nonbujeter departemen Kelautan dan Perikanan sedikit tersingkap

dengan “bernyanyinya” mantan menteri kelautan Rochmin Dahuri, yang secara tidak

langsung memberi efek samping kepada “para penikmat” seperti Prof. DR. H. Amin Rais

dan DR. H. Hasyim Muzadi kedua orang itulah yang secara gentleman mengakui pernah

merasa menerima. Namun yang lain masih bersih keras tidak mengakui perilaku “dholim

dan kekerasan” yang telah dilakukannya terhadap rakyat yang telah mempercayainya.

Idealnya pejabat atau pemimpin itu punya suasana penuh keakraban, keterbukaan,

kekeluargaan, sukacita, dan cinta antara masyarakat dengan para pemimpinnya. Prilaku

dan kepribadian para pemimpin (pejabat) yang dalam setengah abad ini kurang dapat

dijadikan panutan para masyarakat jelata, meski telah beberapa kali adanya proses

demokrasi (pemilu). Karena segala sesuatu yang diatas selalu tercermin ke bawah.

Ironis memang, umat manusia yang telah mengalami perjalanan mencapai

peradaban tinggi seperti yang kita saksikan pada masa sekarang ini, kenyataannya masih

tetap bergumul menghadapi gejala kekerasan yang mengancam perdamaian dan

keamanan kehidupannya. Secara umum telah dikemukakan bahwa kekerasan sebagai

tragedi kehidupan yang selalu menampakkan sifat dan sikapnya hampir disepanjang

sejarah umat manusia.

Pencapaian titik jenuh masyarakat setelah proses menonton unsur-unsur

ketimpangan, ketidakadilan, kecurangan, KKN, teror, pemaksaan, represi, dan seterusnya.

Jika ada unsur-unsur itu berarti ada yang menjadi korban atau sengaja dikorbankan. Yang
jelas akibat-akibatnya nyata dialami oleh sebagian besar masyarakat kelas bawah. Dalam

kenyataan situasi sekarang ini, kita tidak mudah menemukan pelaku atau penyebab

kekerasan demi kekerasan yang terjadi.

Kehidupan ekonomi sulit menjepit dalam sebuah ruang sempit yang mencekik

rasa dan jiwa kemanusiaan. Padahal kalau digali lagi melalui perpustakaan (berpikir),

maka akan kenalan dengan Johan Galtung penulis buku kekuasaan dan kekerasan.

Kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani

dan mental aktualnya berada dibawah realisasi potensialnya. Suatu pernyataan

mencerahkan yang membutuhkan definisi lebih lanjut, kemudian bisa disimpulkan secara

langsung atau tidak langsung, direncanakan atau tidak terencana. Akan tetapi semua itu

jelas sebuah kalimat tentang kekerasan.

Sebuah negara yang telah menelantarkan (amnesia) terhadap rakyatnya sehingga

banyak menderita kelaparan (busung lapar) sampai mati. Penyalahgunaan kekuasaan dan

wewenang, penyalahgunaan dana dan sumber daya lain demi segelintir pejabat,

semuanya itu merupakan bagian dari kekerasan. Hanya dengan usaha untuk mencari

sumber (ekonomi) kekerasan pada pelaku atau aktor saja kurang cukup, harus

ditindaklanjuti dengan merogoh serta mengobok-obok sistem atau struktur yang memang

selama ini menjadi pelatuk atau sumber hingga mengakibatkan kondisi masyarakat sangat

gampang tersinggung bertindak kekerasan.

Melihat fenomena yang terjadi bukan merupakan murni persinggungan antar

masyarakat, akan tetapi ada tangan-tangan “bijak” para pemimpin (pejabat) yang selama

ini kurang disadarinya dan Selama itu pula masyarakat kita menonton, memperhatikan

serta merasakannya. Jadi semua kejadian akhir-akhir ini bermuara di elit-elit pejabat
eksekutif, pejabat yudikatif, dan pejabat legislatif, yang dalam rentang waktu selama

menjabat untuk menjadi pengelola dan pengatur. Semua kebijakan-kebijakan selama ini

dikeluarkan demi kesejahteraan serta keadilan yang merata bagi masyarakat?

Maka dari itu kita butuh perjuangan kolektif yang dimulai dari elit masyarakat

(pejabat), sampai masyarakat jelata untuk bersama melawan kekerasan, yang berarti

berjuang bagi terciptanya masyarakat yang adil, manusiawi, dan solider. Untuk itu

struktur yang jelek dan korup harus dibongkar seluruhnya jangan tebang pilih dan

berdasar pada pesanan saja, tapi proses tersebut tidak mudah, namun perjuangan ke arah

sana harus jadi langkah prioritas seluruh elemen-elemen pada tingkat elit (pejabat)

masyarakat. Khususnya yang paling mendasar adalah struktur yang menyangkut bidang

perekonomian.

Kalau tidak, kita akan hidup dalam suasana kekerasan terus-menerus.

Mematahkan lingkaran kekerasan dan mengubah struktur kekerasan berarti membangun

kultur positif dalam masyarakat yang keras, kita membutuhkan budaya baru yang

ditandai dengan aksi kejujuran, tanpa kekerasan, bela rasa, sopan santun, dan

menghormati kehidupan. Perjuangan untuk kebenaran, keadilan, kebebasan, serta

martabat kemanusiaan berarti perjuangan bagi seluruh masyarakat bangsa ini agar

terbebas dari segala bentuk-bentuk kekerasan, mudah-mudahan.

nur achmad fathoni


Alumni IAIN Sunan Ampel 2005
Sekarang pekerja sosial di GP ANSOR GRESIK
Alamat : Jl KH Abdul Karim IV/14, 61116 Gresik
No telp/Hp : (031) 3970144, 081330569375
No rek : 150-0100709 (BCA Gresik) atas nama nur achmad fathoni

Anda mungkin juga menyukai