Anda di halaman 1dari 3

NEO-LIBERALISME SEBUAH BENTUK RE-KOLONISASI Memahami fakta-fakta sosial berarti memperdalam analisa pada tingkatan struktur sosial maupun

sistem sosial. Dari paparan diatas, merupakan sebagian kecil dari fakta-fakta sosial yang ada di Indonesia. Dimana semua fenomena tersebut tidak terlepas terjadi secara struktural dan menundukkan individu-individu dalam masyarakat. Dan juga harus dipandang secara sistemik terhadap skenario besar sejarah umat manusia. Dapat dipastikan bahwa sistem yang mendominasi dunia secara global adalah sistem yang kapitalistik, yang dijalankan oleh struktur-struktur kekuasaan negara serta intimidasiintimidasi internasional. Dengan menjual ide-ide pasar bebasnya, kapitalisme berada pada tahap Liberalisme model baru. Jadi, ini setidaknya memberikan sebuah jawaban yang sedikit ekstrim ketika menjawab pertanyaan, Mengapa negara kita miskin?, dan harus kita jawab bahwa kita miskin karena kita dimiskinkan! Bagaimana tidak, dengan kekayaan alam yang melimpah yang menjadi sumber produksi ternyata lebih banyak dieksploitasi oleh pihak asing. Perlu kiranya untuk mengenali siapa pihak asing itu, serta bagaimana bentuk pemiskinannya terhadap rakyat bangsa ini. Pada awal tahun 70-an pemerintah saat itu mengeluarkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing yang melegalkan investasi besar-besaran oleh pemodal-pemodal asing. Modal ini dikawal oleh sistem pemerintahan yang merupakan model negara developmentalisme yang menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Logika yang dipakai struktur pemerintahan Orde Baru adalah bahwa motor penggerak pembangunan adalah investasi modal dan industrialisasi. Dengan mengejar neraca ekonomi yang surplus ternyata tidak berimbang dengan peningkatan kesejahteraan rakyat kecil yang merupakan mayoritas. Surplus ekonomi pun hanya mengalir pada segelintir penguasa dan pemodal, serta invetor asing. Pembangunan dilihat sebatas hanya dalam hitungan matematis-ekonomis dan hanya secara fisik. Kenaikan angka perdagangan ke luar negeri (ekspor), kenaikan suku bunga, semakin besarnya sentra-sentra industri, dan sebagainya. Sedangkan seperti Berger bilang bahwa pembangunan juga harus dilihat secara dialektika-negatif. Ada ruang kesejahteraan rakyat yang terbengkalai tatkala pembangunan dijalankan. Penderitaan rakyat juga semakin besar, bahkan turun temurun. Sekarang dapat dilihat kegagalan Orde Baru dengan ekonomi pertumbuhannya, ternyata meninggalkan beban hutang kepada generasi bangsa. Industrialisasi belum menjawab tentang permasalahan pengangguran, yang justru masih diserap dalam jumlah besar dalam sektor pertanian. Selama ini pertanianlah yang masih menjadi ruang tenaga kerja di Indonesia, dan sekaligus juga salah satu penopang ekonomi negara. Sistem dan struktur sosial ekonomi pertanianpun menderita akibat sistem ekonomi pertumbuhannya Orde Baru. Revolusi hijau telah semakin lama ternyata semakin memiskinkan petani, faktanya sekarang adalah : 1. Dengan menanam bibit varietas unggul yang hanya bisa diproduksi oleh MNCs, dimana ada proses rekayasa genetika, maka petani tidak mungkin melakukkan pembibitan sendiri. 2. Dengan asupan kimia untuk merangsang pertumbuhan dan hasil tanaman maka unsur tanah semakin rusak dalam waktu jangka panjang.

3. Petani tergantung pada asupan pupuk kimiawi yang hanya diproduksi perusahaan besar. 4. Dengan intensifikasi pertanian melalui teknologi, maka alat-alat produksi pertanian tradisional menjadi tertinggal dan petani harus mengeluarkan biaya yang mahal untuk mengakses teknologi/alat-alat pertanian. 5. Belum lagi ternyata tidak pernah ada perlindungan pemasaran hasil pertanian. Petani selalu merugi dalam proses produksi. 6. Sekarang lahan semakin sempit terpinggirkan oleh industri. Walaupun pernah mencapai swa-sembada hanya berlangsung selama 5 tahun dan pasca tahun 1990 Indonesia kembali mengimpor beras dan angkanya tidak pernah turun sampai sekarang. Disatu sisi Orde Baru dapat dikatakan gagal dalam melaksanakan pembangunan, serta semakin korup dan tidak efektifnya birokrasi dengan dominasi negara yang berlebihan dalam proses ekonomi menyebabkan krisis yang dahsyat. Secara internal pemerintahan Orde Baru semakin tidak pupulis dan mendapat perlawanan dari berbagai oposisi. Dominasi negara yang berlebihan pun mulai tidak sesuai lagi dengan ideologi baru yaitu pasar bebas yang mengasumsikan bahwa negara adalah sumber korupsi dan tidak efisien dan menggerogoti kesejahteraan sosial. Maka, solusinya adalah dengan menyerahkan sepenuhnya semua mekanisme pada pasar. Akhirnya, ini pun harus pula menuntut penyesuaian cara politis. Ya... Tumbanglah Orde Baru!! Untuk memahami globalisasi dan mekanisme dunia selanjutnya, kita perlu memahami Neo-Liberalisme. Inilah terutama slogan TINA (There Is No Alternatives) dari Margaret Thatcher. Sejak tahun 1970-an, Neo Liberalisme semakin menanjak menjadi kebijakan dan praktek negara menjadi kapitalis maju dengan didukung pilar-pilar badan dunia, Bank Dunia, IMF dan WTO. Neo-Liberalisme lebih merupakan antitesa terhadap welfare state, antitesa neo-klasik dan antitesa Keynesian. Program Neo-Liberal yang terkenal dan dipraktekkan dimana-mana adalah SAPs (Structural Adjusment Programs). Intinya tetap menindas masyarakat kecil, dibalik nama sopan penyesuaian struktural adalah penghancuran dan pendobrakkan radikal terhadap struktur dan sistem yang tidak sesuai dengan pasar bebas murni. Yang jelas tanpa seorang wasit yang bernama Negara Indonesia. Ingat! Bukan persaingan yang alamiah, seperti yang didengungkan oleh kapitalisme global. Melainkan suatu perubahan lah yang alamiah dan mendasar. Ya...! Welcome to the jungle. Hukum rimba pasar bebas dari sang NEOLIB. Siapa yang akan selalu memenangkan persaingan? Yang pasti bukan kelas rakyat kecil. Kenapa rakyat kita terlihat santai dan menganggap fenomena yang terjadi ini alamiah dan keniscayaan? Yang jelas ini bukan takdir kita rakyat Indonesia untuk miskin. Ini ulah manusia juga, bukan ulah Tuhan! Kenapa juga rakyat masih bengong, dan bahkan mahasiswa sendiri dengan kenyataan ini? Ingat pernyataan ini, Susan George, mereka (kaum Neolib) membangun kader-kader ideologis yang luar biasa efisiennya karena mereka memahami benar apa yang disampaikan oleh Antonio Gramsci ketika ia berbicara tentang konsep Hegemoni Kultural: Bila kamu dapat menguasai kepala orang, maka hati dan tangan mereka akan ikut. Nyata rupanya bahwa otak orang Indonesia sudah dikuasai oleh konsep-konsep kapitalisme global!!

Didik Fisip, Sosiologi, Undar.

Anda mungkin juga menyukai