Anda di halaman 1dari 9

KULIAH UMUM Jumat, 14 Desember 2007 09.00 11.

.00 SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI NEGARA Lecture: SCOTT KOFMEHL Staf Diplomat Kedutaan Besar Amerika Serikat Economic Section ULASAN Kuliah umum Scott Kofmehl diselenggarakan sebagai bagian dari peringatan Dies Natalis STIA LAN ke-47. Scott adalah diplomat muda dan Ph.D lulusan Harvard Kennedy School of Government dengan spesialisasi di bidang administrasi publik dan international relationships. Jumlah mahasiswa yang hadir pada saat kuliah berlangsung sebanyak lebih kurang 70 orang, berasal dari program S1 dan S2, khususnya S1 kelas Sistem Politik Indonesia (dosen Ratri Istania, SIP, MA), S2 kelas Manajemen Keuangan Daerah (dosen Prof. Dr. J. Basuki, M.Psi.), dan S2 kelas Manajemen Sumber Daya Aparatur (dosen Dr. M. Taufik, DEA.). Mahasiswa S2 tersebut merupakan kelas khusus kerjasama dengan Departemen Agama. Kuliah umum dibuka oleh Prof. Dr. J. Basuki, M.Psi., ketua STIA dengan didampingi oleh Dr. M. Taufik, DEA. Kuliah Scott diantarkan dalam dua bahasa (bilingual) dengan didampingi oleh translator, Ratri Istania, demi kelancaran proses pembelajaran. Sebagai pengantar kuliah bagian pertama, Scott memaparkan perbandingan antara pemerintahan federal di Amerika Serikat dan desentralisasi di Indonesia. Menurut Scott, pemerintahan federal di AS diawali dengan desentralisasi, sedangkan di Indonesia, desentralisasi diawali dengan sentralisasi pemerintahan yang kuat.

Scott mengatakan bahwa asumsi pembagian kekuasaan dalam pemerintahan AS adalah non-ekslusif. Artinya pemerintahan tidak dikuasai oleh segelintir elit atau figure penting saja. Berbeda dengan di Indonesia, politik pemerintahan dikuasai oleh personal issue daripada issue based. Akibatnya seringkali pemerintahan di Indonesia memiliki tingkat instabilitas yang tinggi begitu figur politik memudar popularitasnya, maka memudar pula dukungan terhadap pemerintahannya. Sebagai contoh: Arnold Schwartzeneger, mantan aktor Hollywood, dapat menjadi Gubernur di negara bagian California, bukan karena figure artisnya akan tetapi isu yang diusungnya melalui partai republiken. Pada bagian kedua pengatar kuliahnya, Scott memperkenalkan analisis terhadap sistem birokrasi sebagai adaptasi dari bureaucratic analysis of decision making Graham Allison. Graham Tillet Allison Jr., merupakan professor di Harvard University, American political scientist terkemuka, yang kebetulan juga merupakan pembimbing Scott dalam disertasinya. Sejatinya analisis ini berasal dari disiplin ilmu hubungan internasional. Namun demikian Scott mengatakan bahwa analisis tersebut juga bermanfaat untuk mengidentifikasi siapa yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan suatu organisasi birokrasi. Scott mengatakan bahwa di dalam menganalisis sistem birokrasi, terdapat 3 unit analisis yang perlu diperhatikan yaitu: 1. Unitary actor, yaitu aktor yang organisasi pemerintahan yang dipilih oleh konstituen, berperan untuk mengambil keputusan bagi publik atau keputusan yang dihasilkan akan mengikat semua yang berada dalam satu kesatuan wilayah seperti central government (pemerintah pusat) dan provincial government (pemerintah provinsi); 2. Institutional actor, yaitu aktor lembaga yang berperan untuk mengambil keputusan yang mengikat secara kelembagaan seperti government institution (lembaga pemerintahan) dan cross-government institution; 3. Individual actor, yaitu aktor individu yang merupakan kepala dari suatu institusi atau lembaga, mengambil keputusan secara personal seperti bupati, walikota, dan sebagainya. Dalam mempertimbangkan hasil keputusan tersebut, maka setiap saat harus diidentifikasi: 2

1. Siapa pelaku dalam organisasi birokrasi, 2. Berapa banyak aktor yang berperan dalam organisasi birokrasi, 3. Seberapa besar pengaruh kepentingan aktor di dalam organisasi birokrasi, 4. Bagaimana hubungan antar aktor dalam organisasi birokrasi, 5. Siapa yang mempengaruhi organisasi birokrasi di dalam maupun di luar. Menurut Scott, apabila analisis sudah mampu mengidentifikasi permasalahan tersebut di atas, maka kita dapat meng-assess berbagai situasi birokrasi di manapun. Sebelum memasuki sesi tanya jawab, Scott memberikan pendapat tentang situasi birokrasi di Indonesia berdasarkan pengamatannya selama ini dari mass media, yaitu: 1. Pertentangan yang terjadi antara dua figur elit politik tingkat atas, Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Yusuf Kalla harus dicermati secara realistis. Artinya pertentangan tersebut akan membawa dampak terhadap pertanyaan seberapa besar manfaat yang akan didapat rakyat dari program desentralisasi. Sesungguhnya pertentangan tersebut harus dinalisa berdasarkan pada All politics is local politics, all bureaucracies are local politics, 2. Prioritas nasional hasus berdasarkan pada aksi local, oleh karena itu semua isu nasional harus diselesaikan pada dengan mempertimbangkan baik buruknya bagi daerah, 3. Ide mengenai hubungan pusat dan daerah yang fair harus selalu dikembangkan. Pada sesi tanya jawab, Scott tidak membatasi pertanyaan secara spesifik, malah menganjurkan mahasiswa untuk bertanya sampai isu paling sensitif sekalipun. Oleh karena itu pertanyaan yang diajukan sangat beragam, bahkan Scott menilai bahwa banyak pertanyaan dari mahasiswa STIA tersebut sangat berbobot. Berikut petikan tanya jawab dapat disimak di bawah ini: Pertanyaan mahasiswa 1:

Dalam pemerintahan AS, isu sangat berperan dominan dalam menentukan kebijakan politik. Seberapa besar intervensi swasta dalam menentukan kebijakan tersebut? Pertanyaan berikutnya, bagaimana kekuasaan pemerintah daerah dalam mengatur segi keuangan dan berapa besar keuangan daerah yang disedot pemerintah pusat? Urusan apa yang boleh diserahkan, bagaimana halnya dengan wacana polisi di daerah? Jawaban: Kelompok kepentingan terdiri dari berbagai jenis. Mekanisme yang ditempuh dalam menggolkan suatu isu oleh kelompok kepentingan biasanya ditempuh dengan mengakomodasi keluhan dalam lobi privat kelompok kepentingan dengan anggota parlemen. Kelemahan dari lobi seperti ini adalah rawan money politics sehingga berdampak pada campaign contribution (kontribusi dana kampanye) dari kelompok kepentingan terhadap partai politik tertentu untuk mendapatkan dukungan. Scott menyoroti kasus yang sama di Indonesia dengan pembatasan dana sumbangan kampanye individu sebanyak Rp 100 juta rupiah yang menurutnya terlalu banyak, sehingga dapat mengundang masalah yang sama seperti di AS. Kemudian distribusi keuangan di pemerintahan AS sangat beraneka ragam. Sebagai contoh di kota tempat tinggal Scott, yang masuk dalam wilayah negara bagian Pennsylvania, 99% budget untuk pendidikan didapat dari pajak lokal, sisanya dari pemerintah negara bagian. Sedangkan di kota lain, City of Pittsburgh misalnya, 50% budget pendidikan didapat dari pemerintah negara bagian. Begitu pula dalam hal Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (National Health Care System), AS menyerahkannya kepada pihak swasta. Akibatnya sebanyak 350 juta dari 450 juta penduduk AS tidak memiliki asuransi kesehatanb. Berbeda dengan Indonesia, Scott menilai program pemerintah pusat dan daerah yang mengutamakan jaminan kesehatan warga negaranya merupakan hal yang patut ditiru. Tentu saja perbedaan pandangan dalam hal pengelolaan jaminan kesehatan tersebut berkaitan dengan interpretasi pemerintah Indonesia yang memasukan kesehatan sebagai bagian dari hak asasi dasar manusia. Berbicara mengenai institusi kepolisian, Scott mengatakan bahwa polisi

berada di tiap level pemerintahan, dari mulai tingkat municipal (setingkat kecamatan), city, sampai tingkat diatasnya seperti Federal Bureau Investigation (FBI) dan Coast Guard di tingkat pemerintahan federal. Keseluruhan institusi kepolisian dikelola berdasarkan prinsip desentralisasi, sehingga memerlukan koordinasi yang sangat kuat. Pada kasus Indonesia yang terdiri dari kepulauan, institusi militer masih sangat diperlukan sampai ke tingkat lokal untuk mempersatukan wilayah. Satu kelemahan mendasar dari hubungan pusat dan daerah di Indonesia dan AS adalah kemampuan pemerintah untuk mengambil pajak tidak sebesar di AS. Pertanyaan mahasiswa 2: Kalau kita mengamati bahwa model public policy di Indonesia adalah berdasarkan elit model sehingga preferensi elit dari segelintir orang akan mengalahkan pengaruh masyarakat luas. Bagaimana halnya dengan di AS? Kemudian bagaimana pendapat Anda mengenai sentralisasi agama dalam suatu negara seperti halnya kebijakan beragama di Indonesia. Bagaimana dengan tuduhan AS bahwa islam di Indonesia merupakan sarang teroris? Bagaimana kebijakan AS menyikapi hal tersebut? Jawaban: Elit model sebenarnya juga ada di dalam politik pemerintahan AS. Seperti halnya perseteruan politik menuju kancah pemilihan presiden tahun 2008 antara Bush dan Hillary Clinton yang menjadi pertentangan elit level, juga terjadi di Indonesia. Hal tersebut dapat dianalisis berdasarkan seberapa besar negara tersebut mengimplementasikan prinsip-prinsip desentralisasi. Di AS, desentralisasi melalui proses sangat panjang sampai menuju pemerintahan federal seperti sekarang. Sehingga isu yang diusung oleh elit politik sampai ke tingkat lokal amat berperan dalam kemenangan seorang tokoh politik seperti halnya isu climate change. Namun demikian, bisa juga jawabannya pemerintah AS tidak mengenal elit model karena bila melihat kecenderungan pengambilan keputusan di parlemen sekarang, yaitu di lower house of representatives (setingkat DPR), yang beranggotakan orang-orang terpilih melalui pemilihan umum lokal berdasarkan isu lokal. Kebijakan bernuansa lokalpun akan akan disampaikan 5

ke

tingkat

negara

bagian,

yaitu

kepada

gubernur

sebagai

kepala

pemerintahan negara bagian yang memiliki kekuasaan lebih besar dari pemerintah federal di wilayahnya. Kebijakan politik seorang gubernur bernuansa lokal akan diteruskan ke tingkat pusat. Sehingga pengambilan kebijakan politik di AS bukan berdasarkan isu luar negeri seperti yang ditenggarai orang selama ini, akan tetapi lebih diwarnai kepentingan lokal. Di AS terdapat perdebatan terus menerus akan majority rule vs. minority rights. AS masih terus berjuang untuk menemukan balance seberapa besar pemerintah pusat yang menentukan kebijakan ataukah pemerintah lokal yang mempengaruhi kebijakan. Bahkan perdebatan mengenai praktek keagamaan di AS sebagian besar berkisar pada penggunaan symbol keagamaan. Seperti halnya kontroversi penempatan pohon natal dan ten commandements di muka gedung Mahkamah Agung AS (Supreme Court) berlanjut pada perdebatan keyakinan masyarakat AS yang didominasi oleh keyakinan akan nilai-nilai judeo-chritianism. Perdebatan sengit juga terjadi ketika pernikahan sesama jenis (same sex marriage) berdampak pada perbedaan pengambilan kebijakan di tingkat pusat dan daerah. Di tingkat pusat, pernikahan sesama jenis tidak diperbolehkan, sedangkan di beberapa negara bagian ternyata diperbolehkan. Hal tersebut menurut Scott, merupakan hasil dari doktrin pemerintahan AS yang memisahkan antara church and state. Sehubungan dengan tuduhan pemerintah AS terhadap islam di Indonesia sebagai sarang teroris, sekarang pemerintah AS berpandangan bahwa Indonesia merupakan negara berpenduduk ketiga terbesar di dunia yang menegakkan demokrasi bukan sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia. Pertanyaan mahasiswa 3: Bahwa tidaklah mungkin membandingkan birokrasi di Indonesia dengan AS. Karena pola pemberian bantuan AS terhadap Indonesia pasca orde baru terpusat pada demokrasi. Mengapa AS tidak melihat Indonesia seperti yang diberikan halnya negara-negara eropa pasca perang dunia ke-2 bantuan dalam perbaikan reformas birokrasinya? Pasca 1998, pemerintah Indonesia berusaha untuk mengembalikan urusan ke daerah, artinya isu lokal menjadi pusat perhatian pengelolaan pemerintah.

Akan tetapi apa yang terjadi di tingkat lokal, isu didominasi oleh kepentingan lokal yang dikuasai segelintir orang sehingga banyak kebijakan satu daerah overlapping dengan kebijakan daerah lain, belum lagi di tingkat pusat. Problem semakin besar ketika isu putra daerah mengemuka dalam pemilihan kepala daerah yang berpotensi melahirkan kolusi, korupsi, dan nepotisme karena alasan primordialisme. Kemudian, bagaimana parlemen melakukan kompromi dengan program pemerintah? Jawaban: Pada pasca perang dunia ke-2, negara-negara post-conflict state, seperti Jepang dan negara-negara eropa memerlukan bekal untuk membangun kembali negaranya yang dikenal sebagai state reformation. Sehingga pola pemberian bantuan AS juga dikhususkan pada penataan kelembagaan (institution building), mulai dari politik yang didominasi kepentingan personal menjadi suatu lembaga, partai politik, kementerian sehingga tercipta balance of power antara legislative, judiciary, dan executive body. Indonesia memiliki kesamaan dengan AS karena yang diperlukan bukanlah mendirikan kembali negara dari reruntuhan pasca perang, akan tetapi bagaimana menegakkan demokrasi yang telah dirintis. demokrasi tersebut. Kemudian berkaitan dengan hubungan pusat daerah, kekuasaan terdapat pada level lokal dengan pusat tetap memikul tanggung jawab walaupun sudah terdapat pembagian tanggung jawab melalui desentralisasi atau federalisme. Di AS, kompromi akan selalu ada antara eksekutif dan congress. Proses legislasi di AS berbeda dengan di Indonesia. Bila di Indonesia, pengajuan rancangan peraturan perundang-undangan oleh kementrian tiap departemen lalu ke presiden baru kemudian ke parlemen. Sedangkan di AS, pengajuan bills dimulai dari congress baru ke presiden untuk mendapatkan persetujuan. Bila presiden tidak setuju (hak veto), maka rancangan perundangan tersebut kembali ke congress untuk dibahas ulang, biasanya akan didiskusikan antar Sehingga AS memberikan bantuan kepada Indonesia dalam rangka memperjuangkan Bagaimana pula peran kedua partai politik dalam mempengaruhi pola anggaran pemerintah pusat?

partai politik. Kedua partai politik yang ada di AS, democrat dan republiken, memiliki pendapat berbeda dalam berbagai hal. Seperti halnya dalam isu menaikan atau mengurangi pajak, menaikan atau menekan anggaran belanja. Dalam hal penganggaran, presiden mengajukan rancangan anggaran ke parlemen, setelah didiskusikan dan ditentukan di lembaga legislative baru kemudian dikembalikan ke presiden. Pertanyaan mahasiswa 4: Bagaimana pendapat anda mengenai rejim internasional yang berlaku di dunia saat ini. tersebut? Jawaban: Tampaknya ide mengenai super power bila disandingkan dengan American Values akan sangat bias. Kontroversi hubungan antara AS dan Indonesia merupakan hasil kebijakan luar negeri yang berdasarkan atas persamaan kepentingan dalam hal pendidikan dan anti korupsi misalnya. AS percaya bahwa saat ini adalah age of dialogue bukan mengedepankan kekuatan bersenjata akan tetapi melalui kerjasama bilateral dan multilateral. Peran AS sedikit demi sedikit disusul oleh Cina, India, dan Rusia. Sehingga kebijakan luar negeri AS seharusnya dilakukan berdasarkan pertemanan bukan sendirian. Bukti peran aktif AS aktif dalam mengatasi konflik di berbagai negara sebagai contoh di Korea Utara, Iran, dan Afganistan. yaitu Maryland, di kota Indianapollis. Berhubung waktu sudah tidak memungkinkan untuk berlanjutnya proses tanya jawab. Akhirnya kuliah umum Scott diakhiri pada pukul 11.30. Antusiasme mahasiswa dalam mengajukan pertanyaan tidak berakhir sampai di ruang pertemuan, berlanjut setelah acara selesai, mereka menghampiri Scott dengan berbagai pertanyaan yang tersisa. Hal tersebut membuat Scott merasa dihargai dan beliau berjanji untuk kembali tahun depan dengan agenda: 1. menyiapkan rekan-rekannya yang berkecimpung dalam bidang 8 Bahkan AS berupaya menengahi pihak bertikai Palestina dan Israel dengan mewadahi perundingan di negara bagian AS Mengapa AS berusaha keras untuk tetap menjadi super power di tengah pertentangan negara-negara lain yang tidak setuju dengan kebijakan AS

administrasi publik untuk memfasilitasi diskusi di STIA pada tahun akademik berikutnya, 2. kunjungan Deputi Chief of Mission, wakil duta besar AS, untuk memberikan kuliah umum sekaligus menjajaki kemungkinan kerjasama dalam hal pendidikan dengan STIA. R.I.

Anda mungkin juga menyukai